SHOLAT BAGI PENGANTIN SAAT
RESEPSI
Pertanyaan : Begini Kiai, kami mau menanyakan hukum shalat seorang
pengantin. Dikarenakan sejak atau sebelum waktu Zhuhur dia ditata perias.
Ketika waktu shalat tiba, masak yang sudah dirias berjam-jam itu dihilangkan? Padahal
kalau dirias lagi, hal itu memakan waktu lama. Bagaimana cara shalatnya dan
seperti apa pula hukumnya?
[ Amin MF, Jepara ]
Jawaban : Seperti telah kita ketahui bersama
bahwa shalat lima waktu mulai Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’ adalah wajib
hukumnya bagi setiap mukallaf, yaitu orang Islam yang telah baligh dan berakal.
Selagi orang masih berstatus mukallaf, dalam kondisi dansituasi bagaimanapun,
kewajiban shalat tetap tidak bisa gugur. Tidak terkecuali dalam hal ini seorang
pengantin. Dalil-dali tentang hal itu banyak disebutkan dalam al-Qur’an maupun
hadis. Allah berfirman:
وَأَقِيْمُوا
الصَّلَاةَ (البقرة: 43)
Artinya:
“Dirikanlah shalat.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Sesuatu
yang wajib apabila ditinggalkan dengan sengaja maka akan mengakibatkan dosa
bagi pelakunya. Kaitanya dengan shalat, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam
kitabnya az-Zawājir menjelaskan, meninggalkan shalat dengan sengaja
tanpa ada udzur termasuk dosa besar (al-kabāir).
Shalat
boleh ditinggal karena dua alasan, yaitu lupa dan tidur. Itupun, masih ada
kewajiban mengqada’.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw.
bersabda:
إِذَا
رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا
ذَكَرَهَا (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila seseorang tertidur pada waktu shalat atau lupa, maka shalatlah
ketika mengingatnya.” (HR. Muslim)
Shalat
harus dikerjakan tepat pada waktunya. Mengerjakan shalat sebelum atau sesudah
waktunya tidak dibenarkan, bahkan termasuk dosa besar (min al-kabāir).
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (النساء: 103)
Artinya:
“Sesungguhnya shalat itu atas orang-orang yang beriman adalah kewajiban yang
telah ditentukan waktunya.” (QS. An-Nisā’: 103)
Setiap
shalat mempunyai waktu sendiri-sendiri. Ketepatan waktu menjadi salah satu
syarat keabsahan shalat. Konsekuensinya, barangsiapa mendirikan shalat sebelum
waktunya tiba, diwajibkan mengulang kembali.
Salah
satu ciri agama Islam adalah mudah dilaksanakan dan tidak memberatkan (al-yusr
atau ‘adam al-haraj). Oleh karena itu, dalam situasi dan kondisi
tertentu, seseorang diperbolehkan menjamak shalat, yaitu menggabungkan dua
shalat dalam satu waktu, Zhuhur misalnya digabungkan dengan Ashar atau shalat
Maghrib dengan Isya’. Jika pada waktu pertama disebut jamak taqdim,
kalau pada waktu kedua dinamakan jamak ta’khir.
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan sebab-sebab diperbolehkan menjamak
shalat. Pendapat yang populer di kalangan fuqaha’ Syfi’iyah hanya
memperbolehkan jamak dalam keadaan bepergian dan hujan dengan syarat-syarat
tertentu, serta haji di Arafah dan Muzdalifah. (al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh: II, 1377).
Dengan
demikian, menurut Madzhab Syafi’i, tidak diperbolehkan menjamak shalat bagi
pengantin dengan alasan merusak make up.
Oleh
karena itu, solusi yang bisa ditawarkan kepada pengantin adalah memilih saat
merias dengan tepat. Misalnya, begitu datang waktu Zhuhur, pengantin langsung
shalat, lalu dirias. Pukul lima sore, pengantin shalat Ashar. Begitu waktu
Maghrib datang, langsung shalat untuk selanjutnya dirias kembali. Shalat Isya’
dapat dikerjakan sampai lewat tengah malam, asal fajar belum terbit.
Langkah
tersebut paling aman dan menguntungkan. Karena pada satu sisi, jelas tidak
melanggar syara’, pada sisi lain kesempatan merias pengantin relatif
lama.
Benar,
waktu pernikahan merupakan moment kebahagian serta sejarah manis dalam
kehidupan. Tapi jangan sampai perasaan yang amat bahagia tersebut kemudian kita
malah lalai dan sengaja meninggalkan kewajiban yang paling asasi sebagai
makhluk, yaitu untuk beribadah kepada Allah.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات:
56)
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyat: 56)
Justru
nikmat kebahagiaan itu mesti kita syukuri, misalnya dengan tetap menjalankan
shalat lima waktu yang menjadi rukun Islam kedua. Bukan malah dinodai dengan
pelbagai bentuk kemungkaran.
[
Dialog Problematika Umat. KH. MA. Sahal Mahfudh. hal. 95-97 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar