Minggu, 23 Desember 2012

Biografi Ulama



MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG IMAM AL-GHAZALI
(450-505 H = 1058-1111 M)
1.                  Biografi Singkat Imam Al-Ghazali[1]
Pada bagian muqaddimah telah kami paparkan, bahwa yang menjadi topik kajian tulisan ini adalah sebuah upaya memahami sebagian kecil dari penjelasan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya. Untuk untuk itu, ada baiknya bila kita mengenal lebih dekat tentang biografinya. Beliau adalah Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dengan gelar Hujjatul Islam, seorang fuqaha terkemuka, teolog, dan sufi. Dilahirkan di kota Thus pada tahun 450 H/1058 M. Bapak beliau bekerja sebagai seorang pemintal bulu, yang hasil pintalannya dijual di tokonya sendiri. Ketika akan meninggal, sang bapak mewasiatkan Imam al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang teman akrab yang berpredikat sebagai seorang asketis (sufi), dan termasuk dari golongan orang baik (ahl al-khoir). Kepada teman ini, sang bapak berkata: “sungguh aku teramat menyesal karena tidak sempat mempelajari seni tulis (khot). Aku berharap, semoga kekurangan tersebut akan ditutupi oleh kedua anakku. Ajarilah keduanya tentang menulis. Demi tercapainya tujuan ini, tidak menjadi persoalan jika harta tinggalanku untuk mereka berdua kamu habiskan sebagai biayanya.” Demikian pesan sang bapak pada teman yang baik hati itu.
Setelah orang tua Imam al-Ghazali meninggal dunia, tugas mendidik keduanya dilaksanakan dengan baik oleh sang sufi. Dan lama-kelamaan, harta tinggalan orang tuanya itu habis. Sang sufi pun merasa kewalahan mengurusi kebutuhan hidup beliau berdua. Lalu sang sufi berkata: “ketahuilah,  tugasku untuk membelanjakan harta kalian telah aku laksanakan. Aku sendiri orang faqir, tidak memiliki harta benda yang dapat aku pergunakan untuk mencukupi kebutuhan kalian. Aku punya usul, agar supaya kalian berdua turut serta mengikuti pelajaran di madrasah, kalian kan punya kriteria sebagai seorang pelajar. Dengan begitu, kebutuhan hidup kalian akan tercukupi.” Pesan baik ini tidak disia-siakan oleh Imam al-Ghazali dan adiknya. Keduanya pun turut serta menjadi bagian dari murid madrasah. Hingga pada akhirnya, status sebagai murid madrasah inilah yang menjadi proses awal dari sejarah besar beliau berdua, dan sekaligus sebagai penyebab kebahagian keduanya serta mengangkat derajatnya menjadi mulia.
Tentang proses di atas, Imam al-Ghazali berbagi kisah pada kita, sebagaimana yang beliau tuturkan sendiri: “awal mulanya, aku mencari ilmu tidak karena Allah. Tetapi pada akhirnya, ilmu tersebut enggan bila tidak karena-Nya”. Beliau juga bercerita bahwa bapaknya adalah orang faqir yang shalih, kebutuhan hidupnya dicukupi dari hasil jerih payah memintal bulu. Seringkali bapaknya berkunjung (sowan, jw) kepada ahli fiqih, dan duduk satu majlis dengan mereka. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengabdikan diri kepada para ulama tersebut, sambil mempersembahkan (baca: mendermakan) sebagian harta yang dimilikinya. Pada saat mendengarkan pesan-pesan mereka, ia menangis dan mendekatkan diri pada Allah seraya bermohon agar supaya dianugrahi seorang anak yang ahli fiqih. Beliau juga turut serta menghadiri majlis-majlis ceramah agama (mauidzah), dan pada waktu-waktu tertentu dirinya menangis dan bermohon kepada Allah agar supaya dianugrahi seorang anak yang ahli berceramah, dan kedua permohonannya itu dikabulkan oleh Allah. Demikianlah, cerita Imam al-Ghazali dalam mengkisahkan sosok bapak yang telah berjasa besar terhadap beliau.
Do’a yang dikabulkan oleh Allah tersebut, termanifestasikan pada sosok Imam al-Ghazali dan adiknya. Untuk Abu Hamid―nama lain dari Imam al-Ghazali―adalah seorang ahli di bidang fiqih, dan kepakarannya ini melampaui teman-temannya, hingga menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin para ulama yang hidup pada zamannya. Tak mengherankan, jika orang-orang yang sejalan ataupun yang berseberangan, adalah para saksi atas pernyataan-pernyataan yang beliau lontarkan. Dengan begitu, kapasitas intelektual beliau benar-benar mendapat pengakuan dari orang-orang yang memusuhinya. Sedangkan Ahmad―saudara kandung Imam al-Ghazali―adalah seorang penceramah, ceramah-ceramahnya bermuatan ancaman-ancaman pedas, sehingga mampu merekahkan telinga-telinga yang tuli dan membatu. Dan kekuatan majlis dzikirnya, mampu menggetarkan urat leher para jama’ah yang turut serta menghadirinya.[2]
2.                  Proses Belajar, Mencari Ilmu
Sejak kecil beliau dikenal sebagai anak yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia belajar kepada sejumlah guru seperti Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani, Imam Abi Nashr al-Isma’ily hingga Imam al-Juwaini atau yang masyhur dengan sebutan Imam al-Haramain. Dari sang mahaguru Imam al-Haramain inilah, Imam al-Ghazali mencapai puncak kemahiran dan kedalaman dalam berbagai macam disiplin ilmu. Dan kecerdasan yang dimiliki oleh beliau membuat kagum Imam al-Juwaini, sehingga Imam al-Ghazali mendapat gelar “bahrun mughriq” (lautan yang menenggelamkan)[3] dari sang mahaguru tersebut. Seusai belajar di Naisabur, beliau menuju ke Baghdad dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, menteri sultan Bani Saljuk yang ditakdirkan memainkan peran besar dalam kehidupan intelektual Imam al-Ghazali.[4]
Imam As’ad al-Mīhaniy berkata: “aku mendengar Imam al-Ghazali bercerita:aku pernah dirampok, dan semua barang bawaanku dirampas. Lalu para bandit itu meneruskan perjalanannya. Aku buntuti mereka dari belakang, dan salah seorang dari mereka menoleh padaku seraya berkata: “kembalilah, bila tidak engkau akan celaka”. Imam al-Ghazali meneruskan ceritanya“aku katakan pada mereka! demi Dzat yang kalian mintai keselamatan...! tolong kembalikanlah kitab-kitab yang berisikan catatan-catatanku (at-ta’līqat) saja. Kitab-kitab itu tidak ada manfaatnya bagi kalian”. Salah seorang dari mereka bertanya: “apa yang kamu maksudkan dengan kitab-kitab yang berisikan catatan itu?”. Jawab Imam al-Ghazali: “yaitu kitab-kitab yang terdapat di dalam tas yang kalian rampas. Aku telah bersusah payah untuk mendengarkannya, mencatatnya, dan mempelajari kandungan ilmunya”. Mendengar jawaban ini, para bandit sama-sama mentertawakan beliau, dan berkata: “bagaimana engkau mengaku mengetahui kandungan ilmunya, padahal kitab-kitab itu telah kami rampas darimu. Pengetahuanmu juga akan turut serta hilang, dan kamu pun tidak akan memiliki ilmu lagi...!!”, lalu salah seorang dari mereka memerintahkan agar tas yang berisikan kitab-kitab itu diserahkan padaku”. Untuk yang terakhir ini, Imam al-Ghazali  berkata: “orang ini berbicara atas kehendak Allah, sebagai bentuk petunjuk-Nya bagiku”. Imam al-Ghazali melanjutkan ceritanya: “setelah sampai di Thus, aku optimalkan waktuku guna mempelajari ilmu, kurang lebih selama tiga tahun. Sehingga catatan-catanku dapat aku hapalkan semuanya. Dan jika kitab-kitab yang memuat catatan-catatanku dirampas lagi, maka ilmuku tidak akan pergi meninggalkanku”. Cerita yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali ini juga diriwayatkan oleh menteri Nizham al-Mulk, sebagaimana nampak dalam catatan Ibnu as-Sam’āni sewaktu mengkisahkan biografi Nizham al-Mulk.[5]
Kesempatan berguru pada Imam al-Haramain di Naisabur, beliau manfaatkan dengan penuh ketekunan dan giat dalam mengkaji ilmu. Sehingga beliau mencapai keunggulan di bidang madzhab, perbedaan pendapat ulama (khilāf), ilmu berdebat (jadal), ilmu mantiq (logika), ilmu hikmah dan filsafat. Berbagai disiplin ilmu ini, memang benar-benar dapat beliau kuasai dengan baik. Tidak sebatas itu saja, bahkan kritikan-kritikan tajam beserta sanggahan-sanggahan beliau ajukan terhadap pernyataan-pernyataan keliru yang disampaikan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu tersebut, setelah memahaminya terlebih dulu dengan cermat dan teliti.
Penguasaan yang luas dalam dalam berbagai disiplin ini, selanjutnya beliau dokumentasikan dalam berbagai karya besar dan mengagumkan. Dan karya-karya terpenting Imam al-Ghazali dalam berbagai macam disiplin ilmu dapat diklasifikasikan dalam empat kategori: ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu filsafat, dan ilmu tashawwuf. Dan diantara kitab-kitab karya beliau adalah: Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad, Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien, Mizanul Amal, Al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar, Tahafut al-Falasifah, Mi'yar al-'Ilm, dan Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien lah yang menjadi karya terbesar beliau (magnumopus). Kitab Ihya’ dari awal sampai akhir pada hakikatnya membahas masalah akhlak, dengan pusat kajian di dalamnya berkenaan dengan penyucian jiwa (tarbiyatun nafs atau tahdzibun nafs), yakni aspek pendidikan yang saat ini kian terabaikan, kalau tidak dikatakan terlupakan. Melalui karya ini, al-Ghazali berusaha menggabungkan filsafat yang rasional, tashawwuf yang emosional (ortodoksi) dan fikih yang berada di antara keduanya. Inilah gaya orisinil Imam al-Ghazali dalam beberapa disiplin ilmu yang ia cetuskan.
Sepeninggal Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali bertolak menuju Mu’askar, hendak menemui menteri Nidzam al-Mulk. Karena pada waktu itu, majlisnya Nidzam al-Mulk adalah kumpulan para pakar (ahl al-‘ilm) sekaligus tempat berlindung mereka. Di sana, Imam al-Ghazali beradu argumentasi dengan para ulamanya, dan mampu mengalahkan hujjah-hujjah mereka. Para mitra debatnya pun pada akhirnya respek, serta mengakui kapasitas intelektual beliau. Sehingga Imam al-Ghazali mendapatkan perlakuan istemewa dari Nidzam al-Mulk, dan diangkat sebagai mahaguru di madrasah yang ia bangun di Bagdad. Akhirnya beliau di instruksikan untuk berangkat ke madrasah tersebut.
Sesampainya di Bagdad, pada tahun 484 H. beliau bertugas mengajar di madrsah Nidzamiyyah. Dan selama menjalankan tugas, tipikal gaya pemaparan beliau yang indah, keunggulan yang sempurna, lisan yang fasih, kesimpulan yang detail, beserta kelebihan-kelebihan lainnya, menjadikan keterkaguman dan kecintaan tersendiri oleh masyarakat pada beliau. Konsentrasi waktu sepenuhnya dipergunakan untuk mengajar, mengkaji ilmu agama, berfatwa, dan mengarang kitab. Hingga dedikasi yang tinggi ini, menjadikan beliau sebagai seorang tokoh yang disegani, menyandang pangkat yang agung, kehormatan yang bertambah, martabat yang tinggi, petuah-petuahnya diterima bebagai kalangan, popularitas menanjak, dan dijadikan sebagai tokoh panutan serta banyak orang-orang yang mengunjunginya. Hingga pada akhirnya, beliau menjauhkan diri dari kesenangan materi dunia, derajat dan pangkat serta popularitas yang telah diperoleh beliau tinggalkan begitu saja, untuk bertolak menuju rumah Allah, Masjid al-Harām.[6]
Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 488, beliau pergi melaksanakan ibadah haji. Dan tugas-tugas mengajar selajutnya beliau pasrahkan kepada saudara laki-lakinya. Pada tahun berikutnya, 489 H. beliau berangkat menuju Damaskus. Persinggahan ini tidak berlangsung lama, cuma beberapa hari saja, dengan kondisi yang serba kekurangan dan memperihatinkan. Perjalanan berikutnya, beliau teruskan menuju Bait al-Maqdis (Palestina), dan sempat bermukim sebentar. Lalu beliau kembali lagi ke Damaskus, menyendiri dan ber-i’tikaf di menara bagian barat dari masjid Jami’ di sana. Sebagaimana diinformasikan oleh al-Hāfidz Ibnu ‘Asākir selanjutnya dikutip oleh Imam ad-Dzahabi, bahwa di menara itulah beliau mengambil tempat bermukim selama di Damaskus pada kesempatan kali ini.      
