MENGENAL LEBIH
DEKAT TENTANG IMAM AL-GHAZALI
(450-505
H = 1058-1111 M)
Pada bagian muqaddimah telah kami
paparkan, bahwa yang menjadi topik kajian tulisan ini adalah sebuah upaya
memahami sebagian kecil dari penjelasan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali
dalam kitab Ihya’nya. Untuk untuk itu, ada baiknya bila kita mengenal lebih
dekat tentang biografinya. Beliau adalah Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dengan gelar Hujjatul Islam, seorang fuqaha
terkemuka, teolog, dan sufi. Dilahirkan di kota Thus pada tahun 450 H/1058 M.
Bapak beliau bekerja sebagai seorang pemintal bulu, yang hasil pintalannya
dijual di tokonya sendiri. Ketika akan meninggal, sang bapak mewasiatkan Imam
al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang teman akrab yang
berpredikat sebagai seorang asketis (sufi), dan termasuk dari golongan orang
baik (ahl al-khoir). Kepada teman ini, sang bapak berkata: “sungguh
aku teramat menyesal karena tidak sempat mempelajari seni tulis (khot). Aku
berharap, semoga kekurangan tersebut akan ditutupi oleh kedua anakku. Ajarilah
keduanya tentang menulis. Demi tercapainya tujuan ini, tidak menjadi persoalan
jika harta tinggalanku untuk mereka berdua kamu habiskan sebagai biayanya.”
Demikian pesan sang bapak pada teman yang baik hati itu.
Setelah orang tua Imam al-Ghazali meninggal dunia, tugas
mendidik keduanya dilaksanakan dengan baik oleh sang sufi. Dan lama-kelamaan,
harta tinggalan orang tuanya itu habis. Sang sufi pun merasa kewalahan
mengurusi kebutuhan hidup beliau berdua. Lalu sang sufi berkata: “ketahuilah, tugasku untuk membelanjakan harta kalian
telah aku laksanakan. Aku sendiri orang faqir, tidak memiliki harta benda yang
dapat aku pergunakan untuk mencukupi kebutuhan kalian. Aku punya usul, agar
supaya kalian berdua turut serta mengikuti pelajaran di madrasah, kalian kan
punya kriteria sebagai seorang pelajar. Dengan begitu, kebutuhan hidup kalian
akan tercukupi.” Pesan baik ini tidak disia-siakan oleh Imam al-Ghazali dan
adiknya. Keduanya pun turut serta menjadi bagian dari murid madrasah. Hingga
pada akhirnya, status sebagai murid madrasah inilah yang menjadi proses awal
dari sejarah besar beliau berdua, dan sekaligus sebagai penyebab kebahagian
keduanya serta mengangkat derajatnya menjadi mulia.
Tentang proses di atas, Imam al-Ghazali berbagi kisah
pada kita, sebagaimana yang beliau tuturkan sendiri: “awal mulanya, aku
mencari ilmu tidak karena Allah. Tetapi pada akhirnya, ilmu tersebut enggan
bila tidak karena-Nya”. Beliau juga bercerita bahwa bapaknya adalah orang
faqir yang shalih, kebutuhan hidupnya dicukupi dari hasil jerih payah memintal
bulu. Seringkali bapaknya berkunjung (sowan, jw) kepada ahli fiqih, dan duduk
satu majlis dengan mereka. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengabdikan diri
kepada para ulama tersebut, sambil mempersembahkan (baca: mendermakan) sebagian
harta yang dimilikinya. Pada saat mendengarkan pesan-pesan mereka, ia menangis
dan mendekatkan diri pada Allah seraya bermohon agar supaya dianugrahi seorang
anak yang ahli fiqih. Beliau juga turut serta menghadiri majlis-majlis ceramah
agama (mauidzah), dan pada waktu-waktu tertentu dirinya menangis dan
bermohon kepada Allah agar supaya dianugrahi seorang anak yang ahli berceramah,
dan kedua permohonannya itu dikabulkan oleh Allah. Demikianlah, cerita Imam
al-Ghazali dalam mengkisahkan sosok bapak yang telah berjasa besar terhadap
beliau.
Do’a yang dikabulkan oleh Allah tersebut,
termanifestasikan pada sosok Imam al-Ghazali dan adiknya. Untuk Abu Hamid―nama
lain dari Imam al-Ghazali―adalah seorang ahli di bidang fiqih, dan kepakarannya
ini melampaui teman-temannya, hingga menjadikan dirinya sebagai seorang
pemimpin para ulama yang hidup pada zamannya. Tak mengherankan, jika orang-orang
yang sejalan ataupun yang berseberangan, adalah para saksi atas
pernyataan-pernyataan yang beliau lontarkan. Dengan begitu, kapasitas
intelektual beliau benar-benar mendapat pengakuan dari orang-orang yang
memusuhinya. Sedangkan Ahmad―saudara kandung Imam al-Ghazali―adalah seorang
penceramah, ceramah-ceramahnya bermuatan ancaman-ancaman pedas, sehingga mampu
merekahkan telinga-telinga yang tuli dan membatu. Dan kekuatan majlis
dzikirnya, mampu menggetarkan urat leher para jama’ah yang turut serta
menghadirinya.[2]
2.
Proses Belajar, Mencari Ilmu
Sejak kecil beliau dikenal sebagai anak yang mencintai ilmu
pengetahuan. Ia belajar kepada sejumlah guru seperti Imam Ahmad Ibn Muhammad
al-Radzikani, Imam Abi Nashr al-Isma’ily hingga Imam al-Juwaini atau yang
masyhur dengan sebutan Imam al-Haramain. Dari sang mahaguru Imam al-Haramain
inilah, Imam al-Ghazali mencapai puncak kemahiran dan kedalaman dalam berbagai
macam disiplin ilmu. Dan kecerdasan yang dimiliki oleh beliau membuat kagum
Imam al-Juwaini, sehingga Imam al-Ghazali mendapat gelar “bahrun mughriq”
(lautan yang menenggelamkan)[3]
dari sang mahaguru tersebut. Seusai belajar di Naisabur, beliau menuju ke
Baghdad dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan oleh Nizham
al-Mulk, menteri sultan Bani Saljuk yang ditakdirkan memainkan peran besar
dalam kehidupan intelektual Imam al-Ghazali.[4]
Imam As’ad al-Mīhaniy berkata: “aku mendengar
Imam al-Ghazali bercerita: “aku pernah dirampok, dan semua barang bawaanku
dirampas. Lalu para bandit itu meneruskan perjalanannya. Aku buntuti mereka
dari belakang, dan salah seorang dari mereka menoleh padaku seraya berkata:
“kembalilah, bila tidak engkau akan celaka”. Imam al-Ghazali meneruskan
ceritanya“aku katakan pada mereka! demi Dzat yang kalian mintai
keselamatan...! tolong kembalikanlah kitab-kitab yang berisikan
catatan-catatanku (at-ta’līqat) saja. Kitab-kitab itu tidak ada manfaatnya bagi
kalian”. Salah seorang dari mereka bertanya: “apa yang kamu maksudkan dengan
kitab-kitab yang berisikan catatan itu?”. Jawab Imam al-Ghazali: “yaitu
kitab-kitab yang terdapat di dalam tas yang kalian rampas. Aku telah bersusah
payah untuk mendengarkannya, mencatatnya, dan mempelajari kandungan ilmunya”.
Mendengar jawaban ini, para bandit sama-sama mentertawakan beliau, dan berkata:
“bagaimana engkau mengaku mengetahui kandungan ilmunya, padahal kitab-kitab
itu telah kami rampas darimu. Pengetahuanmu juga akan turut serta hilang, dan
kamu pun tidak akan memiliki ilmu lagi...!!”, lalu salah seorang dari
mereka memerintahkan agar tas yang berisikan kitab-kitab itu diserahkan padaku”.
Untuk yang terakhir ini, Imam al-Ghazali
berkata: “orang ini berbicara atas kehendak Allah, sebagai bentuk
petunjuk-Nya bagiku”. Imam al-Ghazali melanjutkan ceritanya: “setelah
sampai di Thus, aku optimalkan waktuku guna mempelajari ilmu, kurang lebih
selama tiga tahun. Sehingga catatan-catanku dapat aku hapalkan semuanya. Dan
jika kitab-kitab yang memuat catatan-catatanku dirampas lagi, maka ilmuku tidak
akan pergi meninggalkanku”. Cerita yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali
ini juga diriwayatkan oleh menteri Nizham al-Mulk, sebagaimana nampak dalam
catatan Ibnu as-Sam’āni sewaktu mengkisahkan biografi Nizham al-Mulk.[5]
Kesempatan berguru pada Imam al-Haramain di Naisabur,
beliau manfaatkan dengan penuh ketekunan dan giat dalam mengkaji ilmu. Sehingga
beliau mencapai keunggulan di bidang madzhab, perbedaan pendapat ulama (khilāf),
ilmu berdebat (jadal), ilmu mantiq (logika), ilmu hikmah dan filsafat. Berbagai
disiplin ilmu ini, memang benar-benar dapat beliau kuasai dengan baik. Tidak
sebatas itu saja, bahkan kritikan-kritikan tajam beserta sanggahan-sanggahan
beliau ajukan terhadap pernyataan-pernyataan keliru yang disampaikan oleh pakar
dari berbagai disiplin ilmu tersebut, setelah memahaminya terlebih dulu dengan
cermat dan teliti.
Penguasaan yang luas dalam dalam berbagai disiplin ini,
selanjutnya beliau dokumentasikan dalam berbagai karya besar dan mengagumkan.
Dan karya-karya terpenting Imam al-Ghazali dalam berbagai macam disiplin ilmu
dapat diklasifikasikan dalam empat kategori: ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
filsafat, dan ilmu tashawwuf. Dan diantara kitab-kitab karya beliau adalah: Fatihatul
Ulum, Ayyuhal Walad, Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien, Mizanul Amal, Al-Risalah
al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar, Tahafut al-Falasifah, Mi'yar al-'Ilm, dan Ihya’
al-‘Ulūm ad-Dien lah yang menjadi karya terbesar beliau (magnumopus). Kitab
Ihya’ dari awal sampai akhir pada hakikatnya membahas masalah akhlak, dengan
pusat kajian di dalamnya berkenaan dengan penyucian jiwa (tarbiyatun nafs
atau tahdzibun nafs), yakni aspek pendidikan yang saat ini kian
terabaikan, kalau tidak dikatakan terlupakan. Melalui karya ini, al-Ghazali
berusaha menggabungkan filsafat yang rasional, tashawwuf yang emosional
(ortodoksi) dan fikih yang berada di antara keduanya. Inilah gaya orisinil Imam
al-Ghazali dalam beberapa disiplin ilmu yang ia cetuskan.
Sepeninggal Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali bertolak menuju
Mu’askar, hendak menemui menteri Nidzam al-Mulk. Karena pada waktu itu,
majlisnya Nidzam al-Mulk adalah kumpulan para pakar (ahl al-‘ilm)
sekaligus tempat berlindung mereka. Di sana, Imam al-Ghazali beradu argumentasi
dengan para ulamanya, dan mampu mengalahkan hujjah-hujjah mereka. Para mitra
debatnya pun pada akhirnya respek, serta mengakui kapasitas intelektual beliau.
Sehingga Imam al-Ghazali mendapatkan perlakuan istemewa dari Nidzam al-Mulk,
dan diangkat sebagai mahaguru di madrasah yang ia bangun di Bagdad. Akhirnya
beliau di instruksikan untuk berangkat ke madrasah tersebut.
