PACARAN YANG DIBENARKAN AGAMA
Pertanyaan
Bagaimana sebenarnya cinta
kasih (pacaran) dan pergaulan muda-mudi, khususnya pelajar, yang dapat
dibenarkan oleh agama.
Jawab
Terlebih
dahulu perlu Anda ketahui bahwa cinta-kasih adalah amal kalbu. Sulit sekali ―kalau
enggan berkata mustahil― untuk menghindarinya. Nabi SAW. pernah berdo’a
sehubungan dengan perbedaan rasa cintanya kepada istri-istri beliau, “Inilah
yang mampu aku lakukan, maka jangan tuntut aku menyangkut apa yang bukan di
tanganku.”
Atas
dasar ini, kita dapat berkata bahwa agama tidak melarang seseorang ―walau
masih belajar dan belum mampu kawin― untuk mencintai lawan
jenisnya. Yang dilarang agama adalah melahirkan rasa cinta itu dalam bentuk
yang dapat mengantar pada perzinaan.
Al
Qur’an surat al-Baqarah [2]: 235 menegaskan, Tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu, (walaupun masih dalam keadaan berkabung/iddah karena
kematian suaminya) atau kamu menyembunyikan keinginan (cintamu) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka ....
Di
sisi lain, perlu diingatkan bahwa sekadar adanya cinta di dalam hati belum
mengantar seseorang untuk dapat dinamai berpacaran. Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan kata pacaran sebagai “bercintaan, berkasih-kasihan
antara teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya
untuk menjadi tunangan (calon suami/istri)”.
Agama
tidak melarang seorang berkasih-kasihan dan bercinta, karena hal tersebut
merupakan naluri makhluk. Hanya saja agama menghendaki kesucian dan ketulusan
dalam hubungan itu, sehingga ditetapkannya pedoman yang harus diindahkan oleh
setiap orang, sehingga mereka tidak terjerumus di dalam fahisyah (zina
dan kekejian lainnya).
Agama,
misalnya, tidak melarang seseorang yang bermaksud menikah untuk berkenalan,
bahkan menyampaikan minat (cinta)-nya kepada calon pasangannya, selama itu
disampaikan secara terhormat dan tulus. (lihat lebih jauh penjelasan saya di
atas).
Pergaulan
atau pertemuan muda-mudi, dalam batas-batas yang wajar sehingga terjamin tidak
adanya pelanggaran agama dan moral, tidak dilarang agama. Bertemu dan bercakap
dikelas, di hadapan teman-teman dan guru mereka, atau dipesta bersama ibu atau
bapak atau keluarga mereka, pada dasarnya ―dengan syarat di atas― tidak
dilarang agama.
Para
ulama menyatakan bahwa larangan agama ada disebabkan oleh substansi yang dilarang,
dan ini dinamakan haram lidzatih, seperti misalnya memakan babi dan berzina, dan ada juga karena ia dapat
mengantar pada substansi itu dan ini dinamai haram lighairih. Yang lidzatih
tidak boleh dilanggar kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa, dalam arti
bila tidak dilanggar akan mengakibatkan kematian. Dan pelanggaran yang
dibolehkan itu pun hanya sebatas menghindarkan kematian. Sedangkan yang lighairih,
dibenarkan untuk dilanggar kalau ada hajat atau keperluan yang mendesak,
dalam arti amat menyulitkan bila tidak dilakukan.
Berzina
terlarang karena substansi zina, tetapi membuka aurat atau berdua-dua dengan
lawan jenis, terlarang bukan karena zatnya tetapi karena dapat mengantar pada
perzinaan. Itu sebabnya orang sakit dibenarkan membuka auratnya jika hal
tersebut diperlukan untuk pengobatan, dan berbicara dengan lawan jenis pun
dibenarkan ―jika ada keperluan― misalnya seperti untuk tujuan mengawininya.
Al
Qur’an surah al-Isra’ [17]: 32 yang menyatakan, Janganlah mendekati zina,
sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji, mengandung larangan berzina
yang bersifat substansial, karena dapat mengantar perzinaan. Dalam konteks
inilah perintah menjaga pandangan (QS. Ar-Rum [30]: 31) jika tidak ada
keperluan apa lagi jika diduga pandangan itu akan mengantar pada zina.
Nabi
SAW. mengingatkan ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan at-Tirmidzi, “Wahai ‘Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan
pandangan kedua. Pada yang pertama Anda ditoleransi, dan pada yang kedua Anda
melakukan yang tidak wajar/berdosaI.”
Riwayat
lain menginformasikan bahwa seorang pemuda bernama al-Fadhl bin ‘Abbas, ketika
haji wada’ menunggang kuda bersama Nabi SAW. Ketika itu ada
seorang wanita yang cantik, yang ditatap terus-menerus oleh al-Fadhl. Nabi SAW.
pun memegang dagu al-Fadhl dan mengalihkan wajahnya agar tidak melihat wanita
tersebut secara terus-menerus. Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara
al-Fadhl sendiri, yaitu Ibnu ‘Abbas.
Agama
juga melarang wanita (dan pria) melakukan tabarruj al-jahiliyyah, satu
istilah yang digunakan al-Qur’an (QS. Al-Ahzab [33]: 33) yang maknanya mencakup
segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain
pasangan yang sah (suami/istri). Akan tetapi, al-Qur’an tidak melarang
perempuan (dan lelaki) berjalan di hadapan lawan jenisnya selama cara jalannya
tidak mengundang perhatian yang dapat menimbulkan hal-hal negatif dalam bahasa
al-Qur’an, ......... dan janganlah mereka memukulkkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka “sembunyikan” (QS. An-Nur [24]: 31). Yakni jangan
melakukan gerak-gerik yang dapat menimbulkkan rangsangan dan menarik perhatian
lawan jenis.
Ini
bukan berarti al-Qur’an melarang pembicaraan atau pertemuan antara lelaki dan
perempuan. Tidak! Hal itu dibenarkan asal sikap dan isi pembicaraan tidak
mengundang rangsangan dan godaan. Demikian maksud firman Allah dalam QS.
Al-Ahzab [33]: 32, ..... maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginan negatif orang yang ada penyakit dalam jiwanya. Yang dimaksud
“tunduk dalam berbicara” adalah berbicara dengan sikap yang menimbulkan
keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka”.
Begitu
sedikit dari adab pergaulan yang diajarkan Islam. Demikian, wa Allah a’lam.
[
M. Quraish Shihab menjawab ...? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,
hal: 612-613 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar