SEJARAH
PENETAPAN KALENDER HIJRIYYAH
Oleh : Abdul Kholiq el-Qudsiy
Beberapa
hari yang lalu, telah kita lalui bersama moment penting dari pergantian tahun
baru, yaitu tahun baru Hijriyyah/ Qomariyyah (lunar year). Adanya
perhitungan tahun ini, tidak dapat dilepaskan dari perputaran benda-benda
langit yang berada di galaksi bima sakti dari alam semesta ini. Lebih tepatnya
adalah perputaran Bumi, Bulan serta Matahari. Subhanallah, sebuah hikmah
besar dari penciptaan alam
semesta, sebagaimana disinggung oleh al-Qur'an al-Karim.
Tulisan
berikut ini, bukan dimaksudkan untuk menggali secara mendalam akan kajian
astronomi, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk menginformasikan tentang sejarah
dari penetapan tahun Hijriyyah, kalender resmi yang menjadi kebanggaan ummat
islam.
PENANGGALAN
DITENGAH-TENGAH MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM
Bangsa
Arab sebelum islam, sama sekali belum memiliki kalender resmi dan populer
ditengah kemajemukan (heterogenitas) suku / kabilah saat itu. Yakni ketiadaan
kalender resmi yang dapat mereka pergunakan untuk menandai kasuistik-kasuistik
ataupun momen-momen yang terjadi diantara mereka, disamping pula dapat membantu
kita untuk mendata dengan akurat terhadap tanggal kelahiran maupun meninggalnya
seorang figur tokoh yang berpengaruh dari bangsa ini.
Karena
itulah para peneliti sering kali mendapatkan kesulitan saat mengidentifikasi
serta mengakurasi data kelahiran para tokoh-tokoh pejuang islam yang tanggal
lahirnya bertepatan sebelum munculnya islam. Bahkan kelahiran Rosulillah pun
cuma tercatat dengan Tahun Gajah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
kalender yang mereka sepakati secara resmi. Penanggalan yang ada, biasanya
disandarkan pada peristiwa-peristiwa besar yang senantiasa mereka kenang.
Seperti masa-masa paceklik dan masa-masa sulit lainnya, atau masa kepemimpinan
seorang penguasa. Realita semacam ini, dapat ditemukan dalam syair-syair Arab
yang menggambarkan adanya perbedaan penanggalan yang mereka pergunakan.
Secara
garis besar (global), problematika yang pelik benar-benar merudung sejarah
penanggalan bangsa Arab yang beragam tersebut, di tengah-tengah heterogenitas,
kemajemukan suku bangsa. Kondisi ini berjalan terus menerus sehingga islam
datang di tengah-tengah mereka.
Hasil
penganalisaan terhadap manuskrip-manuskrip serta data-data otentik, memberikan
sebuah gambaran bahwa dalam satu tahun bagi bangsa Arab pada waktu itu terdapat
12 bulan dengan menitik beratkan pada peredaran bulan. Penanggalan ini mereka
awali dari waktu terjadinya peristiwa / kejadian yang cukup populer pada waktu
itu. Jadi tak mengherankan bila mereka mengatakan ……."satu tahun
setelah terjadinya momentum…………, kelahiran Abu Bakar adalah berjarak tiga tahun
setelah terjadinya peristiwa tahun gajah ……", serta contoh-contoh
lainnya.
Penanggalan
yang ada berjalan semacam itu, sehingga timbul peristiwa baru yang pengaruhnya
dapat mengikis dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Selanjutnya
peristiwa-peristiwa baru ini mereka jadikan sebagai pijakan penanggalan
berikutnya. Dengan demikian, terjadilah beragam penanggalan yang mereka
pergunakan. Fenomena ini tidak lain adalah dikarenakan dari ketidak adaan
persatuan antar suku-suku bangsa Arab sebagai satu nusa serta satu bangsa.
Bagi
bangsa Arab, terdapat beberapa bulan yang mereka sakralkan, sehingga tidak
diperkenankan (illegal) terjadinya peperangan didalamnya. Bulan-bulan tersebut
adalah yang sekaranng lebih kita kenal dengan sebutan Muharram, Rajab, Dzul
Qo'dah, dan Dzul Hijjah. Disamping itu, mereka juga terkenal sebagai bangsa yang suka mempermainkan penanggalan.
Dengan mengajukan beberapa bulan serta mengakhirkan bulan-bulan lainnya sebagai
imbasnya. Hal itu mereka lakukan hanya semata untuk memenuhi kepuasan hawa
nafsu belaka. Dan permainan semacam ini, berimplikasikan pada ketidak stabilan
dari penanggalan itu sendiri. Fenomena ini, benar-benar diharamkan oleh islam,
sebagaimana terbukti lewat kecaman keras dalam surat at-Taubah
"Sesungguhnya mengundur-undurkan
bulan Haram ituadalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir
dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang
buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir."(Q.S.
At-Taubah :27)
RIWAYAT KONTRADIKTIF
Kitab-kitab sejarah mencatat bahwa kalender
hijriyyah adalah merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh sahabat Umar bin
al-Khattab pada waktu beliau menjadi khalifah. Akan tetapi, Imam At-Thabari
dalam karya monumentalnya dengan judul "Tarikh At-Thabari"
yang begitu tebal dan berjilid-jilid, sempat menuturkan sebuah riwayat yang
teramat singkat dengan tanpa disertai penjelasan lebih lanjut/komentar (syarh),
dan agaknya memberikan sebuah indikasi yang terasa janggal bila dibandingkan
dengan riwayat-riwayat lainnya, beliau menuliskan …….." sewaktu baginda
Nabi telah sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awwal, beliau mengintruksikan
untuk membuat penanggalan. Maka para sahabat pun melaksanakan perintah tersebut
, mereka pada akhirnya melakukan penanggalan terhadap satu bulan, dua bulan
dari kedatanggan beliau di Madinah, sehingga mereka genapkan satu tahun",
demikian yang dituliskan oleh beliau imam at-Thabari.
Dan sebenarnya, tiada pertentangan atau
kontradiktif antara riwayat tersebut dengan riwayat-riwayat yang lazim
disebutkan dalam buku-buku sejarah, yang memiliki validitas data dengan cukup
akurat, yakni riwayat-riwayat yang menginformasikan bahwa sahabat Umar lah
sosok yang berjasa sebagai peletak pertama dari kalender Hijriyyah.
Kesimpulan (konklusi) ini, dapat kita capai bila
dapat memahami dengan baik terhadap argumentasi-argumentasi yang dipaparkan
oleh Al-Biruni (362-440 H) dalam kitab "al-Atsar al-Baqiyah"
beliau menjelaskan bahwa para sahabat di masa Rosulillah SAW, menamai/menjuluki
setiap tahun setelah peristiwa Hijrah Nabi sampai dengan wafatnya beliau dengan
sebutan nama-nama khusus. Adapaun perinciannya adalah sebagai berikut:
o
Tahun pertama setelah Hijrah mereka sebut tahun
perizinan (al-Idzn)
o
Tahun kedua setelah Hijrah mereka sebut tahun
perintah berperang (al-Amr bi al-Qital)
o
Tahun ketiga setelah Hijrah mereka sebut tahun ujian/cobaan
(at-Tamhis)
o
Tahun keempat setelah Hijrah mereka sebut tahun
kerukunan (ar-Rif'ah)
o
Tahun kelima setelah Hijrah mereka sebut tahun
kegoncanga (al-Zilzal)
o
Tahun keenam setelah Hijrah mereka sebut tahun
keramahan (al-Isti'nas)
o
Tahun ketujuh setelah Hijrah mereka sebut tahun
kemenangan (al-Istiglab)
o
Tahun kedelapan setelah Hijrah mereka sebut tahun
kesetabilam (al-Istiwa')
o
Tahun kesembilan setelah Hijrah mereka sebut tahun
pembebasan (al-Bara'ah)
o
Tahun kesepuluh setelah Hijrah mereka sebut tahun
perpisahan (al-Wada')
Bagi para sahabat, menyebut nama-nama tersebut
terasa mencukupi dari pada menyebutkan bilangan tahunnya yang dihitung semenjak
Hijrah Nabi. Demikianlah kurang lebih isi dari tulisan yang sampaikan oleh
al-Biruni dalam masterpiece-nya tersebut.
Dari keterangan yang disampaikan oleh al-Biruni
diatas, kita dapat mengkompromikannya dengan riwayat at-Thabari sebelumnya yang
sedikit banyak menyisakan kejanggalan. Kita dapat menyimpulkan bahwa Rosulillah
SAW. Saat menginstruksikan para sahabat untuk untuk membuat penanggalan yang
diawali dari moment Hijrah beliau, sebenarnya sejalan dengan metode (manhaj)
bangsa Arab dalam mengawali penanggalan mereka dengan momen-momen penting saat
itu. Selanjutnya penanggalan yang disandarkan pada moment Tahun Gajah
yang dipakai oleh suku Quraisy, beliau ganti dengan penanggalan yang di
sandarkan pada moment Hijrah beliau. Dikarenakan peristiwa Hijrah Nabi
merupakan peristiwa agung, masyhur, dan terkini (up to date).
Dengan demikian bila dikatakan ……..Tahun pertama
setelah Hijrah, tahun kedua setelah hijrah, tahun ketiga ……….dan
seterusnya, dapatlah dibedakan bila dikatakan …… Tahun perizinan (al-Idzn),
tahun perintah berperang (al-Amr bi al-Qital) ………..dan seterusnya.
Kelompok pertama adalah merupakan penanggalan resmi
yang terpakai sebagai kalender-kalender saat ini, sangat diharapkan
kesinambungannya sebagai penanggal bagi setiap terjadinya peristiwa dengan
menyebutkan bilangan tahunnya, bulan serta harinya. Adapun kelompok yang kedua
adalah penanggalan yang menandai setiap kejadian-kejadian yang masyhur,
populer, serta menitik beratkan pada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
sebagai permulaan penanggalan, menandai tahun-tahun yang bersangkutan dengan
nama-nama peristiwa yang terjadi didalamnya dengan tanpa menghiraukan bilangan
tahun serta urut-urutannya. Pendek kata, penanggalan semacam ini tidak
dimaksudkan sebagai penanggalan universal dan digunakan secara berkesinambungan
yaitu penanggalannya bangsa Arab dan senantiasa diaplikasikan sampai
pertengahan masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab.
AWAL MULA PENCETUSAN KALENDER HIJRIYYAH
Berhubung masyarakat islam pada saat peristiwa
Hijrah Nabi tersentralkan di kota
Madinah dan kondisi ini berjalan terus sampai tahun-tahun berikutnya maka tidak
terasa akan adanya sebuah kebutuhan terhadap penanggalan resmi bagi seluruh
suku di penjuru jazirah Arab. Realita dan kondisi sejarah saat itu pun menjadi
sebuah jawaban tersendiri, dikarenakan bangsa Arab yang mendiami sebagian
jazirah Arab lainnya benar-benar menentang adanya agama baru (Islam), oleh
karena itu peristiwa Hijrah Rosul tidak begitu penting artinya (urgen)
bagi mereka, untuk dijadikan sebagai sebuah tonggak penanggalan.
Dan tatkala pemerintah islam (Daulah Islamiyyah)
mencapai puncak kejayaannya, seiring bertambah luasnya wilayah kekuasaan serta
ekspansi besar-besaran dimasa khalifah Umar bin Khattab, adanya surat-menyurat
antar wilayah kekuasan islam, terbentuknya aneka ragam pembukuan, adanya
kebijakan undang-undang pajak tanah (kharaj), pajak perkepala (jizyah),
pajak sepersepuluh harta niaga bagi orang kafir, maka umat islam merasakan
adanya kebutuhan yang sangat mendesak terhadap kalender penanggalan yang dapat
memenej dengan baik terhadap proses akurasi data dari pertukaran surat-menyurat
dan transaksi-transaksi (muamalah) yang terjadi saat itu.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, al-Biruni
dan at-Thabari menyampaikan sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Abu Musa
al-Asy'ari pernah berkirim surat pada khalifah Umar bin al-Khattab, berisikan
penjelasan (konfirmasi) bahwa surat-surat khalifah Umar telah sampai pada
beliau dengan tanpa disertai tanggal dikeluarkannya surat-surat tersebut.
Selanjutnya khalifah Umar mengajak para sahabat untuk memusyawarahkan perihal
kejadian itu. Riwayat lain mejelaskan, khalifah Umar dilapori mengenai surat cek yang berjatuh
tempo pada bulan Sya'ban, beliau berkata: "bulan Sya'ban yang mana?
Bulan Sya'ban saat inikah, atau yang sudah lewat ? "lalu khalifah umar
berinisiatif mengumpulkan para sahabat, meminta pendapat dari mereka (sharing)
untuk mencari solusi mengenai problematika perihal waktu yang sedang melanda.
Al-Biruni meriwayatkan pula, bahwa sebagian
sahabat menyampaikan usul: "kita harus sigap tentang solusi problem ini
dengan mengadopsi metode orang Persia .