Pengembaraan yang sudah menjadi kebiasaan, masih saja beliau teruskan. Seringkali beliau menziarahi areal pemakaman para ulama besar, mengunjungi beberapa masjid untuk beribadah, juga singgah di daerah gurun yang tandus. Beliau benar-benar berusaha menundukkan dan memerangi hawa nafsunya, sebagaimana telah dilakukan oleh para kekasih Allah, yakni dengan melakasanakan berbagai aktifitas ibadah yang terasa berat bagi nafsu mereka. Sehingga beliau akhirnya menjadi seorang wali Allah (qutb al-wujūd), pembawa keberkahan bagi setiap makhluk, jalan perantara menuju tercapainya ridlo’ Allah, dan jalan yang disiapkan menuju iman kepada-Nya.
Untuk yang kesekian kalinya, beliau kembali lagi ke Bagdad. Dalam kesempatan ini, beliau membikin semacam majlis pengajian ceramah agama (majlis al-wa’dz), dengan materi seputar kajian ilmu hakikat (lisan ahl al-haqiqat), disamping pula mengkaji kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Setelah itu, beliau pergi menuju Khurasan, dan mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Dan perjalanan diteruskan ke Naisabur untuk beberapa waktu yang cukup singkat. Intinya, hati beliau telah tertambatkan dengan anugrah yang diberikan oleh Allah, yakni menjalani hidup sebagai seorang sufi (asketis) sejati. Terakhir kalinya, beliau pulang kekampung halaman, yakni kota Thus. Dengan membangun sebuah madrasah yang terletak di samping rumah, yang beliau peruntukkan bagi para pelajar ilmu fiqih. Serta sebuah pemondokan (khōniqah) bagi para pecinta dunia tashawwuf. Selanjutnya beliau membagi waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus beliau laksanakan. Meliputi; tugas khataman al-Qur’an, waktu sarasehan bersama ulama sufi (arbāb al-qulūb), mengajar para santri (thālib al-‘ilm), serta waktu khusus untuk menjalankan ibadah shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Tugas-tugas ini terus beliau kerjakan sehingga berpulang kerahmat-Allah tepat di kota kelahirannya, kota Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M).[7]
Imam al-Ghazali di kalangan Dunia Islam, adalah merupakan seorang ulama yang multi talenta dengan kompetensi yang sangat luas lagi mendalam di berbagai bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan akal yang diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan orang-orang ahli filsafat, akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari hati sanubarinya bagaikan mata-air yang bening nan jernih. Beliau seorang mahaguru tashawwuf yang mengeritik orang-orang tashawwuf yang mengabaikan upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada itu, Imam Ghazali pun mengeritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara ibadah akan tetapi tidak meresapi arti maknanya yang lezat lantaran jiwanya tidak bersih, karena meninggalkan tashawwuf. Dengan lain perkataan, maka Imam Ghazali merupakan tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah (fiqih) yang diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh kelezatan berbakti (tashawwuf). Ketokohan Imam al-Ghazali memang mendapat pengakuan yang cukup luas dari berbagai kalangan. Namun, di sisi yang lain tidak sedikit orang-orang yang memusuhi beliau. Untuk sisi yang terakhir ini, Imam Tājuddin as-Subkhi mengapresiasikan sosok Imam al-Ghazali di dalam bait syair gubahan beliau, berikut ini syair itu:
فَالْبَدْرُ أَحْسَنُ إِشْرَاقًا مَعَ الظُّلَمِ
*
وَإِنْ تَكَنَّفَنِي مِنْ شَرِّهِمْ غَسَـقٌ
فَالدُّرُّ دُرٌّ وَإِنْ لَمْ يُشْرَ بِالْقِيَـمِ
*
وَإِنْ رَأَوْا بَخْسَ فَضْلِى حَقَّ قِيْمَتِهِ
Meskipun diriku dikepung oleh keburukan mereka yang menyerupai kegelapan. Ketahuilah, bahwa sinar terang bulan purnama akan nampak indah di tengah gelap-gulitanya malam. Walaupun diriku dianggap tidak berarti, dan tidak diperlakukan dengan selayaknya. Maka ketahuilah, yang namanya mutiara senantiasa tetap mutiara, kendatipun tidak ditunjukkan harganya.
