FIQIH THOHAROH
KAJIAN ANALITIS THOHAROH
DALAM PERSPEKTIF NORMATIF FILOSOFIS
Disusun
Oleh :
ABDUL KHOLIQ IBNU TULABI El-QUDSIY
www.sidoelelqudsiy.blogspot.com
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarokatuh.
Segala puji bagi Allah Subhana wa
Ta’ala, Dzat yang maha mengetahui dan yang memberikan petunjukpada
hamba-hamba pilihan-Nya untuk mempelajari ilmu serta mentransmisikannya (ta'lim)
kepada para thālib al-ilmi. Dzat yang menjadikan ilmu sebagai penyelamat
dan keberuntungan besar di sisi-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan
pada junjungan agung Nabi besar Muhammad Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam,
kepada keluarga, para sahabat serta pengikut-pengikut mereka semua, amien
Makalah yang terhidangkan ini adalah
sebuah ihtiyar yang kami lakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih I
sekaligus sebagai bahan diskusi ilmiyah di kelas untuk mata kuliah Fiqih I
tersebut. Kami sadar atas segala kekurangan serta keterbatasan kemampuan yang
terdapat pada diri kami yang lemah. Namun, mengabaikan tugas adalah langkah
yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, dengan segenap kemampuan yang ada, kami
maksimalkan untuk melaksanakan tugas tersebut, dengan harapan semoga Allah
memberikan pertolongan-Nya pada kami, serta kelapangan dan kemudahan dalam
mengemban tugas amanah yang benar-benar mulia.
Adapun
judul dari makalah ini adalah “Fiqih Thoharoh Kajian Analitis Thoharoh Dalam Perspektif
Normatif Filosofis” di dalamnya akan kami kupas tema thoharoh dari beberapa
sisi-sisinya, diawali dengan kupasan tentang pengertian thoharoh normatif dan
filosofis, hikmah thoharoh dalam ibadah, macam – macam thoharoh, serta
bahasan-bahasan lain yang tak kurang nilai pentingnya. Harapan kami semoga dengan
tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami serta bagi teman-teman
di kelas, serta bagi siapapun yang berkenan meluangkan waktu untuk membacanya
serta sudi memberikan komentar-komentar kritis ataupun koreksi, sebab makalah
ini memang teramat jauh dari kata sempurna.
Dengan
penuh kejujuran harus kami sampaikan, bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan
yang nampak dalam
makalah ini, baik dari sisi teknis penulisan maupun materinya. Bagi kami,
kekurangan-kekurangan itu amat wajar, mengingat latarbelakang kami yang miskin
pengalaman serta terbatas dalam kemampuan. Berbekal sedikit pengetahuan yang
kami miliki, tinta pena pun kami goreskan untuk mengurainya. Dengan sebuah
harapan, semoga makalah ini mengandung berkah dan manfaat, amien. Akhirnya tegur sapa serta kritik yang
membangun (konstruktif) sangat kami nantikan dari segenap pembaca yang budiman,
sebagai umpan balik yang nantinya dapat kami jadikan sebagai modal untuk
merevisi makalah ini, insya_Allah.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarokatuh.
Kudus,
12 Desember 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama
Islam berdiri atas beberapa pilar dasar yang terdiri dari keyakinan (al-i’tiqādāt),
akhlaq (al-ādāb), ibadah (al-‘ibādāt), hubungan antara sesama
manusia (al-mu’āmalāt), serta penegakan hukum (al-u’qūbāt),
kesemuanya itu tercakup dalam tema besar al-fiqh al-akhbār[1].
Berhubung tema kajian kita adalah fiqih yang berkaitan dengan hukum syara’
lebih khususnya thoharoh, maka makalah kami akan lebih fokus mengupas sisi yang
terakhir ini, yakni thoharoh dalam perspektif normatif dan filosofis.
Dalam
tataran praktik, thoharoh memiliki posisi yang amat vital dalam pelaksanaan
ibadah sehari-hari. Sebab thoharoh merupakan syarat sahnya berbagai jenis
ibadah, misalnya ibadah sholat, i’tikaf, ibadah haji. Kendatipun ada juga
ibadah-ibadah yang sah dilaksanakan walau tidak dalam kondisi suci (toharoh).
Dengan demikian, thoharoh merupakan sebagian dari ruanglingkup ibadah yang
memiliki cakupan luas, sebab ibadah pada dasarnya terdiri dari lima unsur :
sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Sedang mu’amalah juga ada lima yaitu :
transaksi yang berkaitan dengan harta (al-mu’āwadhāt al-māliyah),
pernikahan (al-munākahāt), persengketaan (al-mukhoshomāt),
kepercayaan atau amanah (al-amānāt), serta harta tinggalan (at-tirkāt).
Adapun sisi penegakan hukum (al-u’qūbāt) juga terdiri dari lima hal, yaitu : hukuman bunuh (qishōs),
hukum potong tangan (had sariqah), perzinahan (zinā), tuduhan
zina (qodhaf), serta murtad (riddah) naudzu bi-Allah.[2]
Pada
dasarnya ibadah adalah sebuah nama yang mencakup bagi setiap perkara yang
dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala serta diridhoi oleh-Nya, baik
berupa ucapan, perbuatan atau sikap lahiriyah ataupun batiniyah. Jadi, yang
dikehendaki dengan agama Allah adalah beribadah, kepatuhan serta tunduk
kepada-Nya. Sebab beribadah kepada Allah adalah merupakan tujuan puncak dari
berbagai aktifitas yang dicintai serta diridhoi-Nya, memang manusia itu
diciptakan oleh Allah agar beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإنْسَ إِلّا لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات: 56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzāriyāt : 56)”
Huruf
(ل) lām pada kata (ليَعْبُدُوْن) li yā’budūn dalam ayat di
atas bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah
disembah. Huruf lām pada kata tersebut dinamai oleh pakar-pakar bahasa
sebagai lām al-āqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak
dan akibat sesuatu.[3]
Lebih
jauh lagi, ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah
satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap terhadap siapa yang kepadanya ia
mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju
kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Begitu
lebih kurang tulis Syaikh Muhammad ‘Abduh sebagaimana dikutip oleh Prof. M.
Quraish Shihab[4]
dalam magnum opusnya yang berjudul Tafsir Al-Mishbah.
Selajutnya
Profesor yang pakar di bidang tafsir ini menuturkan, Ibadah terdiri dari ibadah
murni (maĥdhah)
dan ibadah tidak murni (ghairu maĥdhah).
Ibadah maĥdhah
adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar, dan waktunya,
seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Ibadah ghairu maĥdhahadalah
segala aktifitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Hubungan seks pun dapat dapat menjadi ibadah jika dilakukan
sesuai tuntutan agama. Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghendaki
agar segala aktifitas manusia dilakukannya demi karena Allah, yakni sesuai dan
sejalan dengan tuntunan-Nya.[5]
Di
atas terbaca bahwa ibadah dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada
Allah Subhānahu wa Ta’āla. Jauh sebelum Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
ulama dari generasi terdahulu bernama Syekh ‘Izzuddīn bin Abdi As-Salām dalam
kitab “Maqāsid al-‘Ibādāt” memaparkan bahwa kesemuanya ibadah adalah
dimaksudkan dalam rangka mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah
‘Azzā wa Jalla. Kedekatan yang dikehendaki disini adalah kedekatan dari
sifat Kemahamurahan (al-jūd) Allah serta sifat Ihsannya-Nya, yang mana
kedua sifat ini dikhususkan bagi para hamba yang beriman. Juga agar supaya
Allah menempatkan hamba-Nya yang berusaha mendekat itu ditempatkan pada posisi
seorang hamba yang benar-benar mendekat sebab diliputi rasa patuh dan
pengagungan, sikap tunduk serta sikap memuliakan-Nya. Bila kedekatan kepada
Allah tidak diartikan semacam itu, maka mustahil seseorang dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Dikarenakan sifat berdekatan dan berjauhan adalah merupakan
sifat makhluq (al-ajsām), padahal mustahil bila Allah menyerupai makhluq-Nya.[6]
Kedekatan
Allah terhadap hamba-Nya memiliki dua makna :[7]
1.
Kedekatan dalam
arti Allah Mahamengetahui, Mahamelihat serta cakupan kekuasaan Allah Yang
Mahaluas terhadap makhluq-Nya, sebagaimana terbaca dalam firman Allah :
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ
إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ
مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا (المجادلة: 7)
“tiadak ada sedikitpun
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempat mereka
dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenam
mereka. Dan tidak ada pembicaraan antara (jumlah) yang lebih kecil daripada itu
atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.”
(QS. Al-Mujādalah: 7)
2.
Kedekatan
terhadap makhluq dengan sifat
Kemahamurahan (al-jūd) serta sifat Ihsannya-Nya, sebagaimana
terbaca dalam dalam beberapa ayat dibawah ini :
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (العلق: 19)
“sujudlah dan dekatkanlah dirimu
(secara sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (QS. Al-‘Alaq:
19)
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ (المطففين: 28)
“(yaitu) mata air yang minum dari
(sumber)-nya hanyalah hamba-hamba yang didekatkan (kepada Allah).” (QS.
Al-Muthaffifīn: 28)
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ.فَرَوْحٌ
وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيم (الواقعة: 88، 89)
“Adapun jika dia (yang mati itu)
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla), maka
(dia memperoleh) kenyamanan, dan rezeki serta surga kenikmatan .” (QS.
Al-Wāqi’āh: 88-89)
Kedekatan dengan pemaknaan yang pertama itu mencakup
seluruh makhluq dan alam semesta. Sedangkan kedekatan dengan pemaknaan yang
kedua hanya tertentu bagi para hamba Allah yang beriman. Demikian lebih kurang
pemaparan dari Syekh Izzuddīn bin Abdi As- Salām.
B.
Rumusan Masalah
Agar supaya pembahasan dalam makalah ini lebih fokus
kepada substansi persoalan yang menjadi topiknya, maka pertanyaan-pertanyaan
berikut ini diharapkan akan banyak membantu dalam mengurainya. Untuk itu kami
rumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
konsep thoharoh dalam perspektif fiqih ibadah (normatif), dan juga aspek
filosofisnya ?
2.
Bagaimana
hikmah tasyri’ dari thoharoh ?
3.
Bagaimana
pendapat para ulama madzhab tentang thoharoh ?
BAB
II
THOHAROH
A. Definisi
Thoharoh Aspek Normatif dan Filosofis
Dalam literatur-literatur (turots) fiqih, dapat
kita saksikan para ulama fiqih (fuqohā’) mendahulukan topik kajian thoharoh.
Penempatan itu bukan tanpa alasan, tetapi memang ada motif khusus yang
melatarbelakanginya. Yakni sebuah riwayat
yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw. riwayat ini mejelaskan
bahwa beliau bersabda: “kunci pembuka ibadah sholat
adalah suci/bersih”. (HR. At-Turmūdzi dan Abi Dāwud).Di samping itu pula,
thoharoh merupakan syarat sholat, maka dengan pertimbangan itulah kajian
thoharoh seyogyanya bila dibahas lebih dulu dalam kitab-kitab fiqih.[8] Thoharoh dalam pengertian bahasa
(etimologi) bermakna bersih (an-nadhōfah) serta lepas atau bebas dari
berbagai macam kotoran, baik kotoran berupa materi yang dapat diindra (hissiyyah) sebagaimana najisnya air
kencing dll. ataupun kotoran-kotoran yang abstrak, tidak terlihat (maknawi)
sebagaimana aib serta kemaksiyatan.[9]
Sedangkan
dalam pengertian istilah syara’ (terminologi) ulama berbeda pendapat dalam
memberikan definisi thoharoh :
اَلحْنَفِيّة قالُوا: الطَّهارَةُ شَرْعاً
النظافَةُ عنْ حَدَثٍ أو خَبَثٍ.
Ulama
Madzhab Hanafi berpendapat: thoharoh dalam terminologi syara’ adalah
“kebersihan dari hadats atau kotoran (khobats)”. Kata
“kebersihan/an-nadhōfah” mencakup kebersihan yang memang disengaja dilakukan
oleh seseorang, atau menjadi bersih dengan sendirinya. Sebagaimana bila tempat
yang terkena najis tiba-tiba terkena aliran air. Kata “dari hadats/’an hadats”
mencakup hadats kecil, yakni hadats yang merusak wudhu, sebagaimana bila
seseorang mengeluarkan kentut dll., juga mencakup hadats besar, yaitu hadats
jinabat yang mewajib mandi.
Ulama
madzhab Hanafi mendefinisikan al-hadats dengan pengertian sifat syar’i
yang melekat pada sebagian anggota tubuh, atau seluruh tubuh yang menghilangkan
status suci. Hadats juga dinamakan najis hukmiyyah, dengan pengertian
syara’ menetapkan hukum bahwa hadats merupakan najis yang mencegah sahnya
sholat, sebagaimana najis yang dapat diindra (najis hissiyyah) juga
mencegah sahnya sholat. Adapun khobats dalam pengertian syara’ adalah
benda yang menjijikkan yang diperintahkan oleh syara’ agar supaya disucikan.
المالكية قالوا:
الطَّهارَة صِفَةٌ حُكميَّةٌ توجِبُ لموصُوفِها اسْتِبَاحَةُ الصَّلاةِ بثَوبِه
الَّذِي يَحمِلُه، وفِي المَكَان الَّذي يُصَلِّي فِيهِ.
Ulama
Madzhab Maliki berpendapat: thoharoh adalah merupakan sifat hukmiyyah
yang memberikan ketetapan bagi orang yang menyandang predikat sifat ini
diperbolehkan baginya bila melaksanakan sholat bersamaan dengan pakaian yang ia
kenakan, serta lokasi yang ia tempati.
Kata
“sifat” memberi pengertian bahwa thoharoh merupakan sebuah penilaian atau sifat
yang abstrak yang telah ditetapkan oleh syara’ sebagai syarat sahnya sholat
dll. Sifat ini (yakni thoharoh) bila melekat pada sebuah tempat yang hendak
dijadikan lokasi sholat, maka diperboleh sholat di tempat itu. Dan bila melekat
pada sebuah pakaian yang dikenakan oleh seseorang, maka diperbolehkan bila ia
kenakan sewaktu sholat. Betapapun, thoharoh merupakan perkara yang bersifat
abstrak (maknawi), berupa penilaian atau perkiraan (taqdīriy),
dan bukan berupa perkara yang dapat diindra atau disaksikan dengan matakepala.
الشَّافعِيّة قَالوا:
تُطْلَق الطَّهَارَةُ شَرْعًا عَلَى مَعْنَيَيْنِ: أَحَدَهُمَا فِعْلُ شَيءٍ
تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلاةُ مِنْ وُضُوءٍ وَغُسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَة
نَجَاسَةٍ، أَوْ فِعْلُ مَا فِي مَعْنَاهُمَا، وَعَلىَ صُوْرَتِهِمَا[13]،
كالتَّيمُّمِ وَالأغْسَالِ الْمَسْنُونَة وَالْوُضُوءِ عَلَى الْوُضُوء، وَمَعْنَى
هَذَا أَنَّ وَضْعَ الْمَاءِ عَلَى الْوَجْهِ وَسَائرِ الْأَعْضَاءِ بِنِيَّةِ
الوُضُوء يُقالُ لَهُ: طَهَارَةٌ، فَالطَّهارَةُ اِسْمٌ لفِعْلِ الفَاعِلِ، -إلى
ان قال- ثانيهما: أنها اِرْتِفَاعُ الْحَدَثِ، أَوْ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ أَوْ
مَا فِي مَعْنَاهُمَا، وَعَلىَ صُوْرَتهِمَا، كَالتَّيمُّم وَالأَغْسَالِ
الْمَسْنُونة الخ، فالطَّهارَةُ هيَ الْوَصْفُ الْمَعْنَوي اَلْمُتَرَتِّبُ عَلىَ
الْفِعْلِ، فَالْحَدَثُ يَرْتَفِعُ بِالْوُضُوءِ أَوِ الْغُسْلِ إِنْ كَانَ
أَكْبَر، وَالاِرْتِفَاعُ مَبْنِيٌّ عَلَى فِعْلِ الفَاعِلِ، وَهُوَ الْمُتوَضِّئُ
أَوِ الْمُغْتَسِلُ، وَالنَّجاسَةُ تَزُولُ بِغَسْلِهَا.
Ulama
Madzhab Syafi’i berpendapat: dalam teminologi syara’ thoharoh memiliki dua
pengertian.
Pertama;
melakukan suatu hal yang dapat memperbolehkan pelaksanaan sholat, berupa wudhu,
mandi, tayammum, menghilangkan najis, atau melakukan suatu hal yang kedudukan
dan bentuknya serupa dengan menghilangkan hadats atau najis, sebagaimana
tayammum, mandi-mandi sunnah, dan mengulang wudlu. Definisi ini memberikan
sebuah pengertian bahwa membasuhkan air ke wajah serta anggota tubuh lainnya
dengan niyat wudhu merupakan wujud dari thoharoh. Bila demikian, maka thoharoh
adalah nama bagi sebuah pelaksanaan/pekerjaan (fi’il) itu. Kata “au
mā fi ma’nā humā/atau suatu hal yang kedudukannyaserupa dengan menghilangkan
hadats atau najis” contohnya adalah memperbarui wudhu dan mandi-mandi
sunnah. Maksudnya memperbarui wudhu dan mandi-mandi sunnah sudah tercakup dalam
terminologi syar’iy thoharoh. Kendatipun demikian, keduanya tidak memiliki
konsekuensi membolehkan pelaksanaan sholat. Sebab melaksanakan sholat sudah
diperbolehkan dengan adanya wudhu yang pertama, tanpa harus melakukan mandi
sunnah lebih dulu (ataupun mengulangi wudhu). Di samping pula, yang mencegah
sahnya sholat adalah jinabat, dan mandi untuk menghilangkan hadats jinabat
hukumnya adalah wajib, bukan malah mandi yang disunnahkan. Dari sudut pandang
itulah, memperbarui wudhu dan mandi-mandi sunnah perlu diakomodir ke dalam
definisi thoharoh, sehingga tidak teranulir dari cakupan definisinya hal-hal
yang mestinya terakomodasi.
Kedua;
thoharoh adalah terangkatnya hadats atau hilangnya najis, atau suatu hal yang
kedudukan dan bentuknya serupa dengan terangkatnya hadats atau hilangnya najis,
sebagaimana tayammum dan mandi-mandi yang disunnahkan. Berdasarkan pengertian
yang kedua ini, thoharoh adalah sifat yang abstrak (maknawi) yang
ditimbulkan oleh sebuah pelaksanaan/pekerjaan (fi’il). Jadi, hadats dapat
terangkat/hilang denggan adanya wudhu, atau dengan adanya mandi bila hadatsnya
besar. Dan terangkat/hilangnya hadats tersebut berdasarkan atas pekerjaan
seorang pelaku (fā’il), yaitu orang yang melakukan wudhu (al-mutawaddhī’),
atau orang yang mandi (al-mughtasil). Dan najis dapat dihilangkan dengan
cara dibasuh.
4. Madzhab Hambali.[14]
الحنَابِلَة قَالُوا: الطَّهَارَةُ في
الشَّرْعِ هِي ارْتِفَاعُ الْحَدَثِ وَمَا فِي مَعْنَاه، وَزَوَالُ النَّجَس، أَو
ارْتِفَاعُ حُكْمِ ذَلِكَ.
Ulama
Madzhab Hambali bependapat: thoharoh dalam terminologi syara’ adalah
terangkatnya hadats atau suatu hal yang semakna dengan terangkatnya hadats, dan
hilangnya najis, atau terangkatnya hukum kenajisan. Kata “irtifā’ al-hadats/terangkatnya
hadats” maksudnya adalah hilangnya sifat yang mencegah sahnya sholat dll., sebab hadats merupakan sifat
yang abstrak (hukmiyyah) yang bersemayam pada seluruh tubuh, atau pada
sebagian anggota tubuh. Jadi thoharoh dari hadats maksudnya adalah terangkatnya
sifat yang abstrak itu.
Kata
“au mā fī ma’nāhu” maksudnya adalah suatu hal yang semakna dengan
terangkatnya hadats, sebagaimana terangkatnya hadats pada prosesi memandikan
mayit, sebab memandikan mayit diwajibkan pada dasarnya bukan lantaran hadats
kematian, tetapi merupakan bentuk penghambaan kepada Allah semata (ta’abbudiy).
Jadi memandikan mayit tidak dimaksudkan untuk mengangkat hadatsnya. Sebagaimana
lagi dalam praktik memperbaruhi wudhu dan mandi-mandi yang disunnahkan. Wudhu
yang diperbaharui dan mandi sunnah, keduanya itu memunyai kedudukan yang sama
dengan wudhu dan mandi yang dapat mengangkat hadats. Akan tetapi, wudhu yang
diperbaharui dan mandi sunnah keduanya sama sekali tidak mengangkat hadats.
Kata “zawāl an-najis” yakni hilangnya najis, baik hilangnya itu sebab
disengaja oleh seseorang sebagaimana ada orang yang berinisiatif menyiram
tempat yang terdapat najisnya. Atau najis tersebut hilang dengan sendirinya.
Dan sebagaimana lagi khomer yang berubah menjadi air cuka. Kata “au irtifā’
hukmu dzālik” maksudnya adalah hilangnya hukum sebuah hadats atau yang
suatu hal yang kedudukannya sama dengan hilangnya hukum sebuah hadats,
hilangnya hukum kenajisan. Sebagaimana menggunakan debu tayammum, baik untuk
menghilangkan hadats ataupun khobats. Dengan melaksanakan tayammum, hukumnya
hadats dan khobats dapat dihilangkan. Adapun yang dimaksud dengan hukum
tersebut adalah ketercegahan dari melaksanakan sholat.
Sebagaimana
terbaca dalam pengertian istilah thoharoh yang didefinisikan oleh ulama madzhab
syafi’i di atas, yaknis menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, atau
aktifitas yang makna dan bentuk praktiknya serupa dengan menghilangkan hadats
dan najis.[15]
Definisi semacam ini dimaksudkan agar supaya cakupan thoharoh lebih luas,
sehingga memasukkan tayammum, mandi-mandi sunnah, memperbarui wudhu’ (tajdīd
al-wudhū’), basuhan kedua dan ketiga dalam proses menghilangkan hadats dan
najis, mengusap telinga pada waktu wudhu’, berkumur, dan thoharohnya wanita
yang sedang istihādhoh serta orang orang yang mengalami wasir kencing (tsalis
al-baul).[16]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa thoharoh
dimaksudkan untuk mengangkat/menghilangkan kotoran, baik kotoran dengan
kategori ‘hissiyyah yaitu khobats, maupun kotoran yang
berkategori maknawiyyah yakni hadats, yang meliputi macam-macamnya
hadats.Khobast pada dasarnya adalah benda materi (‘ain) yang dinilai
syara’ menjijikkan, sedangkan hadats dipandang dari makna etimologinya adalah
sesuatu yang baru (as-syai’u al-hāditsu), seorang pemuda yang baru dalam
proses pertumbuhan dinamakan “hadatsun”. Sedangkan makna terminologi
atau istilah syara’nya adalah :[17]
a. Beberapa penyebab dari berakhirnya kondisi suci
seseorang. Sebagaimana keluarnya kotoran dari salah satu kemaluan, persentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, hilangnya akal,
menyentuh kemaluan, tidur, mengeluarkan seperma baik sewaktu terjaga atau dalam
kondisi tidur (ihtilām).
b. Sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh
seseorang yang dinilai oleh syara‘ dapat mencegah sahnya shalat, sepanjang
tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara‘ (rukhshoh).
Sebagaimana kemurahan bagi orang yang tidak mendapati air dan debu (fāqid
at-thohūrain), walaupun dalam keadaan hadats ibadah yang ia kerjakan tetap
dinilai sah oleh syara‘.
c. Ketercegahan atau keharaman―untuk melakukan ibadah―yang ditimbulkan oleh dua hal di
atas, yakni oleh beberapa sebab yang terkelompokkan pada poin pertama, serta
sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai
oleh syara‘ dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana yang dijelaskan pada poin
kedua.
Thoharoh dalam agama Islam memiliki
posisi yang amat penting, baik thoharoh yang bersifat haqiqiyah yakni
mensucikan baju, tubuh, tempat sholat dari najis, ataupun thoharoh hukmiyah
yakni mensucikan anggota wudhu’ dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari
hadats jinabat.[18] Posisi penting itu disebabkan
thoharoh merupakan syarat sahnya ibadah sholat yang dijalankan dalam sehari
semalam secara berulang-ulang yakni lima kali. Di samping pula sholat adalah
merupakan ibadah menghadap kepada Allah, melaksanakannya dengan kondisi suci
(thoharoh) merupakan bentuk sikap pengagungan Allah. Hadats dan jinabat
kendatipun bukan termasuk kategori najis yang dapat dilihat, keduanya adalah
najis yang abstrak (maknawi) yang menyebabkan tempat bersemayamnya
dinilai menjijikkan. Jadi keberadaannya dianggap merusak sikap pengagungan
Allah, juga manafikan karakter bersih yang termanifestasikan dengan rutinitas
mandi secara berulang-ulang. Dengan demikian, thoharoh merupakan sarana
penyucian rohani dan jasmani sekaligus.[19]
Perhatian Islam dengan menata setiap
individu muslim agar senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan dari dua
sisinya, material (mādiyah) dan spiritual (maknawiyah), adalah
merupakan bukti konkrit dan sempurna atas harapan kuat akan terwujudnya
kesucian dan kebersihan, membentuk bangunan jasmani dalam fondasi yang kokoh,
bentuk yang memesona, serta penyangga yang kuat. Juga sebagai bentuk protektif
terhadap lingkungan dan masyarakat dari tersebarnya penyakit, kelemahan dan
kekeroposan. Oleh karena membersihkan anggota tubuh yang terkena debu dan
bakteri dengan cara mandi setiap hari, juga pada waktu-waktu tertentu secara
berulang-ulang setiap kali mengalami jinabat, adalah merupakan jaminan
perlindungan bagi setiap insan dari bebagai macam kontaminasi. Telah terbukti
dalam dunia kedokteran bahwa langkah yang paling efektif sebagai perlindungan
dari berbagai macam wabah penyakit adalah menjaga kebersihan. Sebuah adagium
menyatakan “pencegahan (preventif) adalah lebih baik daripada pengobatan” (al-wiqāyah
khoirun min al-‘ilāj).[20]
Dalam al-Qur’an disebutkan :
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
bersungguh-sungguh menyucikan diri”. (QS. al-Baqarah: 222)
فِيهِ
رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
(التوبة: 108)
“Di dalamnya
ada orang-orang yang senang menyucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang
menyucikan diri”. (QS. at-Taubah: 108)
Dalam hadits-hadits Nabi disebutkan
pula :
تَنَظَّفُوْا
فَإِنَّ الإِسْلامَ نَظِيْفٌ (رواه ابن حبّان)
“jagalah
kebersihan sebab Islam adalah agama yang bersih”. (HR. Ibnu Hibbān)
مِفْتَاحُ
الصَّلاةِ اَلطُّهُورُ (رواه الترمذي وأبي داود)
“kunci
pembuka ibadah sholat adalah suci/bersih”. (HR. At-Turmūdzi dan Abi Dāwud)
الَطُّهُورُ
نِصْفُ الإِيْمَانِ (رواه الترمذي)
“kebersihan
adalah sebagian dari iman”. (HR. At-Turmūdzi)
Dalam memahami ayat-ayat dan juga
hadits-hadits di atas, para ulama ahli makrifat (dzawu al-bashōir)―sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali―berkesimpulan, bahwa yang terpenting sebenarnya adalah
membersihkan hati (tathhīr as-sarāir), karena amat jauh sekali (dari
kebenaran) bila yang dikehendaki dari hadits Nabi “kebersihan adalah sebagian dari iman” hanyalah aktifitas lahiriyah belaka
dengan cara membersihkan anggota tubuh dengan air, dan pada saat yang sama
hatinya dibiarkan penuh dengan berbagai macam kotoran yang menjijikkan,
bagaimana mungkin hal yang demikian ....!!![21]
1. Tingkatan pertama, membersihkan anggota tubuh lahiriyah dari
berbagai hadats dan kotoran-kotoran najis.
2. Tingkatan kedua, membersihkan anggota tubuh dari berbagai
macam dosa.
3. Tingkatan ketiga, membersihkan hati dari akhlaq-akhlaq yang
tercela, serta sifat-sifat yang tidak terpuji.
4. Tingkatan keempat, membersihkan hati dari selain Allah.
Thoharoh ini adalah tingkatannya para Nabi dan para kekasih Allah (as-siddīqīn).[23]
Ayat 108 dari surat at-Taubah di atas
menyebutkan “Di
dalamnya ada orang-orang yang senang menyucikan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang menyucikan diri”,
diturunkan oleh Allah dalam rangka memuji jama’ah masjid Qubā’. Diriwayatkan
oleh Abū Daūd bahwa Nabi saw. bertanya kepada mereka bahwa Allah memuji kalian
menyangkut thohāroh/penyucian.
Apakah yang kalian lakukan? Mereka menjawab: “kami mencuci bekas buang air
besar dan kecil dengan air.”
Mayoritas pakar tafsir memahami
firman-Nya pada ayat ini “Dan
Allah menyukai orang-orang menyucikan diri” dalam arti menyucikan diri dari segala
kekotoran dan najis. Ar-Rāzi―sebagaimana dituturkan Prof. Dr. M.
Quraish Shihab―memahaminya dalam arti kesucian dari
dosa dan pelanggaran. Hal ini, menurutnya, karena hanya kebersihan diri dari
dosa yang dapat mengantar menuju kedekatan diri kepada Allah swt. Di sisi lain,
Allah mengecam pembangunan masjid Dhirār
karena mereka bermaksud buruk terhadap umat Islam, berusaha memecah-belah
mereka serta karena mereka menyandang kekufuran. Nah, tentu saja lawan dari
sifat-sifat itulah yang disandang oleh pembangun masjid Qubā’. Lawan
sifat-sifat itu adalah kesucian batin. Di samping itu, kebersihan lahiriah baru
terpuji di sisi Allah jika ia disertai oleh kebersihan dan kesucian jiwa.
Demikian lebih kurang ar-Rāzi.[24]
Prof. Dr.
M. Quraish Shihab menambahkan, sebaiknya kata “yang menyucikan diri” dipahami dalam kedua arti di atas,
yakni kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir perlu ditekankan bukan saja
karena sekian banyak riwayat yang mengaitkannya dengan ayat ini, tetapi juga
karena perlunya meningkatkan perhatian kaum muslimin menyangkut kebersihan
lahiriah, terutama di masjid-masjid dan bagi jamaahnya.
B.
Syarat Wajib Thoharoh
Bila seseorang hendak malakukan sholat, sedangkan
tubuh, pakaian, dan tempat yang akan dijadikan lokasi sholat terkena najis,
maka harus disucikan terlebih dulu. Ketentuan ini berdasarkan atas firman Allah
di dalam al-Qur’an :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (المدثر: 4)
“Dan
pakainmu, maka bersihkanlah”. (QS. al-Muddatstsir: 4)
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (البقرة: 125)
“Sucikanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, dan yang i’tikaf, serta yang rukuk,
serta yang sujud”. (QS. al-Baqarah: 125)
Kedua ayat di atas menjelaskan
kewajiaban untuk mensucikan pakaian dan tempat, adapun kewajiban mensucikan
tubuh adalah di qiyaskan pada kedua ketentuan itu, bahkan termasuk kategori qiyas
aulawi, sebab dimanapun tempatnya serta kapanpun waktunya yang namanya
tubuh senantiasa menyertai orang yang hendak melaksanakan sholat, karena memang
tubuh tersebut adalah dirinya sendiri. Maka dari itu, tubuh wajib disucikan
terlebih dulu bila hendak melakukan sholat.
Pada bagian ini kita akan mengkaji tentang
syarat-syarat thoharoh. syarat sendiri bila ditinjau dari segi bahasa memiliki
makna tanda (‘alāmat). Sedangkan bila dipahami dari segi makna istilah,
maka syarat bermakna suatu perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu
ibadah dan bukan termasuk (berada di luar) dari hakikat ibadah itu sendiri.
Bagi orang yang diwajibkan menjalankan sholat, maka wajib pula baginya untuk
bersesuci (thoharoh). Ketentuan wajib ini menjadi ketetapan bila
terpenuhi beberapa persyaratan yang berjumlah sepuluh macam[25]
:
1. Islam, pendapat lain mengatakan:
“setelah sampainya dakwah Islam”. Bagi pendapat pertama, orang kafir tidak
berkewajiban melakukan thoharoh. Sedang menurut pendapat kedua, orang kafir sama-sama
terkena perintah―sebagaimana
orang-orang yang beriman―untuk melakukan
thoharoh. Pangkal perbedaan ini berlatarbelakang dari kaidah ilmu ushul
yang cukup populer, yaitu: “apakah orang-orang kafir terkena perintah
menjalankan syari’at Islam?”. Menurut mayoritas ulama, orang-orang kafir
terkena perintah menjalankan syari’at Islam. Dalam arti mereka akan disiksa―kelak diakhirat―sebab
meninggalkan kewajiban itu, di sampingpula mereka juga terkena siksaan sebab
tidak beriman kepada Allah. Dengan demikian, mereka memperoleh dua siksaan
sekaligus, siksa sebab tidak beriman kepada Allah dan siksa sebab tidak
menjalankan syari’at Islam. Adapun bagi kalangan ulama madzhab hanafiyyah,
orang-orang kafir tidak terkena perintah menjalankan syari’at Islam. Berdasarkan
pendapat ini, mereka hanya akan menerima satu siksaan, yakni siksa sebab tidak
beriman kepada Allah. Jadi, perbedan di antara ulama madzhab tersebut terletak
pada siksaan yang akan diterima orang-orang kafir kelak di akhirat.
2. Berakal. Orang gila dan orang pingsan
tidak berkewajiban melakukan thoharoh, terkecuali bila keduanya sudah sadar
kembali (kembali normal). Adapun bagi orang gila, thoharoh masih wajib baginya.
3. Baligh.
4. Terputusnya (berakhirnya) darah haidh
dan nifas.
5. Sudah masuk waktu.
6. Tidak dalam kondisi tidur.
7. Tidak dalam kondisi lupa.
8. Tidak ada paksaan (orang yang
ketiduran, dan orang dalam kondisi lupa, serta orang yang dalam kondisi
dipaksa, maka wajib bagi mereka untuk mengqodlo’ sholat-sholat yang sempat
tertinggal).
9. Adanya air, atau debu yang suci. Bila
tidak menjumpai keduanya, maka sholat dikerjakan untuk menghormati waktu (sholat
li hurmah al-waqti), setelah itu wajib mengqodlo’.
10. Mampu untuk melakukan thoharoh sesuai
dengan kemampuan.
Demikian macam-macam syarat wajib thoharoh yang dapat
kami uraikan dalam makalah ini. Keterangan ini kami kutip dari sumber
ensiklopedi fiqih dengan judul “al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu” karya
seorang pakar fiqih sekaligus tafsir dari negara Syiria yaitu Prof. Dr. Wahbah
az-Zuhailiy.
C. Macam – Macam
Bentuk Thoharoh
Dalam
kitab “Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid” Imam Ibnu Rusyd
menuliskan bahwa umat Islam telah mencapai kata sepakat bila thoharoh dalam
syari’at Islam ada dua macam, yaitu thoharoh/bersesuci dari hadats dan
thoharoh/bersesuci dari khobast. Mereka juga sepakat bahwa bersesuci
untuk menghilangkan hadats ada tiga cara, yaitu dengan berwudhu, mandi, dan
pengganti dari keduanya yakni tayammum. Ketentuan ini―tulis beliau―
sebagaimana terkandung dalam penjelasan ayat al-Qur’ān
yang membahas wudhu.[26]
Pada
dasarnya thoharoh itu tidak hanya dimaksudkan untuk mensucikan hadats saja,
namun disamping mensucikan hadats juga mensucikan najis (khobats).
Dengan demikian, macam-macam thoharoh ada empat macam. Yaitu, wudhu, mandi,
tayammum, dan menghilangkan najis (izālah an-najs). Untuk itu, baiklah
kita bahas secara berurutan satu-persatu secara garis besar (global) :
1. Wudhu.[27]
Wudhu dalam
pengertian bahasa adalah nama bagi sebuah pekerjaan, yakni menggunakan air dalam anggota-anggota
tertentu. Kata wudhu terambil dari kalimat “al-wadhā’ah” yang berarti
bagus dan bersih. Adapun makna istilah dari wudhu adalah menggunakan air suci
pada anggota tubuh yang berjumlah empat, yaitu wajah, kedua tangan, kedua kaki,
dan sebagian rambut kepala, dengan
ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh syara’. Untuk kalipertamanya,
wudhu difardhukan di kota Madinah. Kewajiban wudhu dengan membasuh anggota
empat itu mengandung hikmah yang agung, yakni keempat anggota tubuh itu
seringkali terkena kotoran dan debu.[28]
Dalil yang
mewajibkan wudhu ada tiga, yaitu; ayat al-Qur’ān, Sunnah, dan Ijma.
a) Ayat al-Qur’ān
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.
al-Māidah: 6)
b) Sunnah
لايَقْبَلُ
الله صَلاةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ، وَلاصَدَقةً مِنْ غُلُولٍ (رواه مسلم والترمذى
وابن ماجه)
“Allah tidak akan menerima sholat (yang dikerjakan) dengan
tanpa suci juga tidak menerima shodaqoh dari hasil khianat.” (HR. Muslim,
at-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
لايَقْبَلُ
الله صَلاةَ مَنْ أحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّئَ (رواه البخاري)
“Allah tidak akan menerima sholatnya orang yang hadats
sehingga ia mengambil wudhu.” (HR. Bukhori)
c) Ijma’
Adapun dalil Ijma’, sama sekali
tidak diperoleh keterangan dari umat Islam yang menentang prihal diwajibkannya
wudhu. Andaikan ada pendapat yang demikian, niscaya informasinya akan sampai
pada kita. Sebab keberadaan wudhu bagi umat Islam bukanlah hal yang samar. Dan
kenyataan memberikan jawaban, bahwa pertentangan pendapat diantara umat Islam
dalam hal diwajibkannya berwudhu, sama sekali tidak ada.
2. Mandi.
Pengertian Mandi
Mandi dalam bahasa Arab adalah al-ghuslu. Sedangkan al-ghuslu adalah kata benda (isim) dari al-ightisaal yang bermakana: mengalirnya air terhadap suatu perkara secara mutlak,
baik pada tubuh atau lainnya, dan dengan disertai adanya niyat atau pun tidak.
Disamping itu, juga berarti nama bagi air yang dipergunakan untuk mandi. Sedangkan al-ghuslu (mandi) dalam istilah syara‘ maknanya adalah:
mengalirnya air keseluruh tubuh dengan disertai niyat.[29] Atau meratakan air ke seluruh tubuh disertai
dengan niat tertentu.
Rukun - Rukun Mandi
Bila dipandang dari segi makna istilah, rukun
atau fardlu bermakna suatu perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu
ibadah dan termasuk dari hakikat ibadah itu sendiri. Adapun rukun atau
fardlu-nya mandi ada dua:
1)
Pertama niyat
di saat pertama kali membasuh anggota tubuh.
Dikarenakan seluruh anggota tubuh dalam urusan
mandi besar dihukumi sebagai satu anggota (tidak seperti dalam bab wudlu), maka
dalam mandi tidak diwajibkan untuk tertib dalam pembasuhan. Sehingga saat
memulai pembasuhan, membasuh anggota tubuh manapun dan disertai dengan niyat
adalah mencukupi. Niyat
dalam tinjauan makna bahasa
adalah bermaksud, atau menghendaki (al-qashdu).
Sedang dalam pengertian istilah syara‘ adalah menghendaki sesuatu yang disertai
dengan pelaksanaannya. Tempat niyat adalah dalam hati, dan tidak diwajibkan
untuk dilafadz-kan, tetapi sunnah bila dilafadz-kan. Sedangkan contoh-contoh niyat adalah
sebagai berikut. Bagi orang junub maka berniyat menghilangkan hadats jinabat.
Bagi wanita haidl berniat menghilangkan hadats haidl, dan bagi wanita yang
nifas adalah niyat menghilangkan hadats nifas, atau dengan semisal niyat menghilangkan
hadats besar, niyat mandi fardlu (fard al-ghusl). Disamping itu, sah dengan niyat mandi menghilangkan hadats secara
mutlak.
2)
Kedua adalah meratakan air
keseluruh anggota tubuh.
Oleh karena itu, bagian tubuh yang agak
tesembunyi dan dikawatirkan tidak terkena siraman air mandi harus benar-benar
diperhatikan, sebagaimana ketiak, kerut-kerutan perut, kedua daun telinga, dan
sisi-sisi tubuh yang berada di antara paha dan pantat.[30]
Syarat - Syarat Mandi
Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mandi
besar adalah sama dengan syarat-syarat yang diberlakukan bagi wudlu‘. Syarat
sendiri bila ditinjau dari segi bahasa memiliki makna tanda (‘alāmat).
Sedangkan bila dipandang dari segi makna istilah, maka syarat bermakna suatu
perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu ibadah dan bukan termasuk
(berada di luar) dari hakikat ibadah itu sendiri. Jumlah syarat ini ada enam,
berikut perinciannya:
1)
Islam.
Orang kafir tidak sah mandinya, dikarenakan
mandi adalah ibadah bagi anggota tubuh (badaniyah), sedangkan orang kafir bukan termasuk ahli
ibadah tersebut.
2)
Tamyiz.
3)
Air yang suci lagi
mensucikan.
Tidak sah mandi dengan menggunakan selain air.
Juga tidak sah mandi dengan menggunakan air yang tidak suci mensucikan,
sebagaimana air najis, air musta‘mal, air yang berubah sifat-sifatnya sehingga
menghilangkan karakter suci mensucikannya.
4)
Tidak adanya penghalang (ĥāil) yang
menempel pada anggota tubuh.
Penghalang yang terdapat pada anggota tubuh
menyebabkan tidak sahnya mandi, sebab telah menghalangi sampainya air mandi
pada anggota tubuh yang terhalangi olehnya. Sebagaimana minyak yang mengeras
dan menempel pada tubuh. Berbeda minyak yang cair―meskipun minyak yang cair menyebabkan air mandi tidak bisa menetap
pada anggota tubuh―sebab minyak yang cair tidak dinilai mencegah
tersampaikannya air mandi pada anggota tubuh.
5)
Tidak adanya perkara yang
menghalangi (munāfi) sahnya mandi, sebagaimana haid, dan nifas.
Jika seseorang sedang dalam kondisi haid dan nifas, maka mandinya tidak sah.
Lain halnya wanita yang sedang istihadhoh, darah
yang keluar dari kemaluannya tidak dapat menjadi penghalang sahnya mandi.
6)
Mengetahui tatacara mandi.
Yakni mengetahui tentang kriteria-kriterianya, dapat membedakan antara mandi
wajib dan mandi sunnat.[31]
Dalil Disyari’atkannya Mandi .
1) Ayat-ayat al-Qur‘an.
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (المائدة:
6)
... dan jika kamu
junub Maka mandilah .... (QS. al-Māidah: 6)
وَلَا
جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا (النساء: 43)
... (jangan pula hampiri mesjid) sedang
kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi
.... (QS. an-Nisā‘: 43)
Ayat ke-6 dari surat al-Māidah di atas
menggunakan redaksi perintah (amar), sedangkan perintah (amar) sendiri dalam disiplin Ushul Fiqh menunjukkan tuntutan yang mewajibkan. Jadi
dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan hukum wajibnya mandi besar bagi
orang junub (hadats besar). Sedangkan ayat ke-43 dari surat an-Nisā di atas
menjelaskan larangan berdiam di masjid diri bagi orang yang junub sehingga
dirinya mandi terlebih dulu.[32]
2) Hadits Nabi.
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا جَلَسَ
بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَها فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ». وفى
رواية : «وَإنْ لَمْ يَنْزِلْ» وفى أخرى «ومس الخِتَانُ الخِتانَ» رواه الخمسة
إلاّ الترمذي.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: ―bila dia (suami) telah duduk diatas
cabangnya istri yang berjumlah empat (yakni mensetubuhinya, jima’), lalu memberi
tekanan padanya, maka telah wajib baginya mandi. Dalam riwayat lain disebutkan: ―meskipun tidak mengeluarkan air mani. Dan riwayat lain lagi menyatakan: ―antar khitan (kemaluan laki-laki)
telah bertemu khitan (kemaluan perempuan). Diriwayatkan oleh lima perawi kecuali
at-Turmudzi.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «حَقٌّ
لِلَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ،
يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ».(رواه البخارى ومسلم)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:
Rasulillah Shallahu
alaihi wa Sallam bersabda: ―sudah menjadi haq (sepatutnya) bagi
setiap muslim untuk melakukan mandi pada hari tertentu dalam setiap tujuh hari
sekali (satu minggu),—yakni mandi—dengan membasuh kepala serta seluruh
tubuhnya. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadis di atas disebutkan kata حَقٌّ, yang dimaksud
dengan kata tersebut adalah bahwa mandi merupakan perkara yang tidak
sepantasnya ditinggalkan oleh orang yang beragama Islam. Dan para ulama
menyimpulkan, bahwa mandi yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah mandi di
hari jum'at, dan hukum mandi ini adalah sunnah. Dengan demikian, dapatlah kita
peroleh kesimpulan bahwa mandi sebagai sebuah ibadah adalah bagian dari
syari‘at Islam.
3)
Ijma’ Ulama (konsensus)
Konsensus ulama (baca: kesepakatan atau ijma)
menyatakan, bahwa mandi diwajibkan agar supaya ibadah yang dikerjakan menjadi
sah serta merupakan syarat menjalankan ibadah. Mandi juga disunahkan untuk
kebersihan dan sebab-sebab yang lain. Berangkat dari konsep kebersihan adalah
sebagian dari iman, maka mandi adalah merupakan ibadah yang diharapkan
pahalanya. Dengan menjalankan mandi berarti telah melaksanakan perintah syara‘
sekaligus menerapkan ketetapan hukumnya. Nabi bersabda: ―kebersihan
(at-thahūr) adalah sebagian dari iman‖. (HR. Muslim). Dan kebersihan ini meliputi
wudlu‘ dan mandi. Mandi adalah sarana menghilangkan kotoran-kotoran yang
menempel pada tubuh, keringat, juga untuk membersihkan bau tak sedap pada
tubuh.Oleh karena itu, agama menganjurkan pelaksanaan mandi dalam moment-moment
tertentu, sebagaimana nampak dengan jelas dalam penjabaran mengenai macam-macam
mandi yang disunnahkan.Seperti pada waktu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
hari jum‘at dll.Dan mandi dapat mengembalikan kekuatan tubuh, memberikan daya
vitalitas yang sempat mengendur, lemah, letih dan lesu.[33]
Faktor – Faktor Yang Mewajibkan Mandi
Kurang lebihnya, ada enam perkara yang
menyebabkan wajibnya mandi besar. Dan keenam perkara ini dikelompokkan menjadi
dua kategori. Pertama; berlaku khusus untuk perempuan, yaitu haidl,
nifas, dan melahirkan. Kedua; berlaku bagi laki-laki dan juga bagi perempuan,
yaitu bersetubuh (jima’), keluarnya mani (sperma), dan kematian[34].
Adapun perinciannya sebagai berikuit:[35]
1)
Keluarnya sperma (air mani),
baik dari laki-laki atau pun perempuan sewaktu dalam keadaan tidur (ihtilām). Atau
Keluarnya sperma tadi sewaktu dalam kondisi terjaga, disebabkan masuknya
ujungkepala (hasyafah) kemaluan lak-laki. Dan tidak ada perbedaan
antara mani yang keluar tersebut, baik yang keluar itu sedikit atau banyak
hukumnya adalah sama, bahkan walaupun air mani tersebut berwarna seperti darah,
yang masih disertai dengan tanda-tanda keberadaannya sebagai air mani.
2)
Masuknya ujungkepala
(hasyafah) kemaluan lak-laki kedalam kemaluan perempuan (farji,
vagina).
3)
Haid, yakni darah yang keluar
dari kemaluan perempuan yang telah mencapai umur sembilan tahun, dengan
perhitungan kalender bulan (hijriyyah). Dan darah tersebut keluarnya pada saat
dalam kondisi sehat, bukan disebabkan faktor melahirkan.
4)
Nifas, yakni darah yang
keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan sebelum lewat jarak limabelas
hari.
5)
Melahirkan anak (wilādah). Dan
termasuk kategori melahirkan adalah wanita yang mengeluarkan segumpal darah
atau sepotong daging, yang dinilai oleh para dukun bayi atau seorang ahli di
bidang kelahiran jabang bayi (al-qawābil) bahwa
segumpal darah atau sepotong daging itu adalah merupakan cikal-bakal jabang
bayi (asl ‘adamiy). Dan penting untuk ditegaskan disini, bahwa
walaupun sewaktu melahirkan tidak sempat mengeluarkan cairan (air ketuban)
tetap wajib mandi sete selesai.
Adapun ciri-ciri atau tanda dari air
mani adalah:
– Keluarnya
dengan memancar (muncrat, jw)
– Terasa
nikmat
– Bila masih basah beraroma seperti
adonan roti atau manggar kurma. Dan bila sudah kering, maka aromanya seperti
putih telur
6)
Meninggal dunia (mati), bagi
seorang muslim yang tidak gugur di medan peperangan melawan orang kafir (syahīd).
3. Tayammum.
Pengertian
Tayammum
Menurut arti
bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan menurut terminologi syara’
tayammum berarti menyengaja menyentuh debu yang suci untuk diusapkan ke wajah
dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali sentuhan, disertai niat supaya
diperbolehkan melakukan sesuatu yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadats,
bagi orang yang tidak menemukan air atau takut adanya bahaya apabila
menggunakannya.[36]
Adapun dalil disyari’atkannya tayammum adalah firman Allah :
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا (النساء: 43)
“Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau salah seorang di anatara kamu
kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); maka
basuhlah wajah kamu dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun.” (QS. An-Nisā’: 43)
Adapun hal-hal
yang memperbolehkan (al-a’dzār) pelaksanaan tayammum yaitu :[37]
1) Tidak adanya air yang mencukupi untuk berwudhu atau
mandi.
2) Tidak ada kemampuan untuk menggunakan air, sebagaimana
orang yang dipenjara, atau takut terhadap binatang buas, orang yang terikat
dll.
3) Sedang sakit, dan bila tetap memaksa menggunakan air
dapat menyebabkan kematian, bahaya terhadap anggota tubuh, atau sakit yang
tidak kunjung sembuh.
4) Kebutuhan terhadap air, baik sekarang ataupun yang akan
datang, bagi diri sendiri atau hewan yang dimuliakan.
5) Dugan kuat, atau betul-betul terancam terhadap
keselamatan harta milik bila tetap mencari air, baik harta milik sendiri atau
milik orang lain.
6) Takut kedinginan air, yakni kawatir timbulnya bahaya bila
tetap mempergunakan air yang dingin serta tidak menemukan alat yang dapat
dipergunakan menghangatkan air.
4. Menghilangkan Najis.
a) Definisi Najis
Dalam tinjauan makna bahasa najis bermakna sesuatu yang
menjijikkan. Sedangkan dalam pemaknaan istilah, yang dinamakan najis adalah
setiap perkara yang menjijikkan yang mencegah sahnya shalat, sepanjang
tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara’ (rukhshoh).[38]
Dengan demikian, benda-benda menjijikkan yang tidak mencegah sahnya shalat
tidak termasuk katagori benda najis, sebagaimana air ludah dan ingus. Dan bila
syara’ memberikan dispensasi atau kemurahan, maka perkara tersebut meskipun
berupa benda najis tetap tidak dapat mencegah sahnya shalat. Sebagaimana darah
yang sedikit, dan najis yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala.[39]
Bila dikelompokkan, najis terbagi menjadi dua
bagian.Pertama najis haqiqiy atau najis ‘ainiy, yaitu setiap
perkara yang menjijikkan yang dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana darah
dan air kencing. Najis ini dengan cara apapun tidak bisa berubah menjadi suci.
Kedua najis hukmi tau maknawi (hadats), yaitu sifat yang menempel
atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat
mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan
syara’ (rukhshoh), yaitu hal-hal yang membatalkan wudlu dan yang
mewajibkan mandi.Najis (hadats) dengan kategori ini dapat disucikan dengan
wudlu atau mandi.[40]
Benda-benda najis
diantaranya adalah setiap perkara yang keluar dari salah satu saluran kemaluan
dan anus (qubul dan dubur) yang berupa benda cair (mā’i’),
baik berupa hal biasa seperti air kencing, kotoran-kotoran burung, ikan,
belalang dll. atau berupa perkara yang langka (nādir) sebagaimana darah,
nanah, madhi, wadhi, terkecuali sperma manusia karena hukumnya
adalah suci.[41]
Adapun sperma binatang, hukumnya sama dengan hukum binatang tersebut, bila
binatangnya adalah najis sebagaimana anjing dan babi serta
peranakan-perankannya walaupun hasil kawin silang dengan binatang yang suci
sekalipun, maka spermanya adalah najis, sedangkan apabila binatangnya suci maka
spermanya juga suci.[42]
Bila dipandang dari sisi adanya wujud benda
najis dan sifat-sifatnya, maka najis dikatagorikan menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Najis ‘Ainiyyah.
Yaitu najis yang sifat-sifatnya (bau, rasa,
dan warna) bisa deteksi oleh indra. Sebagaimana darah, kotoran manusia dll.
Cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan wujud bendanya dan
sifat-sifatnya.
2.
Najis Hukmiyyah.
Najis yang tidak ada wujudnya, sifat-sifatnya
(bau, rasa, dan warna) tidak bisa ditemukan oleh indra. Cara mensucikannya
cukup dengan mengalirkan air pada tempat yang terkena najis tersebut.
Catatan:
–
Apabila sulit menghilangkan salah satu
sifat-sifat najis, seperti sulit menghilangkan warnanya saja atau baunya saja
maka tempatnya najis ini sudah dianggap suci.[44]
–
Sedangkan bila sifat-sifat yang sulit
dihilangkan adalah warna dan bau atau warna dan rasa, maka tempat yang terkena
najis ini belum bisa dianggap suci. Karena berkumpulnya dua sifat najis seperti
itu adalah menunjukkan masih adanya benda najis (‘ain najasah) tersebut.[45]
Sedangkan bila
dipandang dari sisi asal mula wujud benda najis, serta katagori berat dan
ringannya najis, maka najis itu dikatagorikan menjadi tiga bagian:[46]
1.
Najis ‘Mukhoffafah.
Adalah najis yang paling ringan. Yakni najis
berupa air kencing dari anak laki-laki yang belum genap berumur dua tahun, dan
hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI) saja. Cara mensucikan najis mukhoffafah
adalah dengan mengguyurkan air kepermukaan tempat yang terkena air kencing anak
laki-laki ini, dan tidak disyaratkan air guyuran tersebut mengalir, atau cukup
dengan memercikkan air kepermukaan tempat yang terkena air kencing anak
laki-laki tadi.
2.
Najis Mutawasithoh.
Najis yang sedang, tidak ringan dan tidak
pula berat. Sebagaimana air kencing bayi laki-laki yang sudah mengkonsumsi
selain air susu ibu (ASI), air kencing bayi perempuan, air kencing seorang
banci (khuntsa), berak dll. Cara mensucikannya adalah sebagaimana cara
menghilangkan najis Ainiyyah, yakni dengan menghilangkan wujud bendanya
dan sifat-sifatnya.
3.
Najis Mughaladzah.
Najis mughaladzah adalah najis yang berat,
yaitu najisnya anjing dan babi serta peranakan-perankannya walaupun
hasil kawin silang dengan binatang yang suci sekalipun. Cara mensucikannya
adalah dengan menghilangkan wujud benda najisnya terlebih dulu kalau memang
ada, lalu dibasuh tujuh (7) kali yang salah satunya dicampuri dengan tanah.
Ketentuan ini adalah sesuai dengan keterang sebuah hadits yang berbunyi:
طُهُورُ إِنَائِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَوَّلهُنَّ بِالتُّرَابِ (رواه مسلم)
“mensucikan wadah/bejana kamu
yang dijilat anjing adalah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertamanya
dicampur dengan tanah” (HR. Muslim)[47]
Sedangkan sebagai pengganti dari tanah, cukup dengan
menggunakan air yang sudah keruh sebagaimana air sungai yang banjir.[48]
Menghilangkan najis dan menjauhinya adalah
wajib, disamping juga merupakan syarat sahnya shalat. Jadi seseorang yang
hendak menjalankan ibadah shalat, tubuh dan
pakaiannya beserta tempatnya, harus suci dari najis. Akan tetapi dalam
kondisi-kondisi tertentu, syara’ memberikan keringanan-keringanan ataupun
dispensasi,sebab kesulitanuntuk menghilangkan ataupun menghindarinya.Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan, sekaligus untuk
menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang ada.
Berikut ini adalah perincian dari
macam-macamnya najis yang dima’fu:
1. Najis yang
dimaafkan (dima’fu) bila berada di air atau benda cair, dan tidak
dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat.
Sebagaimana bangkai semut, nyamuk dll.
2. Najis yang
dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat,
dan tidak dimaafkan (dima’fu) bila jatuh di air atau benda cair.
Sebagaimana darah yang sedikit dari luka.[50]
3. Najis yang tidak
dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat,
dan tidak pula dimaafkan (dima’fu) bila jatuh di air atau benda cair.
Sebagaimana kotoran cicak dll.
Catatan:
–
Apabila ada orang yang gusinya berdarah
sewaktu shalat, maka shalatnya tidak batal selama ia tidak menelan darah
tersebut.
Selain yang telah
disebutkan sebelumnya, juga ada
contoh-contoh lain dari najis yang diampuni (ma’fu) sebagaimana;
percikan air kencing yang tidak bisa dilihat oleh indra penglihatan, nanah dan
darah yang sedikit yang keluarnya tanpa ada kesengajaan, kotoran ikan yang
tidak sampai merubah sifat-sifat air, dan mulut anak kecil (bayi) yang terkena
najis muntahannya sewaktu menetek puting susu ibunya.
Semua bangkai hukumnya adalah najis
terkecuali bangkainya manusia, ikan dan belalang. Bangkai manusia dihukumi suci
sesuai dengan bunyi firman Allah Subhana wa ta’ala :
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ (الإسراء: 70)
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam ...”
(QS. Al-Isrā: 70)
Sedangkan bangkai
ikan dan belalang dihukumi suci sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallahu
‘alaihi wasallam :
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَدُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
(رواه أحمد وابن ما جه)
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua
darah, yaitu (bangkai) belalang dan ikan, serta (darah) hati dan limpa”
(HR. Ahmad dan Ibnu Mājah)
Catatan:
–
Sebagian anggota tubuh binatang yang terpisah
(putus) sewaktu masih hidup, hukumnya adalah sebagaimana bangkainnya. Bila
bangkainya suci―sebagaimana belalang―maka sebagian anggota tubuh binatang yang terpisah itu hukumnya adalah
suci. Sebaliknya, jika bangkainya najis―sebagaimana kambing―maka sebagian anggota
tubuh binatang yang terpisah itu hukumnya adalah najis. Sedangkan rambut atau
bulu dari hewan yang halal dimakan dikecualikan dari hukum bangkai, jadi
hukumnya adalah suci.[52]
–
Benda cair yang terkena najis (mutanajis)
tidak boleh dikonsumsi (dimanfaatkan), kecuali kalau pemanfatannya itu untuk
semisal bahan bakar lampu. Contoh, minyak yang terkena najis lalu digunakan
untuk menyalakan lampu. Meskipun pememanfaatan semisal minyak yang terkena
najis ini adalah boleh, namun makruh. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi :“ketika
Rasulullah ditanyai tentang tikus yang jatuh pada minyak samin (keju), beliau
menjawab:“ambilah untuk bahan menyalakan lampu, atau boleh
diambil kemanfataatnnya” (HR. Thohāwi)[53]
–
Air yang kurang dari dua kulah (216 liter) bila kejatuhan najis, maka dihukumi najis (mutanajis). Dan
bila airnya dua kulah atau lebih lalu berubah sifat-sifatnya, juga dihukumi
najis (mutanajis). Sedangkan bila airnya dua kulah atau lebih tersebut
tidak berubah sifat-sifatnya, maka masih tetap dihukumi suci. Lalu apabila
airnya dua kulah atau lebih yang sifat-sifatnya telah berubah itu kembali
jernih lagi, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan najis yang jatuh
tersebut telah hilang, baik perubahan menjadi jernih ini terjadi dengan
sendirinya atau sebab ditambahi air suci yang lain, maka hukumnya airnya dua kulah
atau lebih tersebut menjadi suci lagi.[54]
–
Bila benda padat semisal minyak samin (keju)
kejatuhan najis sebagaimana bangkai tikus, maka bangkai tersebut hendaklah
dibuang berserta bagian-bagian minyak yang terkena bangkai, selanjutnya yang
tersisa hukumnya adalah suci.[55]
D. Hikmah
Thoharoh Dalam Beribadah
Kita semua tahu bahwa bila badan dan pakaian
kotor, tentu kondisi seperti itu akan menimbulkan rasa jijik bagi orang yang
melihatnya. Demikian pula halnya, bila seseorang ingin menghadap pada seorang
raja atau menteri maupun orang-orang terkemuka, maka sudah seyogyanya bila
berusaha semaksimal mungkin agar berpenampilan baik dengan pakaian yang bagus
dan bersih serta berupaya membersihkan tubuhnya dari kotoran maupun bau yang
tidak sedap, agar nantinya tidak menerima perlakuan yang kurang baik dari orang
yang hendak ia jumpai. Bila yang demikian ini berlaku dalam hubungan antar
sesama manusia, maka bagaimana pula jika seseorang hendak berdiri menghadap
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahamemiliki segala sesuatu di
jagad raya ini?[56]
Sudah barangtentu bila memerlukan sikap yang lebih pantas dan sopan dalam
rangka menghadap Allah, sebagai bukti pengagungan kepada-Nya.
Di
balik kewajiban wudhu dan mandi nampak sekali kebijaksanaan Allah Subhana wa
Ta’ala. Sebab dengan demikian, manusia ketika melaksanakan ibadah
senantiasa dalam keadaan bersih dari kotoran, serta dari hal-hal yang
menjijikkan. Hikmah lain dari perintah ini adalah bahwa para malaikat membenci
seorang hamba yang mendirikan sholat sementara ia berpakaian kotor dan berbau
badan yang tidak enak. Juga ketika umat Islam berdiri di dalam shaf, kemudian
ada di antara mereka yang berpakaian kumuh dan dekil, maka kondisi yang
demikian akan merangsang timbulnya dampak negatif bagi mereka. Untuk itulah Allah
mensunnahkan mandi di hari jum’at serta hari raya. Sebab pada kesempatan itu,
seluruh umat Islam berkumpul menunaikan ibadah sholat. Bila pada saat-saat
seperti itu seseorang tidak dalam kondisi bersih dan wangi, maka jelas akan
menimbulkan rasa jijik dan mengganggu orang lain, sebuah kondisi yang tidak
terpuji sekaligus tercela.
Dalam
mandi setelah junub (al-jinābah) terdapat hikmah di syariatkannya mandi
tersebut, yaitu bahwa manusia memiliki dua jiwa, jiwa binatang dan jiwa
malaikat. Maksudnya, pada diri manusia terdapat jiwa yang cenderung dengan
tabiat binatang dan jiwa yang cenderung dengan sifat-sifat malaikat. Ketika
manusia selesai melakukan persenggamaan, maka pada saat itu jiwa malaikat yang
ada pada dirinya merasa terganggu karena berada
dalam jasmani atau raga yang sedang dalam keadaan kotor dan najis. Pada
saat ia mandi dan bersesuci dari hadats jinabatnya, maka jiwa malaikat pada
dirinya akan kembali merasa tenteram dan damai, serta hilang pula hal-hal yang
dapat menimbulkan kebencian orang-orang disekitarnya.
Ada
hikmah lain yang terdapat pada wudhu dan mandi. Yaitu bila seseorang telah
selesai membersihkan anggota tubuhnya dengan air, maka akan menimbulkan gairah
dan semangat serta menghilangkan rasa malas. Sehingga, kewajiban-kewajiban ibadah
fardhunya dapat dikerjakan dengan penuh gairah dan semangat. Dengan bekal
gairah dan rasa semangat ini, maka dapat menciptakan rasa rileks dalam jiwa,
dan pekerjaan pun dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun
wanita yang haidl, kegiatan mandi yang dilakukannya juga dapat mendatangkan
gairah dan semangat, serta memberikan kesiapan baginya untuk hamil, momen yang
senantiasa ia harapkan dari waktu ke waktu bila memang dirinya memunyai seorang
suami. Adapun bagi yang tidak bersuami―sekurang-kurangnya―mandi
yang dilakukan dapat mengembalikan lagi semangatnya yang sempat mengendur,
serta menghilangkan rasa malas yang dapat mengganggu aktifitasnya. Demikian
pula wanita yang nifas, dengan mandi dapat menghilangkan berbagai macam kotoran
serta menghilangkan bau busuk yang melekat pada tubuhnya.[57]
Sedangkan
hikmah thoharoh bila kita telaah dari sisi logikanya, maka ada beberapa poin
yang dapat kita simpulkan[58] :
1.
Sholat
adalah pengabdian diri kepada Allah serta mengagungkan-Nya. Pengabdian diri dan
pengagungan itu―dengan
segala sarana yang bisa dilakukan―hukumnya
adalah wajib. Dapat dimaklumi bahwa berdiri di hadapan Allah swt. dengan tubuh
yang suci, pakaian yang bersih, serta tempat yang suci pula adalah bentuk
kongkret dari pengagungan dan pengabdian yang sempurna, bila dibandingkan
dengan berdiri di hadapan-Nya dengan kondisi badan, pakaian, dan tempat yang
najis.
Demikian halnya
hadats dan jinabat, kendatipun keduanya bukan termasuk najis yang dapat
dilihat, tetapi keduanya adalah najis maknawi yang menyebabkan kita merasa
jijik pada tempat persemayamannya. Dulu pada masa Nabi Muhammad saw. pada saat
beliau hendak menyalami Hudzaifah bin al-Yamāni, ia enggan untuk menjabat
tangan Nabi, seraya berkata: “wahai Rosulullah, sesungguhnya saya dalam
keadaan junub”. Dengan demikian, bersemayamnya hadats jinabat menyebabkan
rusaknya sikap pengagungan kepada Allah. Meskipun pada anggota tubuh tidak ada
sebercak najis sekalipun―pada
saat sedang junub―namun
paling tidak terdapat kotoran-kotoran yang melekat, sehingga sudah seharusnya
bila diwajibkan mandi agar supaya tercipta keindahan dan kebersihan, yang
menjadikannya lebih dekat pada pengagungan Allah dan lebih sempurna dalam
pengabdian.
Siapapun orangnya
yang bermaksud menghadap kepada raja untuk melayani mereka secara langsung,
maka dirinya dituntut untuk bersih, menghias diri, dan memakai pakaian yang
paling baik dan bersih sebagai bentuk penghormatan kepada raja. Oleh karena
itu, yang paling utama bagi orang yang akan menunaikan sholat hendaknya memakai
pakaian terbaik yang ia miliki dan paling bersih, yang ia persiapkan untuk
dikenakan saat berkunjung kepada para pembesar serta mendatangi acara-acara
pesta.
2.
Perintah
untuk membersihkan anggota tubuh dari hadats dan jinabat adalah untuk
mengingatkan manusia agar supaya membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela
sebagaimana curang, iri, sombong, buruk sangka terhadap sesama muslim, serta
sifat-sifat lain yang dapat menyebabkan timbulnya dosa. Adanya hadats yang
bersemayam pada tubuh tidak lantas menghalangi beribadah dan pengabdian kepada
Allah secara keseluruhan (total). Dengan bukti, diperbolehkan berpuasa,
mengeluarkan zakat pada saat sedang hadats dan jinabat.
Contoh lebih
mudah lagi―diterimanya
ibadah walau sedang dalam keadaan hadats―adalah iman kepada Allah swt. padahal
iman merupakan pokok dari sekian ibadah. Hal ini disebabkan oleh karena hadats
dan jinabat pada dasarnya bukanlah suatu perbuatan maksiyat dan bukan pula
penyebab terjadinya dosa. Dan sebagaimana terbaca dalam uraian-uraian
sebelumnya, yang menjelaskan tentang penyebab dosa-dosa yang bersifat maknawi
yang bersemayam dalam hati, maka adanya perintah untuk membersihkan anggota
tubuh lahiriah, pada dasarnya adalah indikator sekaligus peringatan untuk
membersihkan hati dari segala sifat-sifat tercela―yang bersifat
maknawi―itu.
Jadi, membersihkan hati dari segala bentuk sifat tercela tersebut adalah wajib,
baik dari sisi tuntunan agama (syara’) maupun akal.
3.
Kewajiban
menyucikan anggota-anggota tubuh―sebagaimana
dalam uraian-uraian sebelumnya―merupakan
perwujudan dari ungkapan rasa syukur atas karunia nikmat dari sekian kenikmatan
yang mewajibkan kita untuk melaksanakan sholat. Kenikmatan itu adalah anggota
tubuh kita, yang merupakan sarana untuk merasakan/memperoleh
kenikmatan-kenikmatan yang besar. Bahkan, dengan anggota tubuh tersebut,
sebagian besar kenikmatan Allah dapat kita rasakan. Misalnya, dengan tangan
seseorang dapat mengambil dan menerima apa saja yang ia butuhkan. Dengan kaki,
seseorang dapat berjalan menuju ke tempat tujuannya. Wajah dan kepala adalah
tempat sekumpulan indra yang dapat digunakan untuk mengetahui kebesaran
dari berbagai kenikmatan Allah. Mata
untuk melihat, hidung untuk mencium, mulut untuk mencicipi, dan telinga untuk
mendengar. Dengan kesemuanya itu, seseorang dapat merasakan kenikmatan,
kesenangan, serta meraih berbagai macam kenikmatan. Oleh sebab itu, perintah
untuk mensucikan anggota-anggota tubuh tersebut merupakan ungkapan rasa syukur
atas berbagai kenikmatan yang dapat diperoleh melalui anggota-anggota tubuh
tersebut.
4.
Perintah
untuk menyucikan anggota-anggota tubuh―sebagaimana terbaca pada poin-poin
sebelumnya―adalah
untuk menghapus dosa-dosa kejahatan yang telah diperbuat olehnya. Sebab dengan
anggota-anggota tubuh itulah seseorang melakukan sebagian besar dari dosa-dosanya.
Sebagaimana mengambil perkara yang haram, berjalan ketempat yang haram, melihat
sesuatu yang haram, memakan perkara haram, serta mendengarkan hal-hal yang
diharamkan. Jadi, perintah untuk membersihkannya adalah untuk menghapus
dosa-dosa yang telah diperbuat itu.[59]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
memaparkan beragam pandangan di atas, ada baiknya bila kita membuat kesimpulan
sebagai puncak kajian dari makalah ini:
1. Agama Islam adalah agama yang universal, dalam arti
ajaran-ajarannya mencakup berbagai sendi kehidupan. Tidak ada satu pun dari
sendi-sendi kehidupan terlewatkan kecuali dijumpai tuntunan-tuntunannya, baik
yang bersifat global ataupun yang terperinci. Karena itulah al-Qur’an
menegaskan bahwa risalah Nabi muhammad merupakan risalah yang merupakan
rahmat bagi semesta alam.
2. Agama Islam berdiri atas beberapa ajaran dasar yang
menyentuh sisi-sisi kehidupan meliputi keyakinan (al-i’tiqādāt), akhlaq
(al-ādāb), ibadah (al-‘ibādāt), hubungan antara sesama manusia (al-mu’āmalāt),
serta penegakan hukum (al-u’qūbāt). Kesemua ajaran itu tercakup dalam
kerangka al-fiqh al-akhbār. Bila
selama ini kita terbiasa memakai istilah fiqih pada saat membahas ajaran-ajaran
formal, maka fiqih dalam pengertian ini adalah al-fiqh al-ashghar sebab
obyek bahasannya hanya dari satu sudut ajaran-ajaran formal saja.
3. Thoharoh yang menjadi tema dari kajian makalah ini pada
dasarnya adalah sebagian dari ajaran agama Islam yang universal itu. Dari
ajaran thoharoh, kita dapat menarik kesimpulan betapa agama Islam sedemikian
seriusnya memperhatikan aspek kebersihan dalam kehidupan para pemeluknya.
Sekali lagi, hal ini memperlihatkan sedemikian rincinya sisi kehidupan yang
terjangkau oleh kearifan ajarannya.
4. Agama Islam menghendaki semua aktifitas yang dilakukan
umatnya pada akhirnya berkesudahan menjadi ibadah, sebab beribadah kepada Allah
adalah merupakan tujuan puncak dari berbagai aktifitas yang dicintai serta
diridhoi-Ny. Memang manusia itu diciptakan oleh Allah agar beribadah
kepada-Nya. Kesimpulan ini sebagaimana difirman oleh Allah dalam surat Adz-Dzāriyāt
ayat 56, yang berbunyi : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar beribadah kepada-Ku”.
5. Oleh karena ajaran agama Islam yang begitu luas
cakupannya, maka memahami ibadah tidak selayaknya hanya dari sudut pandang
bentuk formal belaka. Pandangan yang sedemikian sempit dapat berdampak negatif.
Akibatnya, ibadah hanya berkekuatan formal belaka dan tidak dapat mewarnai
aktifitas-aktifitas keseharian. Dari sini kita temukan relevansi serta urgensi
dari upaya mengkaji ajaran-ajaran agama tidak hanya dari sudut pandang formal yang
ansich belaka, tetapi disertakan pula kajian filosofisnya supaya dapat menghasilkan
keterpaduan pemahaman, sehingga harapan ajaran formal itu dapat mewarnai
rutinitas keseharian umatnya dapat terwujud, amien.
B. Penutup dan
Saran
Pernah
kita dengar ungkapan yang mengatakan bahwa “negara kita Negara Republik
Indonesia bukan negara agama tetapi negaranya orang yang beragama”. Terlepas
dari benar dan tidaknya ungkapan yang bernada filosofis itu, yang jelas dapat
kita saksikan bahwa di negara ini ada lima agama yang diakui oleh negara kita.
Dari kelima agama itu, agama Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh
warga negara kita.
Dari
realitas tersebut dapat kita ajukan sebuah pertanyaan kritis, sudahkah ajaran-ajaran
agama Islam terimplementasikan dalam kehidupan umat Islam Indonesia dalam arti
yang luas, tidak hanya berwujud dalam rutinitas ajaran formal saja? Jawaban
dari pertanyaan ini tentu ada dalam sanubari kita masing-masing sebagai warga
muslim yang berkewargaan Indonesia. Pertanyaan itu tidak cukup dijawab dengan
jawaban sudah atau belum. Tetapi harus dijawab dengan langkah kongkret dan
perbuatan nyata.
Harapan
kita tentu agar supaya negara ini berjiwa agamis dan islamis dalam
perjalanannya, oleh karena mayoritas warganya adalah umat Islam. Namun sangat
ironis sekali, kenyataan yang terjadi cukup memprihatinkan sekali. Banyak
penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma ajaran agama yang terjadi di
sekeliling kita. Bila sudah sedemikian kondisinya, ada apa dengan rutinitas
ibadah formal yang kita jalankan sehari-hari, kenapa belum dapat mewarnai
aktifitas-aktifitas keseharian. Patut memilukan bila sampai terucap “ibadah
iya, tapi penyimpangan-penyimpangan serta maksiyat tetap jalan terus”, naudzu
bi_Allah min dzālik. Disini nampak terjadi kesalahan dalam menjalankan
ajaran agama.
Hakikat
pembenaran agama bukannya ucapan dengan lidah, tetapi perubahan positif dalam
jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara
sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang hanya dituturkan,
tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan kalimat
yang diucapkan itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa, tidak berarti dan
tidak dipandang-Nya.
Kesalahan kita dalam bidang ini adalah terlalu
memperhatikan sisi formal dan melupakan substansi, bahkan yang lebih salah lagi
adalah sebagian kita menjadikan hukum-hukum agama sebagai “Tuhan”sehingga
mungkin tidak keliru jika ada yang menyatakan bahwa: “Kita telah mencipttakan berhala
baru, dan menempatkannya sebagai Tuhan.” Berhala baru itu adalah
hukum-hukum formal agama. Dan lebih buruk lagi adalah bahwa Tuhan itu tidak
menyandang sifat kasih dan sangat otoriter. Atas nama-Nya; kita seenaknya
menjatuhkan sanksi, padahal Tuhan yang berhak disembah memberi toleransi.[60]Bermula
dari sini, semoga makalah kita yang mengkaji thoharoh perspektif normatif
filosofis ke depannya dapat memotifasi kita dalam menjalankan ajaran-ajaran
agama tidak hanya berwujud pada formalitas belaka, tetapi harapan kita semoga
dapat mewarnai perjalanan kehidupan kita. Semoga makalah ini mengandung hikmah
dan manfaat, amien. [ ]
Kudus, 12 Desember 2013
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Al-Qur’ān al-Karīm.
2. Muhammad Fuād Abdul Bāqi. al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ān al-Karīm. Surabaya. Maktabah Dahlān.
3.
Hujjah al-Islām al-Imām al-Ghazāli.
1995. Ihya’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut. Dār al-Fikr.
4.
Asy-Syekh Izzuddīn bin ‘Abdi
As-Salām. 1995. Maqāsid Al-‘Ibādāt. Hims. Al-Yamāmah.
5.
Asy-Syekh Sulaimān al Bujairamiy. Hāsiyah
Bujairami ‘ala al-Khatib. 1995. Beirut. Dār al-Fikr.
6.
As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.
1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Beirut. Dār al-Fikr.
7. As-Syekh al-‘Allāmah Abi Bakr ibnu
Sayyid Muhammad Syatho. 2005. Hāsiyah I’anah ath-Thalibin.
Beirut. Dār al-Fikr.
8. As-Syekh Sayyid Muhammad
Abdullah al-Jardany. 1988. Fathu al-‘Allam bi Syarh Mursyid al-Anām.
Kairo. Dār as-Salām.
9.
Asy-Syekh Muhammad bin ‘Umar
bin ‘Ali Nawāwi al-Jāwi al-Banteni. Nihāh az-Zain fi Irsyād al-Mubtadi’īn.
Bandung. Syirkah al-Ma’ārif.
10.
Asy-Syekh Saīd bin Muhammad
Bā’isn. Buysrō al-Karīm bi Syarh masāil at-Ta’līm. Semarang. CV. Toha
Putra.
11. Asy-Syekh Zainuddīn bin Abdul Aziz
al-Malibariy. Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurroh al-‘Ain. Semarang. Maktabah
Usaha Keluarga.
12.
As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.
1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Beirut. Dār al-Fikr.
13. As-Syekh Abdurrahmān al-Jaziriy. al-Fiqh
‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Beirut. Dār Ihyā’ at-Turots al-‘Arabiy.
14.
As-Syekh al-Imām al-Qōdhi Abu
al-Walīd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Qurtubiy al-Andalusiy. 2003. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah
al-Muqtasid. Beirut. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
15.
As-Syekh Shihāb ad-Dīn Ahmad
bin Ahmad bin Salāmah al-Qolyūbiy. 2010. Hāsiyah al-Qolyubi.
Beirut. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
16.
As-Syekh ‘Ali Ahmad
al-Jurjāwi. 1997. Hikmah at-Tasyrī’ wa Falsafatuhu. Beirut. Dār al-Fikr.
17.
As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain
bin Sumaith. 2004. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Surabaya. Dār al-‘Ulūm
al-Islāmiyyah.
18.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhailiy. 1997. al-Fqh
al-Islāmiwa Adillatuhu. Beirut. Dār al-Fikr.
19. Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2010. Al-Qur’ān
dan Maknanya. Ciputat, Tangerang. Penerbit Lentera Hati.
20.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2012. Tafsir
Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Ciputat, Tangerang.
Penerbit Lentera Hati.
21.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2013. Wawasan
Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung. Penerbit
Mizan.
22.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2010. Membumikan
Al-Qur’an Jilid 2, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan. Ciputat, Tangerang.
Penerbit Lentera Hati.
23.
Karya Tulis Ilmiah Santriwati III
MTs Madrasah Putri Ghazaliyyah (MPG) 2012, Sarang Rembang Jawa Tengah. Editor &
Pelengkap Catatan Refrensi Oleh Penulis Makalah.
[1].Bagi Imam Abu Hanifah Al-Fiqh
Al-Akhbar merupakan istilah untuk ilmu kalam. Menurut persepsi beliau,
hukum Islam yang terkenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama,
fiqh al-akhbar, di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
istilah keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh
al-ashghar, di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
masalah mu’amalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabangnya. (baca: Ilmu
Kalam, Prof. Dr. H. Abdul Razak, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag.
Pustaka Setia Bandung )
[2]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 01, hal: 81-82.
[3]. Dalam buku yang berjudul “Wawasan
Al-Qur’an” Prof. Dr. M. Quraish Shihab menuliskan sebuah pemaparan yang sangat
menarik, sehingga sangat patut bila kami kutip dalam makalah ini. Beliau
menuturkan bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi
dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk kepada firman Allah
dalam surat Al-Dzāriyāt ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti “Aku
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lām
(li) pada li ya’budun dalam arti “agar” dalam bahasa Al-Qur’an, lām
tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti “kesudahannya”
atau “akibatnya”. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang
menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir’aun. “Maka
dipungutlah dia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan
kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah
orang-orang yang bersalah.”
Kalau
lām pada ayat di atas diterjemahkan “agar”, maka ayat tersebut akan
berarti, “Maka dipungutlah dia (Musa) oleh keluarga Fir’aun ‘agar’
dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”kalimat ini jelas tidak logis,
tetapi jika lām dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan
di atas akan berbunyi, “Maka dipungutlah dia (Musa) oleh keluarga Fir’aun,
dan kesudahannya adalah dia menjadi musuh bagi mereka”. [ baca: Wawasan
Al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2013. Hal: 731-732, juga baca Tafsir
Al-Misbah. Lentera Hati. Ciputat, Tangerang. 2012. Juz: 13, hal: 107-108 ]
[4]. Nama lengkapnya adalah Prof. Dr.
Muhammad Quraish Shihab, M.A. lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rappang,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.Pakar Tafsir ini meraih gelar
M.A. untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur’ān di Universitas Al-Azhar Kairo,
Mesir pada 1969. Pada 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu
Al-Qur’ān dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan Tingkat
Pertama di universitas yang sama. Pengabdiannya di bidang pendidikan
mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN)
pada 1992-1998. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat 1985-1998; anggota MPR-RI 1982-1987 dan 1987-2002; dan
menjadi Menteri Agama RI 1998. Beliau adalah seorang penulis produktif, sudah
banyak buku-buku yang dihasilkan buah tangannya dan yang paling fenomenal
adalah Tafsir Al-Misbah sebanyak 15 volume tebal-tebal.Saat ini aktifitas utama
beliau adalah Dosen (Guru Besar) Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’ān (PSQ) Jakarta.
[5]. Ibid.
[7].
Ibid. Hal: 12.
[8].
As-Syekh Sa’īd bin Muhammad Bā’isn. Busyro al-Karīm bi Syarh Masāil
at-Ta’līm. Toha Putra. Semarang. Juz: 1, hal: 14.
[9]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 88.
[10].
As-Syekh Abdurrahman al-Jaziriy.al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Dār Al-Fikr. Beirut. 1986. Juz: 1, hal: 1.
[11].
Ibid. Juz: 1, hal: 3.
[12].
Ibid. Juz: 1, hal: 4.
[13].
(قوله:
أوما فى معناهما أو على صورتهما) الذى فى معنى رفع الحدث التيمم ونحوه كوضوء صاحب
الضرورة لكونه يبيح اباحة مخصوصة باالنسبة لفرض ونفل. والذي فى معنى إزالة النجس
الإستنجاء بالحجر لكونه يبيح اباحة مخصوصة بالنسبة لصلاة فاعله. والذى على صورة
رفع الحدث الأغسال المندوبة والوضوء المجدد والغسلة الثانية والثالثة فى طهارة
الحدث. والذى على صورة إزالة النجس الغسلة الثانية والثالثة من غسلات النجاسة.
(الأنوار السانية. ص: 52)
[14].
Ibid.
[15].
Definisi semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab karangan ulama
Syafi’iyyah, semisal kitab Kifāyah al-Ahyār, Hāsiyah
as-Syarqāwi, al-Majmū’, Hāsiyah al-Qolyubiy, al-Anwār
as-Saniyyah, dll.Memang harus diakui bila terdapat beragam definisi tentang
thoharoh dalam tinjauan terminologinya. Namun dari keragaman definisi tersebut
pada intinya sama, perbedaan-perbedaan yang ada adalah disebabkan oleh
keragaman sudut pandang, kurang lebihnya ada tiga macam. Pertama,
thoharoh dipahami dari sudut pelaksanaannya atau pekerjaannya (al-fi’il).Kedua,
thoharoh dipahami dari sudut sifat yang ditimbulkan oleh pelaksanaannya atau
pekerjaannya tersebut.Ketiga, thoharoh dipahami dari kedua sudut pandang
itu. (baca: Hāsiyah al-Baijūri. Dār Al-Fikr. Beirut. 1994. Juz: 1, hal:
35)
(قوله:ففيها تفاسير كثيرة) –الى ان قال– والتفاسير بمعنى التعاريف
لكن بعضها باعتبار الفعل، وبعضها باعتبار الوصف المترتب على الفعل وهو المقصود
أصالة، فإطلاق الطهارة عليه حقيقة. وأما إطلاقها على الفعل فهو مجاز من إطلاق اسم
المسبب وهو الوصف المرتب على الفعل على السبب الذى هو الفعل. وبعضهم جعلها مشتركة
بين الفعل وما ينشأ عنه فتكون حقيقة فيهما. (حاشية البيجورى. ج 1/ ص 35)
[16].
Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 88.
[17].
Syekh al-Islām Zakariya al-Anshāri.Tahrir
Tanqīh al-Lubāb hamisy Hāsiyah as-Syarqāwi. 1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Dār
al-Fikr. Beirut. Juz: 01, hal: 63 - 64.
[18]. Pada umumnya mayoritas ulama menjadikan
hadats dalam dua pembagian, yaitu hadats kecil (asghar) dan hadats besar
(akbar). Namun, sebagian ulama lain membagi hadats menjadi tiga
bagian. Yaitu; pertama hadats asghar: yaitu setiap hadats yang
mengharuskan wudlu‟. Hadats ini bersemayam pada anggota wudlu yang berjumlah
empat yaitu wajah, kedua lengan tangan, rambut kepala, dan kedua kaki. Kedua hadats
mutawassith: hadats sebab melahirkan (wiladah), dan hadats junub,
baik dengan proses keluarnya air mani ataupun bersetubuh. Ketiga hadats
akbar: yaitu hadats sebab haidl dan nifas. Untuk hadats yang kedua dan
ketiga, kedua kategori hadats ini sama-sama bersemayam pada seluruh anggota
tubuh.Dan ada juga sebagian ulama yang membagi hadats menjadi empat macam
kategori.Pertama hadats asghar, hadats yang timbul sebab berakhirnya
masa mengusap sepatu (al-khuf).Kedua hadats soghīr, yaitu hadats
yang disebabkan oleh perkara-perkara yang membatalkan wudlu‟.Ketiga hadats
kabīr, yaitu hadats yang ditimbulkan oleh jinabat. Dan keempat hadats
akbar, yaitu hadats yang disebabkan oleh haidl dan nifas. [Fathu al-„Allām.
Juz: 01, hal: 354, dan Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172]
[19].
Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 89.
[20].
Ibid.
[22].
Ibid. Juz: 1, hal: 162-163.
[23].
Empat macam tingkatan thoharoh sebagaimana yang dituturkan oleh oleh Imam
al-Ghazali tersebut, juga dijelaskan oleh Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 2009. Juz: 1, hal: 62-63.
[24].
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati. Ciputat,
Tangerang. 2012. Juz: 5, hal: 251.
[25].
Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 90-92.
[26].
As-Syekh al-Imām al-Qōdhi Abu al-Walīd
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd
al-Qurtubiy al-Andalusiy. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid.Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. 2003.
Juz: 1, hal: 5.
[27].
Ibid. Juz: 1, hal: 6.
[28].
Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 207.
[29].
Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār
as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1, hal: 330.
[30].
As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah.
Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah. Surabaya. 2004. Hal: 118-119.
[31]. Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu
al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1,
hal: 275-278.
[32].
Ibid. Juz: 1, hal: 330.
[33].
Prof. Dr. Muhammad az-Zuhayli.al-Muktamad fi al-Fiqh as-Syafi'i. Dār
al-Qalam.Damaskus. 2007. Juz: 1, hal: 127-128.
[34]. As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin
Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah. Surabaya.
2004. Hal: 114.
[35].
Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār
as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1, hal: 330-336.
[36].
Prof. Dr. Abdul Azis Muhammad Azzam dan Prof Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Al-Wasīth
fi Fiqh al-‘Ibādāt. (edisi terjemah). AMZAH. Jakarta. 2010. Hal: 99.
[37].
Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 416-421.
[38]. As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin
Zain bin Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah.
Surabaya.2004. Hal: 172.
[39]. Ibid. Hal: 125
[40].
Prof. Dr. Muhammad az-Zuhayli.al-Muktamad fi al-Fiqh as-Syafi'i. Dār
al-Qalam.Damaskus. 2007. Juz: 01, hal: 43.
[41]. As-Syekh Sulaiman al Bujairamiy. Hāsiyah
Bujairami ‘ala al-Khatib. Dār al-Fikr.Beirut. 1995. Juz: 01, hal: 312.
[42]. As-Syekh Sulaiman al Bujairamiy. Hāsiyah
Bujairami ala al-Khatib.Dār al-Fikr. Beirut. 1995.Juz: 01, hal: 316.
[43]. Ibid. Juz: 01, hal: 316.
[44]. Ibid. Juz: 01, hal: 316-317.
[45]. Syarah Sulam at-Taufīq. Hal: 27.
[46]. As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.Hāsiyah
as-Syarqāwiy.Dār al-Fikr.Beirut.
1996. Juz: 01, hal: 131.
[48]. Ibid. Juz: 01, hal: 142.
[49]. As-Syekh Abi Bakr ibnu Sayyid
Muhammad Syatho.Hāsiyah I‟anah ath-Thalibin.Dār al-Fikr.Beirut. 2005. Juz: 01, hal: 106.
[50]. Fathu al-Mu’īn. Hal: 13.
[51]. As-Syekh Abi Bakr ibnu Sayyid
Muhammad Syatho.Hāsiyah I‟anah ath-Thalibin.Dār al-Fikr.Beirut. 2005. Juz: 01,
hal: 90.
[52]. As-Syekh Shihāb ad-Dīn Ahmad bin Ahmad
bin Salāmah al-Qolyūbiy. Hāsiyah al-Qolyubi.Dār al-Kutub
al-‗Ilmiyyah. Beirut. s2010. Juz:
01, hal: 81.
[53]. As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.Hāsiyah
as-Syarqāwiy.Dār al-Fikr
as-Syarqāwi. Beirut. 1996. Juz:
01, hal: 132.
[54]. Ibid. Juz: 01, hal: 144.
[55]. Asy-Syekh Zainuddīn bin Abdul
Aziz al-Malibariy. Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurroh al-‘Ain. Maktabah Usaha
Keluarga. Semarang. Semarang. Hal: 13.
[56]. Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi. Hikmah
At-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 2009. Juz: 1, hal: 59.
[57].
Ibid. Juz: 1, hal: 60.
[59].
Ibid.
[60].
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan
Al-Qur’an Jilid 2, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan. Lentera Hati.
Ciputat, Tangerang. 2010. Hal: 63-64.