Jumat, 14 September 2012

MUT’AH


Fenomena Kawin Kontrak,
Perzinahan Berkedok Institusi Pernikahan Dalam Perspektif Yurisprudensi Islam

PPPPPPPPPPPPPPPPPPP
* Abdul Kholiq ibnu Thulabi el-Qudsiy 
E-mail : abdulkholiq_kudus@yahoo.co.id

[ Santri Biasa di Pondok Pesantren Ma'hadul 'Ulum Asy-Syar'iyyah, PP. MUS Sarang Rembang ]


I. PROLOG
K
aum modernis berpendapat bahwa mut'ah diizinkan (baca : dilegalkan) terutama bagi mereka yang jauh dari rumah atau yang menuntut ilmu di negara asing. Mereka mengira, bahwa dengan cara ini mereka tidak melanggar prinsip-prinsip hukum Islam. Dengan pertimbangan mereka dalam kondisi membutuhkan yang bersifat mendesak (darurat).
Alasan semacam ini ditanggapi dengan serius oleh Dr. Muhammad Muslehuddin, kata beliau[1]: Yang namanya kebutuhan mendesak tidak lantas memberikan perizinan yang bebas bagi perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dengan justifikasi bahwasanya dari segi tingkatan dan waktunya perizinan bebas tersebut mempunyai batas-batas tertentu. Dan ini terbukti dari ayat al-Quran :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة: 173)
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai,darah,daging babi,dan(daging) hewan yang di sembelih dengan (menyebut nama)selain Allâh.tetapi barang siapa terpaksa (memakannya)bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)melampui batas,maka
tidak ada dosa baginya .sugguh, Allâh maha pengampun, maha penyayang." (QS. Al-Baqarah : 173)
Selanjutnya beliau mendetailkan lagi dalam memaparkan argumentasinya,lebih jelasnya sebagai berikut : Darurat harus diingat adalah kebutuhan yang harus dipenuhi yang jika tidak terlaksana akan menghasilkan akibat-akibat yang serius seperti kematian.[2] Seorang muslim yang kelaparan bisa memakan barang-barang yang dilarang untuk menyelamatkan hidupnya. Tetapi nafsu seksual bukanlah hal yang demikian karena dapat dikontrol. Dan Nabi B telah memberikan obat untuk mengatasinya, beliau bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه مسلم)  
'Wahai para pemuda kawinlah kamu jikalau telah mampu. Karena nikah adalah paling mujarrab dalam menjaga pandanganmu (dihadapan kaum wanita) dan dalam menjaga kesucianmu. Dan yang tidak bisa melaksanakannya (tidak mampu kawin) hendaklah berpuasa karena puasa itu mengekang nafsu (HR. Muslim)
Dr. Muhammad Baltaji dalam magnum opus-nya dari sebuah tesis berjudul Manhaj 'Umar bin al-Khathtab fi at-Tasyri' yang beliau ajukan pada almamater al-Qahirah untuk mendapatkan gelar akademis Magister dalam bidang as-Syari'ah al-Islamiyyah. Beliau memberikan sebuah tanggapan yang lebih kritis analitis dari pada tanggapan yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Muslehuddin dalam mencounter pendapat orang yang membolehkan Mut'ah dengan alasan darurat .
Isi daripada tanggapan beliau adalah, bahwasannya kajian tentang adanya 'illat darurat yang membolehkan nikah Mut'ah tidak bisa dibenarkan alias ditolak. Tidak dijumpai sama sekali adanya sebuah illat darurat. Bagaimana bisa dikatakan darurat padahal toh ia mendapati seorang wanita, mampu memberikan sesuatu yang bisa dijadikan mahar. Lantas mengapa tidak melaksanakan nikah syar'iy saja ? Sesungguhnya yang dinamakan darurat adalah orang yang tidak mendapatkan sesuatu sama sekali. Padahal dalam permasalahan ini ada seorang wanita,harta, Lantas mengapa ia malah melakukan sebuah ikatan yang terlarang (baca:mut'ah)?, sedangkan institusi pernikahan syar'iy dengan syarat-syaratnya beserta konsekuensinya dapat diaplikasikan ? [3][ ]

II. DEFINISI MUT'AH
Sebagai langkah awal dalam mengurai, memahami topik kajian tulisan ini adalah suatu keniscayaan untuk memahami makna substanstif daripada mut'ah itu sendiri. Sebagai pijakan pembahasan berikutnya supaya bisa diperoleh pemahamann yang dinamis, inhern serta sebuah kesinambungan kajian.
Asal kata mut'ah dalam bahasa arab adalah derivasi dari akar kata mata'a, yang mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan. Kamus Al Munjid menerangkan arti kata mata' sebagai berikut : al Mata', bentuk pluralnya adalah al Amti'ah, sedang bentuk jam'ul jama'nya adalah Amati' dan Amatii'. Seluruh yang dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. Tamatta'a atau Istamta'a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama.
Disamping itu sisi etimologinya juga bermakna : pengambilan manfaat, keuntungan (intifa'). Sejalan dengan arti ini adalah praktik nikah mut'ah, mut'ah tholaq dan mut'ah haji. Dikarenakan di dalam praktik-praktik tersebut terdapat unsur pangambilan sebuah kemanfaatan ataupun keuntungan.[4]
Adapun mut'ah kalau dipahami dari sudut pandang terminologi syara', mut'ah memiliki arti : Sebuah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berjangka waktu tertentu (temporer), baik waktu tersebut diketahui batasanya sebagaimana dalam contoh : "aku nikahkan engkau dengan anak perempuanku selama satu bulan." Atau waktu tersebut tidak diketahui secara pasti seperti contoh : "aku nikahkan engkau dengan anak perempuanku sampai Zaid –yang sedang bepergian- kembali pulang." Setelah tenggang waktunya habis, dengan sendirinya ikatan pernikahan tersebut menjadi batal[5] (tanpa adanya sebuah thalaq).
Lain halnya Imam ar-Rozi, beliau dalam karya monumentalnya (master piece) Tafsir al-Kabir mendefinisikan mut'ah sebagai, sebuah ikatan kontrak sewa antara seorang laki-laki dan perempuan dengan ongkos (upah) yang disepakati sampai batas waktu yang telah ditentukan, lantas si laki-laki menyetubuhi si perempuan.[6]
Di dalam kitab Fathul Muin dan diperjelas oleh Hasyiah I'anah ath-Thalibin [7], mut'ah didefinisikan sebagai pernikahan temporer sebagaimana pendapat daripada mayoritas ulama. Dan didefinisikan pula sebagai pernikahan yang tidak dihadiri oleh wali dan saksi-saksi. Dr. Muhammad Baltaji dalam tesisnya mengutip definisi mut'ah sebagaimana yang dipaparkan al-Jassash di dalam Ahkam Al-Quran : sebuah ikatan kontrak (temporer) yang dibatasi dengan waktu yang ditentukan, yang mana ikatan tersebut berakhir dengan tanpa menyisakan sebuah konsekuensi-konsekuensi hukum yang terdapat dalam nikah syar'iy, sebagaimana 'iddah, warisan dan nasab atau keturunan.[8]
Dan rasanya belumlah sempurna dari definisi-definisi tersebut di atas sebelum kami sertakan sebuah pengertian yang agak "kontroversial" yang termuat dalam ensiklopedi fiqih madzhab empat dengan judul al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziri. Di dalam kitab tersebut beliau menjelaskakan makna substansif daripada mut'ah. Mut'ah menurut beliau adalah sebuah ikatan pernikahan kontrak (dibatasi waktu). Sebagaimana kesepakatan dua sejoli laki-laki dan perempuan " nikahkanlah dirimu untukku selama sebulan, aku menikahimu selama satu tahun," atau contoh-contoh yang semisal. Tinjauan hukumnya sama, baik kesepakatan tersebut diimplementasikan di depan saksi-saksi dan ditangani langsung oleh wali maupun tidak seperti itu.[9]
Dari uraian-uraian yang kami tampilkan di atas kesemuanya dapat kami sinergikan (baca : rangkum) dalam sebuah titik muara yang sama. Bahwasanya mut'ah dilaksanakan dalam rangka memenuhi syahwat biologis ataupun gejolak libido seseorang. Dikarenakan di dalamnya tidak terdapat sebuah ikatan rumah tangga yang berkelanjutan,tidak adanya hukum waris, iddah dan keturunan. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwasanya nikah mut'ah adalah ikatan yang mirip perzinahan (atau bisa jadi perzinahan itu sendiri)  yang belabel institusi pernikahan. Konklusi ini diperkuat dengan sebuah keterangan dari kitab Bujairami ala al-Khatib. Di dalamnya dikisahkan daripada penyesalan yang mendalam dari seorang Qadli Yahya bin Aksyam atas propaganda khalifah al-Makmun yang memperbolehkan nikah mut'ah. Selanjutnya dikisahkan pula adanya dialog diantara keduanya yang pada akhirnya beliau, al-Ma'mun menyadari kehilafanya dan memerintahkan supaya disebarluaskan (sosialisasi) keharaman mut'ah.[10]
Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwasanya mut'ah adalah :
  1. Pernikahan kontrak tanpa adanya wali dan saksi-saksi. (Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah)
  2. Pernikahan kontrak dengan adanya wali dan saksi-saksi. (Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah. I'anah ath-Thalibin, manhaj 'Umar bin Al- Khathtab fi at-Tasyri')
  3. Pernikahan tanpa wali dan saksi-saksi (I'anah ath-Thalibin)
  4. Kesepakatan kontrak sewa (ijaroh) dengan imbalan tertentu. (Tafsir al-Kabir). [ ]

III. SEJARAH MUT'AH
Latar belakang sejarah yang paling pokok, fundamental, pendek katanya setting back daripada disyariatkanya mut'ah adalah bahwasanya umat Islam dalam periode awal mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan disebabkan intensitas(baca:sering) daripada peperangan malawan musuh.
Konteks semacam ini menuntut sebuah konsekuensi logis ketidak adanya kemampuan untuk menanggung beban tanggung jawab sebagai seorang suami dan pengaturan menejemen rumah tangga secara maksimal. Terlebih kondisi material, financial mereka cukuplah memprihatinkan, jauh dari standar kelayakan pada umumnya.[11]
Jadi, tidaklah masuk akal (irrasional) bilamana mereka menyibukan diri dengan urusan menejemen rumah tangga sedini mungkin. Terlebih lagi dari sisi yang lain mereka barusan saja mengalami masa transisi dari adat kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam perilaku mereka sebelum Islam. Yakni syahwat wanita yang lepas kontrol. Bahkan diantara mereka ada yang mengumpulkan banyak wanita, menghampiri yang ia senangi sembari melepaskan nafsu syahwatnya.
Oleh karena itu, apabila mereka dalam kondisi berperang lantas seperti apa nasib mereka ?[12] Perlu diketahui bahwa tabiat manusia memiliki batasan, begitu pula kondisi materi juga sama. Sudah sepatutnyalah konteks semacam ini (saat itu-red) berkonsekuensi akan adanya solusi tasyri' yang bersifat temporer yang bisa menghilangkan kesusahan dan bisa mengatasi tanggung jawab mereka sebagai pasangan suami istri.
Tasyri' yang bersifat solutif tersebut adalah nikah mut'ah (kawin kontrak, nikah temporer) dengan demikian mut'ah merupakan ketentuan atau hukum yang bersifat kondisional yang berjangka waktu disebabkan adanya darurat perang. Ketentuan semacam ini karena dilatar belakangi daripada para tentara yang masih berstatus lajang. Mereka tidak mampu melaksanakan ikatan pernikahan yang berkesinambungan sebagaimana ketidakmampuan mereka mengekang tabi'at basyariyah (libido).
Dengan demikian tidaklah rasional apabila mereka dituntut untuk melemahkan libidonya dengn berpuasa. Kondisi semacam inilah yang melatarbelakangi dicetuskannya sebuah ketentuan hukum (tasryi') dari pada mut'ah
Kronologis diatas direkam dengan sangat baik dalam sebuah riwayatnya Imam Muslim dari Sabroh beliau berkata :
قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا (رواه مسلم)
"Rosulullah Shollalâhu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk melakukan mut'ah pada waktu Fathu Makkah,saat kami memasuki makkah kemudian sebelum kami keluar darinya beliau melarang kami." (HR.Muslim)
Hadis ini memberikan suatu gambaran yang jelas bahwasannya mut'ah dilatarbelakangi daripada konsekuensi darurat perang.[13] [ ]

IV. HUKUM MUTAH
Allâh U berfirman dalam surat an-Nisaa' ayat 24 :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
" .........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An-Nisaa : 24)
Keumuman daripada ayat diatas memiliki peran dalam melegitimasi pendapat yang membolehkan mut'ah. Dan tiada keraguan sedikitpun akan kebolehan tersebut dalam periode awal Islam. Akan tetapi kebolehan tadi setelah itu dinaskh.[14]
Imam Syafi'i serta sekelompok Ulama' berpendapat bahwasannya mut'ah memang di bolehkan, Namun setelah itu kebolehan tersebut di naskh dalam dua periode. Pendapat lain menyatakan bahwasannya periode penghapusan tadi lebih dari dua kali.Dan pendapat yang lain lagi menyatakan pula bahwasannya periode dibolehkannya mut'ah itu cuma sekali lantas dinaskh. Setelah itu tidaklah di perbolehkan sama sekali.
Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwasannya Ibnu Abbas serta sejumlah sahabat,membolehkan mut'ah dikarenakan faktor darurat. Dan pendapat semacam ini diriwayatkan pula dari Imam Ahmad. Beliau Imam Ibnu Abbas,Ubay bin Kaab,Said bin jubair,serta As Sudy meriwayatkan sebuah Qira'ah yang berbunyi [15] :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
" .........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai batas waktu tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An-Nisa, 24)
Mayoritas ulama' menyatakan keharaman daripada mut'ah. Ia termasuk kategori daripada pernikahan yang fasid dan keabsahannya telah dihapus (naskh) secara mutlak baik sebelum adanya persetubuhan maupun setelahnya. Pendapat ini adalah pendapat imam empat.
Sekte Imamiyyah dari golongan Syi'ah berpendapat sebaliknya. Mereka menyatakan bahwasannya mut'ah dihalalkan sampai kiamat. Bahkan diantara mereka ada yang beranggapan bahwasannya mut'ah adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allâh U.[16]
Akan tetapi argumentasi yang mereka ajukan tidaklah mu'tabar (valid). Dengan kata lain tidak relevan. Diantara ulama yang menolaknya adalah Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim, serta Imam Ibnu Hajar dalam Fatawi al-Kubro al-Fiqhiyyah.
Imam an-Nawawi berkata[17]: Konsensus Ulama' mengukuhkan keharaman mut'ah. Tiada yang menentang konsensus ini selain kelompok ahli bid'ah (syi'ah). Mereka berpegangan atas hadis-hadis yang bertalian erat dengan mut'ah. Dan telah kami jelaskan bahwasannya hadis-hadis adalah Mansukh dengan demikian tiada dalil yang bagi mereka.
Mereka berpegangan pula dengan ayat berikut :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
Serta qiro'ahnya Imam Ibnu Mas'ud :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)

".........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai batas waktu tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An Nisaa : 24)
Perlu diketahui bahwasannya qira'ah Ibnu mas'ud tersebuat adalah syadz.[18]Dengan demikian qira'ah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah akan statusnya sebagai bagian dari al Qur'an ataupun sebagai sebuah Hadits. Oleh karenanya ia tidak bisa diaplikasikan, diterapkan maupun di amalkan. Demikianlah argumentasi dari beliau Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim.[19] [ ]

Dalil keharaman mut'ah
Dalil yang dipakai oleh mayoritas (jumhur) ulama dalam mengharamkan mut'ah itu terdiri dari empat sumber :
1.   al-Quran
2.   as-Sunnah
3.   Aspek rasionalitas
4.   Ijma' (konsensus ulama)
Adapun spesifikasinya adalah sebagai berikut :

Pertama Al-Quran
Firman Allâh U,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (المؤمنون: 5-6)
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa." (QS. Al-Mukminun, 5-6)
Penerapan dari dalil ada ayat di atas adalah bahwasanya persetubuhan itu dihalalkan hanya pada dua orang, istri dan budak wanita yang dimilliki. Wanita yang dalam ikatan mut'ah tidaklah berstatus sebagai budak maupun istri. Untuk faktor yang pertama amatlah jelas. Karena ia benar-benar wanita yang merdeka. Adapun faktor yang kedua, kalau memang ia berstatus istri tentunya memiliki beberapa ketentuan-ketentuan di bawah ini.
a.             Adanya hukum waris di antara mereka berdua sesuai dengan firman Allâh U,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ (النساء : 12)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak." (an Nisaa' : 12)
b.        Adanya keturunan (nasab), sebagaimana sabda Nabi Muhammad B,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ (رواه البخاري)
"Keturunan adalah bagi ikatan pernikahan, dan bagi orang yang berzina suatu kerugian". (HR.Bukhori)
c.        Adanya iddah pada si wanita, sesuai dengan firman Allâh U
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة : 234)
"orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. " (al Baqarah : 234)
Tiga ketentuan di atas tidaklah ada dalam praktik nikah mut'ah.[20] [ ]

Kedua as-Sunnah
Dalil yang bisa diajukan dari as-Sunnah diantaranya adalah :
  1. Sabda Nabi Muhammad B yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ (رواه مسلم)
"Dari Ali bin abi Thalib bahwasannya Rosulillah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam, melarang mut'ah terhadap para wanita pada waktu perang khaibar,dan beliau juga melarang memakan daging khimar jianak" (HR. Muslim)
Penerapan dalil hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi B telah melarang mut'ah. Dan larangan itu menunjukkan atas ketidak absahan daripada perkara yang dilarang. Dengan demikiian nikah mut'ah hukumnya batal.Dan hadits di atas menunjukkan adanya penghapusan daripada kebolehan mut'ah.
  1. Hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَقَالَ أَلَا إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ (رواه مسلم)
"Telah bercerita pada kami ar Rabi' bin Sabroh dari bapaknya bahwasannya Rosulillah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam, melarang mut'ah, seraya berkata : ketahuilah bahwasannya mut'ah diharamkan mulai hari ini(perang khaibar-red) sampai hari kimat, barang siapa telah memberikan sesuatu(mahar mut'ah) maka janganlah ia memintanya kembali " (HR. Muslim)
Hadits di atas dengan jelas sekali menyebutkan keharaman daripada nikah mut'ah. Bahkan disinggung pula adanya keharaman tersebut sampai hari kiamat. Dengan demikian hadits di atas menghapus (naskh) daripada mut'ah dan secara otomatis mut'ah termasuk pernikahan yang batil. [ ]

Ketiga : Aspek rasionalitas
Telah dimaklumi bahwasanya tujuan disyariatkanya pernikahan adalah bukan semata (ansich) sebagai sarana pemuas syahwat biologis. Akan tetapi pernikahan disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Malampiaskan syahwat biologis dengan cara mut'ah, tidaklah representatif, atas tujuan-tujuan suci institusi pernikahan. Dengan demikian konsekuensinya adalah mut'ah tidak termasuk dari syariat Islam. [ ]

Keempat : Ijma'
Dari uraian-uraian di atas agaknya sudah mencukupi untuk mengambil sebuah konklusi atas keharaman mut'ah, terlebih kalau kita mengamati haditsnya Imam Muslim yang diriwayatkan dari sahabat Sabroh, di mana di dalamnya disebutkan secara spesifik keharaman mut'ah sampai kiamat. [21][ ]

V. SHUBHAT - SHUBHAT
Akan tetapi masih saja ada beberapa kejanggalan (subhat) yang mengusik hati atas konklusi tadi, yang memerlukan sebuah tanggapan serius. Kejanggalan yang kami maksudkan adalah :

Shubhat Pertama :
Riwayat yang bersumber dari sahabat Jabir bin Abdullah :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ تَمَتَّعْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتْعَتَيْنِ الْحَجَّ وَالنِّسَاءَ وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا مُتْعَةَ الْحَجِّ وَمُتْعَةَ النِّسَاءِ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ نَهَانَا عَنْهُمَا فَانْتَهَيْنَا (رواه مسلم وأحمد والبيهقي)
"Dari  jabir bin Abdillah  beliau berkata : kami pada masa Rosulillah ShollAllâhu 'Alaihi wa Sallam, pernah melakukan dua macam mut'ah,mut'ah haji dan mut'ah wanita. Dan Hammad juga berkata: mut'ah haji dan mut'ah wanita.Maka sewaktu pemerintahan Umar, beliau melarang keduanya dan kami mematuhinya " (HR. Muslim, Ahmad, Baihaqi)
Agaknya riwayat ini bernilai kontradiktif, tidak sinkron dengan hadits-hadits Rasul yang melarang mut'ah secara berulang-ulang. Sungguh terlampau jauh sekali - kata Imam asy-Syaukani - sekelompok sahabat tidak mengerti, tidak berkompetensi akan sebuah larangan yang bersifat kesinambungan (ta'bid) dan disampaikan sendiri oleh Rasul di hadapan para sahabat. Kemudian sekelompok tadi bersikukuh (konservatif) akan kehalalan mut'ah sewaktu Rasul masih hidup, setelah beliau meninggal, sampai sahabat Umar melarang mereka.[22] [ ]

