PESANTREN
TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL
Oleh : Abdul Kholiq*
Prolog
Tradisi
Pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan
Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi objek
penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di wilayah ini. Penelitian tersebut
dilatarbelakangi oleh daya tarik yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tradisional
tertua di Indonesia itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. (HC) KH. MA. Sahal
Mahfudh (al-maghfurlahu) bahwa sebagai lembaga tafaqquh fiddīn
(pendalaman ilmu agama), pesantren yang tersebar luas di Indonesia sejak
munculnya hingga sekarang memang mempunyai daya tarik, baik dari sosok luarnya,
kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun sistem dan
metodenya. Semua sisi pesantren amat menarik untuk dikaji, oleh karenanya
banyak ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri yang mengarahkan perhatian
dan penelitiannya pada pesantren.
Elemen Utama Pesantren
Pesantren sebagai lingkungan pendidikan para
santri adalah merupakan miniatur dari kehidupan bermasyarakat. Hampir semua
tatanan kehidupan yang ada di pondok pesantren akan dijumpai oleh para
santrinya saat dirinya terjun di masyarakat. Sebagai miniatur kehidupan, para
santri belajar di pesantren secara totalitas. Bila dibandingkan dengan
lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh sistem pendidikan publik
Indonesia sekarang, yang menjadi pendidikan umum bangsa, maka pesantren dengan sendirinya merupakan suatu kultur yang
unik, meminjam istilah KH. Abdurrahman Wahid yang populer dengan sebutan Gus
Dur presiden RI ke-4, keunikan pesantren
yang demikian itu beliau istilahkan sebagai subkultur dari masyarakat
Indonesia.
Dalam
pandangan Gus Dur, pesantren sebagai sebuah subkultur didasarkan atas tiga elemen pokok. Pertama;
pola kepemimpinan kiai di dalam pesantren yang berada di luar kepemimpinan
pemerintahan desa. Kedua; literatur universalnya (kitab-kitab salaf) yang terus
terpelihara selama berabad-abad. Ketiga; sistem nilainya sendiri yang terpisah
dari yang diikuti oleh masyarakat luas. Dengan ketiga elemen tersebut, setiap
pesantren mengembangkan kurikulum dan membangun lembaga-lembaga pendidikannya
sendiri.
Secara
lebih rinci, Zamakhsyari Dhofir menyebutkan ada lima elemen pokok dari
pesantren. Pertama; pondok, sebuah asrama pendidikan Islam tradisional sebagai
tempat tinggal bersama bagi para santri. Kedua; masjid (musholla), merupakan
elemen yang tidak bisa dipisahkan dari pesantren serta merupakan tempat yang
paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam praktik sembahyang lima
waktu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dll. Ketiga; santri, yaitu para
murid yang belajar ilmu agama kepada kiai di pesantren. Ada dua macam santri:
1) santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam komplek pesantren. 2) santri kalong, yaitu murid-murid yang
berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam
pesantren. Keempat; pengajaran kitab Islam klasik (kitab-kitab salaf). Kelima;
kiai. Dengan terpenuhinya kelima elemen dasar tersebut, maka sebuah lembaga
pendidikan berhak menyandang status sebagai
pesantren.
Dengan
kelima elemen pokok tersebut, pendidikan pesantren menitik beratkan pada fungsi dan relevansinya dengan segala
aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, sosok kiai
yang mashur dengan masterpiece fiqih sosial-nya, bahwa pendidikan pesantren
bertujuan untuk mencetak santrinya menjadi insan yang shâlih dan akram.
Shâlih berarti, manusia yang secara potensial mampu berperan aktif,
berguna, dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akram, merupakan pencapaian
kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap khalik, mencapai
kebahagiaan di akhirat. Untuk mencapai tujuan insan yang shâlih
pesantren membekali santrinya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kebutuhan kehidupan. Sedangkan untuk mencapai tujuan akram,
pesantren secara institusional menekankan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh
fiddîn) bagi para santrinya yaitu dengan mengkaji secara mendalam kitab
Islam klasik (kitab-kitab salaf).
Pesantren Menjawab Tantangan Era
Generasi Milenial
Pada
era generasi milenial saat ini, yakni
generasi yang dikelompokkan sebagai generasi yang lahir antara 1980-2000
atau generasi muda masa kini yang saat ini berusia antara 15–34 tahun, lembaga
pendidikan pesantren dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dalam mendidik mereka.
Hal ini dikarenakan generasi milenial mimiliki beberapa distingsi dari generasi
sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Dede Rosyada, rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini, berbagai kekhasan dari generasi ini
adalah sebagai berikut:
1. Generasi yang terbiasa dengan
teknologi digital. Mereka adalah kelompok sosial yang mampu memperbesar
fungsi-fungsi teknologi digital dengan fungsi yang lebih besar, dari sekedar
komunikasi, sumber informasi, atau publikasi produk dan layanan jasa.
2. Generasi yang berpikir berbeda
tentang teknologi. Generasi sebelumnya, memiliki kebiasaan kalau ada teknologi
baru, mereka pelajari, pertimbangkan baru mereka pakai. Generasi milenial
sekarang tidak memedulikan itu, ketika ada teknologi baru, mereka langsung
gunakan, dan mereka jadikan mitra hidupnya.
3. Generasi yang menyukai
eksperimen-eksperimen dalam pemanfatan teknologi, jika gagal dalam satu kali
penggunaan, mereka akan mencoba lagi, dan terus mencoba sampai mereka berhasil.
Nah
itulah gambaran yang dapat kita pahami secara umum dari generasi milenial,
generasi dengan tipikal karakter yang sangat akrab dengan media dan internet. Di
sisi lain generasi ini rawan terhadap potensi karakter negatif sebagaimana
kurang peka terhadap lingkungan sosial, pola hidup bebas, cenderung bersikap
individualistik, kurang realistis, dan kurang bijak dalam menggunakan media.
Kondisi tersebut jelas-jelas merupakan tantangan tersendiri bagi pesantren
dalam mendidik mereka.
Dengan
memahami peta tantangan yang dihadapi oleh pesantren tersebut, maka langkah awal
yang harus dilakukan adalah pembacaan mendalam demi menemukan strategi baru dalam
menjawab tantangan era generasi milenial ini. Untuk itu diperlukan sejumlah langkah-langkah
progresif dalam rangka
menciptakan masyarakat pesantren yang mempunyai kemampuan sebagai agen
transformasi dan perubahan sosial berdasarkan nilai-nilai luhur kepesantrenan. Jadi tugas
berat pesantren tidak hanya mendidik para santri generasi milenial untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh
fiddîn) dengan mengkaji secara serius kitab-kitab Islam klasik (kitab-kitab salaf).
Sebagai langkah dalam merespon berbagai tantangan
tersebut maka pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mendalami ilmu agama (tafaqquh
fiddîn) harus membuka diri dengan cerdas dan cermat dari segala perubahan
dan perkembangan zaman. Dinamisasi pesantren yang demikian adalah
pengejawantahan dari diktum yang amat populer:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Memelihara
sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta
mengembangkan cara baru yang lebih baik”.
Untuk menjawab berbagai tantangan era generasi milenial di atas serta
masa depan pesantren di masa yang akan datang, maka sebagai langkah terobosan yang
diusahakan untuk meresponnya adalah sebagai berikut:
1)
Gerakan Ayo Mondok
Salah satu
langkah penting untuk mendorong para alumni pesantren dan orang tua yang belum
pernah nyantri tak ragu memilih pesantren untuk anak-anaknya adalah dengan
memberikan informasi yang benar tentang pesantren. Oleh karena itu
kalangan pesantren yang tergabung dalam Rabitah Ma’ahid
Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) atau dikenal dengan asosiasi
pesantren-pesantren NU mengadakan Gerakan Ayo Mondok.