3.                  Cerita Tentang Kitab Ihya’[8]
Kisah ini berkaitan erat dengan sosok tokoh bernama Abi al-Hasan yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Hirzihim. Ceritanya, sesaat setelah membaca kitab Ihya’ ia mengangan-angan kandungan maknanya lalu berkata: “ini adalah bid’ah dan bertentangan dengan sunnah”. Dan Abi al-Hasan sendiri adalah tokoh yang disegani di negeri Maghrib (maroko). Maka dari itu, ia memerintahkan agar supaya seluruh naskah kitab Ihya’ yang beredar agar diserahkan kepadanya. Seraya memohon kepada sultan yang berkuasa saat itu, agar secepatnya menurunkan sebuah instruksi penyerahkan seluruh naskah kitab Ihya’ yang ada.
Permohonannya dikabulkan, dan sultan pun berkirim surat instruksi keseluruh penjuru negeri, serta mengancam dengan keras bagi siapapun yang masih menyimpan naskah kitab Ihya’. Hingga akhirnya, masyarakat berbondong-bondong menyerahkan kitab Ihya’ yang mereka miliki. Saat itu, para ulama fiqih turut serta berkumpul mempersoalkan peristiwa yang sedang terjadi, tetapi pada akhirnya mereka sependapat dengan Abi al-Hasan. Selanjutnya, mereka bersepakat untuk membakar naskah-naskah kitab Ihya’ yang sudah terkumpul, dan prosesi pembakarannya akan dilaksanakan besok hari Jum’at. Dan pertemuan mereka itu terjadi di hari Kamis, yakni sehari sebelum pelaksanaan prosesi pembakaran.
Pada Kamis dini hari, yakni malam Jum’at―malam hari sebelum prosesi pembakaran kitab Ihya’―, Abi al-Hasan bermimpi. Dalam mimpi ini,  ia seakan-akan masuk ke dalam Masjid Jami’ melalui pintu yang biasanya ia lewati. Di dalam Masjid, ia melihat ada kilauan cahaya yang bersinar tepat di bawah salahsatu dari tiang penyangga Masjid.  Ternyata, sinar itu adalah baginda Nabi Muhammad r , sahabat Abu Bakar t dan sahabat Umar t , yang tengah duduk bersama. Sedangkan Imam Abu Hāmid al-Ghazali juga turut bersama mereka dengan posisi berdiri sambil membawa kitab Ihya’. Imam al-Ghazali lalu berkata: “wahai Rosulullah....! ini adalah musuhku”. Kemudian sambil berjalan merangkak di atas kedua lutut, beliau menghampiri baginda Nabi. Sesampainya di hadapan Nabi, beliau menyerahkan kitab Ihya’, seraya berkata: “wahai Rosulullah....! mohon paduka berkenan untuk melihatnya. Jikalau memang kitab tersebut adalah bid’ah dan bertentangan dengan sunnah paduka―sebagaimana ia sangkakan―maka aku akan bertaubat kepada Allah I , dan bila paduka menganggapnya baik, mudah-mudahan diriku mendapatkan barokah paduka. Semoga paduka berkenan menegakkan keadilan bagiku terhadap musuhku”.