Tanggapan dan jawaban Shubhat Pertama
Hadits sahabat Jabir di atas ditanggapi, bahwasanya sekelompok sahabat tersebut tetap saja konservatif akan mut'ah pada masa Rasûlullah B. Kemudian hadis yang menghapus kehalalan Mut'ah belum sampai pada mereka. Sampai sahabat Umar melarangnya. Dan beliau–Jabir- meyakini akan aktifitas sekelompok sahabat itu, dikarenakan tidak ada yang memberikan konfirmasi di mansukhnya mut'ah pada beliau.
Tanggapan semacam ini juga diajukan kepada sahabat yang memiliki kasus yang serupa dengan sahabat Jabir. Oleh karena itu sahabat Umar punya otoritas untuk melarang praktik mut'ah. Jawaban semacam ini, meskipun agak dipaksakan akan tetapi memang sebuah konsekuensi tersendiri dari tekstual haditsnya sahabat Shabroh yang menspesifikasi keharaman mut'ah sampai kiamat. Walhasil kita wajib tunduk dan patuh terhadap perintah Rasûlullah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam dan riwayat shahih telah menyatakan keharaman mut'ah sampai kiamat.
Pertentangan yang dilakukan sekelompok sahabat tidaklah memiliki otoritas untuk mendekonstruksikan kehujjahan daripada hadits shahih tersebut dan sama sekali tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengaplikasikanya. Bagaimana tidak demikian ? padahal toh mayoritas sahabat telah menyatakan keharaman mut'ah, mensosialisasikanya, serta meriwayatkanya untuk kita semua.[23] Sampai Ibnu Umar mengkonfirmasikan – sebagaimana riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari beliau Ibnu Umar dengan sanad yang shahih - "sesungguhnya Rasululloh Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah memberikan izin bagi kita untuk melakksanakan mut'ah selama tiga hari, kemudian beiau mengharamkanya. Demi Allâh tiada aku mengetahui seseorang melakukan mut'ah padahal statusnya adalah muhshan (sudah nikah) kecuali aku merajamnya dengan batu."
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi B :"Telah meruntuhkan mut'ah, adanya thalaq, iddah dan warisan." (HR. Daruquthni) [ ]

Shubhat Kedua
Riwayat yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas. Riwayat dari beliau ini serba mengandung sisi keganjilan serta dilema. Riwayat tersebut adalah :
  1. Beliau membolehkan mut'ah dengan menta'wil ayat :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
".........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An Nisaa : 24)
Dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwasanya beliau membaca ayat tersebut dengan bacaan sebagai berikut :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
".........Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai batas waktu tertentu, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban (QS. An Nisaa : 24)
  1. Riwayat yang menyatakan bahwasanya beliau memposisikan mut'ah sebagaimana bangkai, daging babi dan darah. Yang artinya mut'ah tidak diperbolehkan kecuali bagi orang yang benar-benar membutuhkanya (mudzthar). Dan diriwayatkan pula bahwasanya beliau berkata : "Tiadalah mut'ah melainkan sebuah rahmat dari Allâh SWT. Mut'ah merupakan rahmat Allâh bagi umat Muhammad. Andaikan saja Umar tidak melarangnya, tiada orang terdesak melakukan perzinahan melainkan orang yang celaka." [24]
  2. Riwayat yang mengkonfirmasikan bahwasanya beliau (Ibnu Abbas) menarik kembali fatwa yang membolehkan mut'ah beralih kefatwa haram. Ibnu al-Arabi berkomentar, beliau (Ibnu Abbas) berfatwa dibolehkanya mut'ah, kemudian dinyatakan bahwasanya ia menarik kembali fatwa tersebut. Dengan demikian terbentuklah sebuah ijma' ulama (konsensus) atas keharaman mut'ah. Jadi apabila ada orang melakukan mut'ah, maka ia terkena hukuman rajam menurut mandzhab yang masyhur.[25] Al-Jashshash berkata dalam al-Ahkam al-Quran: "Aku tidak mengetahui seorang sahabat yang diriwayatkan darinya kebolehan mut'ah selain Ibnu Abbas. Beliau telah menarik kembali fatwa tersebut sewaktu konfirmasi keharaman mut'ah telah beliau terima dengan tegas lewat hadits-hadits mutawatir dari para sahabat." [26]

Tanggapan dan jawaban shubhat kedua
1.       Untuk menanggapi riwayat yang pertama, kami mengajukan dua pendekatan :
  1. Pendekatan konstruktif
Qira'ah Ibnu Abbas tersebut yang ada penambahan إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي kalau memang otentitasnya benar-benar valid, itupun hanya menyatakan tentang disyariatkanya mut'ah. Padahal hadits-hadits Nabi B telah dengan jelas menyatakan penghapusanya. Terlebih haditsnya sahabat Shabroh yang menspesifikasi keharaman mut'ah sampai kiamat. Imam ar-Rozi berkata : "......jawaban ini sekaligus juga menjawabi pendapat yang berpegangan pada qira'ahnya Ubayy dan Ibnu Abbas. Sebab qira'ah tersebut kalau memang benar valid itupun hanya menunjukkan keberadaan adanya mut'ah dahulunya memang disyariatkan. Dan kami tidaklah menentang realitas tersebut, karena menurut pendapat kami realita itu telah di naskh.[27]
  1. Pendekatan destruktif
Qira'ah tersebut sangatlah kontradiktif dengan kandungan mushafnya umat Islam. Dan tiada seorangpun yang memiliki otoritas untuk menambahkan sesuatu dalam kitab Allâh U tanpa dilegitimasi hadits yang mutawatir. Kesimpulan ini dinyatakan dengan baik oleh Imam ath-Thobari dalam Tafsir Jami' al-Bayan : "......adapun qira'ahnya Ubayy, Ibnu Abbas dan Ibnu Jabir :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً (النساء : 24)
adalah qira'ah yang kontradiktif dengan isi kandungan mushafnya umat Islam. Dan tidaklah diperkenankan bagi seorangpun untuk menambahkan dalam kitab Allâh U sesuatu yang tidak didukung oleh hadits mutawatir.[28]
Di samping itu Imam asy-Syaukani juga mengkritisi eksisitensi daripada qira'ahnya Ibnu Abbas. Kata beliau : "......adapun qira'ahnya Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Sa'id bin Jabir :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أََجَلٍ مُسَمَّي فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً £ (النساء : 24)
Bukanlah termasuk al-Quran bagi yang mensyaratkan kemutawatiran. Dan bukan pula Sunnah, karena riwayat yang ada menyatakan keberadaan qira'ah tersebut sebagai al-Quran. Dengan demikian qira'ahnya Ibnu Abbas termasuk kategori tafsir bagi ayat tersebut. Maka dari itu ia bukanlah sebuah hujjah.[29]
2.       Riwayat kedua di atas dapat kita pahami, bahwasanya riwayat tersebut dilatar belakangi atas penggambaran Rasûlullah B yang membolehkan mut'ah karena suatu alasan (illat) yaitu darurat dan kebutuhan yang mendesak. Kemudian beliau melarangnya karena umat Islam telah kembali dari medan pertempuran. Dan darurat (perang-red) yang membolehkan mut'ah telah berakhir. Beliau, Ibnu Abbas berpendapat bahwasanya hukum itu berputar seiring dengan 'illat, baik adanya illat maupun sebaliknya. Jadi sewaktu dijumpai illat dibolehkanya mut'ah maka dijumpai pula adanya hukum bolehnya mut'ah. Berangkat dari sinilah Ibnu Abbas membolehkan mut'ah ketika dalam kondisi darurat.[30]
Akan tetapi kajian tentang illat dalam permasalahan ini ditolak. Dengan alasan darurat yang membolehkan hal yang diharamkan tidaklah ditemukan dalam mut'ah. Dan riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas adalah pernyataan yang kontradiktif dan sulit diterima (mustahil). Sudah sepatutnya riwayat tersebut sebuah kesalah pahaman dari para perawinya. Dikarenakan ilmu agama beliau sangatlah dalam, sulit diterima bilamana permasalahan tersebut tidak jelas bagi beliau.
Dan bagaimana bisa dikatakan darurat bagi orang yang mendapati seorang wanita, mampu memberi mahar baginya ? Lantas mengapa ia tidak menikahinya secara syar'iy saja ? Sebenarnya orang yang terdesak adalah orang yang sama sekali tidak mendapatkan sesuatu pun. Akan tetapi dalam permasalahan ini ia menemukan seorang wanita,dan harta. Lantas hajat apa yang mendorongnya untuk mengadakan suatu ikatan yang terlarang terhadap wanita tadi ? Padahal nikah syar'iy,syarat-syaratnya,serta konsekuensinya bisa dilaksanakan ?[31]
Abdurrahman al-Bassam berkata : "Dispensasi mut'ah berlaku dalam tempo yang singkat. Karena adanya sebuah alasan darurat. Setelah itu mut'ah diharamkan untuk selamanya. Dispensasi yang bersifat temporer ini menimbulkan sebuah shubhat bagi beberapa kalangan (kelompok kecil). Mereka juga melaksanakan dispensasi tersebut disaat adanya alasan darurat. Kemudian mereka manarik kembali pendapat semacam ini. Dan Ibnu Abbas termasuk di dalamnya, beliau benar-benar telah menarik kembali pendapatnya dan beralih mengharamkan mut'ah. Dengan demikian terbentuklah ijma' umat Islam atas keharaman mut'ah untuk selamanya, secara mutlak." [32]
Adapun riwayat dari Ibnu Abbas yang berkaitan dengan sahabat Umar di atas, juga sulit untuk bisa diterima. Bagaimana tidak demikian ? karena kehalalan yang telah ditetapkan oleh nabi B akan selamanya halal sampai kiamat, demikian pula keharaman yang telah beliau tetapkan juga berlaku sampai kiamat. Barang siapa merubah ketentuan ini, maka fatal sekali akibatnya yakni sebuah kekafiran. Meskipun orang tersebut sekapasitas sahabat Umar. Beliau tidak memiliki otoritas untuk merubah ketentuan tersebut. Jadi larangan mut'ah yang beliau sosialisasikan bukanlah sebuah produk ijtihad beliau sendiri. Akan tetapi sebuah aplikasi secara penuh atas teks-teks hadits yang me-nasakh kebolehan mut'ah.[33]
3.       Riwayat yang ketiga dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa beliau menarik kembali fatwanya, agaknya realitas ini tidaklah begitu mengisykalkan. Karena dengan demikian beliau sejalan dengan larangan Rasûlullah B dan sahabat Umar. Dan pendapat beliau yang awal, yang menyatakan halalnya mut'ah ditafsiri sebagai bentuk ketidak tahuan beliau (baca : belum sampainya) akan konfirmasi yang menyatakan larangan Rosul secara tegas tentang mut'ah. Atau bahwasanya Ibnu Abbas menta'wil ayat 24 surat an-Nisa, disertai pengertian beliau akan adanya larangan mut'ah dengan penta'wilan akan eksisitensi sebuah illat sebagaimana keterangan yang sudah lewat. Kemudian beliau menarik pendapatnya setelah yakin bahwasanya ta'wilan tersebut tidaklah valid (fasid).[34]
Adalah suatu tindakan kesewenang-wenangan (ta'assuf) adanya usaha yang menafikan dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau pernah berfatwa dibolehkanya mut'ah. Dan jelas sekali realita daripada fatwa tersebut. Akan tetapi bisa jadi pendapat beliau yang terakhir adalah mencabut fatwa tersebut beralih pada keharaman mut'ah. Sebagaimana pendapatnya sahabat Umar yang mengikuti larangan Rasûlullah Shollalâhu 'alaihi wa sallam. Dan sejalan denga keharaman yang telah disepakati oleh mayoritas ulama.[35] [ ]

V. KESIMPULAN – KESIMPULAN
1.       Mayoritas Ulama' sepakat untuk mengharamkan mut'ah berdasarkan pada hadits-hadits Nabi B yang menegaskan hal itu. Di antaranya adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Sabroh Al Juhani. Walaupun demikian, Mayoritas Ulama' tidak pernah mengingkari bahwa mut'ah pernah diperbolehkan sebelum diharamkan. Riwayat pengharaman itu juga menjadi dasar bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum akhirnya mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat.
2.       Kalau kita cermati hadis-hadis yang memperbolehkan mut'ah pada awal sejarahnya, kita dapati bahwa pelegalan mut'ah itu tidak dalam keadaan ketika seseorang sedang menetap di suatu daerah atau saat tinggal di rumah. Mut'ah di halalkan hanya ketika sedang menjalani misi ekspedisi perang.
3.       Syiah Imamiyah berpendapat bahwa mut'ah adalah halal dan dianjurkan berdasarkan ayat Al Qur'an, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengatakan mut'ah adalah sarana mendekatkan diri kepada Allâh U .
4.       Ayat yang dijadikan dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan legalitas mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu mengenai masalah pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar legalitas mut'ah.
5.       Al Qur'an mengulas masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal yang sangat terperinci, namun tidak mengulas masalah mut'ah kecuali dalam sebuah potongan ayat. Jika memang mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan, tentu tidak akan dibahas dalam sebuah potongan ayat. Sementara masalah lainnya yang terkait dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.
6.       Terdapat perbedaan mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam dengan mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa mut'ah bukanlah sebuah pernikahan tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan in diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Sementara kita ketahui bahwa pelacuran adalah kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan layaknya suami istri dengan imbalan yang diberikan pada wanita selama jangka waktu tertentu, yang umumnya adalah dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya dengan mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali hubungan suami istri.
7.       Mut'ah merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang yang dapat disewa. Sementara Islam mengangkat derajat wanita dan menjaganya dari segala bentuk pelecehan dan penistaan. Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam gandum atau beras.
8.       Sebagaimana pelacuran, mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah dengan pelacuran. Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya tatanan sosial masyarakat dan tersebarnya penyakit kelamin.
9.        Pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang menyatakan bahwa praktek mut'ah adalah haram sampai kiamat. Pendapat ini juga sesuai dengan fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan masyarakat umum. [ ]

VI. EPILOG
Sesungguhnya tujuan yang paling fundamental dari institusi pernikahan dalam perspektif syara' adalah menjaga eksistensi populasi anak cucu Adam u di muka bumi ini, sebagai seorang khalifah yang bertugas memakmurkan jagat raya dengan segala isinya.
Disamping itu, tujuan daripada ikatan pernikahan yang tak kalah fundamentalnya adalah menciptakan suasana kondusif dalam batin seorang (baca : ketenangan, ketentraman hati), memiliki keturunan yang baik, mendidik dan merawat anak. Kesemuanya ini tidaklah bisa
dicapai kecuali dengan terbentuknya sebuah ikatan, jalinan rumah tangga pasangan suami istri yang berkesinambungan, bukan malah sebaliknya (temporer).[36]
Dan sendainya saja pintu pernikahan kontrak, dibuka selebar-lebarnya, dengan kata lain disahkan atau dilegalkan, niscaya orang-orang akan ramai-ramai memanfaatkanya, mengaplikasikanya dalam realita kehidupan nyata, sebagai pemenuhan naluri syahwat mereka. Dikarenakan ringanya beban tanggungan serta ongkos yang murah. Dengan demikian, musnah sudah, sia-sia pula daripada tujuan suci institusi pernikahan, yakni menjaga kelangsungan eksistensi populasi manusia sebagai khalifah Allâh U di muka bumi, yang bertugas untuk memakmurkan alam semesta ini. Kiranya demikian tulisan yang bisa kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman. Semoga ada manfaatnya, dan mohon maaf atas segala kekurangan. [ والله اعلم بالصواب ]












Daftar Pustaka
1.          Al-Quran al-Karim
2.          Muhammad Fuad Abdul Baqi. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâdz al-Quran al-Karīm. Surabaya. Maktabah Dahlan.
3.          Ibnu Katsir. 2004. Tafsir al-Quran al-Karim. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
4.          Al-Qurthubi. 2000. al-Jami' li Ahkami al-Quran. Dar al-Kutub al-Arabi.
5.          Ar-Razi. 2000. Mafatih al-Ghaib. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
6.          Al-Alusi. 1999. Ruh al-Ma'ani. Dar al-Ihya wa at-Turats al-Arabi.
7.          Ibnu Hajar al-Asqalani. 2000. Fath al-Bari. Beirut. Dar al-Fikr.
8.          An-Nawawi. 1995. Syarh Shahih Muslim. Beirut. Dar al-Fikr.
9.          Asy-Syech Sulaiman al Bujairami. Bujairami 'Ala al Khatib. 1995. Beirut. Dar al-Fikr.
10.       Asy-Syaukani. 1994. Nail al-Authar. Beirut. Dar al-Fikr.
11.       Abdurrahman al-Bassam. 2003. Taudlih al-Ahkam. Riyadl. Maktabah al-Asadi.
12.       Sayyid Bakri Satho. 1993. I'anah ath-Thalibin. Beirut. Dar al-Fikr.
13.       Abdurrahman al-Jaziri. 1990. Al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah. Beirut. Dar al-Fikr.
14.       Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
15.       An-Nawawi. Al-Majmu'. Beirut. Dar al-Fikr.
16.       As- Syech Ali Muhammad Mi'wadz & As -Syech Aadil Ahmad Abdul Maujud. 2003 Tahqiq wa Ta'liq wa Dirasah Ala Bidayatil Mujtahid. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
17.       Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 2007. Zaad al-Ma'aad fi Hadzyi Khoiri al-Ibaad. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
18.       As- Syech Muhammad al-Hamid. 1988. Nikah al-Mut'ah fi al-Islam Haramun. Damsyiq. Dar al-Qalam.
19.       Dr. Muhammad Baltaji. Manhaj 'Umar bin al-Khathtab fi at-Tsyri'. Kairo. Matabah Dar as-Salam.
20.       Dr. Muhammad Muslehuddin. 1987. Mut'ah. Surabaya. PT. Bina Ilmu.
21.       Dr. Adnan Zurzur dkk. 1986. Nidzam al-Usrah fi al-Islam. Kuliah Adab, Universitas Uni Emirat Arab.


Biodata Penulis


Abdul Kholiq, ia lahir di Kudus 15 April 1982 dari pasangan bapak Thulabi (Alm) dan ibu Ashfiyah. Ia pertama kali mengeyam pendidikan di MI Manafi' al-Ulum (1994), MTs al-Hidayah (1997), MAK TBS (2000). Setelah tamat dari Madrasah Aliyah TBS, pengembaraan intelektualnya ia teruskan di pondok MUS Sarang yang saat itu masih diasuh oleh KH. Abdurrohim Ahmad (Alm), dibantu oleh KH. Ma'ruf Zubair, KH. Adib Abdurrohim. Sebelum akhirnya, setelah beliau wafat tahun 2001 kepengasuhan diteruskan oleh putra beliau KH. Muhammad Said AR.
Selain aktif mengikuti pengajian kitab salaf di pondok, ia juga tercatat sebagai siswa Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah. Dan pada tahun 2006 berhasil menyelesaikan jenjang Aliyah di Madrasah tersebut.
Tak puas dengan pencapaianya tersebut, pengagum Imam Syafi'i ini pun meneruskan studinya di Ma'had Aly al-Ghozali hingga saat ini. Kegiatanya yang lain di pondok adalah aktif dalam forum diskusi Fiqhiyyah al-Fadl al-Jamil selain juga diskusi pekanan setiap malam Kamis di Auditorium MGS. Risalah ini adalah merupakan karya pertama yang ditulisnya. Dalam menulis, ia banyak terinspirasi oleh kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman el-Shirazi, penulis novel bestseller Ayat-ayat Cinta yang sangat fenomenal di Indonesia saat ini. [ ]








[1]      Dr.Muhammad Muslehuddin. Mut'ah, PT. Bina Ilmu. Surabaya, 1987 Hal : 01
[2]      Ibid. Hal, 02
[3]    Dr. Muhammad Baltaji. Manhaj Umar Bin al Khathtab Fi atTasyri'. Darus Salam, Hal : 256
[4]      Syech Ali Muhammad Mi'wadz & Syech Adil Ahmad Abdul Maujud.Tahqiq wa Ta'liq wa Dirasah ala Bidayah al l Mujtahid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Beirut, 2003, Hal : 325 vol : 04
[5]      Ibid. Hal : 325 Vol : 04
[6]      ar-Razi.Tafsir al-Kabir. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Beirut, 2000. Hal : 41 Vol :10
[7]      Sayyid Abi Bakr Syatho. I'anah at Tholibin. Daar al Fikr. Beirut, 1993. Hal : 322 Vol : 03
[8]      Dr. Muhammad Baltaji. Op.cit Hal : 249
[9]  Abdurrahman al Jaziri. al-fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah. Dar al-fikr. Beirut, Cet : I ,1990. Hal : 60 Vol : 04
[10] Sayyid Abi Bakr Syatho. Op.cit Hal : 321
[11] Abdurrahman al-Jaziri. Loc.cit
[12] Abdurrahman al Jaziri. Loc.cit
[13] Abdurrahman al Jaziri. Op.cit Hal : 61
[14] Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur'an al-'Adzim. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Beirut, Cet : I, 2004, Hal : 454 Vol : 01
[15] Ibid. Hal : 454
[16] Syaikh Ali Muhammad Mi'wadz & Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud. Op.cit Hal : 325 vol : 04
[17] An Nawawi . Syarah Shahih Muslim. Daar al Fikr. Beirut, 1995, Hal : 151 Vol : 05
[18] Qira'ah Syadz adalah Qira'ah yang menyalahi kaidah dasar qira'ah shahihah yang berjumlah tiga; 1. cocok dengan grammar arab, 2. cocok dengan mushaf utsmani, 3. memiliki isnad yang shahih. (Faidz al-Khabir Hal : 65-66)
[19]  Ibid. Hal : 152. Vol : 05
[20] Syaikh Ali Muhammad Mi'wadz & Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud. Op.cit Hal : 328 vol : 04
[21] Syaikh Ali Muhammad Mi'wadz & Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud. Op.cit Hal : 328 vol : 04
[22] as Syaukani. Nail al-Autar. Dar al Fikr. Beirut, 1994, Hal : 252 Vol : 03
[23] Ibid. Hal : 253
[24] Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Dar al-Kutub. Beirut, Cet : II, 2003, Hal : 334 vol : 04
[25] al Qurthubi. al Jami' li Ahkam al Qur'an. Dar al-Kutub al Arabi. Beirut. Cet : III, 2000, Hal : 128 Vol : 05
[26] Dr. Muhammad Baltaji. Op.cit Hal : 253
[27] ar Razi. Op.cit Hal : 44
[28] Dr. Muhammad Baltaji. Op.cit Hal : 254
[29] as Syaukani . Op.cit Hal : 253
[30] Dr. Muhammad Baltaji. Op.cit Hal : 256
[31] Ibid. Hal : 256
[32] Abdurrahman al-Bassam. Taudzih al-Ahkam. Matabah al-Rasadi. Cet : V, 2003, Hal : 295 Vol : 05
[33] Dr. Muhammad Baltaji. Op.cit Hal : 257
[34] Ibid. Hal : 253
[35] Ibid. Hal : 256
[36] Dr. Adnan Zurzur Dkk. Nidzam al-Usrah fi al-Islam. 1986, Kuliyah Adab, Universitas Uni Emirat Arab

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...