Selasa, 04 Desember 2012

Sejarah Penetapan Kalender Hijriyyah


SEJARAH
PENETAPAN KALENDER HIJRIYYAH
Oleh : Abdul Kholiq el-Qudsiy

Beberapa hari yang lalu, telah kita lalui bersama moment penting dari pergantian tahun baru, yaitu tahun baru Hijriyyah/ Qomariyyah (lunar year). Adanya perhitungan tahun ini, tidak dapat dilepaskan dari perputaran benda-benda langit yang berada di galaksi bima sakti dari alam semesta ini. Lebih tepatnya adalah perputaran Bumi, Bulan serta Matahari. Subhanallah, sebuah hikmah besar dari penciptaan  alam semesta, sebagaimana disinggung oleh al-Qur'an al-Karim.
Tulisan berikut ini, bukan dimaksudkan untuk menggali secara mendalam akan kajian astronomi, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk menginformasikan tentang sejarah dari penetapan tahun Hijriyyah, kalender resmi yang menjadi kebanggaan ummat islam.

PENANGGALAN DITENGAH-TENGAH MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM

Bangsa Arab sebelum islam, sama sekali belum memiliki kalender resmi dan populer ditengah kemajemukan (heterogenitas) suku / kabilah saat itu. Yakni ketiadaan kalender resmi yang dapat mereka pergunakan untuk menandai kasuistik-kasuistik ataupun momen-momen yang terjadi diantara mereka, disamping pula dapat membantu kita untuk mendata dengan akurat terhadap tanggal kelahiran maupun meninggalnya seorang figur tokoh yang berpengaruh dari bangsa ini.
Karena itulah para peneliti sering kali mendapatkan kesulitan saat mengidentifikasi serta mengakurasi data kelahiran para tokoh-tokoh pejuang islam yang tanggal lahirnya bertepatan sebelum munculnya islam. Bahkan kelahiran Rosulillah pun cuma tercatat dengan Tahun Gajah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kalender yang mereka sepakati secara resmi. Penanggalan yang ada, biasanya disandarkan pada peristiwa-peristiwa besar yang senantiasa mereka kenang. Seperti masa-masa paceklik dan masa-masa sulit lainnya, atau masa kepemimpinan seorang penguasa. Realita semacam ini, dapat ditemukan dalam syair-syair Arab yang menggambarkan adanya perbedaan penanggalan yang mereka pergunakan.
Secara garis besar (global), problematika yang pelik benar-benar merudung sejarah penanggalan bangsa Arab yang beragam tersebut, di tengah-tengah heterogenitas, kemajemukan suku bangsa. Kondisi ini berjalan terus menerus sehingga islam datang di tengah-tengah mereka.
Hasil penganalisaan terhadap manuskrip-manuskrip serta data-data otentik, memberikan sebuah gambaran bahwa dalam satu tahun bagi bangsa Arab pada waktu itu terdapat 12 bulan dengan menitik beratkan pada peredaran bulan. Penanggalan ini mereka awali dari waktu terjadinya peristiwa / kejadian yang cukup populer pada waktu itu. Jadi tak mengherankan bila mereka mengatakan ……."satu tahun setelah terjadinya momentum…………, kelahiran Abu Bakar adalah berjarak tiga tahun setelah terjadinya peristiwa tahun gajah ……", serta contoh-contoh lainnya.
Penanggalan yang ada berjalan semacam itu, sehingga timbul peristiwa baru yang pengaruhnya dapat mengikis dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Selanjutnya peristiwa-peristiwa baru ini mereka jadikan sebagai pijakan penanggalan berikutnya. Dengan demikian, terjadilah beragam penanggalan yang mereka pergunakan. Fenomena ini tidak lain adalah dikarenakan dari ketidak adaan persatuan antar suku-suku bangsa Arab sebagai satu nusa serta satu bangsa.
Bagi bangsa Arab, terdapat beberapa bulan yang mereka sakralkan, sehingga tidak diperkenankan (illegal) terjadinya peperangan didalamnya. Bulan-bulan tersebut adalah yang sekaranng lebih kita kenal dengan sebutan Muharram, Rajab, Dzul Qo'dah, dan Dzul Hijjah. Disamping itu, mereka juga terkenal sebagai  bangsa yang suka mempermainkan penanggalan. Dengan mengajukan beberapa bulan serta mengakhirkan bulan-bulan lainnya sebagai imbasnya. Hal itu mereka lakukan hanya semata untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu belaka. Dan permainan semacam ini, berimplikasikan pada ketidak stabilan dari penanggalan itu sendiri. Fenomena ini, benar-benar diharamkan oleh islam, sebagaimana terbukti lewat kecaman keras dalam surat at-Taubah

"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram ituadalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk 
kepada orang-orang yang kafir."(Q.S. At-Taubah :27)

RIWAYAT KONTRADIKTIF

Kitab-kitab sejarah mencatat bahwa kalender hijriyyah adalah merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh sahabat Umar bin al-Khattab pada waktu beliau menjadi khalifah. Akan tetapi, Imam At-Thabari dalam karya monumentalnya dengan judul "Tarikh At-Thabari" yang begitu tebal dan berjilid-jilid, sempat menuturkan sebuah riwayat yang teramat singkat dengan tanpa disertai penjelasan lebih lanjut/komentar (syarh), dan agaknya memberikan sebuah indikasi yang terasa janggal bila dibandingkan dengan riwayat-riwayat lainnya, beliau menuliskan …….." sewaktu baginda Nabi telah sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awwal, beliau mengintruksikan untuk membuat penanggalan. Maka para sahabat pun melaksanakan perintah tersebut , mereka pada akhirnya melakukan penanggalan terhadap satu bulan, dua bulan dari kedatanggan beliau di Madinah, sehingga mereka genapkan satu tahun", demikian yang dituliskan oleh beliau imam at-Thabari.
Dan sebenarnya, tiada pertentangan atau kontradiktif antara riwayat tersebut dengan riwayat-riwayat yang lazim disebutkan dalam buku-buku sejarah, yang memiliki validitas data dengan cukup akurat, yakni riwayat-riwayat yang menginformasikan bahwa sahabat Umar lah sosok yang berjasa sebagai peletak pertama dari kalender Hijriyyah.
Kesimpulan (konklusi) ini, dapat kita capai bila dapat memahami dengan baik terhadap argumentasi-argumentasi yang dipaparkan oleh Al-Biruni (362-440 H) dalam kitab "al-Atsar al-Baqiyah" beliau menjelaskan bahwa para sahabat di masa Rosulillah SAW, menamai/menjuluki setiap tahun setelah peristiwa Hijrah Nabi sampai dengan wafatnya beliau dengan sebutan nama-nama khusus. Adapaun perinciannya adalah sebagai berikut:
o   Tahun pertama setelah Hijrah mereka sebut tahun perizinan (al-Idzn)
o   Tahun kedua setelah Hijrah mereka sebut tahun perintah berperang (al-Amr bi al-Qital)
o   Tahun ketiga setelah Hijrah mereka sebut tahun ujian/cobaan (at-Tamhis)
o   Tahun keempat setelah Hijrah mereka sebut tahun kerukunan (ar-Rif'ah)
o   Tahun kelima setelah Hijrah mereka sebut tahun kegoncanga (al-Zilzal)
o   Tahun keenam setelah Hijrah mereka sebut tahun keramahan (al-Isti'nas)
o   Tahun ketujuh setelah Hijrah mereka sebut tahun kemenangan (al-Istiglab)
o   Tahun kedelapan setelah Hijrah mereka sebut tahun kesetabilam (al-Istiwa')
o   Tahun kesembilan setelah Hijrah mereka sebut tahun pembebasan (al-Bara'ah)
o   Tahun kesepuluh setelah Hijrah mereka sebut tahun perpisahan (al-Wada')
Bagi para sahabat, menyebut nama-nama tersebut terasa mencukupi dari pada menyebutkan bilangan tahunnya yang dihitung semenjak Hijrah Nabi. Demikianlah kurang lebih isi dari tulisan yang sampaikan oleh al-Biruni dalam masterpiece-nya tersebut.
Dari keterangan yang disampaikan oleh al-Biruni diatas, kita dapat mengkompromikannya dengan riwayat at-Thabari sebelumnya yang sedikit banyak menyisakan kejanggalan. Kita dapat menyimpulkan bahwa Rosulillah SAW. Saat menginstruksikan para sahabat untuk untuk membuat penanggalan yang diawali dari moment Hijrah beliau, sebenarnya sejalan dengan metode (manhaj) bangsa Arab dalam mengawali penanggalan mereka dengan momen-momen penting saat itu. Selanjutnya penanggalan yang disandarkan pada moment Tahun Gajah yang dipakai oleh suku Quraisy, beliau ganti dengan penanggalan yang di sandarkan pada moment Hijrah beliau. Dikarenakan peristiwa Hijrah Nabi merupakan peristiwa agung, masyhur, dan terkini (up to date).
Dengan demikian bila dikatakan ……..Tahun pertama setelah Hijrah, tahun kedua setelah hijrah, tahun ketiga ……….dan seterusnya, dapatlah dibedakan bila dikatakan …… Tahun perizinan (al-Idzn), tahun perintah berperang (al-Amr bi al-Qital) ………..dan seterusnya.
Kelompok pertama adalah merupakan penanggalan resmi yang terpakai sebagai kalender-kalender saat ini, sangat diharapkan kesinambungannya sebagai penanggal bagi setiap terjadinya peristiwa dengan menyebutkan bilangan tahunnya, bulan serta harinya. Adapun kelompok yang kedua adalah penanggalan yang menandai setiap kejadian-kejadian yang masyhur, populer, serta menitik beratkan pada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi sebagai permulaan penanggalan, menandai tahun-tahun yang bersangkutan dengan nama-nama peristiwa yang terjadi didalamnya dengan tanpa menghiraukan bilangan tahun serta urut-urutannya. Pendek kata, penanggalan semacam ini tidak dimaksudkan sebagai penanggalan universal dan digunakan secara berkesinambungan yaitu penanggalannya bangsa Arab dan senantiasa diaplikasikan sampai pertengahan masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab.

AWAL MULA PENCETUSAN KALENDER HIJRIYYAH

Berhubung masyarakat islam pada saat peristiwa Hijrah Nabi tersentralkan di kota Madinah dan kondisi ini berjalan terus sampai tahun-tahun berikutnya maka tidak terasa akan adanya sebuah kebutuhan terhadap penanggalan resmi bagi seluruh suku di penjuru jazirah Arab. Realita dan kondisi sejarah saat itu pun menjadi sebuah jawaban tersendiri, dikarenakan bangsa Arab yang mendiami sebagian jazirah Arab lainnya benar-benar menentang adanya agama baru (Islam), oleh karena itu peristiwa Hijrah Rosul tidak begitu penting artinya (urgen) bagi mereka, untuk dijadikan sebagai sebuah tonggak penanggalan.
Dan tatkala pemerintah islam (Daulah Islamiyyah) mencapai puncak kejayaannya, seiring bertambah luasnya wilayah kekuasaan serta ekspansi besar-besaran dimasa khalifah Umar bin Khattab, adanya surat-menyurat antar wilayah kekuasan islam, terbentuknya aneka ragam pembukuan, adanya kebijakan undang-undang pajak tanah (kharaj), pajak perkepala (jizyah), pajak sepersepuluh harta niaga bagi orang kafir, maka umat islam merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak terhadap kalender penanggalan yang dapat memenej dengan baik terhadap proses akurasi data dari pertukaran surat-menyurat dan transaksi-transaksi (muamalah) yang terjadi saat itu.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, al-Biruni dan at-Thabari menyampaikan sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Abu Musa al-Asy'ari pernah berkirim surat pada khalifah Umar bin al-Khattab, berisikan penjelasan (konfirmasi) bahwa surat-surat khalifah Umar telah sampai pada beliau dengan tanpa disertai tanggal dikeluarkannya surat-surat tersebut. Selanjutnya khalifah Umar mengajak para sahabat untuk memusyawarahkan perihal kejadian itu. Riwayat lain mejelaskan, khalifah Umar dilapori mengenai surat cek yang berjatuh tempo pada bulan Sya'ban, beliau berkata: "bulan Sya'ban yang mana? Bulan Sya'ban saat inikah, atau yang sudah lewat ? "lalu khalifah umar berinisiatif mengumpulkan para sahabat, meminta pendapat dari mereka (sharing) untuk mencari solusi mengenai problematika perihal waktu yang sedang melanda.
Al-Biruni meriwayatkan pula, bahwa sebagian sahabat menyampaikan usul: "kita harus sigap tentang solusi problem ini dengan mengadopsi metode orang Persia. Maka diundanglah al-Hurmudzan, ia pun bersedia menjelaskan mengenai metode penanggalan yang dipakai oleh orang-orang Persia dan Romawi. Lalu sebagian sahabat mengusulkan untuk memakai pananggalan Romawi, tetapi penanggalan ini terlalu beresiko, panjang dan lama. Sedangkan yang lainnya mengusulkan untuk menggunakan penanggalan Persia saja, akan tetapi penanggalan inipun tak lepas dari problem serta resiko yang tidak sepele, karena setiap terjadi pergantian raja berganti pula kebijakan mengenai penanggalan yang dipakai, dengan arti penanggalan mereka tidak stabil dan tidak tertib dan berkesinambungan. Pada akhirnya para sahabat belum mencapai kata sepakat untuk menggunakan salah satu dari kedua sistem  penanggalan tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa karakter bangsa Arab yang islami menolak untuk mengadopsi metode Romawi ataupun Persia, pada hal banyak sekali momentum keislaman yang patut dijadikan sebagai tonggak/dasar penanggalan resmi bagi seluruh umat islam seantero jagad ini. Sahabat Umar lalu meneruskan musyawarahnya dengan para sahabat, lantas dari sekian sahabat ada yang mengusulkan untuk memulai penanggalan dari waktu diutusnya Rosulillah SAW. sebagai utusan Allah SWT., ada yang mengusulkan dari wafatnya beliau dan ada pula yang mengusulkan agar dimulai dari hari kelahirannya. Demikianlah aneka ragam pendapat dan usul yang muncul saat itu, selanjutnya mereka sepakat bahwa waktu yang paling jelas serta jauh dari kesangsian dan ketidak jelasan/kabur adalah waktu Hijrah Nabi ke Madinah. Dan setelah momentum hijrah ini mereka sepakati, ada yang mengusulkan supaya nantinya bulan pertamanya adalah bulan Ramadhan. Akan tetapi kata mufakat mereka memutuskan bulan Muharram lah yang menjadi permulaan, dikarenakan Muharram merupakan bulan yang menjadi tujuan umat islam untuk melaksanakan ibadah Haji disamping merupakan bulan yang mulia (sakral). Dan peristiwa bersejarah ini terjadi pada tahun ke-16 setelah Hijrah.
Setelah ummat islam memilih bulan Muharram sebagai permulaan tahun Hijriyyah, padahal Rosulullah SAW. sendiri melaksanakan hijrahnya pada bulan Rabi' al-Awwal, maka ummat islam pun memperhitungkan hal ini, dan secara substansial tahun Hijriyyah dimulai semenjak dua bulan lebih beberapa hari sebelum sampainya Rosulullah SAW. ke kota Madinah al-Munawwarah. Dengan berdasarkan pada perhitungan ini, maka bulan Muharram dari tahun Hjriyyah untuk pertama kalinya dimulai/jatuh pada hari Kamis (Jum'ah Legi, versi kitab Syamsul Hilal dan al-Anwar) serta bertepatan dengan tanggal 15 juli 622 M.

ARTI PENTING DARI TAHUN HIJRIYYAH BAGI UMMAT ISLAM

Tidak diragukan lagi, kalender penanggalan Hijriyyah adalah merupakan wujud konkrit yang begitu urgen bagi persatuan ummat islam, spesifikasi dari keistimewaan mereka dengan ummat-ummat lainnya dan bukti kesinambungan mereka dengan warisan lama maupun para leluhur yang begitu besar jasanya. Berawal dari sini, adalah merupakan suatu kewajiban moral dan sepiritual bagi setiap Negara-negara islam agar supaya memegang teguh (konsisten) dalam pengaplikasian kalender Hijriyyah ini di seluruh wilayah kekuasaannya, sebagai langkah  kebijakan dalam usaha menjaga koneksitas (hubungan) ummat islam dengan segala potensi keislaman yang dimiliki maupun persatuan mereka dimuka bumi ini.
Dan cukup realistis sekali, dengan pencapaian kemajuan di bidang ilmu pengetahuan serta eksperimennya yang luar biasa dan dapat disaksikan diabad ini – setelah sampainya seorang astronot mendarat di bulan – bila menjadi suatu hal yang cukup mudah bagi ummat islam diera kontemporer ini, untuk melakukan/menjangkau penghitungan kalender Hjriyyah bagi tahun-tahun kedepan yang cukup panjang secara akurat serta menghubungkannya dengan kalender penanggalan Miladiyyah/Masehi. (والله اعلم)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...