Lalu Rosulullah e mengamati setiap halaman kitab Ihya’ hingga selesai, kemudian berkata: “demi Allah, kitab ini bagus sekali”. Setelah itu, beliau memberikannya kepada Abu Bakar. Dan Abu Bakar juga mengamatinya sebagaimana Rosulullah, seraya berata: “demi Dzat yang telah mengutus paduka dengan hak, wahai Rosulullah ....! kitab ini benar-benar bagus”. Oleh Abu Bakar, kitab itu lalu diserahkan kepada Umar. Beliau sahabat Umar mengamatinya pula, serta berkata sebagaimana perkataan yang telah dituturkan oleh Abu Bakar sebelumnya. Akhirnya, Nabi e memerintahkan agar supaya baju yang dikenakan oleh Abi al-Hasan dilepas, serta memerintahkan agar dirinya dicambuk sesuai dengan hukumannya orang yang berbuat kedustaan. Eksekusi dilaksanakan, baju Abi al-Hasan dilepas dan dirinya pun dicambuki. Dan setelah cambukan yang kelima, Abu Bakar memohonkan maaf untuk Abi al-Hasan, seraya berkata kepada baginda Nabi: “wahai Rosulullah ...! apa yang dilakukan oleh Abi al-Hasan adalah sebuah ijtihad dan pengagungan terhadap sunnah paduka”. Pada akhirnya Imam Abu Hāmid al-Ghazali memaafkan Abi al-Hasan.
Setelah Abi al-Hasan terbangun dari tidurnya, di pagi hari ia menceritakan prihal mimpi semalam kepada para teman-temannya. Dan Abi al-Hasan senantiasa merasakan nyeri dari cambukan tersebut dalam rentang waktu kurang-lebih satu bulan. Lambat-laun rasa nyeri tersebut akhirnya hilang. Tetapi, bekas cambukan dalam mimpinya itu masih tetap kelihatan dipunggungnya hingga ia meninggal dunia. Dan berkat peristiwa ini, Abi al-Hasan akhirnya berkenan mengkaji kitab Ihya’, memuliakan dan mengagungkannya dengan sepenuh hati. 
Imam Tājuddin as-Subkhi (727–771 H) menuturkan di dalam kitab Thabaqāt as-Syāfi’iyyah al-Kubrā bahwa kisah di atas memang benar adanya, dan diceritakan oleh para mahaguru beliau yang terpercaya. Mereka menerimanya dari as-Syech al-‘Ārif Waliyyullah Yāqūt as-Syadziliy, beliau dari gurunya as-Sayyid al-Kabīr Waliyyullah Ta’āla Abi al-‘Ābbas al-Mursiyyi, beliau dari gurunya as-Syech al-Kabīr Waliyyullah Abi al-Hasan as-Syadziliy, rahmat kasih sayang Allah semoga tercurahkan kepada mereka, amien.”      
فِيْهِ شِفَا مِنْ كُلِّ دَاءٍ أَعْضَلَ
*
طَالِعْ أَخِيْ إِحْيَا غَزَالِيِّ تَنَلْ
Wahai saudaraku, pelajarilah kitab Ihya’nya Imam al-Ghazali, niscaya akan engkau dapatkan di dalamnya sebuah penawar bagi penyakit yang sulit diobati.[9]
df




[1]. Thabaqāt as-Syāfi’iyyah al-Kubrā. Juz: 06, hal: 191 – 194.
[2]. Ibid.
[3]. Versi lain mengatakan bahwa julukan yang diberikan oleh Imam al-Haramain adalah “bahrun mughdiq” (lautan yang melimpah-ruah airnya).
[4]. Mukaddimah dari Penerbit, Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien juz: 01, hal: 03. Dār al-Fikr.  
[5]. Thabaqāt as-Syāfi’iyyah al-Kubrā. Juz: 06, hal: 195 – 201.
[6]. Ibid.
[7]. Ibid.
[8]. Kisah ini kami kutip dari Thabaqāt as-Syāfi’iyyah al-Kubrā. Juz: 06, hal: 258 – 260.
[9]. Kitab nadzam Hidāyah al-Adzkiyā’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...