Gerakan Ayo Mondok ini merupakan bentuk nyata
dari kepedulian pesantren terhadap fenomena dunia pendidikan yang gagal
menanamkan pendidikan karakter kepada pelajar dan mahasiswa. Di samping itu,
gerakan ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat pesantren agar supaya bangga menjadi santri dan bagi yang belum
nyantri, tak ragu untuk belajar ke pesantren. Para alumni diharapkan tak segan memondokkan anak-anaknya ke pesantren, begitu juga orang tua yang bukan alumni pesantren, tak ragu
untuk memilih pesantren sebagai tempat belajar bagi anak-anaknya.
2)
Mendirikan Ma’had Aly di Berbagai Pesantren
Ma’had Aly adalah perguruan tinggi
keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang
penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddîn) berbasis kitab salaf yang
diselenggarakan oleh pondok pesantren. Setatus hukum Ma’had Aly ini tertuang
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71 tahun 2015. Kurikulum Ma’had Aly yang
berbasis kitab salaf ini semakin menegaskan kedudukan pesantren dalam sistem
pendidikan Nasional di Indonesia.
Sejauh ini, jenis program studi yang
ditawarkan oleh Ma’had Aly meliputi: Sejarah dan Peradaban Islam, Fiqh dan
Ushul Fiqh, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Ilmu Hadits, Aqidah dan
Filsafat, Ilmu Falak, serta Tasawwuf dan Tarekat. Untuk menjaga mutu dan
kualitas, setiap Mahad Aly hanya membuka satu program studi.
Ucapan rasya syukur Alhamdulillah patut
kita ekspresikan oleh karena madrasah tercinta Tasywiquth-Thullab Salafiyah
(TBS) secara resmi telah memperoleh ijin dari Kementrian Agama untuk turut
serta ambil bagian dalam menyelenggarakan pendidikan Ma’had Aly ini dengan
konsentrasi pada Ilmu Falak. Pada hari Sabtu, 7 April 2018 Ma’had Aly TBS
dibuka secara resmi dengan ditandai penyerahan SK Izin Pendirian yang dihadiri
oleh para kiai dan para santri dari berbagai Pondok Pesantren di Kabupaten
Kudus,.
Epilog
Di masa lalu pesantren
telah mampu menjawab dan merespon berbagai tantangan yang datang dari luar
dengan sukses. Sebagai contoh capaian prestasi yang sangat mengagumkan tersebut
adalah munculnya para alumni pesantren yang tersebar luas di tengah kehidupan
masyarakat yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai
yang tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam,
dibarengi dengan kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan
lingkungan. Sosok figur dengan kepribadian yang demikian adalah merupakan
representasi dari tujuan pesantren yaitu mencetak insan yang shâlih dan akram.
Prestasi ini kita harapkan dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan oleh
pesantren pada era milenial ini dan era-era yang akan datang tentunya. Semoga
tujuan mulia ini diberikan kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, amien.
[ ]
Kudus, 01 Juni 2018
Referensi :
1. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Karya :
DR. (H.C.) KH. Abdurrahman Wahid.
2. Islam Kosmopolitan. Karya : DR. (H.C.) KH.
Abdurrahman Wahid.
3. Nuansa Fiqh Sosial. Karya : DR. (H.C.) KH.
MA. Sahal Mahfudh.
4. Tradisi Pesantren. Karya : Prof. Dr.
Zamakhsyari Dhofier, M.A.
5. Madrasah dan Profesionalisme Guru. Karya :
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
6. Paradigma Baru Pesantren. Karya : Prof. Dr.
Abu Yasid, M.A., dkk.
7. http://www.nu.or.id/post/read/85780/nahdlatul-ulama-dan-pesantren-di-era-milenial
* Abdul Kholiq Ibnu Tulabi (Si
Doel El Qudsiy)
Staf Pengajar di Madrasah TBS Kudus dan Pembina Pon-Pes Ath-Thullab