Jumat, 03 Agustus 2018

Tentang Pesantren


PESANTREN
TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL
Oleh : Abdul Kholiq*
Prolog
Tradisi Pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di wilayah ini. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh daya tarik yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tradisional tertua di Indonesia itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. (HC) KH. MA. Sahal Mahfudh (al-maghfurlahu) bahwa sebagai lembaga tafaqquh fiddīn (pendalaman ilmu agama), pesantren yang tersebar luas di Indonesia sejak munculnya hingga sekarang memang mempunyai daya tarik, baik dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Semua sisi pesantren amat menarik untuk dikaji, oleh karenanya banyak ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri yang mengarahkan perhatian dan penelitiannya pada pesantren.
Elemen Utama Pesantren
Pesantren sebagai lingkungan pendidikan para santri adalah merupakan miniatur dari kehidupan bermasyarakat. Hampir semua tatanan kehidupan yang ada di pondok pesantren akan dijumpai oleh para santrinya saat dirinya terjun di masyarakat. Sebagai miniatur kehidupan, para santri belajar di pesantren secara totalitas. Bila dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh sistem pendidikan publik Indonesia sekarang, yang menjadi pendidikan umum bangsa, maka pesantren  dengan sendirinya merupakan suatu kultur yang unik, meminjam istilah KH. Abdurrahman Wahid yang populer dengan sebutan Gus Dur presiden RI ke-4,  keunikan pesantren yang demikian itu beliau istilahkan sebagai subkultur dari masyarakat Indonesia.
Dalam pandangan Gus Dur, pesantren sebagai sebuah subkultur  didasarkan atas tiga elemen pokok. Pertama; pola kepemimpinan kiai di dalam pesantren yang berada di luar kepemimpinan pemerintahan desa. Kedua; literatur universalnya (kitab-kitab salaf) yang terus terpelihara selama berabad-abad. Ketiga; sistem nilainya sendiri yang terpisah dari yang diikuti oleh masyarakat luas. Dengan ketiga elemen tersebut, setiap pesantren mengembangkan kurikulum dan membangun lembaga-lembaga pendidikannya sendiri.
Secara lebih rinci, Zamakhsyari Dhofir menyebutkan ada lima elemen pokok dari pesantren. Pertama; pondok, sebuah asrama pendidikan Islam tradisional sebagai tempat tinggal bersama bagi para santri. Kedua; masjid (musholla), merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dari pesantren serta merupakan tempat yang paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dll. Ketiga; santri, yaitu para murid yang belajar ilmu agama kepada kiai di pesantren. Ada dua macam santri: 1) santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam komplek pesantren. 2) santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Keempat; pengajaran kitab Islam klasik (kitab-kitab salaf). Kelima; kiai. Dengan terpenuhinya kelima elemen dasar tersebut, maka sebuah lembaga pendidikan berhak menyandang status sebagai  pesantren.
Dengan kelima elemen pokok tersebut, pendidikan pesantren menitik beratkan  pada fungsi dan relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, sosok kiai yang mashur dengan masterpiece fiqih sosial-nya, bahwa pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak santrinya menjadi insan yang shâlih dan akram. Shâlih berarti, manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk.  Sedangkan akram, merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap khalik, mencapai kebahagiaan di akhirat. Untuk mencapai tujuan insan yang shâlih pesantren membekali santrinya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan. Sedangkan untuk mencapai tujuan akram, pesantren secara institusional menekankan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh fiddîn) bagi para santrinya yaitu dengan mengkaji secara mendalam kitab Islam klasik (kitab-kitab salaf).
Pesantren Menjawab Tantangan Era Generasi Milenial
Pada era generasi milenial saat ini, yakni  generasi yang dikelompokkan sebagai generasi yang lahir antara 1980-2000 atau generasi muda masa kini yang saat ini berusia antara 15–34 tahun, lembaga pendidikan pesantren dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dalam mendidik mereka. Hal ini dikarenakan generasi milenial mimiliki beberapa distingsi dari generasi sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Dede Rosyada, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini, berbagai kekhasan dari generasi ini adalah sebagai berikut:
1.       Generasi yang terbiasa dengan teknologi digital. Mereka adalah kelompok sosial yang mampu memperbesar fungsi-fungsi teknologi digital dengan fungsi yang lebih besar, dari sekedar komunikasi, sumber informasi, atau publikasi produk dan layanan jasa.  
2.      Generasi yang berpikir berbeda tentang teknologi. Generasi sebelumnya, memiliki kebiasaan kalau ada teknologi baru, mereka pelajari, pertimbangkan baru mereka pakai. Generasi milenial sekarang tidak memedulikan itu, ketika ada teknologi baru, mereka langsung gunakan, dan mereka jadikan mitra hidupnya.
3.    Generasi yang menyukai eksperimen-eksperimen dalam pemanfatan teknologi, jika gagal dalam satu kali penggunaan, mereka akan mencoba lagi, dan terus mencoba sampai mereka berhasil.
Nah itulah gambaran yang dapat kita pahami secara umum dari generasi milenial, generasi dengan tipikal karakter yang sangat akrab dengan media dan internet. Di sisi lain generasi ini rawan terhadap potensi karakter negatif sebagaimana kurang peka terhadap lingkungan sosial, pola hidup bebas, cenderung bersikap individualistik, kurang realistis, dan kurang bijak dalam menggunakan media. Kondisi tersebut jelas-jelas merupakan tantangan tersendiri bagi pesantren dalam mendidik mereka.
Dengan memahami peta tantangan yang dihadapi oleh pesantren tersebut, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pembacaan mendalam demi menemukan strategi baru dalam menjawab tantangan era generasi milenial ini. Untuk itu diperlukan sejumlah langkah-langkah progresif dalam rangka menciptakan masyarakat pesantren yang mempunyai kemampuan sebagai agen transformasi dan perubahan sosial berdasarkan nilai-nilai luhur kepesantrenan. Jadi tugas berat pesantren tidak hanya mendidik para santri generasi milenial untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh fiddîn) dengan mengkaji secara serius kitab-kitab Islam klasik (kitab-kitab salaf).
Sebagai langkah dalam merespon berbagai tantangan tersebut maka pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddîn) harus membuka diri dengan cerdas dan cermat dari segala perubahan dan perkembangan zaman. Dinamisasi pesantren yang demikian adalah pengejawantahan dari diktum yang amat populer:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Memelihara sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta mengembangkan cara baru yang lebih baik”.
Untuk menjawab berbagai tantangan era generasi milenial di atas serta masa depan pesantren di masa yang akan datang, maka sebagai langkah terobosan yang diusahakan untuk meresponnya adalah sebagai berikut:
1)        Gerakan Ayo Mondok
Salah satu langkah penting untuk mendorong para alumni pesantren dan orang tua yang belum pernah nyantri tak ragu memilih pesantren untuk anak-anaknya adalah dengan memberikan informasi yang benar tentang pesantren. Oleh karena itu kalangan pesantren yang tergabung dalam Rabitah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) atau dikenal dengan asosiasi pesantren-pesantren NU mengadakan Gerakan Ayo Mondok.
Gerakan Ayo Mondok ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian pesantren terhadap fenomena dunia pendidikan yang gagal menanamkan pendidikan karakter kepada pelajar dan mahasiswa. Di samping itu, gerakan ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat pesantren agar supaya bangga menjadi santri dan bagi yang belum nyantri, tak ragu untuk belajar ke pesantren. Para alumni diharapkan tak segan memondokkan anak-anaknya ke pesantren, begitu juga orang tua yang bukan alumni pesantren, tak ragu untuk memilih pesantren sebagai tempat belajar bagi anak-anaknya.
2)        Mendirikan Ma’had Aly di Berbagai Pesantren
Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddîn) berbasis kitab salaf yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Setatus hukum Ma’had Aly ini tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71 tahun 2015. Kurikulum Ma’had Aly yang berbasis kitab salaf ini semakin menegaskan kedudukan pesantren dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia.  
Sejauh ini, jenis program studi yang ditawarkan oleh Ma’had Aly meliputi: Sejarah dan Peradaban Islam, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Ilmu Hadits, Aqidah dan Filsafat, Ilmu Falak, serta Tasawwuf dan Tarekat.  Untuk menjaga mutu dan kualitas, setiap Mahad Aly hanya membuka satu program studi.
Ucapan rasya syukur Alhamdulillah patut kita ekspresikan oleh karena madrasah tercinta Tasywiquth-Thullab Salafiyah (TBS) secara resmi telah memperoleh ijin dari Kementrian Agama untuk turut serta ambil bagian dalam menyelenggarakan pendidikan Ma’had Aly ini dengan konsentrasi pada Ilmu Falak. Pada hari Sabtu, 7 April 2018 Ma’had Aly TBS dibuka secara resmi dengan ditandai penyerahan SK Izin Pendirian yang dihadiri oleh para kiai dan para santri dari berbagai Pondok Pesantren di Kabupaten Kudus,.
Epilog
Di masa lalu pesantren telah mampu menjawab dan merespon berbagai tantangan yang datang dari luar dengan sukses. Sebagai contoh capaian prestasi yang sangat mengagumkan tersebut adalah munculnya para alumni pesantren yang tersebar luas di tengah kehidupan masyarakat yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Sosok figur dengan kepribadian yang demikian adalah merupakan representasi dari tujuan pesantren yaitu mencetak insan yang shâlih dan akram. Prestasi ini kita harapkan dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan oleh pesantren pada era milenial ini dan era-era yang akan datang tentunya. Semoga tujuan mulia ini diberikan kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, amien. [ ]

Kudus, 01 Juni 2018
Referensi :
1.      Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Karya : DR. (H.C.) KH. Abdurrahman Wahid.
2.      Islam Kosmopolitan. Karya : DR. (H.C.) KH. Abdurrahman Wahid.
3.      Nuansa Fiqh Sosial. Karya : DR. (H.C.) KH. MA. Sahal Mahfudh.
4.      Tradisi Pesantren. Karya : Prof. Dr. Zamakhsyari Dhofier, M.A.
5.      Madrasah dan Profesionalisme Guru. Karya : Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
6.      Paradigma Baru Pesantren. Karya : Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., dkk.
7.      http://www.nu.or.id/post/read/85780/nahdlatul-ulama-dan-pesantren-di-era-milenial

*   Abdul Kholiq Ibnu Tulabi (Si Doel El Qudsiy)
Staf Pengajar di Madrasah TBS Kudus dan Pembina Pon-Pes Ath-Thullab

Jumat, 13 Mei 2016

Mari Menulis



WAHAI SANTRI PESANTREN
MENULISLAH ......!!!!
Ditulis Oleh :
Abdul Kholiq el-Qudsiy

Mengawali tulisan yang berjudul “Kitab Kuning di Pesantren” dari kumpulan beberapa makalah yang tersaji dalam buku “Nuansa Fiqih Sosial”, Dr. (HC) KH. MA. Sahal Mahfudh menguraikan analisis bahwa sebagai lembaga tafaqquh fiddīn, pesantren yang tersebar luas di Indonesia sejak munculnya hingga sekarang memang mempunyai daya tarik, baik dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Lebih lanjut beliau menuturkan, semua-sisi pesantren-menarik untuk dikaji. Tidak aneh bila belakangan ini banyak ilmuwan dari kalangan Islam, baik dari dalam maupun luar negeri, mengarahkan penelitiannya pada pesantren.
Analisa kiai yang kondang dengan gagasan “Fiqih Sosial”-nya itu bukan lah tanpa dasar dan sekedar isapan jempol belaka. Analisis tersebut diperkuat oleh bukti nyata, tidak sulit bagi kita untuk menemukan dokumentasi dari penelitian-penelitian tersebut yang menerbitkan berbagai karya ilmiah dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, tesis dan disertasi. Untuk sekedar memberikan gambaran contoh penelitian dari kalangan dalam negeri, adalah buku dengan judul “Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi KH. M. Arwani Amin” yang ditulis oleh dua orang peneliti, yaitu Drs. Rosehan Anwar dan Drs. Muchlis. Buku “Tradisi Pesantren” yang di tulis oleh Prof. Dr. Zamaksyari Dhofier, MA. Serta buku “Dari Haramain ke Nusantara” yang di tulis Prof. Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D. Dua nama buku yang terakhir tersebut adalah merupakan hasil proyek penelitian disertasi untuk memperoleh gelar akademis doctoral (strata tiga) di kampus luar negeri, yaitu kampus Australian National University (ANU) di Australia, dan kampus University of California Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat.   
            Demikianlah, pondok pesantren telah menjadi semacam magnet bagi orang-orang yang berada di luar lingkungannya, yaitu orang-orang yang ingin mengetahui secara langsung dan objektif pada pesantren. Pesantren menjadi destinasi dari berbagai penelitian yang menghasilkan berbagai karya-karya ilmiah dalam bilangan yang tidak sedikit. Bila ketertarikan pihak luar pada pesantren dapat menghasilkan berbagai karya-karya ilmiah yang erat hubungannya dengan dunia jurnalistik, lantas bagaimana sikap kalangan pondok pesantren sendiri terhadap dunia tulis-menulis (jurnalistik). Adakah di antara komponen pesantren yang tertarik dan aktif menggeluti dunia tulis-menulis ini ? Adakah figur kiai, ustadz, ataupun santri yang dapat menjadi inspirator dalam menumbuh-kembangkan daya tarik serta minat menekuni jurnalistik ?         
Berawal dari membaca
Dalam pengantar buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis”, Bapak Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. mantan Rektor IAIN  Sunan Ampel Surabaya (sekarang berubah menjadi UIN) menulis: “Untuk menjadi penulis hanya dibutuhkan tiga syarat, yaitu: suka membaca, bisa apa saja, ada inspirasi untuk menulis dan kemauan untuk menulis. Ada banyak orang yang suka membaca, tetapi tidak menemukan inspirasi untuk menulis. Ada banyak orang yang bisa menemukan inspirasi untuk menulis, tetapi tidak mau menulis. Maka dengan ketiganya, kita akan bisa menulis.” Memang, dengan ketekunan serta kegigihan mengasah dan mengasuh minat menulis, didukung pula minat membaca yang tinggi, jiwa kepenulisan akan tumbuh berkembang hingga menjadi bakat tersendiri dan menemukan momentumnya. Kesimpulan ini sejalan dengan kalimat bijak dari seorang Charles Jones: “Perbedaan antara siapa Anda hari ini dengan siapa Anda lima tahun lagi akan tampak dari buku-buku yang Anda baca dan dengan siapa Anda bergaul serta dengan siapa Anda melewatkan waktu itu.
Sebagai contoh, adalah karya monumental (magnum opus) yang berjudul “al-Mizān al-Kubrō”, kitab fiqih perbandingan madzhab yang ditulis oleh goresan pena Syech Abdul Wahab As-Sya’rōni. Sebagaimana dipaparkan beliau, proses penulisan kitab ini berlangsung setelah beliau menyelesaikan tiga tahapan. Tahap pertama adalah proses menghapal berbagai kitab. Kitab al-Minhāj karya imam An-Nawāwi beliau hapalkan di luar kepala. Berikutnya kitab al-Fiyah Ibnu Mālik, al-Fiyah al-Irāqiy, Jam’u al-Jawāmi, dll. Tahap kedua adalah proses mengkaji kitab pada guru (sorogan) secara intens. Dalam tahapan ini, berpuluh-puluh kitab beliau bacakan pada para guru. Tahap ketiga adalah proses membaca secara serius berpuluh-puluh kitab. Dalam tahap ketiga ini, nampak sekali tradisi membaca beliau yang begitu kuat, sebagaimana yang beliau tuturkan sendiri. Dari masing-masing kitab yang beliau baca, ada yang hanya dihatamkan satu kali, dan bahkan ada yang beliau hatamkan berulang-ulang kali hingga lima belas kali hataman, sebagaimana kitab Syarah Ar-Raudzh. Hebatnya lagi, kitab-kitab tersebut volumenya tebal-tebal dan berjilid-jilid.
Dari ketiga tahapan tersebut, akhirnya terciptalah buah karya yang menakjubkan yaitu kitab “al-Mizān al-Kubrō”, kitab ini berisikan formulasi fiqih dari beberapa madzhab (fiqih perbandingan madzhab). Dalam pandangan beliau, fiqih dari beberapa madzhab mengerucut pada neraca dua tingkatan (martabatai al-mizān), yakni antara pendapat yang cenderung berat (tasydīd) dan pendapat yang cenderung ringan (tahfīf). Kitab al-Mizān al-Kubrō termasuk dari beberapa kitab referesensi utama para pengkaji fiqh perbandingan di samping kitab-kitab semacam Rahmatul Ummah, Bidāyah al-Mujtahid, Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arbaah, Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, dll.
Memang benar, apa yang telah kita baca sedikit banyak akan mempengaruhi cara berpikir kita, lalu memberi citarasa pada tulisan-tulisan kita. Tak ada kisahnya para penulis besar malas membaca, semuanya adalah kutu buku ! Maka untuk membaca adalah faktor paling penting untuk menjadi penulis, demikian kang Rijal Mumazziq Zionis berbagi pengalamannya dalam buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis”.
Anda tidak harus juga menggunakan waktu yang banyak. Kalau Anda membiasakan diri membaca, maka Anda dapat membaca sekitar 300 kata-bukan huruf-dalam semenit. Ini berarti dalam 15 menit Anda dapat membaca sekitar 4500 kata. Dalam sebulan yang hanya menggunakan 15 menit itu, Anda dapat menyelesaikan 126.000 kata. Kalau rata-rata satu buku saku memuat sekitar 6000 kata, maka itu berarti setiap bulannya Anda dapat membaca dua buku. Ini baru dengan menggunakan waktu 15 menit. Demikian pesan Bapak Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. yang pakar di bidang Tafsir Al-Qur’an dalam bukunya: “DIA Di Mana-Mana”. Beliau adalah sosok ulama modern yang produktif di bidang penulisan buku dengan karya monumental “Tafsīr Al-Mishbāh yang berjumlah 15 jilid.
Produktifitas ulama’ salaf dalam bidang tulis-menulis
Membincangkan perihal produktifitas ulama salaf dalam mengukir prestasi di bidang tulis-menulis adalah topik yang sangat menarik, di samping pula membutuhkan ketelitian yang mendalam dengan merujuk aneka ragam kitab-kitab biografi yang memaparkan riwayat hidup dan keilmiahan mereka, serta buah karya yang mereka hasilkan. Tulisan kami ini tidak dimaksudkan menyebut satu persatu tokoh-tokoh dari golongan ulama salaf yang produktif di bidang ini. Oleh karena membutuhkan kajian mendalam dan panjang, di samping pula membutuhkan sumber rujukan dan referensi yang tidak sedikit. Kami hanya menyinggung beberapa di antaranya yang namanya sudah sangat familiar ditelinga kita. Kirannya dapat dijadikan sebagai contoh teladan (uswah hasanah) dan motivator yang membangkitkan jiwa kepenulisan bagi para santri pesantren.
1.     Imam Al-Ghazāli (450 – 505 H = 1058 – 1111 M)
Karya tulis beliau berjumlah lebih kurang 200 kitab, di antaranya adalah: Ihyā Ulūm ad-Dien, Tahāfut al- Falāsifah, Ayyuha al-Walad, al-Iqtisād Fi al-I’tiqād, Mahakku an-Nadzar, Ma’ārij al-Quds fi Ahwāl an-Nafs, al-Munqidz Min al- Dhalāl, al-Farqu Baina as-Shōlih wa Ghairu as-Shōlih, Maqāsid al-Falāsifah, al-Ma’ārif al-Aqliyyah, Bidayah al- Hidāyah, Jawāhir al-Qur’ān, Minhāj al-Ābidīn, Iljām al-Awām ‘an ‘Ilmi al-Kalām, al-Basīth, al-Mustasfa, al- Manhūl min ‘Ilmi al-Ushūl, al-Wajīz, Syifā al-‘Alīl, Mizān al-‘Amāl, dll.


2.     Imam Jalāluddīn As-Suyūtiy (849 – 911 H = 1445 – 1505 M)
Az-Zarkaliy dalam kitabnya “al-A’lām” menuliskan bahwa Imam As-Suyūtiy diberi gelar “Ibnu al-Kutub”, hal ini disebabkan beliau dilahirkan oleh sang ibu di antara tumpukan kitab-kitab koleksi bapak beliau, saat mengabilkan kitab yang dipesan oleh sang bapak. Kitab karya Imam Suyūtiy cukup banyak sekali, lebih kurangnya berjumlah 600 kitab. Karya tulis beliau itu terdiri dari berbagai bidang keilmuan. Dari berbagai bidang itu, di antaranya adalah di bidang Tafsir: ad-Dhurru al-Mantsūr fi at-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, al-Itqān fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, Tafsīr al-Jalālain, at-Tahbīr fi ‘Ulūm at-Tafsīr, Lubāb an-Nuqūl fi Asbāb an-Nuzūl, Syarh as-Syātibiyyah. Di bidang Hadis: ad-Durorul Muntashirah, al-Luma’ fi Asbāb Wurūd al-Hadīts, Lubāb al-Hadīts, at-Tahdzīb fi az-Zawāid ‘ala at-Taqrīb, Syarh Ibnu Mājah, Taudzīh al-Mudraq fi Tashīh al- Mustadraq. Di bidang Fiqh: al-Asbāh wa an-Nadzāir, al-Kāfi Zawāid al-Muhaddzab ‘ala al-Wāfi, Syarh at- Tanbīh, al-Qinyah Muhtashor ar-Roudzah, al-Khulashoh Nadzm ar-Raudzah, dll.
Masih banyak lagi ulama-ulama salaf yang produktif di bidang tulis-menulis, seperti Imam An-Nawāwi, Imam Khotīb As-Syirbiniy, Imam Jalāluddīn Al-Mahalliy, Imam Bukhōri, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Hajar Al-Asqalāniy dan Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Zakariya Al-Anshāry, Ibnu Jarīr At-Thabāri, Imam Al-Mawardi, dll.
Ulama pondok pesantren dan kitab-kitab karya mereka
            Kitab salaf, populer juga dengan istilah kitab kuning, merupakan referensi utama bagi para santri dalam mempelajari khazanah pengetahuan Islam (turots) dengan berbagai corak ragam disiplin ilmu yang diwarisi dari generasi ulama salaf. Pada tataran ini, kitab salaf lebih dari sekedar “manuskrip tertulis” melainkan juga wujud konkrit mata rantai yang menyambungkan tradisi keilmuan Islam masa lampau dengan masa kini. Pesantren dalam hal ini, menjadi media penghubung yang urgen bagi transmisi keilmuan dan pewarisan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi.
            Di era Menteri Agama dijabat oleh bapak Maftuh Basyuni, MA. Departemen Agama (sekarang berganti Kementerian Agama) Republik Indonesia mengadakan kegiatan yang sangat progresif serta positif dalam membangkitkan semangat jiwa menulis bagi generasi muslim, kegiatan tersebut dinamai “Tahqiq Kitab Salaf”. Dalam kegiatan ini kitab-kitab karya ulama pondok pesantren dijadikan sebagai objek dari proyek prestisius tersebut. Ulama-ulama yang dimaksud adalah; Syech Nawawi Al-Bantani, Syech Arsyad Al-Banjari, Syech Yasin Al-Fadani, Syech Mahfudz Al-Termasi dan yang terakhir adalah Kiai Sholeh Darat Al-Samarani. Selanjutnya kitab-kitab hasil tahqiq-an tersebut dicetak dan dibagikan secara gratis ke berbagai pondok pesantren. Al-hamdulillah termasuk yang memperoleh kiriman paketan ini adalah Pondok Pesantren Ma’hadul Ulum Asy-Syariyyah (PP. MUS) Sarang, pondok pesantren tempat penulis belajar ilmu agama setelah menyelesaikan jenjang MAK di Madrasah TBS Kudus tahun 2000 M. Paketan yang dikirimkan terdiri dari lima judul kitab yang dibagikan secara gratis, yaitu: Bugyah al-Adzkiyā, Manhaj Dzawi an-Nadzar, ‘Ināyah al-Muftaqir, al-Minhah al-Khoiriyyah dan al-Kholi’ah al-Fikriyyah. Yang mengagumkan adalah, kelima kitab tersebut merupakan hasil kreatifitas tulisan tangan beliau Syech Mahfudz Al-Termasi, salah satu dari sekian ulama pondok pesantren yang mengharumkan bumi pertiwi Nusantara.
            Di lingkungan kita sendiri kota Kudus, sebenarnya banyak sekali deretan ulama yang dapat dijadikan sebagai contoh keteladanan dalam berkarya. Mereka mendedikasikan dirinya dalam berdakwah menyebar luaskan ilmu agama (nasyrul ‘ilmi) kepada masyarakat dan para santri di lingkungan Kudus sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Pengabdian mulia itu mereka lengkapi dengan dokumentasi ilmiah dalam bentuk mahakarya tulisan yang mengagumkan. Bila diperkenankan menyebutkan di antara ulama itu, maka nama yang amat populer dan familiar adalah KH. Raden Asnawi yang terkenal dengan kitab Fasholatan Jawan-nya. KH. Abdul Jalil dengan karya tulis beliau di bidang Astronomi berjudul Fath ar-Roūf al-Mannān. KH. Arwani Amin dengan karya tulisnya di bidang Ilmu Qira’ah berjudul Faidh al-Barakāt. KH. Turaichan Adjhuri dengan karya  monumentalnya di bidang Astronomi (falak) yaitu Almanak Kudus. Berikutnya adalah KH. Sya’roni Ahmadi dengan karya tulis beliau yang sangat banyak sekali dan sangat membantu bagi para santri dalam memahami pelajaran salaf di madrasah, di antaranya adalah kitab Faidh al-Asāniy, al-Farāid as-Saniyyah, at-Tashrīh al-Yasīr, kitab tarjamah Arab pegon nadham al-Waraqāt dan as-Sullam al-Munawraq.    
Bila kita teliti sejarah masa lampau dengan seksama, akan kita jumpai lebih banyak lagi jumlah ulama pondok pesantren–selain yang tersebut di atas–yang piawai dan tekun dalam menorehkan tinta-tinta pena mereka. Kenyataan ini menjadi bukti konkrit bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang sukses dalam mengkader serta memberikan keteladanan dan motivasi para santrinya untuk lebih giat dalam kegiatan tulis-menulis.
Menulis adalah ibadah
Suatu ketika KH. Ahmad Mustofa Bisri yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Mus bertutur : “Harapan saya sangat tinggi, bahwa pesantren harus di depan, mempelopori untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman pada masyarakat. Dan itu memerlukan kemampuan-kemampuan lain di luar kemampuan yang dikuasai pesantren. Misalnya kemampuan tentang jurnalisme.” Demikian kutipan motivasi yang disampaikan oleh Gus Mus saat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar jurnalistik bagi para santri pondok pesantren, yang diliput secara khusus oleh reporter buletin Sidogiri. Beliau adalah sosok kiai sekaligus budayawan hasil tempaan pesantren murni yang rajin menulis di beberapa media cetak terkenal baik yang berskala lokal ataupun nasional. Di samping menulis artikel beliau juga rajin menulis buku yang cukup banyak jumlahnya. Bagi beliau, pesantren sangat diharapkan untuk berada di lini terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman, baik dengan dakwah bil hal, bil lisan, maupun bil qalam. Untuk dakwah bil qalam khususnya, tugas mulia ini sangat memerlukan keterampilan mengasah ketajaman pena, karena dengan penguasaan seni tulis-menulis ini, seseorang dapat menyampaikan materi keislaman dengan baik dan benar sekaligus menampakkan nilai keilmiahannya.
 Di samping itu, dakwah melalui tulisan memiliki kekuatan yang dahsyat, melebihi dakwah dengan lisan yang hanya bisa didengar sekali oleh satu, dua, atau tiga orang saja. Dan itu pun kalau masih teringat dalam memori para audiens. Berbeda lewat tulisan, kekuatannya dapat bertahan sampai berabad-abad. Maka dari itu Allah berfirman: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis.”(Q.S. Al-Qalam; 01). Dengan ayat ini, Allah bagaikan bersumpah dengan manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh dari tulisan. Ini secara tidak langsung merupakan anjuran untuk membaca karena dengan membaca seseorang dapat memperoleh manfaat yang banyak selama itu dilakukan bismi rabbika, yakni demi karena Allah dan guna mencapai ridha-Nya (Al-Mishbāh).
Namun, dengan penuh kearifan harus diakui, bahwa referensi-referensi ilmiah warisan para ulama terdahulu banyak dituturkan dengan bahasa Arab. Tentu, realitas ini merupakan problem tersendiri bagi masyarakat yang tidak menguasai linguistik Arab tersebut, sebagaimana kebanyakan dari kaum muslim di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan usaha-usaha jurnalistik berupa penerjemahan atau alih bahasa terhadap warisan ilmiah tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam, dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, dengan kata lain aktualisasi kitab salaf. Tentu saja metode dakwah dalam bentuk penerjemahan ini dilakukan oleh mereka yang mampu memahami secara langsung kitab salaf, dengan bekal penguasaan atas kaidah-kaidah tata bahasa Arab, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak melenceng dari referensi aslinya.
Dengan demikian, usaha kreatif jurnalistik dalam bentuk penerjemahan karya intelektual ulama salaf tidak perlu dinilai tabu. Sebab kebutuhan akan informasi keagamaan dari masyarakat awam yang tidak mampu menguasai bahasa Arab dengan baik teramat besar dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Kiranya dapat dikemukakan beberapa pertanyan yang harus dijawab dengan jujur dan tulus, tegakah kita membiarkan mereka dalam kubangan kebodohan akan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini? Bukankah menyampaikan ilmu kepada para thālib al-ilmi adalah wajib? Tidakkah kualifikasi hukum wajib ini sama dengan hukum wajib untuk mencari ilmu itu sendiri, yakni sama-sama wajib dengan tanpa memandang wajib kifayah-kah apa wajib ‘ain? Tentu hati nurani kita akan tersentuh bila dengan seksama memperhatikan kenyataan seperti itu.
Berawal dari sini, usaha-usaha dakwah jurnalistik berupa pengadaan bacaan-bacan Islami baik berbentuk artikel, buku, majalah, tabloid, makalah, serta aneka ragam media cetak lainnya adalah keniscayaan dan merupakan tugas mulia dalam penyebaran ajaran agama Islam. Di samping itu, bacaan-bacan Islami tersebut sangat bermanfaat sekali untuk membentengi akidah ummat Islam, yang saat ini tengah menghadapi gelombang serangan orang-orang kafir serta para pengikut mereka, dengan beragam upaya sistematis pendangkalan akidah ummat, serta mempropagandakan perilaku-perilaku amoral yang merupakan sumber pemicu-disamping faktor-faktor lain-dari merebaknya gelombang arus dekadensi moral di tengah kehidupan ummat Islam. Dengan bukti, banyak sekali media-media cetak yang bertebaran atau bahkan media elektronik yang sangat kontras dengan nilai-nilai Islami.
Penutup
            Pada periode sekarang ini, geliat santri untuk menggeluti dunia tulis-menulis mulai tumbuh signifikan. Jenis dan kategori tulisan mereka pun bervariasi. Ada tulisan yang ringan-ringan dalam bentuk puisi, cerpen, dan cerita humor santriana. Ada pula tulisan dengan kategori sedang-sedang sebagaimana kumpulan-kumpulan bahtsul masail disertai dengan penalarannya, opini, serta makalah-makalah ilmiah. Hingga jenis tulisan berat kategori ilmiah akademik sekalipun sudah tidak asing lagi bagi para santri. Hasil karya tulis yang telah mereka bukukan itu tidak hanya beredar di lingkungan lokal mereka sendiri. Bahkan sebagian dari tulisan-tulisan itu sudah merambah tingkat nasional dan sejajar dengan tulisan para penulis kaliber nasional, baik dari sisi produktifitas maupun kualitasnya.
             Memang saat ini tidak sedikit dijumpai para penulis yang tadinya adalah para santri pondok pesantren. Sebagaimana para santri yang meneruskan studinya di berbagai perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN) atau yang sudah terjun langsung dan mengabdikan diri di tengah masyarakat, atau bahkan yang masih berada dalam lingkungan pondok pesantren sekalipun. Sebagaimana yang saat ini terlihat dinamis di pondok-pondok besar Jawa Timur dan sekitarnya. Untuk sekedar menyebut contoh, adalah Pondok Lirboyo dan Pondok Ploso di Kediri, Pondok Sidogiri di Pasuruan, Pondok Langitan di Tuban, serta Pondok Sarang (MUS, MIS, Al-Anwar dll.) di Rembang.
Pada mulanya para santri itu secara kolektif melakukan kegiatan menulis sebab ditugaskan oleh kiai dan ustadznya sebagai syarat kelulusan tingkat Aliyah (MA) atau pasca kelulusan tingkat Aliyah atau yang sederajat. Namun, sebagian dari mereka jiwa kepenulisannya terasah sehingga setelah itu meneruskan bakat jurnalistiknya secara mandiri, menulis secara personal individual. Karya-karya yang dihasilkan di antaranya adalah menerjemah karya ilmiah ulama salaf dengan desain model kekinian, buku-buku kumpulan hasil bahtsul masail disertai penalarannya, buku-buku tanggapan atau studi kritik terhadap beberapa buku yang sudah beredar yang ditengarai melenceng dari akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dll. Al-hamdulillah bakat jurnalistik yang dimiliki para santri pesantren salaf tersebut berkembang pesat. Saat ini, banyak kita jumpai karya tulis yang mereka hasilkan di beberapa toko buku.
Budaya jurnalistik sebenarnya sudah semenjak dulu diperkenalkan oleh para ulama salaf, disusul berikutnya oleh para mahaguru pondok pesantren (masyayikh) melalui karya-karya tulis mereka yang berbahasa Arab. Sekarang pun para mahaguru (masyayikh) masih tetap aktif memberikan contoh teladan melaui karya ilmiah mereka, baik yang tertuang dalam bahasa Arab, di samping berbahasa Indonesia dengan tulisan latin serta tulisan Arab pegon, serta yang berbahasa Jawa dengan tulisan Arab pegonnya. Dengan demikian, cukup jelas bahwa gerbong lokomotif jurnalistik telah ditarik dan dikemudikan para mahaguru tersebut semenjak dulu, dan mudah-mudahan para santri sebagai generasi penerus termotivasi oleh kreatifitas mereka. Semoga tulisan sederhana ini mengandung berkah dan man’faat bagi yang berkenan membacanya, amien. [ ]

[ Kudus, 27 Rajab 1437 H / 5 Mei 2016 M ]


REFERENSI
1.      Tafsīr Al-Mishbāh. Karya Prof. Dr. M. QuraishShihab, MA.
2.      NuansaFiqihSosial. Karya Dr. (HC) KH. MA. SahalMahfudh.
3.      DIA Di Mana-Mana. Karya Prof. Dr. M. QuraishShihab, MA.
4.      Lentera Al-Qur’an. Karya Prof. Dr. M. QuraishShihab, MA.
5.      JalanTerjalSantriMenjadiPenulis. KaryaTsanin A. Zuhairi, S.HI.,M.Si. dkk.
6.      KamusBesarBahasa Indonesia (KBBI).
7.      Fiqih Safar. Karya Si Doel el-Qudsiy.
8.      Setengah Isi SetengahKosong. KaryaParlindunganMarpaung.





Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...