Fenomena Kawin Kontrak,
Perzinahan Berkedok Institusi Pernikahan Dalam
Perspektif Yurisprudensi Islam
PPPPPPPPPPPPPPPPPPP
* Abdul Kholiq ibnu Thulabi el-Qudsiy
E-mail : abdulkholiq_kudus@yahoo.co.id
[ Santri Biasa di Pondok Pesantren Ma'hadul 'Ulum Asy-Syar'iyyah, PP. MUS
Sarang Rembang ]
I. PROLOG
K
|
aum modernis berpendapat bahwa mut'ah
diizinkan (baca : dilegalkan) terutama bagi mereka yang jauh dari rumah atau
yang menuntut ilmu di negara asing. Mereka mengira, bahwa dengan cara ini mereka
tidak melanggar prinsip-prinsip hukum Islam. Dengan pertimbangan mereka dalam
kondisi membutuhkan yang bersifat mendesak (darurat).
Alasan semacam ini ditanggapi dengan
serius oleh Dr. Muhammad Muslehuddin, kata beliau[1]:
Yang namanya kebutuhan mendesak tidak lantas memberikan perizinan yang bebas
bagi perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dengan justifikasi bahwasanya dari segi
tingkatan dan waktunya perizinan bebas tersebut mempunyai batas-batas tertentu.
Dan ini terbukti dari ayat al-Quran :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة: 173)
"Sesungguhnya
Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai,darah,daging babi,dan(daging) hewan yang
di sembelih dengan (menyebut nama)selain Allâh.tetapi barang siapa terpaksa (memakannya)bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula)melampui batas,maka
tidak ada dosa baginya
.sugguh, Allâh maha pengampun, maha penyayang." (QS. Al-Baqarah : 173)
Selanjutnya
beliau mendetailkan lagi dalam memaparkan argumentasinya,lebih jelasnya sebagai
berikut : Darurat harus diingat adalah kebutuhan yang harus dipenuhi yang jika
tidak terlaksana akan menghasilkan akibat-akibat yang serius seperti kematian.[2] Seorang
muslim yang kelaparan bisa memakan barang-barang yang dilarang untuk
menyelamatkan hidupnya. Tetapi nafsu seksual bukanlah hal yang demikian karena
dapat dikontrol. Dan Nabi B telah memberikan obat untuk
mengatasinya, beliau bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه مسلم)
'Wahai para pemuda
kawinlah kamu jikalau telah mampu. Karena nikah adalah paling mujarrab dalam
menjaga pandanganmu (dihadapan kaum wanita) dan dalam menjaga kesucianmu. Dan yang
tidak bisa melaksanakannya (tidak mampu kawin) hendaklah berpuasa karena puasa
itu mengekang nafsu (HR. Muslim)
Dr. Muhammad Baltaji dalam magnum
opus-nya dari sebuah tesis berjudul Manhaj 'Umar bin al-Khathtab fi at-Tasyri'
yang beliau ajukan pada almamater al-Qahirah untuk mendapatkan gelar
akademis Magister dalam bidang as-Syari'ah al-Islamiyyah. Beliau memberikan
sebuah tanggapan yang lebih kritis analitis dari pada tanggapan yang
disampaikan oleh Dr. Muhammad Muslehuddin dalam mencounter pendapat
orang yang membolehkan Mut'ah dengan alasan darurat .
Isi daripada tanggapan beliau adalah,
bahwasannya kajian tentang adanya 'illat darurat yang membolehkan nikah Mut'ah
tidak bisa dibenarkan alias ditolak. Tidak dijumpai sama sekali adanya sebuah illat
darurat. Bagaimana bisa dikatakan darurat padahal toh ia mendapati seorang
wanita, mampu memberikan sesuatu yang bisa dijadikan mahar. Lantas mengapa
tidak melaksanakan nikah syar'iy saja ? Sesungguhnya yang dinamakan darurat
adalah orang yang tidak mendapatkan sesuatu sama sekali. Padahal dalam permasalahan
ini ada seorang wanita,harta, Lantas mengapa ia malah melakukan sebuah ikatan yang terlarang (baca:mut'ah)?, sedangkan institusi pernikahan
syar'iy dengan syarat-syaratnya beserta konsekuensinya dapat diaplikasikan ? [3][
]
II. DEFINISI MUT'AH
Sebagai langkah awal dalam mengurai,
memahami topik kajian tulisan ini adalah suatu keniscayaan untuk memahami makna
substanstif daripada mut'ah itu sendiri. Sebagai pijakan pembahasan berikutnya
supaya bisa diperoleh pemahamann yang dinamis, inhern serta sebuah
kesinambungan kajian.
Asal kata mut'ah dalam bahasa
arab adalah derivasi dari akar kata mata'a, yang mengarah pada makna bersenang-senang
dan memanfaatkan. Kamus Al Munjid menerangkan arti kata mata' sebagai
berikut : al Mata', bentuk pluralnya adalah al Amti'ah, sedang
bentuk jam'ul jama'nya adalah Amati' dan Amatii'. Seluruh yang
dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. Tamatta'a atau
Istamta'a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama.
Disamping
itu sisi etimologinya juga bermakna : pengambilan manfaat, keuntungan (intifa').
Sejalan dengan arti ini adalah praktik nikah mut'ah,
mut'ah tholaq dan mut'ah haji. Dikarenakan di dalam praktik-praktik tersebut
terdapat unsur pangambilan sebuah kemanfaatan ataupun keuntungan.[4]
Adapun mut'ah kalau dipahami dari sudut
pandang terminologi syara', mut'ah memiliki arti : Sebuah ikatan pernikahan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berjangka waktu tertentu
(temporer), baik waktu tersebut diketahui batasanya sebagaimana dalam contoh : "aku
nikahkan engkau dengan anak perempuanku selama satu bulan." Atau waktu
tersebut tidak diketahui secara pasti seperti contoh : "aku nikahkan
engkau dengan anak perempuanku sampai Zaid –yang sedang bepergian-
kembali pulang." Setelah tenggang waktunya habis, dengan sendirinya
ikatan pernikahan tersebut menjadi batal[5]
(tanpa adanya sebuah thalaq).
Lain halnya Imam ar-Rozi, beliau dalam
karya monumentalnya (master piece) Tafsir al-Kabir mendefinisikan mut'ah
sebagai, sebuah ikatan kontrak sewa antara seorang laki-laki dan perempuan
dengan ongkos (upah) yang disepakati sampai batas waktu yang telah ditentukan,
lantas si laki-laki menyetubuhi si perempuan.[6]
Di dalam kitab Fathul Muin dan
diperjelas oleh Hasyiah I'anah ath-Thalibin [7],
mut'ah didefinisikan sebagai pernikahan temporer sebagaimana pendapat daripada
mayoritas ulama. Dan didefinisikan pula sebagai pernikahan yang tidak dihadiri
oleh wali dan saksi-saksi. Dr. Muhammad Baltaji dalam tesisnya mengutip
definisi mut'ah sebagaimana yang dipaparkan al-Jassash di dalam Ahkam Al-Quran
: sebuah ikatan kontrak (temporer) yang dibatasi dengan waktu yang ditentukan,
yang mana ikatan tersebut berakhir dengan tanpa menyisakan sebuah
konsekuensi-konsekuensi hukum yang terdapat dalam nikah syar'iy, sebagaimana
'iddah, warisan dan nasab atau keturunan.[8]
Dan rasanya belumlah sempurna dari
definisi-definisi tersebut di atas sebelum kami sertakan sebuah pengertian yang
agak "kontroversial" yang termuat dalam ensiklopedi fiqih madzhab
empat dengan judul al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah karya Syaikh Abdurrahman
al-Jaziri. Di dalam kitab tersebut beliau menjelaskakan makna substansif
daripada mut'ah. Mut'ah menurut beliau adalah sebuah ikatan pernikahan kontrak (dibatasi
waktu). Sebagaimana kesepakatan dua sejoli laki-laki dan perempuan " nikahkanlah
dirimu untukku selama sebulan, aku menikahimu selama satu tahun," atau
contoh-contoh yang semisal. Tinjauan hukumnya sama, baik kesepakatan tersebut diimplementasikan
di depan saksi-saksi dan ditangani langsung oleh wali maupun tidak seperti itu.[9]
Dari uraian-uraian yang kami tampilkan di
atas kesemuanya dapat kami sinergikan (baca : rangkum) dalam sebuah titik muara
yang sama. Bahwasanya mut'ah dilaksanakan dalam rangka memenuhi syahwat
biologis ataupun gejolak libido seseorang. Dikarenakan di dalamnya tidak
terdapat sebuah ikatan rumah tangga yang berkelanjutan,tidak adanya hukum
waris, iddah dan keturunan. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwasanya
nikah mut'ah adalah ikatan yang mirip perzinahan (atau bisa jadi perzinahan itu
sendiri) yang belabel institusi
pernikahan. Konklusi ini diperkuat dengan sebuah keterangan dari kitab Bujairami
ala al-Khatib. Di dalamnya dikisahkan daripada penyesalan yang
mendalam dari seorang Qadli Yahya bin Aksyam atas propaganda khalifah al-Makmun
yang memperbolehkan nikah mut'ah. Selanjutnya dikisahkan pula adanya dialog
diantara keduanya yang pada akhirnya beliau, al-Ma'mun menyadari kehilafanya
dan memerintahkan supaya disebarluaskan (sosialisasi) keharaman mut'ah.[10]
Dengan demikian dapat kami simpulkan
bahwasanya mut'ah adalah :
- Pernikahan kontrak tanpa adanya wali dan saksi-saksi. (Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah)
- Pernikahan kontrak dengan adanya wali dan saksi-saksi. (Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah. I'anah ath-Thalibin, manhaj 'Umar bin Al- Khathtab fi at-Tasyri')
- Pernikahan tanpa wali dan saksi-saksi (I'anah ath-Thalibin)
- Kesepakatan kontrak sewa (ijaroh) dengan imbalan tertentu. (Tafsir al-Kabir). [ ]
III. SEJARAH MUT'AH
Latar belakang sejarah yang paling pokok,
fundamental, pendek katanya setting back daripada disyariatkanya mut'ah
adalah bahwasanya umat Islam dalam periode awal mengalami kondisi yang cukup
memprihatinkan disebabkan intensitas(baca:sering) daripada peperangan malawan
musuh.
Konteks semacam ini menuntut sebuah
konsekuensi logis ketidak adanya kemampuan untuk menanggung beban tanggung
jawab sebagai seorang suami dan pengaturan menejemen rumah tangga secara
maksimal. Terlebih kondisi material, financial mereka cukuplah memprihatinkan,
jauh dari standar kelayakan pada umumnya.[11]
Jadi, tidaklah masuk akal (irrasional)
bilamana mereka menyibukan diri dengan urusan menejemen rumah tangga sedini
mungkin. Terlebih lagi dari sisi yang lain mereka barusan saja mengalami masa
transisi dari adat kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam perilaku mereka
sebelum Islam. Yakni syahwat wanita yang lepas kontrol. Bahkan diantara mereka
ada yang mengumpulkan banyak wanita, menghampiri yang ia senangi sembari
melepaskan nafsu syahwatnya.
Oleh karena itu, apabila mereka dalam kondisi
berperang lantas seperti apa nasib mereka ?[12]
Perlu diketahui bahwa tabiat manusia memiliki batasan, begitu pula kondisi
materi juga sama. Sudah sepatutnyalah konteks semacam ini (saat itu-red)
berkonsekuensi akan adanya solusi tasyri' yang bersifat temporer yang bisa
menghilangkan kesusahan dan bisa mengatasi tanggung jawab mereka sebagai
pasangan suami istri.
Tasyri' yang bersifat solutif tersebut
adalah nikah mut'ah (kawin kontrak, nikah temporer) dengan demikian mut'ah merupakan
ketentuan atau hukum yang bersifat kondisional yang berjangka waktu disebabkan
adanya darurat perang. Ketentuan semacam ini karena dilatar belakangi daripada
para tentara yang masih berstatus lajang. Mereka tidak mampu melaksanakan
ikatan pernikahan yang berkesinambungan sebagaimana ketidakmampuan mereka
mengekang tabi'at basyariyah (libido).
Dengan demikian tidaklah rasional apabila
mereka dituntut untuk melemahkan libidonya dengn berpuasa. Kondisi semacam
inilah yang melatarbelakangi dicetuskannya sebuah ketentuan hukum (tasryi')
dari pada mut'ah
Kronologis diatas direkam dengan sangat
baik dalam sebuah riwayatnya Imam Muslim dari Sabroh beliau berkata :
قَالَ أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ
حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا (رواه
مسلم)
"Rosulullah
Shollalâhu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk melakukan mut'ah pada
waktu Fathu Makkah,saat kami memasuki makkah kemudian sebelum kami keluar
darinya beliau melarang kami."
(HR.Muslim)
Hadis ini memberikan suatu
gambaran yang jelas bahwasannya mut'ah dilatarbelakangi daripada konsekuensi
darurat perang.[13] [ ]
IV. HUKUM MUTAH
Allâh U
berfirman dalam surat
an-Nisaa' ayat 24 :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
"
.........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An-Nisaa : 24)
Keumuman daripada ayat
diatas memiliki peran dalam melegitimasi pendapat yang membolehkan mut'ah. Dan tiada
keraguan sedikitpun akan kebolehan tersebut dalam periode awal Islam. Akan
tetapi kebolehan tadi setelah itu dinaskh.[14]
Imam Syafi'i serta
sekelompok Ulama' berpendapat bahwasannya mut'ah memang di bolehkan, Namun
setelah itu kebolehan tersebut di naskh dalam dua periode. Pendapat lain
menyatakan bahwasannya periode penghapusan tadi lebih dari dua kali.Dan
pendapat yang lain lagi menyatakan pula bahwasannya periode dibolehkannya
mut'ah itu cuma sekali lantas dinaskh. Setelah itu tidaklah di perbolehkan sama
sekali.
Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwasannya Ibnu Abbas
serta sejumlah sahabat,membolehkan mut'ah dikarenakan faktor darurat. Dan
pendapat semacam ini diriwayatkan pula dari Imam Ahmad. Beliau Imam Ibnu
Abbas,Ubay bin Kaab,Said bin jubair,serta As Sudy meriwayatkan sebuah Qira'ah
yang berbunyi [15] :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
"
.........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai
batas waktu tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu
kewajiban (QS. An-Nisa, 24)
Mayoritas ulama' menyatakan
keharaman daripada mut'ah. Ia termasuk kategori daripada pernikahan yang fasid
dan keabsahannya telah dihapus (naskh) secara mutlak baik sebelum adanya
persetubuhan maupun setelahnya. Pendapat ini adalah pendapat imam empat.
Sekte Imamiyyah dari
golongan Syi'ah berpendapat sebaliknya. Mereka menyatakan bahwasannya mut'ah
dihalalkan sampai kiamat. Bahkan diantara mereka ada yang beranggapan
bahwasannya mut'ah adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allâh U.[16]
Akan tetapi argumentasi
yang mereka ajukan tidaklah mu'tabar (valid). Dengan kata lain tidak relevan.
Diantara ulama yang menolaknya adalah Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim,
serta Imam Ibnu Hajar dalam Fatawi al-Kubro al-Fiqhiyyah.
Imam an-Nawawi berkata[17]: Konsensus Ulama'
mengukuhkan keharaman mut'ah. Tiada yang menentang konsensus ini selain
kelompok ahli bid'ah (syi'ah). Mereka berpegangan atas hadis-hadis yang
bertalian erat dengan mut'ah. Dan telah kami jelaskan bahwasannya hadis-hadis
adalah Mansukh dengan demikian tiada dalil yang bagi mereka.
Mereka berpegangan pula
dengan ayat berikut :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
Serta qiro'ahnya Imam Ibnu
Mas'ud :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
".........Maka
karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai batas waktu
tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An Nisaa : 24)
Perlu diketahui bahwasannya
qira'ah Ibnu mas'ud tersebuat adalah syadz.[18]Dengan
demikian qira'ah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah akan statusnya sebagai
bagian dari al Qur'an ataupun sebagai sebuah Hadits. Oleh karenanya ia tidak
bisa diaplikasikan, diterapkan maupun di amalkan. Demikianlah argumentasi dari
beliau Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim.[19]
[ ]
Dalil keharaman mut'ah
Dalil yang dipakai oleh mayoritas
(jumhur) ulama dalam mengharamkan mut'ah itu terdiri dari empat sumber :
1. al-Quran
2. as-Sunnah
3. Aspek rasionalitas
4. Ijma' (konsensus ulama)
Adapun spesifikasinya
adalah sebagai berikut :
Pertama Al-Quran
Firman Allâh U,
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (المؤمنون: 5-6)
"Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa." (QS. Al-Mukminun, 5-6)
Penerapan dari dalil ada ayat di atas adalah bahwasanya persetubuhan
itu dihalalkan hanya pada dua orang, istri dan budak wanita yang dimilliki.
Wanita yang dalam ikatan mut'ah tidaklah berstatus sebagai budak maupun istri.
Untuk faktor yang pertama amatlah jelas. Karena ia benar-benar wanita yang
merdeka. Adapun faktor yang kedua, kalau memang ia berstatus istri tentunya
memiliki beberapa ketentuan-ketentuan di bawah ini.
a.
Adanya hukum waris di antara mereka berdua
sesuai dengan firman Allâh U,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ (النساء : 12)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak." (an Nisaa' : 12)
b. Adanya keturunan
(nasab), sebagaimana sabda Nabi Muhammad B,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ (رواه البخاري)
"Keturunan adalah bagi ikatan
pernikahan, dan bagi orang yang berzina suatu kerugian". (HR.Bukhori)
c.
Adanya iddah
pada si wanita, sesuai dengan firman Allâh U
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا (البقرة : 234)
"orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. "
(al Baqarah : 234)
Tiga ketentuan di atas
tidaklah ada dalam praktik nikah mut'ah.[20]
[ ]
Kedua as-Sunnah
Dalil yang bisa diajukan
dari as-Sunnah diantaranya adalah :
- Sabda Nabi Muhammad B yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ (رواه مسلم)
"Dari
Ali bin abi Thalib bahwasannya Rosulillah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam, melarang mut'ah terhadap para wanita pada waktu perang khaibar,dan
beliau juga melarang memakan daging khimar jianak" (HR. Muslim)
Penerapan dalil hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi B telah melarang mut'ah. Dan larangan itu menunjukkan atas
ketidak absahan daripada perkara yang dilarang. Dengan demikiian nikah mut'ah
hukumnya batal.Dan hadits di atas menunjukkan adanya penghapusan daripada
kebolehan mut'ah.
- Hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ
وَقَالَ أَلَا إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ (رواه مسلم)
"Telah
bercerita pada kami ar Rabi' bin Sabroh dari bapaknya bahwasannya Rosulillah Shollallâhu
'Alaihi wa Sallam, melarang mut'ah, seraya
berkata : ketahuilah bahwasannya mut'ah diharamkan mulai hari ini(perang
khaibar-red) sampai hari kimat, barang siapa telah memberikan sesuatu(mahar
mut'ah) maka janganlah ia memintanya kembali " (HR. Muslim)
Hadits di atas dengan jelas sekali menyebutkan keharaman
daripada nikah mut'ah. Bahkan disinggung pula adanya keharaman tersebut sampai
hari kiamat. Dengan demikian hadits di atas menghapus (naskh) daripada mut'ah
dan secara otomatis mut'ah termasuk pernikahan yang batil. [ ]
Ketiga : Aspek rasionalitas
Telah
dimaklumi bahwasanya tujuan disyariatkanya pernikahan adalah bukan semata
(ansich) sebagai sarana pemuas syahwat biologis. Akan tetapi pernikahan
disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Malampiaskan syahwat biologis dengan
cara mut'ah, tidaklah representatif, atas tujuan-tujuan suci institusi
pernikahan. Dengan demikian konsekuensinya adalah mut'ah tidak termasuk dari
syariat Islam. [ ]
Keempat : Ijma'
Dari
uraian-uraian di atas agaknya sudah mencukupi untuk mengambil sebuah konklusi
atas keharaman mut'ah, terlebih kalau kita mengamati haditsnya Imam Muslim yang
diriwayatkan dari sahabat Sabroh, di mana di dalamnya disebutkan secara
spesifik keharaman mut'ah sampai kiamat. [21][ ]
V. SHUBHAT -
SHUBHAT
Akan
tetapi masih saja ada beberapa kejanggalan (subhat) yang mengusik hati atas
konklusi tadi, yang memerlukan sebuah tanggapan serius. Kejanggalan yang kami
maksudkan adalah :
Shubhat Pertama :
Riwayat
yang bersumber dari sahabat Jabir bin Abdullah :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ تَمَتَّعْنَا عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتْعَتَيْنِ الْحَجَّ
وَالنِّسَاءَ وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا مُتْعَةَ الْحَجِّ وَمُتْعَةَ
النِّسَاءِ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ نَهَانَا عَنْهُمَا فَانْتَهَيْنَا (رواه مسلم وأحمد
والبيهقي)
"Dari jabir bin Abdillah beliau berkata : kami pada masa Rosulillah ShollAllâhu
'Alaihi wa Sallam, pernah melakukan dua
macam mut'ah,mut'ah haji dan mut'ah wanita. Dan Hammad juga berkata: mut'ah
haji dan mut'ah wanita.Maka sewaktu pemerintahan Umar, beliau melarang keduanya
dan kami mematuhinya " (HR. Muslim, Ahmad, Baihaqi)
Agaknya
riwayat ini bernilai kontradiktif, tidak sinkron dengan hadits-hadits Rasul
yang melarang mut'ah secara berulang-ulang. Sungguh terlampau jauh sekali - kata
Imam asy-Syaukani - sekelompok sahabat tidak mengerti, tidak berkompetensi akan
sebuah larangan yang bersifat kesinambungan (ta'bid) dan disampaikan sendiri
oleh Rasul di hadapan para sahabat. Kemudian sekelompok tadi bersikukuh
(konservatif) akan kehalalan mut'ah sewaktu Rasul masih hidup, setelah beliau meninggal,
sampai sahabat Umar melarang mereka.[22] [ ]
Tanggapan
dan jawaban Shubhat Pertama
Hadits
sahabat Jabir di atas ditanggapi, bahwasanya sekelompok sahabat tersebut tetap
saja konservatif akan mut'ah pada masa Rasûlullah B. Kemudian hadis yang
menghapus kehalalan Mut'ah belum sampai pada mereka. Sampai sahabat Umar
melarangnya. Dan beliau–Jabir- meyakini akan aktifitas sekelompok sahabat itu,
dikarenakan tidak ada yang memberikan konfirmasi di mansukhnya mut'ah pada
beliau.
Tanggapan
semacam ini juga diajukan kepada sahabat yang memiliki kasus yang serupa dengan
sahabat Jabir. Oleh karena itu sahabat Umar punya otoritas untuk melarang
praktik mut'ah. Jawaban semacam ini, meskipun agak dipaksakan akan tetapi
memang sebuah konsekuensi tersendiri dari tekstual haditsnya sahabat Shabroh
yang menspesifikasi keharaman mut'ah sampai kiamat. Walhasil kita wajib tunduk
dan patuh terhadap perintah Rasûlullah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam dan
riwayat shahih telah menyatakan keharaman mut'ah sampai kiamat.
Pertentangan yang dilakukan
sekelompok sahabat tidaklah memiliki otoritas untuk mendekonstruksikan
kehujjahan daripada hadits shahih tersebut dan sama sekali tidak ada alasan
bagi kita untuk tidak mengaplikasikanya. Bagaimana tidak demikian ? padahal toh
mayoritas sahabat telah menyatakan keharaman mut'ah, mensosialisasikanya, serta
meriwayatkanya untuk kita semua.[23] Sampai
Ibnu Umar mengkonfirmasikan – sebagaimana riwayat yang telah dikeluarkan oleh
Ibnu Majah dari beliau Ibnu Umar dengan sanad yang shahih - "sesungguhnya
Rasululloh Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah memberikan izin bagi kita untuk
melakksanakan mut'ah selama tiga hari, kemudian beiau mengharamkanya. Demi Allâh
tiada aku mengetahui seseorang melakukan mut'ah padahal statusnya adalah
muhshan (sudah nikah) kecuali aku merajamnya dengan batu."
Abu
Hurairah meriwayatkan dari Nabi B :"Telah meruntuhkan
mut'ah, adanya thalaq, iddah dan warisan." (HR. Daruquthni) [ ]
Shubhat Kedua
Riwayat
yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas. Riwayat dari beliau ini serba
mengandung sisi keganjilan serta dilema. Riwayat tersebut adalah :
- Beliau membolehkan mut'ah dengan menta'wil ayat :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
".........Maka karena kenikmatan yang
telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai
suatu kewajiban (QS. An Nisaa
: 24)
Dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwasanya beliau
membaca ayat tersebut dengan bacaan sebagai berikut :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
".........Maka
karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai batas waktu
tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An Nisaa : 24)
- Riwayat yang menyatakan bahwasanya beliau memposisikan mut'ah sebagaimana bangkai, daging babi dan darah. Yang artinya mut'ah tidak diperbolehkan kecuali bagi orang yang benar-benar membutuhkanya (mudzthar). Dan diriwayatkan pula bahwasanya beliau berkata : "Tiadalah mut'ah melainkan sebuah rahmat dari Allâh SWT. Mut'ah merupakan rahmat Allâh bagi umat Muhammad. Andaikan saja Umar tidak melarangnya, tiada orang terdesak melakukan perzinahan melainkan orang yang celaka." [24]
- Riwayat yang mengkonfirmasikan bahwasanya beliau (Ibnu Abbas) menarik kembali fatwa yang membolehkan mut'ah beralih kefatwa haram. Ibnu al-Arabi berkomentar, beliau (Ibnu Abbas) berfatwa dibolehkanya mut'ah, kemudian dinyatakan bahwasanya ia menarik kembali fatwa tersebut. Dengan demikian terbentuklah sebuah ijma' ulama (konsensus) atas keharaman mut'ah. Jadi apabila ada orang melakukan mut'ah, maka ia terkena hukuman rajam menurut mandzhab yang masyhur.[25] Al-Jashshash berkata dalam al-Ahkam al-Quran: "Aku tidak mengetahui seorang sahabat yang diriwayatkan darinya kebolehan mut'ah selain Ibnu Abbas. Beliau telah menarik kembali fatwa tersebut sewaktu konfirmasi keharaman mut'ah telah beliau terima dengan tegas lewat hadits-hadits mutawatir dari para sahabat." [26]
Tanggapan
dan jawaban shubhat kedua
1.
Untuk menanggapi riwayat yang pertama, kami mengajukan
dua pendekatan :
- Pendekatan konstruktif
Qira'ah Ibnu Abbas tersebut yang ada penambahan إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي kalau
memang otentitasnya benar-benar valid, itupun hanya menyatakan tentang
disyariatkanya mut'ah. Padahal hadits-hadits Nabi B telah dengan jelas
menyatakan penghapusanya. Terlebih haditsnya sahabat Shabroh yang
menspesifikasi keharaman mut'ah sampai kiamat. Imam ar-Rozi berkata :
"......jawaban ini sekaligus juga menjawabi pendapat yang berpegangan pada
qira'ahnya Ubayy dan Ibnu Abbas. Sebab qira'ah tersebut kalau memang benar
valid itupun hanya menunjukkan keberadaan adanya mut'ah dahulunya memang
disyariatkan. Dan kami tidaklah menentang realitas tersebut, karena menurut
pendapat kami realita itu telah di naskh.[27]
- Pendekatan destruktif
Qira'ah tersebut sangatlah kontradiktif dengan kandungan
mushafnya umat Islam. Dan tiada seorangpun yang memiliki otoritas untuk menambahkan
sesuatu dalam kitab Allâh U tanpa dilegitimasi hadits
yang mutawatir. Kesimpulan ini dinyatakan dengan baik oleh Imam ath-Thobari
dalam Tafsir Jami' al-Bayan : "......adapun qira'ahnya Ubayy, Ibnu
Abbas dan Ibnu Jabir :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
adalah qira'ah yang kontradiktif dengan isi kandungan
mushafnya umat Islam. Dan tidaklah diperkenankan bagi seorangpun untuk menambahkan
dalam kitab Allâh U sesuatu yang tidak
didukung oleh hadits mutawatir.[28]
Di samping itu Imam asy-Syaukani juga mengkritisi
eksisitensi daripada qira'ahnya Ibnu Abbas. Kata beliau : "......adapun qira'ahnya
Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Sa'id bin Jabir :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً £ (النساء : 24)
Bukanlah
termasuk al-Quran bagi yang mensyaratkan kemutawatiran. Dan bukan pula Sunnah, karena
riwayat yang ada menyatakan keberadaan qira'ah tersebut sebagai al-Quran.
Dengan demikian qira'ahnya Ibnu Abbas termasuk kategori tafsir bagi ayat
tersebut. Maka dari itu ia bukanlah sebuah hujjah.[29]
2. Riwayat kedua di atas dapat kita pahami,
bahwasanya riwayat tersebut dilatar belakangi atas penggambaran Rasûlullah B yang membolehkan mut'ah karena suatu alasan (illat) yaitu
darurat dan kebutuhan yang mendesak. Kemudian beliau melarangnya karena umat
Islam telah kembali dari medan
pertempuran. Dan darurat (perang-red) yang membolehkan mut'ah telah berakhir. Beliau,
Ibnu Abbas berpendapat bahwasanya hukum itu berputar seiring dengan 'illat,
baik adanya illat maupun sebaliknya. Jadi sewaktu dijumpai illat dibolehkanya
mut'ah maka dijumpai pula adanya hukum bolehnya mut'ah. Berangkat dari sinilah Ibnu
Abbas membolehkan mut'ah ketika dalam kondisi darurat.[30]
Akan tetapi kajian tentang illat dalam permasalahan ini ditolak. Dengan
alasan darurat yang membolehkan hal yang diharamkan tidaklah ditemukan dalam
mut'ah. Dan riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas adalah pernyataan yang
kontradiktif dan sulit diterima (mustahil). Sudah sepatutnya riwayat tersebut
sebuah kesalah pahaman dari para perawinya. Dikarenakan ilmu agama beliau
sangatlah dalam, sulit diterima bilamana permasalahan tersebut tidak jelas bagi
beliau.
Dan bagaimana bisa dikatakan darurat bagi orang yang mendapati seorang
wanita, mampu memberi mahar baginya ? Lantas mengapa ia tidak menikahinya
secara syar'iy saja ? Sebenarnya orang yang terdesak adalah orang yang sama
sekali tidak mendapatkan sesuatu pun. Akan tetapi dalam permasalahan ini ia
menemukan seorang wanita,dan harta. Lantas hajat apa yang mendorongnya untuk
mengadakan suatu ikatan yang terlarang terhadap wanita tadi ? Padahal nikah
syar'iy,syarat-syaratnya,serta konsekuensinya bisa dilaksanakan ?[31]
Abdurrahman al-Bassam berkata : "Dispensasi mut'ah berlaku dalam
tempo yang singkat. Karena adanya sebuah alasan darurat. Setelah itu mut'ah
diharamkan untuk selamanya. Dispensasi yang bersifat temporer ini menimbulkan
sebuah shubhat bagi beberapa kalangan (kelompok kecil). Mereka juga melaksanakan
dispensasi tersebut disaat adanya alasan darurat. Kemudian mereka manarik
kembali pendapat semacam ini. Dan Ibnu Abbas termasuk di dalamnya, beliau benar-benar
telah menarik kembali pendapatnya dan beralih mengharamkan mut'ah. Dengan
demikian terbentuklah ijma' umat Islam atas keharaman mut'ah untuk selamanya,
secara mutlak." [32]
Adapun riwayat dari Ibnu Abbas yang berkaitan dengan sahabat Umar di
atas, juga sulit untuk bisa diterima. Bagaimana tidak demikian ? karena
kehalalan yang telah ditetapkan oleh nabi B akan selamanya halal sampai kiamat, demikian pula keharaman yang telah
beliau tetapkan juga berlaku sampai kiamat. Barang siapa merubah ketentuan ini,
maka fatal sekali akibatnya yakni sebuah kekafiran. Meskipun orang tersebut
sekapasitas sahabat Umar. Beliau tidak memiliki otoritas untuk merubah
ketentuan tersebut. Jadi larangan mut'ah yang beliau sosialisasikan bukanlah
sebuah produk ijtihad beliau sendiri. Akan tetapi sebuah aplikasi secara penuh
atas teks-teks hadits yang me-nasakh kebolehan mut'ah.[33]
3. Riwayat yang ketiga dari Ibnu Abbas menyatakan
bahwa beliau menarik kembali fatwanya, agaknya realitas ini tidaklah begitu
mengisykalkan. Karena dengan demikian beliau sejalan dengan larangan Rasûlullah
B dan sahabat Umar. Dan
pendapat beliau yang awal, yang menyatakan halalnya mut'ah ditafsiri sebagai
bentuk ketidak tahuan beliau (baca : belum sampainya) akan konfirmasi yang
menyatakan larangan Rosul secara tegas tentang mut'ah. Atau bahwasanya Ibnu
Abbas menta'wil ayat 24 surat
an-Nisa, disertai pengertian beliau akan adanya larangan mut'ah dengan
penta'wilan akan eksisitensi sebuah illat sebagaimana keterangan yang sudah
lewat. Kemudian beliau menarik pendapatnya setelah yakin bahwasanya ta'wilan
tersebut tidaklah valid (fasid).[34]
Adalah suatu tindakan kesewenang-wenangan (ta'assuf) adanya
usaha yang menafikan dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau pernah berfatwa
dibolehkanya mut'ah. Dan jelas sekali realita daripada fatwa tersebut. Akan
tetapi bisa jadi pendapat beliau yang terakhir adalah mencabut fatwa tersebut
beralih pada keharaman mut'ah. Sebagaimana pendapatnya sahabat Umar yang mengikuti
larangan Rasûlullah Shollalâhu
'alaihi wa sallam. Dan sejalan denga keharaman
yang telah disepakati oleh mayoritas ulama.[35]
[ ]
V. KESIMPULAN – KESIMPULAN
1.
Mayoritas
Ulama' sepakat untuk mengharamkan mut'ah berdasarkan pada hadits-hadits Nabi B yang menegaskan hal
itu. Di antaranya adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Sabroh Al Juhani.
Walaupun demikian, Mayoritas Ulama' tidak pernah mengingkari bahwa mut'ah
pernah diperbolehkan sebelum diharamkan. Riwayat pengharaman itu juga menjadi
dasar bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum akhirnya mansukh dan menjadi
haram sampai hari kiamat.
2.
Kalau kita
cermati hadis-hadis yang memperbolehkan mut'ah pada awal sejarahnya, kita
dapati bahwa pelegalan mut'ah itu tidak dalam keadaan ketika seseorang sedang
menetap di suatu daerah atau saat tinggal di rumah. Mut'ah di halalkan hanya
ketika sedang menjalani misi ekspedisi perang.
3.
Syiah Imamiyah
berpendapat bahwa mut'ah adalah halal dan dianjurkan berdasarkan ayat Al Qur'an,
bahkan sebagian dari mereka ada yang mengatakan mut'ah adalah sarana
mendekatkan diri kepada Allâh U .
4.
Ayat yang
dijadikan dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan legalitas
mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu
mengenai masalah pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar legalitas
mut'ah.
5.
Al Qur'an
mengulas masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal yang sangat
terperinci, namun tidak mengulas masalah mut'ah kecuali dalam sebuah potongan
ayat. Jika memang mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan,
tentu tidak akan dibahas dalam sebuah potongan ayat. Sementara masalah lainnya
yang terkait dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.
6.
Terdapat
perbedaan mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam dengan
mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa mut'ah bukanlah
sebuah pernikahan tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan in
diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa wanita
yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Sementara kita ketahui bahwa
pelacuran adalah kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan layaknya
suami istri dengan imbalan yang diberikan pada wanita selama jangka waktu
tertentu, yang umumnya adalah dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya
dengan mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali hubungan suami
istri.
7.
Mut'ah
merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang yang dapat disewa.
Sementara Islam mengangkat derajat wanita dan menjaganya dari segala bentuk
pelecehan dan penistaan. Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian
dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam gandum atau beras.
8.
Sebagaimana
pelacuran, mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah dengan pelacuran.
Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya tatanan sosial masyarakat dan
tersebarnya penyakit kelamin.
9.
Pendapat
yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang menyatakan bahwa
praktek mut'ah adalah haram sampai kiamat. Pendapat ini juga sesuai dengan
fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan masyarakat umum. [ ]
VI. EPILOG
Sesungguhnya
tujuan yang paling fundamental dari institusi pernikahan dalam perspektif
syara' adalah menjaga eksistensi populasi anak cucu Adam u di muka bumi ini, sebagai seorang khalifah yang bertugas memakmurkan
jagat raya dengan segala isinya.
Disamping
itu, tujuan daripada ikatan pernikahan yang tak kalah fundamentalnya adalah
menciptakan suasana kondusif dalam batin seorang (baca : ketenangan,
ketentraman hati), memiliki keturunan yang baik, mendidik dan merawat anak.
Kesemuanya ini tidaklah bisa
dicapai
kecuali dengan terbentuknya sebuah ikatan, jalinan rumah tangga pasangan suami
istri yang berkesinambungan, bukan malah sebaliknya (temporer).[36]
Dan
sendainya saja pintu pernikahan kontrak, dibuka selebar-lebarnya, dengan kata
lain disahkan atau dilegalkan, niscaya orang-orang akan ramai-ramai memanfaatkanya,
mengaplikasikanya dalam realita kehidupan nyata, sebagai pemenuhan naluri
syahwat mereka. Dikarenakan ringanya beban tanggungan serta ongkos yang murah.
Dengan demikian, musnah sudah, sia-sia pula daripada tujuan suci institusi
pernikahan, yakni menjaga kelangsungan eksistensi populasi manusia sebagai
khalifah Allâh U di muka bumi, yang bertugas untuk memakmurkan alam semesta ini.
Kiranya demikian tulisan yang bisa kami suguhkan kepada para pembaca yang
budiman. Semoga ada manfaatnya, dan mohon maaf atas segala kekurangan. [ والله اعلم بالصواب ]
Daftar
Pustaka
1.
Al-Quran
al-Karim
2.
Muhammad
Fuad Abdul Baqi. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâdz al-Quran al-Karīm. Surabaya. Maktabah Dahlan.
3.
Ibnu Katsir.
2004. Tafsir al-Quran al-Karim. Beirut.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
4.
Al-Qurthubi.
2000. al-Jami' li Ahkami al-Quran. Dar al-Kutub al-Arabi.
5.
Ar-Razi.
2000. Mafatih al-Ghaib. Beirut.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
6.
Al-Alusi.
1999. Ruh al-Ma'ani. Dar al-Ihya wa at-Turats al-Arabi.
7.
Ibnu Hajar
al-Asqalani. 2000. Fath al-Bari. Beirut.
Dar al-Fikr.
8.
An-Nawawi.
1995. Syarh Shahih Muslim. Beirut.
Dar al-Fikr.
9.
Asy-Syech
Sulaiman al Bujairami. Bujairami 'Ala
al Khatib. 1995. Beirut.
Dar al-Fikr.
10. Asy-Syaukani. 1994. Nail al-Authar. Beirut. Dar al-Fikr.
11. Abdurrahman al-Bassam. 2003. Taudlih al-Ahkam.
Riyadl. Maktabah al-Asadi.
12. Sayyid Bakri Satho. 1993. I'anah ath-Thalibin.
Beirut. Dar
al-Fikr.
13. Abdurrahman al-Jaziri. 1990. Al-Fiqh 'ala
Madzahib al-Arba'ah. Beirut.
Dar al-Fikr.
14. Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Beirut. Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
15. An-Nawawi. Al-Majmu'. Beirut. Dar al-Fikr.
16. As-
Syech Ali Muhammad Mi'wadz & As -Syech Aadil Ahmad Abdul Maujud. 2003 Tahqiq wa Ta'liq wa Dirasah
Ala Bidayatil Mujtahid. Beirut. Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
17. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 2007. Zaad al-Ma'aad
fi Hadzyi Khoiri al-Ibaad. Beirut.
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
18. As-
Syech Muhammad al-Hamid. 1988. Nikah
al-Mut'ah fi al-Islam Haramun. Damsyiq. Dar al-Qalam.
19. Dr. Muhammad Baltaji. Manhaj 'Umar bin
al-Khathtab fi at-Tsyri'. Kairo. Matabah Dar as-Salam.
20. Dr. Muhammad Muslehuddin. 1987. Mut'ah. Surabaya. PT. Bina Ilmu.
21. Dr. Adnan Zurzur dkk. 1986. Nidzam al-Usrah fi
al-Islam. Kuliah Adab, Universitas Uni Emirat Arab.
Biodata Penulis
Abdul Kholiq, ia lahir di Kudus 15 April 1982 dari pasangan bapak Thulabi (Alm) dan ibu
Ashfiyah. Ia pertama kali mengeyam pendidikan di MI Manafi' al-Ulum (1994), MTs
al-Hidayah (1997), MAK TBS (2000). Setelah tamat dari Madrasah Aliyah TBS,
pengembaraan intelektualnya ia teruskan di pondok MUS Sarang yang saat itu
masih diasuh oleh KH. Abdurrohim Ahmad (Alm), dibantu oleh KH. Ma'ruf Zubair,
KH. Adib Abdurrohim. Sebelum akhirnya, setelah beliau wafat tahun 2001
kepengasuhan diteruskan oleh putra beliau KH. Muhammad Said AR.
Selain aktif mengikuti pengajian kitab salaf di pondok, ia juga tercatat
sebagai siswa Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah. Dan pada tahun 2006 berhasil
menyelesaikan jenjang Aliyah di Madrasah tersebut.
Tak puas dengan pencapaianya tersebut, pengagum Imam Syafi'i ini pun
meneruskan studinya di Ma'had Aly al-Ghozali hingga saat ini. Kegiatanya yang
lain di pondok adalah aktif dalam forum diskusi Fiqhiyyah al-Fadl al-Jamil
selain juga diskusi pekanan setiap malam Kamis di Auditorium MGS. Risalah ini adalah merupakan karya pertama yang ditulisnya. Dalam menulis, ia banyak terinspirasi
oleh kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman el-Shirazi, penulis novel bestseller
Ayat-ayat Cinta yang sangat fenomenal di Indonesia saat ini. [ ]
[2] Ibid. Hal, 02
[4]
Syech Ali Muhammad Mi'wadz & Syech Adil Ahmad Abdul Maujud.Tahqiq wa Ta'liq wa Dirasah ala Bidayah al l Mujtahid. Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah. Beirut,
2003, Hal : 325 vol : 04
[9]
Abdurrahman al Jaziri. al-fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah. Dar
al-fikr. Beirut,
Cet : I ,1990. Hal : 60 Vol : 04
[10] Sayyid Abi Bakr Syatho. Op.cit Hal :
321
[11] Abdurrahman al-Jaziri. Loc.cit
[12] Abdurrahman al Jaziri. Loc.cit
[13] Abdurrahman al Jaziri. Op.cit Hal :
61
[14] Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur'an
al-'Adzim. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Beirut,
Cet : I, 2004, Hal : 454 Vol : 01
[15] Ibid. Hal : 454
[17] An Nawawi . Syarah Shahih Muslim.
Daar al Fikr. Beirut,
1995, Hal : 151 Vol : 05
[18] Qira'ah Syadz adalah Qira'ah
yang menyalahi kaidah dasar qira'ah shahihah yang berjumlah tiga; 1. cocok
dengan grammar arab, 2. cocok dengan mushaf utsmani, 3. memiliki isnad yang
shahih. (Faidz al-Khabir Hal : 65-66)
[25]
al Qurthubi. al
Jami' li Ahkam al Qur'an. Dar al-Kutub al Arabi. Beirut. Cet : III, 2000, Hal : 128 Vol : 05
[35] Ibid. Hal : 256
[36]
Dr. Adnan Zurzur
Dkk. Nidzam al-Usrah fi al-Islam. 1986, Kuliyah Adab, Universitas Uni
Emirat Arab