Sesampainya di Bagdad, pada tahun 484 H. beliau bertugas
mengajar di madrsah Nidzamiyyah. Dan selama menjalankan tugas, tipikal gaya
pemaparan beliau yang indah, keunggulan yang sempurna, lisan yang fasih,
kesimpulan yang detail, beserta kelebihan-kelebihan lainnya, menjadikan
keterkaguman dan kecintaan tersendiri oleh masyarakat pada beliau. Konsentrasi
waktu sepenuhnya dipergunakan untuk mengajar, mengkaji ilmu agama, berfatwa,
dan mengarang kitab. Hingga dedikasi yang tinggi ini, menjadikan beliau sebagai
seorang tokoh yang disegani, menyandang pangkat yang agung, kehormatan yang
bertambah, martabat yang tinggi, petuah-petuahnya diterima bebagai kalangan,
popularitas menanjak, dan dijadikan sebagai tokoh panutan serta banyak
orang-orang yang mengunjunginya. Hingga pada akhirnya, beliau menjauhkan diri
dari kesenangan materi dunia, derajat dan pangkat serta popularitas yang telah
diperoleh beliau tinggalkan begitu saja, untuk bertolak menuju rumah Allah,
Masjid al-Harām.[6]
Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 488, beliau pergi
melaksanakan ibadah haji. Dan tugas-tugas mengajar selajutnya beliau pasrahkan
kepada saudara laki-lakinya. Pada tahun berikutnya, 489 H. beliau berangkat
menuju Damaskus. Persinggahan ini tidak berlangsung lama, cuma beberapa hari
saja, dengan kondisi yang serba kekurangan dan memperihatinkan. Perjalanan
berikutnya, beliau teruskan menuju Bait al-Maqdis (Palestina), dan sempat
bermukim sebentar. Lalu beliau kembali lagi ke Damaskus, menyendiri dan ber-i’tikaf
di menara bagian barat dari masjid Jami’ di sana. Sebagaimana diinformasikan
oleh al-Hāfidz Ibnu ‘Asākir selanjutnya dikutip oleh Imam ad-Dzahabi, bahwa di
menara itulah beliau mengambil tempat bermukim selama di Damaskus pada
kesempatan kali ini.
Pengembaraan yang sudah menjadi kebiasaan, masih saja
beliau teruskan. Seringkali beliau menziarahi areal pemakaman para ulama besar,
mengunjungi beberapa masjid untuk beribadah, juga singgah di daerah gurun yang
tandus. Beliau benar-benar berusaha menundukkan dan memerangi hawa nafsunya,
sebagaimana telah dilakukan oleh para kekasih Allah, yakni dengan melakasanakan
berbagai aktifitas ibadah yang terasa berat bagi nafsu mereka. Sehingga beliau
akhirnya menjadi seorang wali Allah (qutb al-wujūd), pembawa keberkahan
bagi setiap makhluk, jalan perantara menuju tercapainya ridlo’ Allah, dan jalan
yang disiapkan menuju iman kepada-Nya.
Untuk yang kesekian kalinya, beliau
kembali lagi ke Bagdad. Dalam kesempatan ini, beliau membikin semacam majlis
pengajian ceramah agama (majlis al-wa’dz), dengan materi seputar kajian
ilmu hakikat (lisan ahl al-haqiqat), disamping pula mengkaji kitab Ihya’
al-‘Ulūm ad-Dien. Setelah itu, beliau pergi menuju Khurasan, dan mengajar di
Madrasah Nidzamiyyah. Dan perjalanan diteruskan ke Naisabur untuk beberapa
waktu yang cukup singkat. Intinya, hati beliau telah tertambatkan dengan
anugrah yang diberikan oleh Allah, yakni menjalani hidup sebagai seorang sufi
(asketis) sejati. Terakhir kalinya, beliau pulang kekampung halaman, yakni kota
Thus. Dengan membangun sebuah madrasah yang terletak di samping rumah, yang
beliau peruntukkan bagi para pelajar ilmu fiqih. Serta sebuah pemondokan (khōniqah)
bagi para pecinta dunia tashawwuf. Selanjutnya beliau membagi waktunya untuk
mengerjakan tugas-tugas yang harus beliau laksanakan. Meliputi; tugas khataman
al-Qur’an, waktu sarasehan bersama ulama sufi (arbāb al-qulūb), mengajar
para santri (thālib al-‘ilm), serta waktu khusus untuk menjalankan ibadah
shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Tugas-tugas ini terus beliau kerjakan
sehingga berpulang kerahmat-Allah tepat di kota kelahirannya, kota Thus
pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M).[7]
Imam al-Ghazali di kalangan Dunia Islam, adalah merupakan
seorang ulama yang multi talenta dengan kompetensi yang sangat luas lagi
mendalam di berbagai bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan
akal yang diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan
orang-orang ahli filsafat, akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari
hati sanubarinya bagaikan mata-air yang bening nan jernih. Beliau seorang
mahaguru tashawwuf yang mengeritik orang-orang tashawwuf yang mengabaikan
upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada itu, Imam Ghazali pun
mengeritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara ibadah akan tetapi
tidak meresapi arti maknanya yang lezat lantaran jiwanya tidak bersih, karena
meninggalkan tashawwuf. Dengan lain perkataan, maka Imam Ghazali merupakan
tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah (fiqih) yang
diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh
kelezatan berbakti (tashawwuf). Ketokohan Imam al-Ghazali memang mendapat
pengakuan yang cukup luas dari berbagai kalangan. Namun, di sisi yang lain
tidak sedikit orang-orang yang memusuhi beliau. Untuk sisi yang terakhir ini,
Imam Tājuddin as-Subkhi mengapresiasikan sosok Imam al-Ghazali di dalam bait
syair gubahan beliau, berikut ini syair itu:
فَالْبَدْرُ
أَحْسَنُ إِشْرَاقًا مَعَ الظُّلَمِ
|
*
|
وَإِنْ
تَكَنَّفَنِي مِنْ شَرِّهِمْ غَسَـقٌ
|
فَالدُّرُّ
دُرٌّ وَإِنْ لَمْ يُشْرَ بِالْقِيَـمِ
|
*
|
وَإِنْ
رَأَوْا بَخْسَ فَضْلِى حَقَّ قِيْمَتِهِ
|
Meskipun diriku
dikepung oleh keburukan mereka yang menyerupai kegelapan. Ketahuilah, bahwa
sinar terang bulan purnama akan nampak indah di tengah gelap-gulitanya malam.
Walaupun diriku dianggap tidak berarti, dan tidak diperlakukan dengan
selayaknya. Maka ketahuilah, yang namanya mutiara senantiasa tetap mutiara,
kendatipun tidak ditunjukkan harganya.
Kisah ini berkaitan erat dengan sosok tokoh bernama Abi
al-Hasan yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Hirzihim. Ceritanya, sesaat
setelah membaca kitab Ihya’ ia mengangan-angan kandungan maknanya lalu berkata:
“ini adalah bid’ah dan bertentangan dengan sunnah”. Dan Abi al-Hasan
sendiri adalah tokoh yang disegani di negeri Maghrib (maroko). Maka dari itu,
ia memerintahkan agar supaya seluruh naskah kitab Ihya’ yang beredar agar
diserahkan kepadanya. Seraya memohon kepada sultan yang berkuasa saat itu, agar
secepatnya menurunkan sebuah instruksi penyerahkan seluruh naskah kitab Ihya’
yang ada.
Permohonannya dikabulkan, dan sultan pun berkirim surat
instruksi keseluruh penjuru negeri, serta mengancam dengan keras bagi siapapun
yang masih menyimpan naskah kitab Ihya’. Hingga akhirnya, masyarakat
berbondong-bondong menyerahkan kitab Ihya’ yang mereka miliki. Saat itu, para
ulama fiqih turut serta berkumpul mempersoalkan peristiwa yang sedang terjadi,
tetapi pada akhirnya mereka sependapat dengan Abi al-Hasan. Selanjutnya, mereka
bersepakat untuk membakar naskah-naskah kitab Ihya’ yang sudah terkumpul, dan
prosesi pembakarannya akan dilaksanakan besok hari Jum’at. Dan pertemuan mereka
itu terjadi di hari Kamis, yakni sehari sebelum pelaksanaan prosesi pembakaran.
Pada Kamis dini hari, yakni malam Jum’at―malam hari
sebelum prosesi pembakaran kitab Ihya’―, Abi al-Hasan bermimpi. Dalam mimpi
ini, ia seakan-akan masuk ke dalam
Masjid Jami’ melalui pintu yang biasanya ia lewati. Di dalam Masjid, ia melihat
ada kilauan cahaya yang bersinar tepat di bawah salahsatu dari tiang penyangga
Masjid. Ternyata, sinar itu adalah baginda
Nabi Muhammad r ,
sahabat
Abu Bakar t dan sahabat Umar t , yang tengah duduk bersama. Sedangkan Imam Abu Hāmid
al-Ghazali juga turut bersama mereka dengan posisi berdiri sambil membawa kitab
Ihya’. Imam al-Ghazali lalu berkata: “wahai Rosulullah....! ini adalah
musuhku”. Kemudian sambil berjalan merangkak di atas kedua lutut, beliau
menghampiri baginda Nabi. Sesampainya di hadapan Nabi, beliau menyerahkan kitab
Ihya’, seraya berkata: “wahai Rosulullah....! mohon paduka berkenan untuk
melihatnya. Jikalau memang kitab tersebut adalah bid’ah dan bertentangan dengan
sunnah paduka―sebagaimana ia sangkakan―maka aku akan bertaubat kepada Allah I , dan bila
paduka menganggapnya baik, mudah-mudahan diriku mendapatkan barokah paduka.
Semoga paduka berkenan menegakkan keadilan bagiku terhadap musuhku”.
Lalu Rosulullah e mengamati setiap
halaman kitab Ihya’ hingga selesai, kemudian berkata: “demi Allah, kitab ini
bagus sekali”. Setelah itu, beliau memberikannya kepada Abu Bakar. Dan Abu Bakar
juga mengamatinya sebagaimana Rosulullah, seraya berata: “demi Dzat yang
telah mengutus paduka dengan hak, wahai Rosulullah ....! kitab ini benar-benar
bagus”. Oleh Abu Bakar, kitab itu lalu diserahkan kepada Umar. Beliau
sahabat Umar mengamatinya pula, serta berkata sebagaimana perkataan yang telah
dituturkan oleh Abu Bakar sebelumnya. Akhirnya, Nabi e memerintahkan agar
supaya baju yang dikenakan oleh Abi al-Hasan dilepas, serta memerintahkan agar
dirinya dicambuk sesuai dengan hukumannya orang yang berbuat kedustaan.
Eksekusi dilaksanakan, baju Abi al-Hasan dilepas dan dirinya pun dicambuki. Dan
setelah cambukan yang kelima, Abu Bakar memohonkan maaf untuk Abi al-Hasan,
seraya berkata kepada baginda Nabi: “wahai Rosulullah ...! apa yang
dilakukan oleh Abi al-Hasan adalah sebuah ijtihad dan pengagungan terhadap
sunnah paduka”. Pada akhirnya Imam Abu Hāmid al-Ghazali memaafkan Abi
al-Hasan.
Setelah Abi al-Hasan terbangun dari tidurnya, di pagi
hari ia menceritakan prihal mimpi semalam kepada para teman-temannya. Dan Abi
al-Hasan senantiasa merasakan nyeri dari cambukan tersebut dalam rentang waktu
kurang-lebih satu bulan. Lambat-laun rasa nyeri tersebut akhirnya hilang.
Tetapi, bekas cambukan dalam mimpinya itu masih tetap kelihatan dipunggungnya
hingga ia meninggal dunia. Dan berkat peristiwa ini, Abi al-Hasan akhirnya
berkenan mengkaji kitab Ihya’, memuliakan dan mengagungkannya dengan sepenuh
hati.
Imam Tājuddin as-Subkhi (727–771 H) menuturkan di dalam
kitab Thabaqāt as-Syāfi’iyyah al-Kubrā bahwa kisah di atas memang benar adanya,
dan diceritakan oleh para mahaguru beliau yang terpercaya. Mereka menerimanya
dari as-Syech al-‘Ārif Waliyyullah Yāqūt as-Syadziliy, beliau dari gurunya
as-Sayyid al-Kabīr Waliyyullah Ta’āla Abi al-‘Ābbas al-Mursiyyi, beliau dari
gurunya as-Syech al-Kabīr Waliyyullah Abi al-Hasan as-Syadziliy, rahmat kasih
sayang Allah semoga tercurahkan kepada mereka, amien.”
فِيْهِ
شِفَا مِنْ كُلِّ دَاءٍ أَعْضَلَ
|
*
|
طَالِعْ أَخِيْ إِحْيَا غَزَالِيِّ
تَنَلْ
|
Wahai saudaraku,
pelajarilah kitab Ihya’nya Imam al-Ghazali, niscaya akan engkau dapatkan di
dalamnya sebuah penawar bagi penyakit yang sulit diobati.[9]
df
[3]. Versi lain mengatakan bahwa julukan yang diberikan oleh Imam al-Haramain
adalah “bahrun mughdiq” (lautan yang melimpah-ruah airnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar