PACARAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Si Doel el Qudsiy
Prolog
(Pembukaan)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,” (Q.S:
Ali Imran; 14)
Demikian
pernyatan Al Quran atas sebuah fitrah yang mendasar (fundamental) pada
diri manusia, yakni kecintaan pada wanita. Demikian halnya sebaliknya, wanita
pun punya kecendrungan pada lawan jenisnya. Yang jelas fitrah tesebut merupakan
realitas yang tak terbantahkan oleh siapapun.
Bila kita amati kondisi sosial di sekitar kita, terlihat
sebuah fakta akan mudahnya akses pertemuan dua jenis berbeda anak manusia,
laki-laki dan wanita. Masing-masing dapat memandang antara satu dengan yang
lainnya. Moment ini akan dapat berlanjut pada babak berikutnya. Bagi yang teguh
prinsipnya, konsisten terhadap norma-norma agama, akan membatasi diri sebagai
langkah preventif dari hal-hal negatif yang berkelanjutan teringat pesan agama.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,…”(Q.S:
An Nur; 30-31)
Rosulullah berkata pada Ali: “Hai Ali !! janganlah kau perturutkan
satu pandangan kepada pandangan lain, karena sesungguhnya buatmu adalah yang
pertama (tiba-tiba), dan bukan yang berikutnya” (H.R: Abi Dawud, At Turmudzi,
dan Ahmad)
Sedangkan bagi individu yang terbuai dengan kesenangan nafsunya,
maka dari perjumpaan tersebut akan berlanjut pada tahapan-tahapan berikutnya.
Antara lain; senyuman, sapaan, salam dan bahkan sampai pada terciptanya jalinan
atau hubungan khusus diluar pernikahan (pacaran), sebagaimana dituturkan oleh
Dr. Yusuf Qordhowi dalam bukunya “al Halal wa al Haram”:
نَظْرَةٌ فَابْتِسَامَةٌ فَسَلامٌ # فَكَلامٌ
فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ
“Permulaannya pandangan,
kemudian senyuman, lantas sapaan, berlanjut untaian kata, janjian, dan akhirnya
berbuah perjumpaan”
Fitrah Cinta Kasih
Hubungan yang terjalin diantara dua anak manusia dari
jenis kelamin yang berbeda dalam ikatan pacaran adalah satu fenomena yang
melanda bagi remaja, bahkan orang tua sekalipun (selingkuh), dan saat ini
anak-anak kecilpun tidak ketinggalan. Berpacaran benar-benar telah menggejala
pada tunas-tunas bangsa tersebut (the next generation). Bila kita
renungkan, fenomena ini kurang lebihnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan,
adanya tayangan atau berita media baik cetak maupun elektronik, terutama
televisi dengan tayangan-tayangan sinetron remaja yang kental, syarat dengan
aksi-aksi provokatifnya. Realitas semacam itu tidak bisa kita pungkiri ataupun
menutup mata darinya. Bila kita beranjak sebentar saja ke tempat-tempat umum
semisal; taman, tempat wisata/rekreasi dll. tempat kerja, gedung bioskop,
bahkan lembaga pendidikan sekalipun (mohon maaf), akan kita dapati fakta
tersebut.
Perlu diketahui dan dimengerti, bawa sebuah fitrah yang
terdapat pada diri manusia sebagaimana lahirnya cinta kasih antar lawan jenis
sebagai perwujudan (implementasi) dari firman Allah diatas (Q.S: Ali
Imran; 14), secara substansial tidaklah dihalangi oleh Islam, karena itu
merupakan fitrah manusia bahkan fitrah semua makhluq hidup.
Cinta kasih sendiri bagi manusia merupakan dorongan
naluri sejak kecil dan menjadi kebutuhan setelah dewasa, bersikap anti pati
ataupun membendung perasan tersebut adalah sebuah langkah yang akan sangat
menyulitkan. Akan tetapi melepasnya tanpa kendali juga dapat mengakibatkan
timbulnya bahaya yang tidak kecil. Karena itu agama memberi tuntunan jika ada
yang bercinta kasih dengan lawan jenisnya, maka hendaklah dimaksudkan untuk
bertujuan menjalin ikatan yang resmi (halal) yakni pernikahan, hidup
berumah tangga.
Dan tentunya jika masing-masing memang benar-benar
memiliki cinta yang tulus, konsisten dengan norma-norma agama, moral dan
susila, maka tidak akan terjadi tidakan tindakan negatif yang bertentangan
dengan norma-norma tersebut, sebagaimana hamil di luar nikah, bermesraan
ditempat sepi atau ramai, sentuhan, ciuman dll. Nabi Muhammad Shollallâhu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Wahai para pemuda kawinlah kamu jikalau telah mampu,
karena nikah adalah paling mujarab dalam menjaga pandangan (di hadapan kaum
wanita) dan dalam menjaga kesucian. Dan yang tidak bisa melaksanakannya
(tidakmampu kawin) hendaklah berpuasa karena puasa itu mengekang nafsu ”
(H.R: Muslim)
Pengertian Pacaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pacar
didefinisikan dengan: teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
berdasarkan cinta kasih. Bila demikian maka perlu diketahui bahwa islam tidak
menghalangi lahirnya cinta kasih antar lawan jenis karena itu adalah fitrah
manusia bahkan fitrah semua makhluq hidup, demikian komentar Dr. Quraish Sihab
atas definisi tersebut.
Kencendrungan
cinta kasih yang terdapat pada selain manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Dr.
Adnan Zurzur dkk. dalam buku “Nidzam al Usrah fi al Islam” hanya sebatas
menjaga kelangsungan (eksistensi) jenis populasinya (kelompoknya).
Sedangkan kecendrungan cinta kasih pada diri manusia, tersimpan hikmah yang agung
tidak hanya sebatas menjaga kelangsungan populasi manusia. Masing-masing
laki-laki dan wanita senantiasa memiliki kecendrungan pada lawan jenisnya,
dikarenakan pada diri mereka tersusun unsur-unsur yang dapat menyebabkan
timbulnya daya tarik dan simpatik, kecintaan pada lawan jenis.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menjadikan kecendrungan
cinta kasih pada manusia untuk sebuah tujuan yang sangat mulia, yaitu agar
mereka menjadi komunitas yang maju (progresif, madani) serta
berperadaban. Ikatan yang terjalin antara pasangan suami istri tidak cuma
sebatas pelampiasan syahwat biologis (seksual), bahkan terdapat ikatan
batin serta rohani (spiritual) yang sungguh luar biasa. Subhanallah,
Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S:
Ar Ruum; 21)
Namun benar-benar memprihatinkan sekali, fenomena
berpacaran yang melanda para remaja, anak-anak dan orang dewasa lebih mengarah
pada memperturutkan nafsu belaka. Mula-mula diawali dengan yang ringan-ringan
semisal; sendau gurau, kirim surat,
pesan singkat (SMS). Dan lama-kelamaan akan melangkah lebih intensif lagi
seperti berkencan, bermesraan di tempat sepi bahkan di keramaian sekalipun. Dan
yang paling menyedihkan lagi adalah puncak dari kesemuanya itu yakni
perzinahan, Naudzubillah.
Tidakkah bola salju yang terus menggelinding akan semakin
cepat berputarnya dan semakin besar pula bongkahannya? Kobaran api yang
membara, yang melalap rumah-rumah warga desa tadinya merupakan sepercik api
kecil yang ditiup oleh angin. Demikian halnya sepasang insan yang dibuai oleh
keasyikan berpacaran, semakin sering bermesraan semakin besar pula bahaya yang
diakibatkan. Sebagaimana diungkapkan oleh bait-bait syair berikut:
وَكَاذِبُ الْفَجْرِ
يَبْدُو قَبْلَ صَادِقِهِ# وَأَوَّل غَيْثٍ قَطْرَةٌ ثُمَّ يَنْسَكِبُ
وَكَـذَاكَ
عِشْقُ الْعَاشِقَيْنِ الهَوَى# بِالْمَزْحِ يَبْدُووَبِالْإِذْمَانِ يَلْتَهِبُ
“Fajar
kadzib muncul sebelum fajar shodiq, hujan deras awalnya adalah rintik-rintik
Demikian halnya kerinduan orang yang dimabuk asmara,
awalnya adalah gurauan yang berlanjut pada kobaran api cinta. ”
Syech Ali at Thontowi seorang penulis produktif sekaligus
da'i yang masyhur, pernah menulis pesan pada putrinya, yang selanjutnya beliau
publikasikan dalam buku “Ya Binty wa Ya Walady / kepada putra-putriku
”:
“Tidak akan ada seorang pria melontarkan senyumanya
kepadamu, berbicara dengan lembut dan merayu, memberikan bantuan dan pelayanan
kepadamu, kecuali akan ada maksud-maksud tertentu. Setidak-tidaknya isyarat
bagi dirinya bahwa itu adalah langkah awal. Apa sesudah itu wahai putriku?
Renungkanlah ! kalian berdua, bersama-sama berkencan, menikmati kelezatan yang
hanya sebentar kau rasakan ……… sesudah itu, dia lupa dan pergi meninggalkan
kamu. Dan engkau? …… sungguh akan merasakan pahitnya dari pertemuan yang
sebentar itu untuk selama-lamanya”. Selanjutnya beliau menuliskan: “Coba
anda renungkan, apakah pantas disamakan lezatnya berhubungan yang sebentar
rasanya itu dengan penderitaan-penderitaan anda? Apakah pantas, harga kegadisan
anda dibayar begitu murah dan penderitaan anda setelah itu ditebus dengan harga
begitu mahal”?....
Pacaran Dalam Pandangan Pakar
Sebagian orang yang berpacaran berargumentasi bahwa
jalinan yang mereka ciptakan adalah bentuk penjajakan guna mencari partner yang
ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya, masa
penjajakan itu tidak lebih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat
semata, dan bukan bertujuan untuk secepatnya melaksanakan pernikahan.
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al Jauziyyah (691-751 H =
1292-1350 M), seorang cendekiawan muslim sejati disamping pula seorang pakar
dengan multi disiplin ilmu, memaparkan pendapatnya bahwa: “Hubungan intim
tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah cinta diantara keduanya
akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya
telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul
keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya”. Demikian pandangan Ibnu
Qayyim tentang pacaran seperti dikutip oleh Abdurrahman al Mukaffi dalam
bukunya “Pacaran Dalam Kaca Mata Islam”.
Apapun bentuk dari hubungan intim diluar ikatan
pernikahan, dinilai agama sebagai jalinan yang yang terlarang (haram).
Meski sudah dilamar/pinang (khitbah) sekalipun, hubungan resmi belum
terwujud. Karena lamaran cuma sebatas muqaddimah yang lebih bersifat
pendahuluan dan pengenalan. Jadi, larangan-larangan (keharaman) yang berlaku
sebelum lamaran masih tetap berlaku setelahnya, hingga benar-benar sudah ada
ijab qobul (aqad nikah). Dalam prosesi lamaran yang diperbolehkan hanya melihat
wajah dan kedua telapak tangan. Ketentuan ini sebagaimana termaktub dalam
formulasi kitab-kitab Fiqih (yurispruden islam).
Pesan-Pesan Agama
Berpacaran sebagaimana disinggung oleh Abdurrahman al
Mukaffi terdiri dari tiga tahapan:
ü Perjumpaan pertama
ü Pengungkapan diri
ü Dan pembuktian
Dan selama proses tersebut berjalan, tentunya tidak
sedikit hal-hal yang tidak sejalan (kontradiktif) dalam arti diharamkan
oleh agama, sehingga memperkuat dari keharaman berpacaran. Dapat disebutkan di
sini diantaranya adalah: memperturutkan hawa nafsu (syahwat), pandangan
yang diharamkan agama, sentuhan, bermesraan di tempat sepi, perzinahan dll.
Ada baiknya kami sebutkan dalam tulisan ini beberapa
pesan agama (dalil-dalil), berupa ayat-ayat Al Qur'an serta hadis Nabi yang
kiranya dapat dijadikan bahan kajian serta renungan, sehingga selanjutnya
diamalkan (implementasi) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat
menuntun kita kejalan yang lurus dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala
, serta menjadikan diri kita termasuk dari golongan hamba-hamba-Nya yang
benar-benar bertaqwa.
a.
Kecaman
Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap orang-orang yang memperturutkan hawa
nafsunya:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya?Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”(Q.S. Al Furqan;
43-44)
b.
Larangan
berzina serta perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ” (Q.S.
Bani Israil; 32)
c.
Perintah
menjaga pandangan dari hal-hal yang di haramkan:
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya,…… ”(Q.S. An Nuur; 30-31)
d.
Macam-macam
perzinahan yang dilarang agama:
“Telah tertulis atas anak Adam bagiannya dari hal
zina. Ia akan menemuinya dalam hidupnya, dan tiada terhindarkan. Zina mata
adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina
tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah keinginan
dan berangan-angan, dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau di dustakannya.”(H.R.
Muslim dari Abi Hurairah)
e.
Larangan
berdua di tempat yang sepi:
“Rosulillah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:.dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia
bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi muhrimnya, sebab
bila demikian setanlah yang menjadi pihak ketiganya. ” (H.R. Ahmad)
Epilog (Penutup)
Betapapun mengekspresikan perasan cinta kasih dengan berpacaran
seperti muda-mudi saat ini sangatlah kontras dengan norma-norma agama. Dan hal
ini bukan berarti bahwa agama tidak merespon sama sekali terhadap kebutuhan
cinta kasih yang menjadi fitrah manusia tersebut, akan tetapi agama cukup bijak
(hikmah) dalam mengambil sikap, dan pernikahan adalah satu-satunya
alternatif untuk mengakomodir fitrah cinta kasih ini. Mengumbar nafsu syahwat
dengan berpacaran adalah merupakan pilihan yang tidak tepat bagi insan yang
beragama dan berakal sempurna. Dikarenakan dengan mengumbar nafsu tersebut
berarti mengingkari nikmat aqal. Jadi, tepatlah bila orang yang memperturutkan
hawa nafsunya lebih hina dari pada binatang (al Furqan,44). Topik
tulisan ini memang cukup sensitif sekali, dan tiada dimaksudkan untuk
menyudutkan siapapun. Tetapi berangkat (inspirasi) dari perintah untuk
mengatakan kebenaran, saling nasehat menasehati dan mengingatkan sesama muslim,
maka kami goreskan tinta pena ini. Tidakkah agama Islam adalah agama nasehat??
dan semua manusia dalam kerugian selain yang beriman, berbuat baik (amal
sholih) dan saling berwasiat atas kebenaran dan kesabaran (al 'Ashr, 03)
??? Dewasa ini banyak sekali kemaksiyatan disekitar kita yang kita biarkan begitu
saja. Bahkan boleh jadi, kita tidak mengerti kalau hal itu merupakan maksiyat.
Hal ini kurang lebih disebabkan lemahnya kecemburuan (ghirah) kita atas
norma ataupun ajaran agama yang kita miliki, disamping kurang intens dalam
mempelajari, dan mengamalkannya (implementasi) dalam kehidupan
sehari-hari. Semoga tulisan ini bermanfa'at sebagai bahan intropeksi (muhasabah)
bersama, dan motifator untuk lebih mendalami ajaran agama, amien. [Wallahu
A'lam]