Maka diundanglah al-Hurmudzan, ia pun bersedia menjelaskan mengenai metode
penanggalan yang dipakai oleh orang-orang Persia dan Romawi. Lalu sebagian
sahabat mengusulkan untuk memakai pananggalan Romawi, tetapi penanggalan ini
terlalu beresiko, panjang dan lama. Sedangkan yang lainnya mengusulkan untuk
menggunakan penanggalan Persia saja, akan tetapi penanggalan inipun tak lepas
dari problem serta resiko yang tidak sepele, karena setiap terjadi pergantian
raja berganti pula kebijakan mengenai penanggalan yang dipakai, dengan arti
penanggalan mereka tidak stabil dan tidak tertib dan berkesinambungan. Pada
akhirnya para sahabat belum mencapai kata sepakat untuk menggunakan salah satu
dari kedua sistem penanggalan tersebut,
hal ini mengindikasikan bahwa karakter bangsa Arab yang islami menolak untuk
mengadopsi metode Romawi ataupun Persia, pada hal banyak sekali momentum
keislaman yang patut dijadikan sebagai tonggak/dasar penanggalan resmi bagi
seluruh umat islam seantero jagad ini. Sahabat Umar lalu meneruskan musyawarahnya
dengan para sahabat, lantas dari sekian sahabat ada yang mengusulkan untuk
memulai penanggalan dari waktu diutusnya Rosulillah SAW. sebagai utusan Allah
SWT., ada yang mengusulkan dari wafatnya beliau dan ada pula yang mengusulkan
agar dimulai dari hari kelahirannya. Demikianlah aneka ragam pendapat dan usul
yang muncul saat itu, selanjutnya mereka sepakat bahwa waktu yang paling jelas
serta jauh dari kesangsian dan ketidak jelasan/kabur adalah waktu Hijrah Nabi
ke Madinah. Dan setelah momentum hijrah ini mereka sepakati, ada yang
mengusulkan supaya nantinya bulan pertamanya adalah bulan Ramadhan. Akan tetapi
kata mufakat mereka memutuskan bulan Muharram lah yang menjadi permulaan,
dikarenakan Muharram merupakan bulan yang menjadi tujuan umat islam untuk
melaksanakan ibadah Haji disamping merupakan bulan yang mulia (sakral). Dan
peristiwa bersejarah ini terjadi pada tahun ke-16 setelah Hijrah.
Setelah ummat islam memilih bulan Muharram sebagai
permulaan tahun Hijriyyah, padahal Rosulullah SAW. sendiri melaksanakan
hijrahnya pada bulan Rabi' al-Awwal, maka ummat islam pun memperhitungkan hal
ini, dan secara substansial tahun Hijriyyah dimulai semenjak dua bulan lebih
beberapa hari sebelum sampainya Rosulullah SAW. ke kota Madinah al-Munawwarah. Dengan
berdasarkan pada perhitungan ini, maka bulan Muharram dari tahun Hjriyyah untuk
pertama kalinya dimulai/jatuh pada hari Kamis (Jum'ah Legi, versi kitab Syamsul
Hilal dan al-Anwar) serta bertepatan dengan tanggal 15 juli 622 M.
ARTI PENTING DARI TAHUN HIJRIYYAH BAGI UMMAT ISLAM
Tidak diragukan lagi, kalender penanggalan
Hijriyyah adalah merupakan wujud konkrit yang begitu urgen bagi persatuan ummat
islam, spesifikasi dari keistimewaan mereka dengan ummat-ummat lainnya dan
bukti kesinambungan mereka dengan warisan lama maupun para leluhur yang begitu
besar jasanya. Berawal dari sini, adalah merupakan suatu kewajiban moral dan
sepiritual bagi setiap Negara-negara islam agar supaya memegang teguh
(konsisten) dalam pengaplikasian kalender Hijriyyah ini di seluruh wilayah
kekuasaannya, sebagai langkah kebijakan
dalam usaha menjaga koneksitas (hubungan) ummat islam dengan segala potensi
keislaman yang dimiliki maupun persatuan mereka dimuka bumi ini.
Dan cukup realistis sekali, dengan pencapaian
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan serta eksperimennya yang luar biasa dan
dapat disaksikan diabad ini – setelah sampainya seorang astronot mendarat di
bulan – bila menjadi suatu hal yang cukup mudah bagi ummat islam diera
kontemporer ini, untuk melakukan/menjangkau penghitungan kalender Hjriyyah bagi
tahun-tahun kedepan yang cukup panjang secara akurat serta menghubungkannya
dengan kalender penanggalan Miladiyyah/Masehi. (والله اعلم)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar