MEMOTONG
RAMBUT, KUKU DLL.
BAGI ORANG YANG BERHADATS BESAR
Telaah Kritis Analitis
Perbandingan
Madzhab Dalam Fiqih Islam
Tentang
Boleh dan Tidaknya Memotong Rambut dan Kuku dll.
Bagi
Orang yang Berhadats Besar
E-mail :
abdulkholiq_kudus@yahoo.co.id
PROLOG (pembukaan)
K
|
ajian dari tulisan berikut ini adalah dimaksudkan untuk
memahami sebagian kecil dari keterangan yang dipaparkan oleh Imam al-Ghazali
dalam kitab beliau Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Dan penulis menilai perlu
serta tergugah untuk membahas dan mengkajinya. Sebab keterangan yang beliau
sampaikan, erat sekali dan bersinggungan langsung dengan kondisi kaum muslimin
baik laki-laki maupun wanita di saat mereka mengalami hadats besar. Sering kali
timbul pertanyaan dari mereka, dan kebanyakan yang bertanya adalah kaum wanita,
tentang hukum memotong kuku dan rambut pada saat mereka tengah mengalami hadats
besar, haram atau makruhkah hukum pemotongan tersebut?
Berangkat dari persoalan di atas, adalah
merupakan tugas mulia untuk menerangkan dengan sejelas-jelasnya mengenai hukum
syara’ atas persoalan tersebut. Seraya memohon pertolongan dari Allah I
, agar supaya diberi kemudahan dan
petunjuk pada kebenaran dalam melaksanakan amanah yang agung ini. Berbekal
sedikit pengetahuan yang kami miliki, tinta pena pun kami goreskan untuk
mengurainya. Dengan sebuah harapan, semoga tulisan ini mengandung berkah dan
manfaat, amien.
Adapun teks asli dari kitab Ihya’nya
Imam al-Ghazali yang penulis maksudkan adalah:
وَلا
يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أو يَقْلِمَ أو يَسْتَحِدَّ أو يُخْرِجَ الدَّمَّ أو
يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ
أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ
تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (إحياء علوم الدين –
ج 2 / ص 51 )
“Dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut,
memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara
berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang
dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya
akan dikembalikan lagi,
maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa
sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.”[2]
Bila
kita amati teks keterangan di atas, maka dapat kita pahami bahwa orang yang
sedang junub atau hadats besar dilarang untuk mencukur rambut, memotong kuku
dll. Indikasi dari larangan tersebut cukup jelas, yakni ancaman pertanggung
jawaban di akhirat kelak bagi orang yang melakukan tindakan itu. Namun, yang
cukup menggajal dalam angan-angan dan menimbulkan tanda tanya adalah tingkatan
hukum dari larangan itu sendiri? Apakah larangan tersebut berkualifikasi hukum
haram ataukah hanya sebatas makruh saja? Bila
larangan tersebut hanya sebatas hukum makruh, tentu tidak banyak menyisakan
persoalan yang teramat mendasar bila terjadi pelanggaran. Namun, apa jadinya
bila larangan itu memiliki status hukum haram? Tentu kedurhakaan atau
kemaksiyatan dan berdosa adalah gelar yang pantas disandang bagi sang pelaku.
Dan balasan setimpal bagi orang yang melanggar larangan tersebut, sudah
menuggu-nunggu bila tidak mendapat ampunan dari Allah I.
Berangkat dari sinilah, hati kecil kami tergugah untuk berupaya mengurai dan
memperjelas persoalan tersebut, dan tinta pena pun kami torehkan karenanya.
Bukanlah isapan jempol belaka bila kami
menyimpulkan, bahwa muara dari permasalahan yang menjadi objek kajian ini
adalah berlatarbelakang dari pernyataan redaksi kitab Ihya’ yang di sampaikan
oleh Imam al-Ghazali. Dan untuk memperkuat kesimpulan tersebut, kami
bertendensikan dari sebuah argumentasi yang disampaikan oleh As-Syech
Muhammad bin Sulaimān al-Kurdiy (w. 1194 H) dalam
kitabnya al-Hawasyi al-Madaniyah, beliau mengatakan:
“Kesemua para ulama mengutip keterangan
tersebut dari Imam al-Ghazali, dan mereka sependapat serta
menyepakatinya kecuali Imam al-Qolyubi.[3] Dalam kitab Hāsiyah
al-Mahalli beliau mengatakan: “tentang dikembalikannya darah yang telah
dikeluarkan (semisal dengan cara berbekam)—oleh orang junub kelak di
akhirat—perlu dikaji lagi, demikian pula
selain darah. Karena yang dikembalikan kelak adalah
bagian-bagian organ tubuh yang ada sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil
organ saja.”[4]
Senada
dengan pernyataan yang disampaikan oleh As-Syech
Muhammad bin Sulaimān al-Kurdiy di atas, adalah penuturan yang disampaikan oleh
Sayyid ‘Alawiy bin Sayyid Ahmad as-Saqqāf dalam kitabnya yang berjudul Tarsyeh
al-Mustafīdīn. Bedanya, Sayyid ‘Alawiy hanya menegaskan bahwa pernyataan Imam al-Ghazali di atas
banyak dikutip dan diikuti oleh para ulama―terkecuali Imam al-Qolyubi yang
menyanggah pernyataan tersebut―dengan tanpa menyebutkan nama Imam al-Ghazali
dan kitabnya.[5]
METODE
PENELITIAN
Dalam setiap penelitian
ilmiah, perlu adanya metode tertentu untuk menjelaskan obyek yang menjadi
kajian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan
secara tepat dan terarah serta mencapai sasaran yang diharapkan. Dan penelitian
yang penulis pilih adalah penelitian dengan kategori kajian kepustakaan (library
research), dalam arti bahwa semua bahannya diperoleh melalui data-data yang
terdapat di dalam kitab-kitab yang tersedia di perpustakan. Dari kitab-kitab
yang tersedia tersebutlah, kami melakukan identifikasi terhadap kutipan-kutipan
dari pernyataan Imam al-Ghazali yang terdapat di berbagai kitab karangan ulama
madzhab Syafi’i.
Oleh karena penelitian ini
bersifat komparatif (muqāranah), maka sebagai obyek penelitian lanjutan
dari identifikasi pernyataan Imam al-Ghazali yang diulang-ulang tersebut,
adalah penelitian yang obyeknya berupa pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i.
Kami sertakan pula perspektif madzhab lain, agar supaya cakupan kajian ini
lebih luas dan menyeluruh. Dan tidak ketinggalan, kami sertakan pula beberapa
persoalan yang masih terkait dengan topik kajian, sebagaimana pembahasan
tentang makna hadats, hikmah diwajibkannya mandi besar, analisa tentang makna
dari kosakata “لا يَنْبَغِي” (la
yanbaghi), dan bahasan-bahan lain yang tak kalah pentingnya.
Selain menggunakan penalaran hasil
bacaan pustaka, dan sebagai langkah untuk menghindari terjadinya kekeliruan
dalam menganalisa data-data yang telah kami kumpulkan, maka kami pergunakan
motode induktif dalam artian dengan mengolah data-data khusus kemudian ditarik
kesimpulan secara umum. Melalui metode induktif ini, analisis yang pertamakali
dilakukan adalah dengan menganalisa data-data khusus mengenai pengulangan pernyataan
Imam al-Ghazali yang terdapat di berbagai kitab karangan ulama madzhab Syafi’i,
kemudian digeneralisasikan sehingga menjadi kesimpulan umum.
Selanjutnya, dalam mengungkapkan
data-data di atas, serta gagasan-gagasan kami tentang kajian ini, bahasa yang
kami pilih adalah bahasa Indonesia.[6] Karena
dengan bahasa inilah, kami mampu dengan mudah memaparkan persoalan-persoalan
yang menjadi topik kajian. Jujur, penulis mengakui akan ketidak mampuan
merangkai karangan dengan bahasa Arab―padahal telah mempelajari tata bahasanya
atau grammarnya yakni ilmu
Nahwu―yang merupakan bahasa asli dari refrensi-refrensi tulisan ini. Maka dari
itu, apa yang penulis lakukan hanyalah menukil dan menukil, lalu
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Kreatifitas dari kami―kalau memang
pantas menyandang predikat kreatif―hanyalah merangkai, memahami, merangkum,
serta membikin kesimpulan. Jadi, bila terdapat kekeliruan penulisan ataupun
kesalahpahaman materi, adalah murni dari kami sendiri yang memang miskin bekal
dan dangkal pengalaman. Risalah yang tersuguhkan ini lebih banyak memuat
kutipan-kutipan kitab turots. Maka dari itu, bagi sementara para pembaca
yang mampu menguasai grammar arab (nahwu) dengan baik serta menguasai
tehnik pembacaan kitab turots, kami sarankan untuk mentelaah kitab-kitab
aslinya yang menjadi refrensi kami, lebih-lebih kepada para pembaca yang sudah
terbiasa dan sering mengkaji secara langsung (intens) kitab-kitab turots
tersebut. Bagi yang sudah sering mentelaah kitab-kitab aslinya, boleh jadi
tidak akan menemukan hal yang yang baru dalam risalah kecil ini, dikarenakan
data-data serta informasi-informasi yang termuat sudah lebih dulu ia peroleh
dari refrensi-refrensi yang kami maksudkan.
سِـوَى أنْ جَمَعْنَا
فِيهِ قِيلَ وَقَالُوا
|
*
|
وَلَمْ نَسْتَفِدْ
مِنْ بَحْثِنَا طُولَ عُمْرِناَ
|
Tiada
yang kami peroleh dari kajian-kajian selama ini, selain merangkai dan merangkai
pernyataan si fulan…. serta si fulan…. [ ]
PENGERTIAN HADATS
Sebelum pembahasan lebih lanjut,
terlebih dulu kita awali kajian ini dengan memahami makna dari hadats
sendiri, supaya dapat diperoleh kesinambungan uraian dan pemahaman dari kajian.
Para pakar fiqh (fuqaha) berbeda pendapat dalam pembagian hadats,
kebanyakan dari mereka mengelompokkannya menjadi dua bagian, hadats kecil dan
hadats besar. Hadats kecil adalah hadats yang disucikan dengan berwudlu’,
sedangkan hadats besar disucikan dengan cara mandi besar.[7]
Bila disebutkan secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah hadats kecil.
Terkecuali bagi orang yang sedang niyat, sebab kemutlakan penyebutan hadats
baginya adalah hadats yang sedang bersemayam atau menempel pada dirinya. Jadi
andaikan ada orang junub yang niat demikian: “aku niat menghilangkan hadats”,
maka penyebutan hadats secara mutlak
dalam niatnya tersebut diarahkan pada hadats besar, mengingat kondisi yang
sedang ia alami merupakan indikasi kuat bagi pemaknaan itu, dan sah pula niat
tersebut sehingga hadats jinabatnya menjadi hilang.[8]
Makna etimologi dari hadats adalah
sesuatu yang baru (as-syai’u al-hāditsu), seorang pemuda yang baru dalam proses
pertumbuhan dinamakan “hadatsun”.[9] Sedangkan makna terminologinya atau
istilah syara’nya adalah:
a.
Beberapa penyebab dari berakhirnya kondisi suci seseorang.
Sebagaimana keluarnya kotoran dari salah satu kemaluan, persentuhan kulit
antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, hilangnya akal, menyentuh
kemaluan, tidur, mengeluarkan seperma baik sewaktu terjaga atau dalam kondisi
tidur (ihtilām).
b. Sifat yang menempel
atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat
mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan
syara’ (rukhshoh). Sebagaimana kemurahan bagi orang yang tidak mendapati
air dan debu (fāqid at-thohurain),
walaupun dalam dalam keadaan hadats ibadah yang ia kerjakan tetap dinilai sah
oleh syara’.
c.
Ketercegahan atau keharaman―untuk melakukan ibadah―yang
ditimbulkan oleh dua hal di atas, yakni oleh beberapa sebab yang terkelompokkan
pada poin pertama, serta sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh
seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana
yang dijelaskan pada poin kedua.[10]
Sedangkan jinabat dalam
pengertian bahasa memiliki arti jauh (al-bu’du), dan dalam istilah
syara’nya adalah orang yang mengeluarkan air mani, orang yang bersetubuh (jima’),
pertemuan dua khitanan, mani yang memancar (al-mutadaffuq). Seseorang
dinamakan junub sebab menjauhi ibadah shalat, menjauhi masjid, menjauhi
dari membaca al-Qur’an.[11]
Ibadah-ibadah tersebut, semuanya haram dikerjakan bagi orang yang sedang junub
atau berhadats besar.
PENGERTIAN MAKNA YANBAGHI يَنْبَغِيٍ ] [ DAN
LA YANBAGHI لا يَنْبَغِيٍ ] [
Sebagaimana kita ketahui dari redaksi kitab Ihya’di atas,
Imam Ghazali dalam menyampaikan kesimpulan hukum tersebut, beliau menggunakan
kata “la yanbaghi”,
yang berarti “......tidak
seyogyanya.....”.
Untuk itu, penting sekali memahami makna kata tersebut. Sebab, kosakata ini
merupakan sebuah istilah yang biasa dipakai oleh para ahli fiqh dalam
menyampaikan kesimpulan hukum setelah melewati serangkaian proses panjang yang
mereka lakukan dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya (istinbath).
Jadi, sudah seharusnya bila kita memahami terlebih dulu maknanya, sebagai
langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya kerancuan pemahaman.
Memang, para ulama
membikin istilah-istilah khusus yang mereka pergunakan di dalam kitab-kitab
karangannya. Istilah-istilah tersebut sudah seharusnya dikaji oleh para pelajar
ilmu agama (mutafaqqih). Jika tidak dimengerti, maka akan menjadi sulit
dalam memahami pernyataan-pernyataan mereka. Guru kami, KH. Muhammad Said AR. di dalam kitabnya “Kassāf
Istilāhā Al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah” menuturkan: “mempelajari
fiqh, terlebih dulu harus mengenal dan mengkaji pernyataan-pernyataan para
pakar fiqh tentang istilah-istilah yang mereka pergunakan. Dan memahami
istilah-istilah yang memiliki makna-makna khusus, yang dipergunakan oleh para
pakar adalah mutlak untuk dimengerti bagi para pencari ilmu dalam mengkaji
berbagai disiplin ilmu. Oleh karena setiap disiplin ilmu tertentu memiliki
istilah-istilah khusus. Tentunya, bila istilah-istilah itu tidak dimengerti,
maka sulit untuk memperoleh jalan petunjuk dalam memahami disiplin ilmu
tersebut. Dan dalam sebuah kasus, kekeliruan-kekeliruan justru terjadi dalam
persoalan-persoalan yang dianggap sepele.”[12]
Berikut penjelasan makna dari
masing-masing kata “يَنْبَغِي”
dan “لا يَنْبَغِي”
:
1. [ يَنْبَغِي ] Pada umumnya
sighot ini dipergunakan untuk dua arti, bisa berarti wajib ataupun sunnah
tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada. Terkadang pula sighot
tersebut digunakan untuk menunjukkan arti jawaz dan pentarjihan pendapat.[13]
Atau hanya sekedar menunjukkan makna etika, sehingga “يَنْبَغِي” berarti “يَلِيْقُ” dan “يَحْسُنُ”....selayaknya...
dan ...sebaiknya... Dan di dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyyah
Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy menambahkan, bahwa pemakaian sighot يَنْبَغِي untuk arti wajib
adalah sedikit.[14]
2. [لا يَنْبَغِي ] Sighot ini juga memiliki dua kemungkinan
arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah)
yang ada.[15]
Dan bila tidak terdapat indikasi yang menunjukkan makna haram atau makruh, maka
seyogyanya diarahkan pada makna kesunahan “النَّدْبُ” kalau memang
kebimbangan (ketidak tegasan) itu terjadi dalam seputar persoalan hukum syara’.
Dan bila tidak dalam persoalan hukum syara’, maka diarahkan pada makna “sebaiknya”
atau “selayaknya”, “الِإسْـتِحْسَانْ” “الَّليَّاقََََََة”.
Di
dalam kitab Qolyubi diterangkan bahwa “لا يَنْبَغِي” menunjukkan
faidah arti kebolehan “الِإبَاحَة” secara
tegas atau jelas (an-nash), serta dengan tingkatan kemungkinan (ihtimāl) menunjukkan arti haram atau makruh.[16]
[ ]
BEBERAPA PANDANGAN ULAMA MADZHAB
SYAFI’I
Keterangan yang diinformasikan oleh Imam
al-Ghazali dalam kitab Ihya’ di atas, disikapi oleh para ulama dari generasi
setelahnya dengan beragam pandangan. Keragaman tersebut disebabkan oleh karena
redaksi yang digunakan beliau dalam menyampaikan kesimpulan hukum dengan
menggunakan bahasa “لا
يَنْبَغِي” (la yanbaghi). Dan dari pengamatan penulis,
pandangan-pandangan tersebut kurang lebihnya ada tiga macam kelompok.
1. Kelompok pertama;
yakni kelompok para ulama yang mengutip redaksi kitab Ihya’ dengan tetap menggunakan
bahasa “لا
يَنْبَغِي” (la yanbaghi) sebagaimana teks aslinya. Dalam
pengutipan ini, nama Imam al-Ghazali ataupun nama kitab Ihya’ kadang disebutkan
dengan jelas, dan terkadang pula tidak dicantumkan sama sekali. Sebagaimana
yang terdapat dalam kitab Fathul Mu‘īn (hal: 11), Tuhfah al-Muhtāj
(juz: 01, hal: 284), Nihāyah al-Muhtāj (juz: 01, hal: 229), Mughni
al-Muhtāj (juz: 01, hal: 75), Asna al-Mathōlib (juz: 01, hal: 284), al-Iqnā’
(hal: 70), an-Najm al-Wahhāj (juz: 01, hal: 386), Hāsiyah al-Jamal (juz:
01, hal: 482), Qolāid al-Khorōid wa Farāid al-Fawāid (juz: 01, hal: 36), dan al-Anwār
as-Saniyyah (hal: 71).
2. Kelompok kedua;
yakni kelompok para ulama yang memahami redaksi kitab Ihya’ dengan melakukan
penafsiran kata “la yanbaghi” dengan “yusannu” atau “nudiba” (yang
artinya: di sunnahkan untuk.....). Sebagaimana yang terdapat dalam kitab
Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01,
hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain
(hal: 31).
3. Kelompok ketiga;
yakni kelompok para ulama yang mengomentari isi kandungan redaksi kitab Ihya’
tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Hāsiyah I’ānah at-Thōlibīn
(juz: 01, hal: 79), Mūhibah Dzi al-Fadzl (juz: 01, hal: 446), Fathu
al-‘Allām (juz: 01, hal: 349), Hāsiyah Bujairami Khotīb (juz: 01,
hal: 364), Hāsiyah al-Jamal (juz: 01, hal: 486) dan Hāsiyah
al-Qolyubiy (juz: 01, hal: 101), dll.
TEKS – TEKS KITAB ULAMA MADZHAB
SYAFI’I
Pada bagian sebelumnya telah kami
jelaskan mengenai sikap para ulama madzhab Syafi’i dari generasi setelah Imam
al-Ghazali dalam menanggapi pernyataan redaksi kitab Ihya’, yang keragamannya
kami bagi dalam tiga kelompok. Adapun dalam kesempatan kali ini, kami bermaksud
untuk mencontohkan teks-teks kitab syafi’iyyah yang mengutip keterangan kitab
Ihya’ tersebut.
Dari pengamatan kami, kutipan-kutipan
tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Untuk kategori pertama,
adalah kutipan-kutipan yang redaksinya persis dengan redaksinya kitab Ihya’.
Yakni sama dalam menggunakan kata “لا يَنْبَغِي”. Sedangkan untuk
kategori kedua, adalah kutipan-kutipan yang redaksinya berbeda dengan
redaksi kitab Ihya’. Bahkan kata yang dipakai tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي”, tetapi
menggunakan kata yang lebih jelas dan tegas konsekuensi hukumnya. Dan kata yang
dipakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ”, (yang artinya: di
sunnahkan untuk.....).
Berikut
ini adalah perincian dari masing-masing teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i
yang kami maksudkan:
1.
Teks – teks kitab yang redaksinya
serupa dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
Di bawah ini adalah beberapa contoh
kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang redaksinya
sama dengan kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien, yakni sama-sama menggunakan kata “la yanbaghi” atau “لا
يَنْبَغِي”. Meskipun untuk redaksi kata-kata setelahnya, ada beberapa
perbedaan alias tidak sama persis. Sebagaimana lafadz tunggal (mufrod)
diganti jamak, atau diganti kata sinonimnya (semisalnya, padanannya), dll.
Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak prinsipil, dan tidak sampai merobah
makna yang terkandung di dalam kitab Ihya’.
Dan untuk lebih jelasnya, cobalah
diperbandingkan antara kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab
Syafi’i di bawah ini, dengan kutipan redaksi kitab Ihya’ yang telah kami
sampaikan di awal kajian.
a) Kitab Asna
al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib (juz: 01, hal: 284)
( فَرْعٌ ) قَالَ الغَزَالِي: لاَ يَنْبَغِي لِلجُنُبِ أَنْ يُزِيْلَ
شَيْئًا مِنْ أَجْزَائِهِ أَوْ دَمِهِ قَبْلَ غُسْلِهِ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ فِي
الآخِرَةِ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (أسنى
المطالب شرح روض الطالب: ج 1 / ص 284 )
“[ cabang masalah]
Imam al-Ghazali berkata: tidak seyogyanya bagi orang junub untuk menghilangkan
(dengan cara mencukur, memotong, dll. pen-) sebagian dari anggota tubuhnya, atau
mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) sebelum mandi besar (junub).
Dikarenakan, kelak di akhirat akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut
dirinya akan status jinabatnya.” (Asna
al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib. Juz: 01, hal: 284)
b) Kitab Mughni
al-Muhtāj (juz: 01, hal: 75)
(فَائِدَةٌ)
قَالَ فِي الإِحْيَاءِ:
لاَ يَنْبَغِي أَنْ يَقْلِمَ أو يَحْلِقَ يَسْتَحِدَّ
أو يُخْرِجَ دَمًّا أو يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ
إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ
كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (مغني
المحتاج: ج 1 / ص 75)
“(faidah)
telah berkata di dalam kitab Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk
memotong kuku, mencukur rambut, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah
(semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada
saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh
anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut
dirinya akan status jinabatnya.” (Mughni al-Muhtāj. Juz: 01,
hal: 75)
c) Kitab Hāsiyah
al-Qolyubi (juz: 01, hal: 78)
( فَائِدَةٌ ) قَالَ فِي الإِحْيَاءِ:
لَا يَنْبَغِي للإِنْسَانِ أَنْ يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ شَيْئًا
مِنْ ظُفْرِهِ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ
جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ سَائِرُ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُوْدُ
جُنُبًا، وَيُقَالُ : إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا انتهى (حاشية
قليوبي: ج 1 / ص 78)
“(faidah) telah berkata di dalam kitab
Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk menghilangkan (mencukur) sebagian rambutnya,
memotong kuku-kukunya, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam)
ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam
keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan
dikembalikan lagi,
maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa
sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.”
(Hāsiyah al-Qolyubi. Juz: 01, hal: 78)
d) Kitab Hāsiyah
al-Jamal (juz: 01, hal: 486)
قَالَ فِي الإِحْيَاءِ:
وَيَنْبَغِي لِلإِنْسَانِ أَنْ لَا يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ أَظَافِرَهُ
أَوْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ أَوْ عَانَتَهُ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ جُزْءًا
مِنْ نَفْسِهِ وَهُوَ جُنُبٌ لِأَنَّ جَمِيْعَ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي
الآخِرَةِ وَيُبْعَثُ عَلَيْهَا فَتَعُوْدُ بِصِفَةِ الجَنَابَةِ وَيُقَالُ إِنَّ
كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام
زكريا الأنصاري: ج 1 / ص 486)
“Telah berkata di
dalam kitab Ihya’: dan seyogyanya bagi seseorang agar supaya tidak
menghilangkan (mencukur) sebagian bulu-bulu tubuh, memotong kuku-kukunya, mencukur
rambut kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara
berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang
dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya
akan dikembalikan lagi,
dibangkitkan kembali, maka kondisinya pun dalam keadaan junub.
Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan
status jinabatnya.” (Hāsiyah al-Jamal. juz: 01, hal: 486)
e) Kitab Fath
al-Mu’īn (hal: 11)
(فَرْعٌ) وَيَنْبَغِي
أَنْ لاَ يُزِيْلُوا قَبْلَ الغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا وكَذَا دَمًّا لِأَنَّ
ذَالِكَ يُرَدُّ فِي الآخِرَةِ جُنُبًا (فتح المعين: ص 11)
“[ cabang masalah] dan seyogyanya mereka (orang junub, wanita
haid dan nifas) agar supaya tidak menghilangkan rambut, kuku, juga darah,
sebelum mandi wajib. Oleh karena, kesemuanya itu kelak akan dikembalikan lagi
di akhirat dalam keadaan junub.” (Fath al-Mu’īn. hal: 11)
2.
Teks – teks kitab yang redaksinya
berbeda dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
Berikut ini adalah kutipan masing-masing
dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan kesunahan, dan
redaksi yang di pakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ” (yang artinya: di
sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi).
Kesunahan yang dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan
sebagian anggota tubuh di waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan
tersebut dengan semisal mencukur rambut kepala, bulu kumis, berbekam, memotong
kuku ataupun dengan cara yang lain.
Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini,
adalah kami maksudkan untuk memperoleh sebuah gambaran dari ketegasan atau
kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya kitab Ihya’ yang menyatakan “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi)
tidak
dipahami sebagai hukum keharaman secara mutlak.
a) Kitab
Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 74)
وَيُسَنُّ كَمَا
قَالَ فِى الِإحْيَاءِ لِمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ
بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا وَشَعْرًا وَظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ
جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ
يَزُوْلُ عَنْهُ مَاعَدَا الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ
شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الشرقاوى: ج 1 / ص 74 )
“Dan disunahkan―sebagaimana telah dikatakan di dalam
kitab Ihya’―bagi orang berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak
menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut,
dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih dulu. Sebab, kelak di akhirat
seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub, untuk
mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa
hanyalah organ yang asli.
Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut
akan status jinabatnya.” (Hāsiyah
as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 74)
b) Kitab Fathu
al-‘Allām (juz: 01, hal: 349)
يُسَنُّ لِمَنْ
ذُكِرَ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً
قبل الْغُسْلِ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ. لَكِنَّ الأَجْزَاءَ
الأَصْلِيَّةَ البَاقِيَةَ مِنْ أَوَّلِ العُمْرِ إِلَى آخِرِهِ تَعُودُ
مُتَّصِلَةً. وَأَمَّا نَحْوُ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ الّذِيْ أُزِيْلَ قَبْلَ
المَوْتِ، فَيَعُودُ لَهُ إِلَيْهِ مُنْفَصِلاً عَنْ بَدَنِهِ، فَلَوْ أَزَالَهُ
قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ، وَعَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ لِتَبْكِيْتِهِ أَيْ
تَوْبِيْخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَايُزِيْلَهُ حَالَةَ الجَنَابَةِ أَوْ
نَحْوِهَا. وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. وَيَنْبَغِي
كَمَا قَالَ الشَّبْرَامُلْسِى: أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ
وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا، كَأَنْ فَجَأَهُ المَوْتُ.
(فتح العلام: ج 1 / ص 349)
“Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang
junub, wanita haid dan nifas),
agar supaya tidak menghilangkan sebagian
dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, atau kuku, sebelum
melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota tubuhnya akan dikembalikan
lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh yang asli, yang
masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan lagi
dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia
potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari
tubuhnya. Jadi, andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan
dikembalikan lagi dalam kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan
keras dirinya, karena telah ceroboh melanggar perintah supaya tidak
menghilangkannya (memotongnya) pada saat jinabat. Seraya
dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.
Seyogyanya―sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsi―bahwa kecaman keras
tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah masuk dan dirinya belum
mandi wajib―dan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecam―lantas ajal menjemput secara
mendadak. (Fathu
al-‘Allām .juz: 01, hal: 349)
c) Kitab
Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)
وَنُدِبَ
لِنَحْوِ جُنُبٍ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ
لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ تَعُوْدُ اِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا
لَهُ ثُمَّ تَزُولُ عَنْهُ مَا عَدَا الْأَجْزَاءَ الْأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ
بِجَنَابَتِهَا. (بشرى الكريم: ج 1 / ص 39)
“Dan disunahkan bagi semisal orang
yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota
tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat seluruh
bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub, untuk
mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa
hanyalah organ yang asli.
Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan
status jinabatnya.” (Busyro al-Karīm. Juz: 01, hal:
39)[17]
d) Kitab Nihayah
az-Zain (hal: 31)
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ
يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمّاً أَوْ شَعْراً أَوْ
ظُفْراً حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي الآخِرَةِ فَلَوْ
أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ.
(نهاية الزين: 31)
“Barangsiapa berkewajiban mandi
besar, maka disunahkan agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota
tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun kuku, kecuali setelah selesai
mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kelak
di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka kembali pula
hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya. (Nihayah az-Zain.
Hal: 31)
BEBERAPA KOMENTAR ULAMA MADZHAB
SYAFI’I
Bila sebelumnya telah kami kelompokkan
beberapa pandangan ulama Madzhab Syafi’i dalam tiga kategori, yang di
antara kategori itu adalah kelompok ulama yang mengomentari isi kandungan
redaksi kitab Ihya’. Maka untuk lebih jelasnya, kami kutipkan lagi tarjamahan
dari teks redaksi kitab Ihya’ ini, lalu kita telaah bersama isi kandungannya
berikut komentar-komentar para ulama tersebut:
“Dan tidak seyogyanya
bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan,
mengeluarkan darah ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya
sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota
tubuhnya akan dikembalikan lagi pada dirinya dalam keadaan junub. Seraya
dikatakan: sesungguhnya setiap helai rambut menuntut pada dirinya akan status
jinabatnya.” [Ihya’ ‘Ulūm ad-Dien. Juz: 02, hal: 51]
Berikut beberapa komentar para ulama dalam menanggapi isi
kandungan teks redaksi tersebut:
a) Mengenai dikembalikannya darah orang junub yang telah ia
keluarkan kelak di akhirat, semisal dikeluarkan dengan cara berbekam, pendapat
tersebut perlu dikaji lagi, demikian juga pengembalian organ-organ tubuh yang
lain. Karena yang dikembalikan kelak adalah bagian-bagian organ tubuh yang ada
sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil organ saja. Memang para ulama
berbeda pendapat tentang anggota tubuh yang dikembalikan lagi kelak di akhirat,
apakah yang dikembalikan itu hanya organ-organ tubuh yang asli mulai semenjak
lahir sampai meninggal dengan tanpa menyertakan semisal kuku dan rambut yang
sudah berkali-kali dipotong, ataukah pengembalian tersebut juga menyertakannya.[18]
b) Bila kuku-kuku dari
jari-jemari serta rambut kepala yang seringkali dipotong selama hidup
dikembalikan lagi, tentu hal itu akan menjadikan orang yang bersangkutan buruk
rupa. Jika memang demikan, betapa panjangnya anggota tersebut bila kesemuanya
dikembalikan lagi seperti semula.[19]
c) Angota tubuh
semisal kuku dan rambut akan dikembalikan lagi pada pemiliknya untuk dimintakan
pertanggungjawaban, tetapi pengembalian ini dilakukan secara terpisah.
Dikarenakan orang yang berhadats besar diperintahkan untuk menghilangkan
hadasnya terlebih dulu, akan tetapi ia justru ceroboh dengan memotong sebagian
tubuhnya yang masih berhadats sebelum disucikan dengan mandi wajib.[20]
Pengembalian secara terpisah ini dimaksudkan untuk mengecam dengan keras
pelakunya serta meminta pertanggungjawaban atas hadats besar yang bersemayam
dalam anggota-anggota yang dirinya telah ceroboh dengan memotongnya terlebih
dulu.
Namun yang
perlu digaris bawahi adalah, bahwa kecaman tersebut berlaku bilamana dirinya
tidak lekas-lekas melakukan mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar
setelah masuk waktu shalat, sehingga ajal pun menjemput sebelum dirinya melakukan
mandi wajib tersebut.[21]
d) Keterangan yang di
sampaikan oleh Imam al-Ghazali tidak sepenuhnya disetujui ulama dalam madzhab
Syafi’i, dan Imam al-Qolyubi berada di garis terdepan dalam memberikan
sanggahan terhadap pernyataan tersebut, belum lagi ketida sejalanan dari
madzhab lainnya serta ulama kontemporer. Di dalam kitab Hasiyah al-Qolyubi,
beliau menuturkan demikian: “tentang (kebenaran) dikembalikannya lagi darah
yang telah dikeluarkan (semisal dengan cara berbekam)—oleh
orang junub kelak di akhirat—perlu dikaji lagi, demikian
pula selain darah. Karena yang dikembalikan kelak adalah
bagian-bagian organ tubuh yang ada sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil
organ saja.”[22]
Keterangan yang disampaikan oleh Imam
al-Ghazali berikut komentar dan tanggapan para ulama dari generasi setelahnya
sebagaimana kami uraikan di atas, adalah merupakan produk kajian ijtihad
fiqhiyyah. Dengan demikian—dengan tanpa mengurangi sedikit pun
keta’dziman kepada mereka—kita
pun boleh mengajukan sebuah pertanyaan dari pijakan dalil produk ijtihad
tersebut. Sebab, yang namanya produk ijtihad tentu tidak terlepas dari refrensi
dalil, yang nantinya dapat kita ketahui bersama sebatas mana tingkatan hukum
yang ditunjukkan oleh dalil tersebut. Namun, sejauh penelusuran yang penulis
lakukan dari refrensi kitab-kitab yang telah kami sebutkan di atas, tiada
satupun dalil baik ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi yang disebutkan. Bila
kita pertanyakan sumber dalilnya, bukanlah dimaksudkan untuk menolak hasil
ijtihad itu, tetapi kita hendak memahami dari dalil tersebut, kenapa ulama
berbeda pendapat dalam menghukumi persoalan yang sedang kita kaji ini. Hal ini
dikarenakan, kesimpulan hukum dari selain madzhab Syafi’i—sebatas
data-data refrensi yang penulis miliki—tidak
sampai menyatakan keharaman memotong kuku dan rambut bagi orang yang berhadats
besar.
MASIH
WAJIBKAH MEMANDIKAN KUKU DAN RAMBUT YANG TERLANJUR TERPOTONG?
Bila kita perhatikan kalimat yang
dituturkan oleh Imam al-Ghazali: “........
akan dikembalikan lagi pada dirinya dalam keadaan junub..........” dapat kita tangkap sebuah isyarat bahwa
anggota tubuh sebagaimana rambut, kuku dll. yang sudah terputus sebelum mandi
besar (baik terputusnya disengaja atau
tidak, pen-), hadats besar atau jinabatnya tidaklah bisa dihilangkan dengan cara
memandikan anggota yang sudah terputus tersebut. Demikian kurang lebih
pernyataan yang di sampaikan oleh Syech Ahmad bin Qāsim al-‘Abādi dalam
mengomentari keterangan kitab Ihya’nya Imam al-Ghazali itu. Berikut ini teksnya
asli dari pernyataan tersebut:
(قوله : فَيَعُوْدُ جُنُبًا)
ظَاهِرُ هَذَا الصَّنِيعِ أَنَّ الْأَجْزَاءَ المُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الاِغْتِسَالِ
لَا تَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغُسْلِهَا سم على حج
“(akan kembali
lagi dalam kondisi junub). Nampaknya, keterangan ini memberi petunjuk bahwa
anggota tubuh (semisal rambut, kuku dll.) yang sudah terputus sebelum mandi
besar (baik terputusnya disengaja atau tidak), hadats besar atau jinabatnya
tidaklah bisa dihilangkan dengan cara memandikan anggota yang sudah terputus
tersebut”. [23] (Nihāyah
al-Muhtāj. Juz: 02, hal: 241)
Bila demikian, kita layak mempertanyakan
pijakan dalil dari perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang yang
mengumpulkan rambut atau kuku-kukunya yang terpotong baik sengaja ataupun tidak
sewaktu dalam kondisi junub. Lalu pada saat melakukan mandi besar, kumpulan
rambut dan kuku-kuku tersebut juga disertakan dimandikan?
Memang tidak menjadi persoalan dan ada
benarnya juga dari tinjauan segi kebersihan, bila kumpulan-kumpulan rambut atau
kuku-kuku yang sudah terpotong itu ditanam atau dikubur,[24]
agar supaya tidak bercecaran secara sembarangan, dan juga helaian rambut yang
lumayan panjang bila dibiarkan bercecaran juga bisa berdampak buruk, mengganggu
lingkungan sekitar. Jadi, kalau memang
ada dalil pijakan yang kuat atas tuntunan memandikan kumpulan-kumpulan kuku
atau rambutnya orang junub yang sudah terpotong sewaktu dalam kondisi hadats
besarnya, maka tiada jalan lain bagi kami selain menerima dengan sepenuhnya.
Prinsip kami sejalan dengan ungkapan
syair:
ثُمَّ اَبْصَرْتَ
حَاذِقًا لَاتُمَــارِى
|
*
|
اِذَا
كُنْــتَ بِالمـَدَارِكِ غِــرَّ
|
لِأُنَاسٍ
رَأَوْهَــا بِااْلأَبْصَــارِ
|
*
|
وَاِذَا لَمْ تَـرَى
الْهِلَالَ فَسَــلِّمْ
|
“Bila engkau belum mampu memahami sebuah persoalan, jangan kaget
jika melihat orang cerdas yang memahaminya. Dan bila engkau tidak bisa
menyaksikan sendiri bulan sabit (hilal), maka ucapkanlah selamat kepada mereka
yang menyaksikannya langsung.”
Dengan keterangan di atas, dapat kami
simpulkan bahwa memandikan anggota tubuh yang sudah terputus semisal rambut,
kuku dll. tidaklah dibenarkan, [25]
dan bukan merupakan langkah solutif untuk menutupi, menghapus keteledoran atau
kesalahan yang terlanjur terjadi, yakni keteledoran dengan menghilangkan
sebagian anggota tubuh yang masih dalam status menanggung hadats besar.
Dalam tuntunan agama, menghapus
kesalahan (dosa) adalah dengan cara bertaubat yang sungguh-sungguh (taubat
nasuhā). Dan bila kesalahannya berkaitan dengan sesama anak Adam, maka
haruslah meminta halal (istihlal) terlebih dulu kepada yang bersangkutan.
Kendatipun memang ada, amalan-amalan ibadah yang syara’ telah menjanjikan
penghapusan kesalahan (dosa) dengan melaksanakan ibadah tersebut, sebagaimana
wudlu’, puasa, dll.
Rukun-rukun taubat sendiri ada tiga, yaitu:
1. An-nadāmah, yakni bersedih dan menyesali atas
perbuatan dosa yang terjadi.
2. Iqlā’, yakni seketika dengan tanpa
menunda-nunda untuk melepaskan diri dari kungkungan dosa yang sedang dilakukan.
3. Azm, yakni bertekad bulat untuk tidak
mengulangi lagi, dengan cara meninggalkan dosa tersebut, serta seketika―dengan
tanpa penundaan― memperbaiki diri dengan prilaku yang baik seraya bertekad
bulat untuk tidak mengerjakannya lagi diwaktu yang akan datang, sampai ajal
menjemput.[26]
Dan bila dosa yang dikerjakan itu
berkaitan dengan hak orang lain, maka disamping tiga rukun di atas, ditambah
pula dengan pembebasan diri dari tanggungan hak orang lain tersebut, yakni
dengan mengembalikan hak tersebut, mempersilahkan yang bersangkutan untuk
mengambil haknya atau meminta keihlasannya (istihlal).
وَبِعَزْمِ تَرْكِ
الذَّنْبِ فِيْمَا اسْتَقْبَلَا
|
*
|
أُطْلُبْ
مَتَابًا بِالنَّـدَامَةِ مُقْلِعَا
|
وَلِهَـذِهِ
الْأَرْكَانِ فَارْعِ وَكَمِّلَا
|
*
|
وَبَرَاءَةً مِنْ
كُـلِّ حَقِّ الْآدَمِى
|
Bertaubatlah, dengan menyesali dosa yang
telah kau perbuat, seraya melepaskan diri
dari kungkungan dosa yang sedang kau kerjakan. Serta bertekadlah untuk tidak
melakukan kembali di waktu yang akan datang. Dan bebaskanlah dirimu dari
tanggungan hak orang lain. Jaga dan sempurnakanlah rukun-rukun taubat tersebut.[27]
Di dalam kitab “Tsamroh ar-Raudhah
as-Syahiyyah”[28],
sempat dibahas tentang persoalan wajib dan tidaknya memandikan kuku atau
rambutnya orang junub yang sudah terpotong sewaktu dalam kondisi hadats
besarnya. Dan diputuskan bahwa hukum memandikannya adalah tidak wajib. Adapun
keterangan lengkap dari kitab tersebut, sebagai berikut:
[مَسْئَلَةٌ] هَلْ يَجِبُ غُسْلُ مَا انْفَصَلَ مِنَ الجُنُبِ
قَبْلَ الغُسْلِ مِنْ شَعْرٍ أَوْ جِلْدٍ أَوْ لَا؟ [الجَوَابُ] لَا بَلْ
الوَاجِبُ عَلَيْهِ غُسْلُ مَا ظَهَرَ بَعْدَ الِإنْفِصَالِ، أَخْذًا مِنْ فَتْحِ
المُعِيْن ج (1) ص 75 مَا نَصُّه : وَثَانِيْهِمَا تَعْمِيْمُ ظَاهِرِ بَدَنٍ
حَتىَّ الأَظْفَارِ –إِلى أَنْ
قَالَ– وَمَا ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرِهِ
زَالَتْ قَبْلَ غُسْلِهَا إهـ . وَأَمَّا قَوْلُ صَاحِبِ الإِحْيَاءِ سَائِرُ
أَجْزَاءِ الجُنُبِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ أَىْ مَا أُزِيْلَ
قَبْْلَ الغُسْلِ جُنُبًا. فَقَالَ القُلْيُوبِى ج (1) ص 67 قُبَيْلَ بَابِ
النَّجَاسَةِ : وَفِى عَوْدِ نَحْوِ الدَّمِّ نَظَرٌ، وَكَذَا فِى غَيْرِهِ
لِأَنَّ الْعَائِدَ هُوَ الأَجْزَاءُ الَّتى مَاتَ عَلَيْهَا إهـ والله أعلم
Permasalahan:
Apakah masih diwajibkan untuk memandikan anggota tubuh orang junub yang sudah
terpisah (terkelupas, terpotong), semisal rambut, kulit dll. ataukah tidak?
Jawab:
Tidak diwajibkan untuk memandikannya, akan tetapi yang
diwajibkan adalah memandikan bagian tubuh yang nampak setelah terpisah
(terkelupas). Kesimpulan ini, merujuk pada kitab Fahu al-Mu‘īn juz: 1,
hal: 75. Adapun keterangannya adalah: “rukun yang kedua adalah meratakan air
keseluruh anggota tubuh bagian luar , sehingga kuku-kuku jari-jemari .........
dan membasuh bagian yang nampak dari semisal tempat tumbuhnya rambut yang telah
tercabut sebelum mandi besar.”
Sedangkan pernyataan Imam
al-Ghazali di dalam kitab Ihya’nya yang menyatakan: “seluruh anggota tubuh
orang yang junub akan di kembalikan lagi ke padanya kelak di akhirat, sehingga
anggota tubuh yang sempat terpisah tersebut akan dikembalikan lagi dalam
keadaan junub”, pernyataan tersebut ditanggapi oleh Imam al-Qolyubi (juz:
1, hal: 67) sebelum bab najasah, dan isi dari sanggahan beliau ini adalah: “mengenai
(kebenaran) dikembalikannya lagi semisal darah (darahnya orang junub yang
keluar sebelum mandi wajib), maka perlu dikaji-ulang kembali, demikian pula
selain darah. Sebab, yang akan dikembalikan lagi adalah adalah bagian-bagian
tubuh yang ada sewaktu meninggal.” wa Allah A’lam. [29]
[ ]
PERSPEKTIF
FIQH SELAIN MADZHAB SYAFI’I
Untuk melengkapi kajian ini, maka
disamping mentelaahnya dari perspektif madzhab Syafi’i, alangkah baiknya bila
kita bahas pula perspektif madzhab lain, dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran persoalan yang sedang kita kaji dengan lebih jelas dan luas
(komprehensif), serta membandingkannya dengan beberapa madzhab yang ada. Sebab,
hukum syara’ tidak hanya terdapat pada rumusan madzhab Syafi’i saja,
madzhab-madzhab yang mu’tabar lain pun juga sejajar dengannya. Jadi, tiada
salahnya bila kita sertakan penjelasannya disini.
1.
Madzhab Hanafi
Di dalam kitab Fiqh al-‘Ibadah
karya al-Hajah Najah al-Halaby, dijelaskan bahwa memotong kuku di saat seorang
sedang mengalami hadats besar (junub) adalah makruh, demikian halnya memangkas
rambut. Untuk itu, sebaiknya pemotongan tersebut hendaklah dilakukan sehabis
mandi besar. Dan sebelumnya, sang pengarang (muallif) juga menjelaskan—berdasarkan sebuah pendapat—bahwa kuku yang panjang dapat
mempersempit rizqi seseorang.[30]
2.
Madzhab Hambali
Di dalam kitab al-Fiqh al-Islami,
Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam pandangan ulama madzhab Hambali
memotong kuku dan rambut bagi orang yang
sedang junub, haidl dan nifas sebelum mandi wajib adalah tidak dimakruhkan.[31]
Dan Sayyid Sabiq pun mempertegas kebolehan hukum pemotongan tersebut. Beliau
mengatakan:“bagi
orang junub dan orang yang sedang mengalami haidl dibolehkan untuk memangkas
rambut, memotong kuku keluar rumah hendak menuju kepasar dll. dengan tanpa
kemakruhan sedikitpun”.[32]
Untuk melegitimasi
kesimpulan itu, Sayyid Sabiq mengutip pendapat Imam Atho’ yang mengatakan
kebolehan bagi orang orang yang sedang junub untuk berbekam, memotong kuku,
mencukur rambut walaupun belum berwudlu terlebih dulu. Bahkan Imam Bukhori juga
meriwayatkan pendapat Imam Atho’ tersebut didalam kitab Sahih Bukhorinya,
sebagaimana beliau catat dalam bab orang junub boleh keluar rumah dan berjalan
menuju pasar dll.[33]
Dengan demikian dapatlah kita pahami,
memotong kuku dan memangkas rambut bagi orang junub adalah boleh bahkan tidak
diharamkan dan tidak pula dimakruhkan, dengan berpijak pada madzhab Hambali dan
pendapatnya Imam Atho'.
3.
Fatāwi Dār al-Ifta’ al-Misriyyah Dan
Fatāwi al-Azhar
Memotong Rambut
dan Kuku Bagi Orang Junub.
Soal :
Apakah diperbolehkan memotong rambut dan
kuku ketika sedang jinabat dan sebelum mandi besar?
Jawab :
Di dalam kitab
al-Iqna’ syarah kitab matan Abi Suja’ (fiqh syafi’i) juz: 01, hal: 60,
di sebutkan: “telah berkata di dalam kitab Ihya’―yakni Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien
karya Imam al-Ghazali―:
“Dan tidak seyogyanya bagi orang junub untuk memangkas
rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah ataupun
memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan
junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan
lagi pada dirinya dalam keadaan junub. Seraya dikatakan: sesungguhnya setiap
helai rambut menuntut pada dirinya akan status jinabatnya.”
Akan tetapi pernyataan tersebut tidak memiliki dalil untuk melarang
tindakan pemotongan (rambut dan kuku pen-) sewaktu dalam kondisi jinabat, juga
tiada dalil atas tuntutan pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat atas anggota
tubuh yang dihilangkan sewaktu junub. Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan
kepada Ibnu Taimiyyah―sebagaimana diceritakan oleh as-Safāraniy di dalam
kitabnya “Ghidza’ al-Albāb” juz: 01, hal: 382―beliaupun menjawab:
“sungguh benar-benar telah diriwayatkan dari baginda Nabi B
sewaktu dipertanyakan tentang orang junub pada baginda Nabi, beliau bersabda: “sungguh
orang mukmin itu tidak najis, baik sewaktu masih hidup ataupun sesudah
meninggal”. Ibnu Taimiyyah berkata: aku tidak mengetahui adanya dalil
syara’ yang menyatakan kemakruhan pemotongan rambut dan kuku bagi orang junub,
bahkan Nabi B pernah bersabda: “lemparkanlah
(cukurlah pen-) rambut kekafiran darimu dan berkhitanlah”.[34]
Demikianlah perintah Nabi kepada orang
yang baru masuk Islam, beliau tidak menyuruhnya untuk mengakhirkan khitan dan
mencukur rambutnya sehingga mandi besar terlebih dulu. Dengan demikian,
kemutlakan pernyataan beliau tersebut memberikan kesimpulan atas kebolehan dua
hal sekaligus, (yakni orang yang baru masuk Islam di atas, diperbolehkan untuk
mandi terlebih dulu sebelum khitan dan mencukur rambutnya, atau sebaliknya
khitan dan mencukur rambut terlebih dulu baru kemudian mandi, pen-).[35]
Demikian pula seorang wanita yang sedang haid, diperintahkan untuk menyisir rambutnya
sewaktu mandi, padahal dengan menyisir rambut akan berdampak pada kerontokan
sebagian rambutnya.
Dengan demikian dapat kita mengerti
bahwa hal itu tidaklah dimakruhkan. Adapun larangan melakukan tindakan
tersebut, tidaklah memiliki dasar sama sekali.” Imam Atha’ berkata: “orang
junub boleh berbekam (canduk, jw), memotong kuku, mencukur rambutnya walaupun
tanpa wudlu terlebih dulu.”(HR. Bukhori). Dengan berpijak pada
keterangan tersebut, mencukur rambut dan memotong kuku sewaktu jinabat tidaklah
dimakruhkan (dan tidak pula diharamkan, pen-). Adapun menanam atau mengubur
potongan-potongan kuku ataupun rambut-rambut rontok yang terdapat disisir
adalah persoalan lain. [36]
4.
Fatāwi as-Syabakah al-Islāmiyyah
Orang Junub Tidak Berdosa bila Mencukur
Rambut Kepalanya atau Memotong Kuku-kukunya.
Soal :
Apakah diperbolehkan memotong rambut
ketika sedang jinabat dan sebelum mandi besar, dan apa dalilnya?
Jawab :
Segala puji bagi Allah I , Shalawat dan Salam semoga
terlimpahkan pada Rosulullah B , kepada
keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du, seseorang yang sedang junub
tidak berdosa bila mencukur rambut atau memotong kuku-kukunya, sebab hukum
asalnya adalah boleh, dan tidak ada dalil sahih yang melarangnya. Barang siapa
bermaksud mencegah hukum kebolehan tersebut, maka ia dituntut untuk
mendatangkan dalil penguat atas pendapatnya.
Sebuah pertanyaan pernah diajukan pada
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah―sebagaimana tercatat dalam kitab fatawinya―isi
pertanyaannya adalah: jika seorang laki-laki sedang dalam kondisi junub lantas
ia memotong kuku-kukunya, bulu kumisnya atau menyisir rambut kepalanya, apakah
berdosa bila hal itu ia kerjakan? Persoalan yang ditanyakan ini, memang betul
pernah disinggung oleh sebagian ulama, dan mereka berkomentar bahwa seseorang
yang sedang junub bila mencukur rambutnya atau memotong kuku-kukunya, maka
kelak di akhirat seluruh tubuhnya akan dikembalikan lagi, ia pun di hari kiamat
menanggung beban jinabat sesuai dengan kadar anggota tubuhnya yang sempat ia
hilangkan, dan setiap helaian rambutnya juga menanggung beban tanggungan
jinabat, apakah hal yang demikian ini memang benar adanya?
Adapun jawaban dari Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah sebagai tanggapan dari pertanyaan tersebut adalah: sungguh
benar-benar telah diriwayatkan dari baginda Nabi B haditsnya Huzaifah dan haditsnya Abu Hurairah, bahwa
sewaktu dipertanyakan prihal orang junub pada baginda Nabi, beliaupun
bersabda:“sungguh orang mukmin itu tidak najis”, di dalam kitab sahihnya
al-Hākim terdapat tambahan:“baik sewaktu masih hidup ataupun sesudah
meninggal”. Lalu Ibnu Taimiyyah melanjutkan jawabannya: aku tidak
mengetahui adanya dalil syara’ yang menghukumi makruh bagi orang junub bila
mencukur rambut kepalanya. Bahkan baginda Nabi pernah bersabda:“lemparkanlah
(cukurlah pen-) rambut kekafiran darimu dan berkhitanlah”.[37]
Demikian lah perintah Nabi kepada orang
yang baru masuk Islam, beliau tidak memerintahkannya untuk mengakhirkan khitan
dan mencukur rambutnya sehingga mandi besar terlebih dulu. Dengan demikian,
kemutlakan pernyataan beliau memberikan kesimpulan atas kebolehan dua hal
sekaligus, (yakni orang yang baru masuk Islam tersebut diperbolehkan untuk
mandi terlebih dulu sebelum khitan dan mencukur rambut, atau sebaliknya khitan
dan mencukur rambut terlebih dulu baru kemudian mandi, pen-). Demikian
pula seorang wanita yang sedang haid, diperintahkan untuk menyisir rambutnya
sewaktu mandi, padahal dengan menyisir rambut akan berdampak pada kerontokan
sebagian rambutnya. wa-Allahu a’lam. [38] [ ]
RIWAYAT
YANG LEMAH (DLO’ĪF) DAN HADITS PALSU (MAUDLU’)
Keterangan yang disampaikan oleh Imam
al-Ghazali di dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya
atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer
pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai
dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak
sumber-sumber hadits yang menjelaskan, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if
atau bahkan dinilai maudlu’.
Dan sepanjang penelitian yang kami
lakukan, ada beberapa sumber refrensi yang menyebutkan riwayat yang menerangkan
tentang topik yang sedang kita kaji. Namun sayangnya, riwayat yang disebutkan
dalam refrensi ini adalah riwayat yang lemah (dla’if), bahkan dinilai
sebagai hadits palsu atau maudlu’. Jadi masih belum bisa dijadikan
pijakan dalil penguat hujjah akan keharaman memotong kuku, mencukur rambut,
berbekam dll. di saat sedang dalam kondisi hadats besar.
1.
Fathu al-Bāriy Karya Ibnu Rajab
al-Hambali
Di dalam kitab Fathu al-Bāriy
syarah Sahih al-Bukhari Imam Ibnu Rajab al-Hambaliy menjelaskan bahwa
bagi orang junub diperbolehkan untuk berbekam, memotong kuku-kukunya, dan
mencukur rambutnya. Bahkan wanita yang sedang haidl juga diperbolehkan untuk
mewarnai rambut kepalanya dan meminyakinya. Hukum kebolehan ini beliau
sandarkan pada pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Atho’, dan Imam Ishaq
bin Rahawaih. [39]
Selanjutnya beliau menuturkan, bahwa
kebolehan tersebut tidak ada yang mempertentangkannya kecuali sebagian
ashhabnya yakni Abu al-Faraj as-Syairoziy. Oleh karena menurut pendapat Abu
al-Faraj as-Syairoziy, orang yang sedang junub dimakruhkan bila mencukur rambut
atau memotong kuku-kukunya. Ketentuan ini didasarkan atas sebuah riwayat yang
beliau nilai marfu’. Akan tetapi riwayat tersebut bagi Ibnu Rajab
al-Hambaliy beliau anggap sebagai riwayat munkar, bahkan kelihatanya
lebih tepatnya bila dikatakan riwayat palsu (maudlu’). Dan riwayat yang dimaksudkan adalah:
لَا
يَقْلِمَنَّ أَحَدٌ ظفراً ، وَلَا يَقُصْ شَعْراً ، إِلَّا وَهوَ طَاهِرٌ ، وَمَنْ
اِطَّلَى وَهوَ جُنُبٌ كَانَ [ عِلَّتُهُ
] عَلَيْهِ (خرجه الإسماعيلي في
مسند علي بإسناد ضعيف جداً عَن علي)
“Janganlah
seseorang memotong kukunya, mencukur rambutnya kecuali jika dirinya dalam
kondisi suci. Dan barangsiapa meminyaki rambutnya, sedangkan dirinya dalam
keadaan junub, maka bahayanya (illat-nya) menjadi tanggungan dirinya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Isma’iliy dalam
musnadnya Ali, dengan riwayat yang sangat lemah dari jalur riwayat Ali.[40]
2. Silsilah
al-Ahādīts ad-Dla’īfah wa al-Maudlu’ah wa Atsaruha fi al-Ummah karya al-Albāniy
Dalam kitab “Silsilah al-Ahādīts
ad-Dha’īfah wa al-Maudlu’ah wa Atsaruha fi al-Ummah” Syekh Muhammad
Nasiruddin bin al-Hāj Nuh al-Albāniy menuliskan sebuah riwayat yang beliau
klaim sebagai hadits maudlu’. Adapun riwayat yang dimaksudkan adalah
riwayat sebagai berikut:
(نهى أن يَحْلِقَ الرجلُ رأسَه وهو جُنُبٌ، أو يَقْلِمَ ظُفْراً ، أو يَنْتِفَ حَاجِباً وهو جُنُبٌ ). مَوْضُوْعٌ.
أَخْرَجَهُ ابْنُ عَسَاكِرْ فِي ”تَارِيخ دِمَشْقَ“ مِنْ طَرِيْقِ
أَبِي الحَسَنْ عَلِي بْنِ مَحَمَّد بنِ بَلَّاغ - إِمَام الجَامِع بِدِمَشْقَ - :
نَا أَبُو بَكَرْ مُحَمَّد بن عَلِي المرَاغِي: نَا أَبُوْ يَعْلَى أَحْمَد بن عَلِي
بن المثَنَّى التَّمِيْمِي المُوْصِلِي: نَا عَبْدُالْأَعْلَى بن
حَمَّاد النُّرْسِي: نَا حَمَّاد بن سَلَمَة عَنْ ثَابِتْ عَن أَنَسْ بن ماَلِكْ قَالَ:
دَخَلَ عَلَيَّ النبِيُّ B فِي يَومِ
الجُمْعَةِ، وَأَنَا أَفِيْضُ عَلَيَّ شَيْئاً مِنَ المَاءِ، فَقَالَ لِي : ”يَا
أَنَس! غُسْلُكَ : لِلْجُمْعَةِ أَمْ لِلْجَنَابَةِ ؟“. فَقُلْتُ : يَا رَسُولُ الله! بَلْ لِلْجَنَابَةِ، فَقَالَ النَّبِي
B: ”يَا أَنَس! عَلَيْكَ
بالحنيك، والفنيك، والضاغطين، والمسين، والمنسبين، وأُصُول البَرَاجِم، وَأُصُول
الشَّعْر، وَاثْنَي عَشَرَ نَقْباً، مِنْهَا سَبْعَةٌ فِي وَجْهِكَ وَرَأْسِكَ، وَاثْنَانِ
فِي سَفَلَتِكَ، وَثَلَاثٌ فِي صَدْرِكَ وَسُرَّتِكَ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ
نَبِيّاً ! لَوِ اغْتَسَلْتَ بِأَرْبَعَةِ أَنْهَارِ الدُّنْيَا: سَيْحَانْ وَجَيْحَانْ،
وَالنِّيْل وَالْفُرَات، ثُمَّ لَمْ تُنْقِهِمْ ؛ لَلَقَّيْتَ اللهَ يَوْمَ القِيَامَةِ
وَأَنْتَ جُنُبٌ“. قَالَ أَنَس: فَقُلْتُ: يَا رَسُولُ الله! وَمَا الحنيك، وَمَا
الفنيك وَمَا الضاغطين والمسين وَمَا المنسبين ؟ وَمَا أُصُولُ البَرَاجِم ؟ فَأَوْمَى
إِليَّ رَسُولُ الله B بِيَدِهِ:
أَنْ اَلْحِقْنِي ، فَلَحِقْتُهُ ، وَأَخَذَ بِيَدِي، وَأَجْلَسَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ،
وَقَالَ لِي : ”يَا أَنَس! أَمَّا:
(الحنيك) ... فَلَحْيُكَ الفَوْقَانِي، وَأَمَّا : (الفنيك) ... فَفَكُّكَ السُّفْلَانِي،
وَأَمَّا : (الضاغطين) وَهُمَا: (المسين) ... فَهُمَا أُصُولُ أَفْخَاذِكَ، وَأَمَّا
: (المنسبين) ... فَتَفْرِيْشُ آذَانِكَ، وَأَمَّا: (أُصُولُ البَرَاجِم) ... فَأُصُولُ
أَظَافِيرِكَ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ نَبِيّاً! لَتَأْتِي الشَّعْرَةُ كَالْبَعِيْرِ
الْمَرْبُوقِ حَتَّى تَقِفَ بَيْنَ يَدَيِ الله فَتَقُولُ: إِلَهِي وَسَيِّدِي! خُذْ
لِي بِحَقِّي مِنْ هَذَا“ فَعِنْدَهَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ B ... الحَدِيثَ .
Telah diriwayatkan bahwa Nabi
melarang seseorang bila mencukur rambut kepalanya pada waktu dirinya sedang
dalam keadaan junub, memotong kuku, atau mencabut bulu alis sewaktu dirinya
sedang dalam kondisi junub. Riwayat ini adalah merupakan hadits maudlu’.
Ibnu ‘Asākir menyebutkannya di dalam kitab “Tarikh Damaskus” melalui jalur
riwayat Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Ballāgh, seorang imam masjid jami’
Damaskus.
Adapun
jalur periwayatannya sebagai berikut: telah bercerita pada kami Abu Bakar
Muhammad bin ‘Ali al-Marāghi, telah bercerita pada kami Abu Ya’la Ahmad bin
‘Ali al-Mutsanna at-Tamimiy al-Maushiliy, telah bercerita pada kami Abdul A’la
bin Hammad an-Nursiy, telah bercerita pada kami Hammad bin Salamah dari Tsābit
dari Anas bin Malik.
Dan
Anas bin malik berkata:“Nabi B masuk
ke rumahku di hari Jum’at, pada saat diriku sedang menuangkan air ke sekujur
tubuh (mandi). Beliau bertanya padaku:“wahai Anas..! engkau sedang mandi
jum’at ataukah mandi jinabat?”, dan aku pun menjawab pertanyaan itu:“mandi
jinabat (wahai Nabi)”. Nabi B berkata:“wahai Anas...!
waspadalah terhadap الحنيك, الفنيك, الضاغطين, المسين, المنسبين, أصول البراجم dan waspadai pula
pangkal-pangkal rambut kepala, serta dua belas lubang. Tujuh di antaranya
terdapat di wajah dan kepalamu, yang dua berikutnya berada di bagian bawah
tubuhmu, dan tiga (sisanya) berada di bagian dada dan pusarmu (udel, jw). Demi
Dzat yang mengutusku dengan hak sebagai seorang Nabi...! andaikan engkau mandi
dengan menggunakan airnya empat sungai yang terdapat di bumi, yakni Saihān,
Jaihān, Nīl, serta Furat, dan dirimu belum membersihkan (baca: mengabaikan)
bagian-bagian tersebut, niscaya kelak dirimu di hari kiamat akan menghadap
Allah dalam keadaan junub”.
Anas berkata:“wahai Rosulullah...! apa yang dimaksud dengan الحنيك, الفنيك, الضاغطين, المسين, المنسبين, أصول البراجم...?”
Lalu
Rosulullah B memberi isyarah dengan
tangannya, maksudnya “kemarilah”. Dan aku pun menghampiri Nabi, beliau
lantas memegang tanganku dan mempersilahkanku agar duduk di depannya, seraya
berkata padaku:“yang dikehendaki dengan الحنيك adalah
dagu bagian atas, adapun الفنيك adalah rahang bagian bawah,
lalu الضاغطين yakni المسين keduanya adalah pangkal-pangkal paha,
dan المنسبين adalah bagian-bagian telinga
yang membentang, adapun أصول البراجم adalah
pangkal-pangkal dari kuku jari-jemari. Demi Dzat yang mengutusku dengan hak
sebagai seorang Nabi...! sungguh satu helai rambut, kelak (di hari kiamat,
pen-) akan datang bagaikan onta yang di ikat, sehingga menghadap pada Allah I seraya melapor:“wahai Tuhanku ... wahai
Tuanku....! tolong ambilkan (balaskan, pen-) hak bagiku dari orang ini”
........ bermula dari sini lah Nabi B
melarang seseorang bila mencukur rambut kepalanya pada waktu dirinya sedang
dalam keadaan junub, memotong kuku, atau mencabut bulu alis sewaktu dirinya
sedang dalam kondisi junub.[41]
Hadits
tersebut disebutkan oleh Ibnu ‘Asākir bersamaan dengan biografinya ‘Ali bin
Muhammad bin al-Qasim bin Ballāgh Abi al-Hasan yang bertugas sebagai imam
masjid jami’ Damaskus. Dan Ibnu ‘Asākir belum sempat mengkonfirmasikan prihal
cacat (jarh) atau keadilan (ta’dīl) dari Abi al-Hasan, sang
perawi hadits.
Usai
menyebutkan hadits di atas, Ibnu ‘Asākir lantas berkata:“ini adalah hadits
munkar, aku sama sekali belum pernah mencatatnya. Sepanjang aku mendengar
(mengkaji maksudnya, pen-) kitab ‘Musnad Abi Ya’la’ dari jalur riwayatnya Ibnu
Hamdan serta jalur riwayatnya Ibnu al-Muqri’, sama sekali tidak aku jumpai
hadits ini dalam kitab tersebut. Para perawinya―terhitung―dari Abi Ya’la sampai
Rosulullah terdiri dari para perawi yang sudah dikenal dan dapat dipercaya. Aku
tidak mengetahui (mengenai kelemahan yang muncul), entah timbulnya itu dari
al-Marāghi ataukah dari Ibnu Ballāgh? Dugaan kuat mengenai kelemahan yang ada,
mengarah pada sosok al-Marāghi”.
Aku
(al-Albāniy) berkata:“sungguh brilian (pintar sekali; cemerlang; hebat) Imam
as-Suyuthiy dengan mencantumkan hadits ini dalam kitab “Zail al-Ahādīts
al-Maudlu’ah” hal: 100. Dan langkah beliau ini diikuti oleh Ibnu ‘Irāq dalam
kitabnya “Tanzih as-Syari’at”. Beliau berdua sama-sama mengutip pernyataan Ibnu
‘Asākir di atas, dan menjadikannya sebagai pedoman. Tanda-tanda pemalsuan pun
benar-benar kelihatan dalam hadits tersebut. Di dalamnya terdapat pula beberapa
lafadz yang aneh dan rendah kandungan maknanya, wa-Allahu a’lam. Dan yang
benar-benar mengherankan lagi adalah, bahwasannya ad-Zhahabi dan (Ibnu Hajar)
al-‘Asqalāniy beliau berdua sama sekali tidak menyinggung al-Marāghi dan
haditsnya itu, apalagi menyinggung-nyinggung Ibnu Ballāgh di dalam kitab
“al-Mizān” dan “al-Lisān”.....! ”. [42]
Di dalam syari’at, tidak
dijumpai adanya dalil yang menunjukkan kemakruhan mencukur rambut serta
memotong kuku bagi orang junub. Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya justru
mencantumkan bab dengan judul “Bab orang junub, boleh keluar rumah, berjalan
menuju pasar dll.” seraya mengutip pernyataan dari Imam Atho’ yang
mengatakan:“orang junub boleh berbekam, memotong kuku, dan mencukur rambut
kepala meskipun belum berwudlu”. Riwayat dari pernyataan Imam Atho’ ini
oleh Syekh Abdurrazzāq disampaikan dalam kitab Mushonnaf-nya dengan
rangkaian yang tidak terputus (mauwshul), serta dengan sanad yang
menurut beliau sahih.
Imam
Bukhori meriwayatkan haditsnya Abu Hurairah yang berbunyi:
أنَّ
النَّبي B لَقِيَهُ فِي بَعْضِ
طَرِيْقِ المَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، [فَأَخَذَ بِيَدِيْ، فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى
قَعَدَ]، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ (وَفِي رِوَايَةٍ : فَانْسَلَلْتُ)، فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ،
ثُمَّ جَاءَ (وَفِي رِوَايَةٍ : ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ)، فَقَالَ :” أَيْنَ
كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ!؟ “ قَالَ: كُنْتُ جُنُباً؛ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسُكَ وَأَنَا عَلَى
غَيْرِ طَهَارَةٍ ! فَقَالَ : ”سُبْحَانَ الله [يَا أَبَا هُرَيْرَةَ!]،
إِنَّ المُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ“ ( رواه البخاري عن أبي
هريرة ورواه مسلم وغيره)
“Sesungguhnya
baginda Nabi B sempat bertemu dengan Abu
Hurairah di sebuah jalan dari jalur yang
menuju kota Madinah, padahal Abu Hurairah sedang dalam kondisi junub. Beliau
lalu memegang tanganku, dan aku pun berjalan bersama Nabi hingga akhirnya
beliau duduk. Lantas dengan sembunyi-sembunyi Abu Hurairah meninggalkan beliau,
untuk mandi terlebih dulu. Kemudian dirinya kembali lagi, sewaktu beliau dalam
posisi duduk. Nabi lantas berkata:“kemana saja engkau wahai Abu Hurairah?”. Abu
Hurairah menjawab:“Aku sedang dalam kondisi junub, Aku enggan bila duduk bersama
paduka sedang kondisiku tidak suci”. Nabi berkata:“Maha Suci Allah
(subhanallah). Wahai Abu Hurairah...! sesungguhnya orang yang beriman itu
tidaklah najis”.
(HR. Bukhari dari haditsnya Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Muslim dll.)[44] [ ]
KESIMPULAN-KESIMPULAN
Setelah memaparkan beragam pandangan di
atas, ada baiknya bila kita membuat kesimpulan sebagai puncak kajian ini:
1.
Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab
Syafi’iyyah sebagaimana yang telah penulis kelompokkan di atas—walaupun sebenarnya masih banyak
kitab-kitab Syafi’iyyah yang belum penulis telaah[45]—penulis belum memukan satu pun pendapat
yang menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang
dalam kondisi hadats besar.
2.
Redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi وَلا يَنْبَغِي yakni,
sighot yang dalam penggunaannya memiliki
dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat
indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari
refrensi-refrensi yang kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran
sighot tersebut yang diartikan haram.
3.
Dalam kitab Nihayah az-Zain, Fathu al-‘Allam
dan Busyro al-Karim redaksi yang ada justru menjelaskan bahwa pemotongan
semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar)
hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap dilakukan tentunya
tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang dipakai
oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi لا يَنْبَغِي diartikan dengan يُسَنُّ ... disunnahkan
..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karīm نُدِبَ yang artinya juga
... disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur
rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab
“al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah”, pada saat memaparkan
pendapat ulama Syafi’iyyah tentang kesunahan-kesunahan mandi.[46]
4.
Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah
kami paparkan di atas, belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman
pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub
(hadats besar). Sebaliknya, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang
menjelaskan hukum makruh―sebagaimana dalam pandangan ulama madzhab
Hanafi―atau boleh (mubah) secara mutlak―sebagaimana pandangan
ulama madzhab Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporer―dengan memandang hukum
asalnya. Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak
melakukan pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi
junub (hadats besar), sebagaimana kami temukan dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi
(juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 339), Busyro
al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31).
Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafi’i memang harus kami akui
bila tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih
membuka pintu dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.
5.
Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan
keharaman dari tindakan tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap
kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti mencukur rambut, atau memotong kuku
atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan untuk dilakukan sehabis mandi
besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain halnya menyisir
rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis mandi
besar.
6.
Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam
kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya.
Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu
rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang
menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang
menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if atau bahkan dinilai
maudlu’. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada
sosok ulama seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap
kurang ajar lainnya. Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak
ilmiyah di satu sisi, juga merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi
pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang lain.
7.
Sikap bijaksana benar-benar telah dicontohkan oleh para
pendahulu yang terdiri dari para generasi ulama setelah Imam al-Ghazali. Mereka
mengutip dengan tanpa merendahkan atau menghina beliau sama sekali. Bila
berbeda redaksi, mengkritik atau yang lainnya, itu pun disampaikan dengan
bahasa atau tutur kata yang baik dan sopan. Beliau-beliau memang merupakan para
ulama yang memberi contoh suri tauladan yang baik dan bijaksana. Menyampaikan
ilmu dengan penuh amanah, pantaslah bila
dijadikan sebagai contoh teladan bagi para generasi setelahnya. Dalam hal ini,
Ibnu Malik pujangga Nahwu yang masyhur itu, mengingatkan lewat lantunan
bait-bait Alfiyah-nya:
مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ
الجَمِـــيْلَا
|
*
|
وَهْوَ
بِسَــبْقٍ حَائِزٌ تَفْضــِيْلَا
|
“Dia
(guruku), atas faktor senioritasnya berhak mendapatkan penghormatan agung dan
pujian yang indah.”
مَا
كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّم
|
“Alangkah
agungnya ilmu-ilmu ulama terdahulu.”
EPILOG
(penutup)
Sering kali penulis disodori
pertanyaan―boleh dikata seperti itu―di saat menjalankan tugas jaga belajar atau
musyawarah yang datangnya dari para mbak-mbak santriwati, maklum memang karena
sudah menjadi tugas penulis untuk berbagi pengetahuan agama dengan mereka.
Kalau hanya sekedar menerima pertanyaan lantas memberikan tanggapan atas
pertanyaan yang diajukan, mungkin sudah biasa. Namun, ada sebuah pertanyaan
yang memang teramat berkesan bagi kami, oleh karena seringnya mereka
pertanyakan, berulang-ulang dan berkali-kali. Orang yang menanyakannya pun
tidak hanya satu atau dua orang saja, akan tetapi kebanyakan dari mereka kurang-lebih
juga mengalami hal yang sama, yakni sama-sama risau, was-was dan sebagainya,
dalam menghadapi persoalan yang satu ini.
Dan persoalan yang membikin risau dan
was-was tersebut adalah mengenai tingkatan hukum dari pemotongan kuku dan
rambut atau hanya sekedar menyisir rambut yang dapat berimbas rontoknya
beberapa helai rambut pada saat mereka tengah mengalami hadats besar terutama
saat menstruasi (haid), bolehkah, haram atau makruhkah hukumnya? Berawal
dari kenyataan yang menyentuh rasa empati ini, kami bertekad bulat untuk
mengkaji persoalan yang membikin risau mereka itu. Waktu terus bergulir dan
berjalan, dan hari senantiasa berganti hari, pertanyaan itu selalu
terngiang-ngiang dalam lubuk sanubari, tidak mudah untuk dilupakan. Dengan
bermodalkan niat suci tersebut, data demi data kami kumpulkan dan kami rangkai
agar supaya dapat menjadi tulisan yang layak dikonsumsi. Hingga akhirnya, rasa
syukur teriring ungkapan al-hamdulillah meluncur sebagai tanda
kegembiraan. Demikian kurang lebih ungkapan hati kecil kami yang mengiringi catatan
akhir dari kajian ini.
Hubungan timbal-balik antara penulis di
satu sisi dan mbak-mbak santriwati di sisi yang lain, sebagaimana
terdeskripsikan di atas, benar-benar mengingatkan kami pada pesan bijak
yang dituturkan oleh Imam al-Ghazali
dalam kitab Ihya’nya. Beliau menceritakan, bahwa Nabi Isa B
pernah bersabda:“barang siapa memiliki ilmu, mengamalkan serta mengajarkannya,
maka dirinya dipanggil sebagai orang
yang agung di kerajaan langit”. Proses belajar pun belumlah lengkap tanpa
kehadiran seorang murid (pelajar). Jadi, kehadiran seorang murid merupakan
sarana untuk memperoleh derajat kesempurnaan itu, tentunya bila sang guru
mencintainya, karena seorang murid merupakan sarana baginya. Hati sang murid ia
jadikan bagaikan ladang bagi tanamannya (ilmunya), yang menyebabkan dirinya
nanti bisa memperoleh derajat keagungan di kerajaan langit. Dengan kecintaan
seperti itu, seorang guru juga temasuk pecinta karena Allah.[47]
Intinya, masing-masing dari guru dan murid adalah patner yang dinamis dan
bersimbiosis mutualisme. Dan tentunya bila masing-masing mengerti akan peran,
hak dan tanggungjawab mereka.
Selanjutnya, pesan bijak tersebut
menjadi inspirasi sekaligus prinsip tersendiri bagi kami dalam menjalankan
tugas sebagai seorang pengemban amanah untuk menyampaikan materi pelajaran
kepada para santriwati. Dengan demikian, semoga penulis termasuk dari golongan
orang-orang yang bermanfaat bagi sesamanya, amien. Tidakkah sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesamanya? Dan jika dunia
adalah merupakan ladang amal, lahan mencari bekal untuk menyongsong kehidupan
akhirat, maka mudah-mudahan usaha yang kami lakukan melalui tulisan ini dapat menjadi
semacam pencerahan bagi diri kami sendiri dan bagi orang-orang yang
membutuhkannya, sekaligus amal baik yang penuh berkah dan manfaat yang diridloi
oleh Allah I , amien.
Nampaknya, persoalan yang dirisaukan
oleh mbak-mbak santriwati di atas memang penting untuk ditelaah dengan teliti
dan seksama. Dalam mensikapinya, jangan hanya bermodalkan pada kata-kata si
fulan ... dan si fulan. Harus ada data-data akurat yang menjadi pijakan dan
pedoman. Sebab, persoalan ini berkaitan erat dengan sikap kita dalam
menjalankan ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari. Memang, keberagamaan
yang kita jalani harus benar-benar selaras dan sejalan dengan kaidah-kaidah
agama yang benar. Dalam hal ini, kita diingatkan oleh
petuah-petuah bijak yang disampaikan oleh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya:
مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ
عُبَّادِ الْوَثَنْ
|
*
|
فَعَالِمٌ بعِلْمه
لَمْ يَعْـمَلنْ
|
اَعْـمَالُهُ
مَرْدُودَةٌ لاَتُقْبَلُ
|
*
|
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ
عِلْمٍ يَعْمَلُ
|
“Orang yang berilmu (‘alim) tapi
tidak mau mengamalkan ilmunya, kelak akan disiksa sebelum para penyembah
berhala (paganis). Setiap
orang yang menjalankan ibadah dengan tanpa didasari ilmu, maka amal ibadahnya tersebut
tidak diterima oleh Allah.”
Terakhir kali, harapan kami semoga
setitik dari jerih payah ini, mengandung banyak berkah dan manfaat serta
menjadi amal sholih yang diridloi dan diterima di sisi Allah I , amin.
يَسُرُّكَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَنْ تَرَاهُ
|
*
|
ولَاتَكْتُبْ
بِخَطِّكَ غَيْرَشَيْءٍ
|
“Janganlah engkau menulis
sesuatu, kecuali tulisan-tulisan yang kelak di hari kiamat dapat menjadikan
kegembiran bagimu bila engkau menyaksikannya.”
Bila
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini, dengan segenap
kerendahan hati kami memohon maaf yang tulus dan sebesar-besarnya. Saran dan
kritikan yang konstruktif senantiasa kami nantikan, demi untuk kebaikan yang
kita harapkan bersama. Wa-Allah a’lam bi ash-showāb [ ]
Sarang, 12 Rabī’
al-Awwal 1433 H
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an
al-Karīm.
2.
Muhammad
Fuad Abdul Baqi. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâdz al-Quran al-Karīm.
Surabaya. Maktabah Dahlān.
3.
Al-Imam
al-Ghazali. 1995. Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Beirut. Dār al-Fikr.
4.
Al-‘Allāmah
Abi at-Thoyyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Adzim Ābādi. 2001. ‘Aunu al-Ma’būd.
Kairo. Dār al-Hadīts.
5.
Ibnu Hajar
al-Asqalāniy. 2000. Fath al-Bāri. Beirut. Dār al-Fikr.
6.
An-Nawawi. al-Majmū'.
Beirut. Dar
al-Fikr
7.
Asy-Syech
Sulaiman al Bujairamiy. Hāsiyah Bujairami ‘ala al-Khatib. 1995. Beirut.
Dār al-Fikr.
8.
Asy-Syech
Muhammad as-Syirbiniy al-Khatīb. 1995. al-Iqnā’. Beirut. Dār al-Fikr.
9.
Al-‘Allamah
Abi Bakr ibnu Sayyid Muhammad Syatho. 2005. Hāsiyah I’anah ath-Thalibin.
Beirut. Dār al-Fikr.
10. Asy-Syech Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali Nawawi
al-Jāwi al-Banteni. Nihāh az-Zain fi Irsyād al-Mubtadi’īn. Bandung.
Syirkah al-Ma’ārif.
11. Asy-Syech Saīd bin Muhammad Bā’isn. Buysrō
al-Karīm bi Syarh masāil at-Ta’līm. Semarang. CV. Toha Putra.
12. Asy-Syech Abdul Hamīd bin Muhammad ‘Ali Quds bin
Abdul Qādir al-Khatīb. al-Anwār as-Saniyyah. Surabaya. Al-Haramain.
13. Asy-Syech Zainuddīn bin Abdul Aziz al-Malibariy. Fath
al-Mu’īn bi Syarh Qurroh al-‘Ain. Semarang. Maktabah Usaha Keluarga.
14. As-Sayyid ‘Alawi Ibnu Sayyid Ahmad as-Saqāf. Tarsyeh
al-Mustafīdīn. Surabaya. Sirkah Bunkul Indah.
15. As-Syech Ahmad Syihābuddin Ibnu Hajar al-Haitamiy.
Tuhfah al-Muhtaj. Beirut. Dār al-Fikr.
16. ---------------------------------------------------------------------.
al-Fatāwi al-Hadītsiyyah. Beirut. Dār al-Fikr.
17. As-Syech Abdul Hamīd as-Syarwāniy. Hāsiyah as-Syarwāniy
‘ala Tuhfah al-Muhtaj. Beirut. Dār al-Fikr.
18. As-Syech Syamsuddīn bin Abi al-‘Abbās. Nihāyah al-Muhtāj. Beirut. Dār
al-Fikr.
19. As-Syech Muhammad al-Khatib as-Sarbiny. Mughni al-Muhtaj. Beirut. Dar al-Fikr.
20. As-Syech Abi Yahya Zakariya al-Anshāri. Asna al-Mathōlib Syarh Raudl
at-Thālib. Beirut.
Dar al-Fikr.
21. As-Syech Kamāluddīn Abi al-Baqā’ Muhammad bin Mūsa
bin ‘Īsa ad-Damīri. 2004. an-Najm
al-Wahhāj.
Riyadh. Dār al-Minhāj.
22. As-Syech Sulaimān al-Jamal. Hāsiyah al-Jamal. Beirut. Dar
al-Fikr.
23. As-Syech Muhammad bin Sulaimān al-Kurdiy.
al-Hawāsyi al-Madaniyyah. Surabaya. Al-Haramain.
24. As-Syech Abdullah as-Syarqāwiy. 1996. Hāsiyah
as-Syarqāwiy. Beirut. Dār al-Fikr.
25. As-Syech Abdurrahmān al-Jaziriy. al-Fiqh ‘ala
al-Madzāhib al-Arba’ah. Beirut. Dār Ihyā’ at-Turots al-‘Arabiy.
26. Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany. 1988. Fathu
al-‘Allam bi Syarh Mursyid al-Anām. Kairo. Dār as-Salām.
27. As-Syech al-‘Allāmah Muhammad bin ‘Alān
as-Shadīqiy. 1978. al-Futūhāt ar-Rabbāniyyah. Beirut. Dār al-Fikr.
28. As-Syech Muhammad Mahfudz bin Abdullah
at-Turmusiy. Mūhibah
Dzi al-Fadzl.
29. As-Syech Shihāb ad-Dien Ahmad bin Ahmad bin
Salāmah al-Qolyūbiy. 2010. Hāsiyah
al-Qolyubi.
Beirut. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
30. As-Syech ‘Ali Ahmad al-Jurjāwi. 1997. Hikmah at-Tasyrī’
wa Falsafatuhu. Beirut. Dār al-Fikr.
31. As-Syech
Tājuddin Abi Nashr Abdul Wahhāb bin ‘Ali bin Abdul Kāfi as-Subkhi. 1968. Thabaqāt
as-Syāfi’iyyah al-Kubrā. Īsa al-Bābi al-Halabi.
32. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhailiy. 1997. al-Fqh
al-Islāmi. Beirut. Dār
al-Fikr
33. Prof. Dr. Muhammad az-Zuhayli. 2007. al-Muktamad
fi al-Fiqh as-Syafi'i. Damaskus. Dār al-Qalam.
34. Al-Faqīh ‘Abdullah Muhammad Baqasyair
al-Hadzramiy. 1990. Qolāid al-Khorōid wa Farāid al-Fawāid. Beirut.
Muassasah ‘Ulūm al-Qur’an.
35. Zain bin
Ibrahim bin Zain bin Sumaith. 2004. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Surabaya.
Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah.
36. Tholabah
al-‘Ilmiy min al-Indunsiyyah bi Makkah al-Mahmiyyah. Tsamroh ar-Raudhah
as-Syahiyyah. Kediri. Pondok Pesantren Lirboyo.
37.
Sayyid
Sabiq. Fiqh as-Sunnah. Kairo. Dār al-Fath.
38.
KH. Muhammad Said bin KH. Abdurrachim
Ahmad. Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. Sarang.
Al-Barakah (ALBA).
39. Imam
Ibnu Rajab al-Hambaliy. Fathu al-Bāriy. Perpustakan shoft where
(maktabah syamilah).
40.
Syekh Muhammad Nāsiruddīn bin al-Hāj Nuh
al-Albāniy. Silsilah al-Ahādīts ad-Dha’īfah wa al-Maudlū’ah wa Atsaruha fi
al-Ummah. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
41.
al-Hajah Najah al-Halaby. Fiqh
al-‘Ibādah Madzhab Hanāfi. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
42.
Fatāwi
al-Azhar. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
43.
Fatāwi Dār
al-Ifta’ al-Misriyyah. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
44.
Fatāwi
as-Syabakah al-Islāmiyyah. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
BIODATA
PENULIS
Abdul Kholiq el-Qudsiy, lahir di Kudus 15 April 1982. Jenjang pendidikan yang ditempuh adalah MI
Manafi' al-Ulum (1994), MTs al-Hidayah (1997), Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)
TBS Kudus (2000). Pendidikan berikutnya dilanjutkan di Pondok MUS Sarang, yang
diasuh oleh beliau KH. Abdurrohim Ahmad (Alm) dan dibantu oleh KH. Ma'ruf
Zubair (Alm) serta KH. Adib Abdurrohim. Yang pada akhirnya, setelah KH.
Abdurrohim Ahmad wafat tahun 2001 kepengasuhan diteruskan oleh putra beliau
yang bernama KH. Muhammad Said AR.
Kegiatan
di pondok: Mengkaji
kitab salaf kepada para masayikh. Siswa Madrasah Ghozaliyyah Syafi'iyyah (MGS)
2006. Study Dirasah al-Islamiyyah di Ma’had Aly al-Ghozali (MAG) 2008.
Diskusi pekanan setiap malam Kamis di Auditorium MGS sewaktu masih aktif
sebagai mahasantri Ma’had Aly al-Ghozali, yang dibimbing langsung oleh beliau
Ust. Najib Bukhori Lc. Forum diskusi Fiqhiyyah al-Fadl al-Jamil dan
Majlis Mubahatsah Masail as-Syar'iyyah (M3S). Aktif meramaikan Mading
PP. MUS “Ar-Rihlah” pada edisi perdana, sekaligus menjadi pimred perdananya pula.
Pada rentang
waktu 2008-2012 menjalankan tugas sebagai pengajar di Madrasah Putri al-Ghozaliyyah
(MPG). Saat ini, terhitung mulai dari hari Rabo 5 Ramadhan 1433 H. bertepatan
dengan 25 Juli 2012 M –sang santri yang akrab dengan panggilan Si Doel el Qudsiy–
melaksanakan tugas untuk mengabdi pada al-ilmu asy-syar’iy wa ‘ahlihi di almamater tercinta Madrasatuna
Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus, semoga tugas yang dijalankan
tersebut menjadi amal sholih yang diridloi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
amien.
Risalah
ini “Memotong rambut, kuku dll. bagi orang yang berhadats besar” (2012) adalah
merupakan karya ketiga penulis. Risalah pertama berjudul “Mut'ah”
(2008), dan risalah kedua berjudul “Fiqih Safar” (2010), di samping juga
ada beberapa artikel pendek lainnya. Untuk itu, mohon dengan ikhlas dan tulus
atas do’a restunya, semoga cita-cita mulia yang diimpi-impikan sang penulis
dalam rangka berdakwah, untuk supaya bisa menjadi seorang penulis profesional yang
berbakat sekaligus produktif, dilapangkan dan diridlai oleh sang maha pencipta,
Allah Subhanahu wa Ta’ala. The dream to be come true demikian
kata Ust. Najib memberi motivasi pada penulis, Amien. [ ]
[1]. Satu dari sekian santri yang turut serta menaiki bahtera pencarian ilmu
di Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulūm Asy-Syar’iyyah (PP MUS). Karangmangu Sarang.
[3]. Beliau adalah Syihābbuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Salāmah
al-Qolyubi as-Syafi’i. Dilahirkan di desa Qolyūb yang terletak di sebelah timur
kota Mesir. Seorang ulama besar, ‘ālim dan menguasai berbagai disiplin ilmu
keagamaan (multi disiplin). Meninggal pada tahun 1069 H. (riwayat lain
meyebutkan pada tahun 1070 H). Karya-karya ilmiah beliau di antaranya adalah:
Tuhfah ar-Rāghib, Tazdkiroh al-Qolyubi, al-Jāmi’ fi at-Thib, Hasiyah ‘ala Syarh
al-Ajrumiyyah, Hasiyah ‘ala Syarh Īsaghuji, Hasiyah ‘ala Syarh at-Tahrir,
al-Fawāid at-Thibbiyyah, Fawāid al-Lathifah wa Farāid Nafīsah, kitab Mi’rāj,
Majmū’ al-Muhibbīn, Mashōbih as-Sunnah, Manāsik al-Hajj, an-Nubdzah
al-Lathīfah, Hidāyah min adz-Dhalālah, Hasiyah al-Qolyubi, dll.
[5]. Tarsyeh al-Mustafīdīn. Hal: 34.
[6].
Dalam pandangan kami, keberadaan dari refrensi-refrensi ilmiyyah warisan para
ulama yang mereka tuturkan dengan bahasa
Arab, harus diakui dengan penuh kejujuran dan kearifan, bahwa realitas seperti
ini merupakan problem tersendiri bagi masyarakat yang tidak menguasai
linguistik Arab tersebut, sebagaimana kebanyakan dari kaum muslim di Indonesia.
Maka dari itu, usaha-usaha penerjemahan atau alih bahasa terhadap kitab-kitab turots
warisan ilmiyyah para ulama terdahulu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat awam, dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan
dengan kata lain aktualisasi kitab salaf―sebagai langkah awal untuk
memahami syari'at Nabi Muhammad, supaya mata rantainya tidak terputus begitu
saja―perlu sekali untuk mendapatkan apresiasi tinggi dan istimewa. Jadi, antara
penyampaian materi dengan metode tarjamah ataupun yang berbahasa Arab adalah
memiliki esensi
sama, yakni sama-sama bertujuan berdakwah menyebarluaskan syari'at Nabi
Muhammad, tentunya sarana penunjang tujuan tersebut sudah semestinya agar
disesuaikan dengan tuntutan kondisi objek dakwah yang menjadi sasaran. Dalam kaidah
fiqih disebutkan li al-wasāil hukmu al-maqāsid. Kendatipun harus diakui,
bahasa tarjamah memang memiliki keterbatasan kata dalam transliterasi bahasa.
Boleh dikata bila tidak sedikit dijumpai kosakata dari bahasa asal yang belum
bisa diwakili secara komprehensip oleh bahasa tarjamah. Oleh karena sebab
bahasa adalah budaya, dan antara satu budaya dengan budaya yang lain memiliki
karakteristik yang tidak sama. Lain ladang lain belalang, demikian sebuah
pribahasa menuturkan.
Dan dengan cara pandang metode dakwah di atas, dapat kita tarik benang
merah sebuah kesinambungan yang saling kait mengkait antara inovasi modern
dengan literatur-literatur klasik warisan ulama' salaf.
فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
|
*
|
إِنَّ التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ فَلَاحٌ
|
“Bila kamu tidak bisa
menyamai prestasi generasi ulama terdahulu,(setidak-tidaknya) teladanilah
kreatifitas mereka. Adalah suatu keberuntungan bila menteladani generasi ulama
terdahulu.”
[7]. Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172.
Sebagian ulama membagi hadats menjadi tiga bagian. Yaitu;
pertama hadats asghar: yaitu setiap hadats yang mengharuskan wudlu’.
Hadats ini bersemayam pada anggota wudlu yang berjumlah empat yaitu wajah,
kedua lengan tangan, rambut kepala, dan kedua kaki. Kedua hadats mutawassith:
hadats sebab melahirkan (wiladah), dan hadats junub, baik dengan proses
keluarnya air mani ataupun bersetubuh. Ketiga hadats akbar: yaitu hadats
sebab haidl dan nifas. Untuk hadats yang kedua dan ketiga, kedua kategori hadats
ini sama-sama bersemayam pada seluruh anggota tubuh. Dan sebagian ulama yang
lain membagi hadats menjadi empat macam kategori. Pertama hadats asghar,
hadats yang timbul sebab berakhirnya masa mengusap sepatu (al-khuf).
Kedua hadats soghīr, yaitu hadats yang disebabkan oleh perkara-perkara
yang membatalkan wudlu’. Ketiga hadats kabīr, yaitu hadats yang
ditimbulkan oleh jinabat. Dan keempat hadats akbar, yaitu hadats yang
disebabkan oleh haidl dan nifas. [Fathu al-‘Allām. Juz: 01, hal: 354, dan
Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172]
[12]. Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 8.
[14]. al-Fatāwi al-Hadītsiyyah. hal: 100 dan Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li
Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 29.
[16]. Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 29.
[20]. Fathu al-‘Allām. Juz: 01,
hal: 339 dan Hāsiyah al-Bujairami ‘ala al-Khotīb. Juz: 02, hal: 335.
[23]. Nihāyah al-Muhtāj. Juz: 02, hal:
241, Mūhibah Dzi al-Fadl. Juz: 01, hal: 446, dan Tuhfah al-Muhtāj. Juz: 01, hal: 284-285.
[25]. Bagi kelompok yang melarang pemotongan atau penghilangan sebagian anggota
tubuh yang masih dalam status menanggung hadats besar, tentunya perbuatan
tersebut merupakan sebuah tindakan keliru, salah atau dosa. Jika demikian,
langkah untuk menutupi kesahan atau dosa tersebut tentunya dengan bertaubat
bukan malah dengan memandikan kumpulan-kumpulan rambut yang sudah terputus itu.
[26]. Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Ashfiyā’. hal: 15.
[27]. Nadzam Hidāyah al-Adzkiyā’ dalam kitab Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj
al-Ashfiyā’. hal: 15.
[28]. Risalah yang berisikan hasil diskusi para santri Indonesia yang bermukim
di Makkah. Adapun nama-nama santri tersebut adalah: Zubair bin Umar asal
Bojonegoro, Dahlan bin Kholil asal Jombang, ‘Alawi bin Abdullah asal Demak,
Muslih Afandi bin Dahlan asal Kudus, Abu
Suja’ bin Munawwir asal Kediri, Musthofa bin Nur Salim asal Rembang, Masykuri
asal Lasem, Muhammad bin Yusuf asal Surabaya, dan Sulaiman Kurdi asal
Bojonegoro.
[30]. Fiqh al-‘Ibādah Madzhab Hanāfi. Perpustakan shoft where (maktabah
syamilah).
[34]. Fatāwi
Dār al-Ifta’ al-Misriyyah dan Fatāwi al-Azhar. Perpustakan shoft where
(maktabah syamilah).
[35]. Orang
kafir sebelum masuk Islam tentu tidak terlepas dari hal-hal yang menyebabkan
dirinya wajib mandi besar, semisal mimpi basah (ihtilam), bersetubuh
dll. Meskipun demikian, dalam kasus di atas, Nabi tidak
mengharuskan dirinya untuk mandi besar terlebih dulu sewaktu masuk Islam.
Justru beliau memerintahkannya untuk mencukur
rambut kepala dan berkhitan. Mestinya kalau anggota
tubuhnya dalam kondisi hadats besar, mencukur rambut kepala
dan berkhitan tidaklah dibenarkan, demikian ini bila kita berpijak pada
pendapat yang melarang pemotongan rambut, kuku dll sebelum mandi besar. Akan
tetapi sikap Nabi kepada orang kafir tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan
pendapat yang menyatakan larangan pemotongan rambut, kuku dll sebelum mandi
besar.
Mandi bagi orang kafir yang masuk Islam dalam madzhab
Syafi’i
Mandi
bagi orang kafir yang masuk Islam dibagi dalam tiga perincian:
1. Sunnah.
Orang kafir yang masuk Islam
disunnahkan mandi baginya. Yang demikian ini kalau memang selama dalam kondisi
kekafirannya, dirinya sama sekali tidak bersinggungan dengan perkara yang
mewajibkan mandi, semisal mimpi basah (ihtilam), bersetubuh dll. Hukum
sunnah ini sesuai dengan riwayatnya Qais bin ‘Āshim Radliyallahu ‘anhu:
“bahwa pada saat ia masuk Islam, Nabi memerintahkannya untuk mandi.”[HR.
Abu Dawud, at-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad]. Mandi ini memang tidak diwajibkan,
sebab―selain Qais bin ‘Āshim―banyak sekali orang kafir yang masuk Islam tetapi
baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memerintahkan mereka
untuk mandi. Dan ketentuan hukum sunnah melakukan mandi bagi orang yang baru
masuk Islam tersebut berlaku sama, baik bagi orang kafir yang asli, murtad,
kafir harbi, ataupun kafir dzimmi. Di samping itu, memeluk Islam adalah
sama halnya meninggalkan kemaksiyatan.
Jadi, bila tidak diwajibkan untuk mandi sewaktu masuk Islan oleh karena memang
statusnya adalah sama dengan bertaubat dari kemaksiyatan-kemaksiyatan lainnya,
yang pada saat bertaubat tidak diwajibkan untuk mandi.
2. Wajib.
Bila orang kafir yang masuk Islam itu
terkena tuntutan untuk mandi besar pada saat masih kafir, sebab dirinya sempat
bersinggungan dengan perkara yang mewajibkan mandi dan belum sempat mandi
karenanya, Kondisi seperti ini mewajibkan baginya untuk mandi pada saat masuk
Islam.
3. Wajib untuk mengulangi lagi
Dan jika orang kafir yang masuk Islam
tersebut terkena tuntutan untuk mandi besar pada saat masih kafir, sebab
dirinya sempat bersinggungan dengan perkara yang mewajibkan mandi, dan karena
tuntutan ini ia telah mandi sewaktu masih dalam kondisi kafir, maka wajib
baginya untuk mengulangi lagi mandi tersebut ketika masuk Islam. Sebab mandi
adalah ibadah yang murni (mahdhah) sebagaimana shalat, dan puasa. Dan
ibadah-ibadah semacam ini tidaklah sah bila dikerjakan sewaktu dalam kondisi
kafir. [al-Muktamad. Juz: 01, hal:
129-130, dan al-Majmū’. Juz: 02, hal: 152-153]
[36]. Fatāwi Dār al-Ifta’ al-Misriyyah dan Fatāwi al-Azhar.
Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[39]. Fathu
al-Bāriy karya Imam Ibnu Rajab al-Hambaliy. Perpustakan shoft where (maktabah
syamilah).
[41]. Silsilah al-Ahādīts ad-Dha’īfah wa al-Maudlū’ah wa Atsaruha fi al-Ummah.
Karya Syekh Muhammad Nāsiruddīn bin al-Hāj Nuh al-Albāniy. Perpustakan shoft
where (maktabah syamilah).
[42]. Ibid.
[43]. Ibid.
[44]. Ibid.
[45]. Penulis sepenuhnya sadar, bahwa refrensi-refrensi yang belum sempat
ditela’ah adalah lebih banyak dari yang sudah. Dengan
demikian, penulis tidak bermaksud mengklaim bahwa seluruh kitab madzhab Syafi’i
kandungan isinya adalah sama dalam persoalan ini. Namun setidaknya, refrensi
yang tercantum di atas adalah refrensi utama dalam madzhab Syafi’i.
Sehingga dengan begitu, kesimpulan yang
penulis ambil setidak-tidaknya telah mewakili pendapat mayoritas ulama madzhab
Syafi’i. Dan penulis ingat akan pesan petuah bijak yang mengatakan:
فَقُلْ لِمَنْ يَدَّعِى فِى اْلعِلْمِ مَعْرِفَةً
|
*
|
حَفِظْتَ شَيْئا وَغَابَتْ عَنْكَ اَشْيَاءُ
|
Kepada orang yang mengaku
berpengetahuan, katakanlah kepadanya:“tidaklah seberapa pengetahuan yang engkau
miliki, dan yang tidak kamu ketahui jauh lebih banyak”
[46]. al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Juz: 01, hal: 117.
[47] . Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Imam al-Ghazali. Juz:2, hal:181.
Terima kasih,,sangat bermanfaat sekali untuk pemahaman fiqih
BalasHapusالحمد لله
BalasHapus