Jumat, 14 Agustus 2015

Kajian Fiqih Islam




FIQIH THOHAROH
KAJIAN ANALITIS THOHAROH
DALAM PERSPEKTIF NORMATIF FILOSOFIS

Disusun Oleh :
ABDUL KHOLIQ IBNU TULABI El-QUDSIY
www.sidoelelqudsiy.blogspot.com





KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Segala puji bagi Allah Subhana wa Ta’ala, Dzat yang maha mengetahui dan yang memberikan petunjukpada hamba-hamba pilihan-Nya untuk mempelajari ilmu serta mentransmisikannya (ta'lim) kepada para thālib al-ilmi. Dzat yang menjadikan ilmu sebagai penyelamat dan keberuntungan besar di sisi-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan pada junjungan agung Nabi besar Muhammad Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada keluarga, para sahabat serta pengikut-pengikut mereka semua, amien
Makalah yang terhidangkan ini adalah sebuah ihtiyar yang kami lakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih I sekaligus sebagai bahan diskusi ilmiyah di kelas untuk mata kuliah Fiqih I tersebut. Kami sadar atas segala kekurangan serta keterbatasan kemampuan yang terdapat pada diri kami yang lemah. Namun, mengabaikan tugas adalah langkah yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, dengan segenap kemampuan yang ada, kami maksimalkan untuk melaksanakan tugas tersebut, dengan harapan semoga Allah memberikan pertolongan-Nya pada kami, serta kelapangan dan kemudahan dalam mengemban tugas amanah yang benar-benar mulia.
Adapun judul dari makalah ini adalah “Fiqih Thoharoh  Kajian Analitis Thoharoh Dalam Perspektif Normatif Filosofis” di dalamnya akan kami kupas tema thoharoh dari beberapa sisi-sisinya, diawali dengan kupasan tentang pengertian thoharoh normatif dan filosofis, hikmah thoharoh dalam ibadah, macam – macam thoharoh, serta bahasan-bahasan lain yang tak kurang nilai pentingnya. Harapan kami semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami serta bagi teman-teman di kelas, serta bagi siapapun yang berkenan meluangkan waktu untuk membacanya serta sudi memberikan komentar-komentar kritis ataupun koreksi, sebab makalah ini memang teramat jauh dari kata sempurna.
Dengan penuh kejujuran harus kami sampaikan, bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang nampak dalam makalah ini, baik dari sisi teknis penulisan maupun materinya. Bagi kami, kekurangan-kekurangan itu amat wajar, mengingat latarbelakang kami yang miskin pengalaman serta terbatas dalam kemampuan. Berbekal sedikit pengetahuan yang kami miliki, tinta pena pun kami goreskan untuk mengurainya. Dengan sebuah harapan, semoga makalah ini mengandung berkah dan manfaat, amien.  Akhirnya tegur sapa serta kritik yang membangun (konstruktif) sangat kami nantikan dari segenap pembaca yang budiman, sebagai umpan balik yang nantinya dapat kami jadikan sebagai modal untuk merevisi makalah ini, insya_Allah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Kudus, 12 Desember 2013

Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam berdiri atas beberapa pilar dasar yang terdiri dari keyakinan (al-i’tiqādāt), akhlaq (al-ādāb), ibadah (al-‘ibādāt), hubungan antara sesama manusia (al-mu’āmalāt), serta penegakan hukum (al-u’qūbāt), kesemuanya itu tercakup dalam tema besar al-fiqh al-akhbār[1]. Berhubung tema kajian kita adalah fiqih yang berkaitan dengan hukum syara’ lebih khususnya thoharoh, maka makalah kami akan lebih fokus mengupas sisi yang terakhir ini, yakni thoharoh dalam perspektif normatif dan filosofis.
Dalam tataran praktik, thoharoh memiliki posisi yang amat vital dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari. Sebab thoharoh merupakan syarat sahnya berbagai jenis ibadah, misalnya ibadah sholat, i’tikaf, ibadah haji. Kendatipun ada juga ibadah-ibadah yang sah dilaksanakan walau tidak dalam kondisi suci (toharoh). Dengan demikian, thoharoh merupakan sebagian dari ruanglingkup ibadah yang memiliki cakupan luas, sebab ibadah pada dasarnya terdiri dari lima unsur : sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Sedang mu’amalah juga ada lima yaitu : transaksi yang berkaitan dengan harta (al-mu’āwadhāt al-māliyah), pernikahan (al-munākahāt), persengketaan (al-mukhoshomāt), kepercayaan atau amanah (al-amānāt), serta harta tinggalan (at-tirkāt). Adapun sisi penegakan hukum (al-u’qūbāt) juga terdiri dari  lima hal, yaitu : hukuman bunuh (qishōs), hukum potong tangan (had sariqah), perzinahan (zinā), tuduhan zina (qodhaf), serta murtad (riddah) naudzu bi-Allah.[2]
Pada dasarnya ibadah adalah sebuah nama yang mencakup bagi setiap perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala serta diridhoi oleh-Nya, baik berupa ucapan, perbuatan atau sikap lahiriyah ataupun batiniyah. Jadi, yang dikehendaki dengan agama Allah adalah beribadah, kepatuhan serta tunduk kepada-Nya. Sebab beribadah kepada Allah adalah merupakan tujuan puncak dari berbagai aktifitas yang dicintai serta diridhoi-Nya, memang manusia itu diciptakan oleh Allah agar beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإنْسَ إِلّا لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات: 56)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzāriyāt : 56)”
Huruf (ل) lām pada kata (ليَعْبُدُوْن) li yā’budūn dalam ayat di atas bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lām pada kata tersebut dinamai oleh pakar-pakar bahasa sebagai lām al-āqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.[3]
Lebih jauh lagi, ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Begitu lebih kurang tulis Syaikh Muhammad ‘Abduh sebagaimana dikutip oleh Prof. M. Quraish Shihab[4] dalam magnum opusnya yang berjudul Tafsir Al-Mishbah.
Selajutnya Profesor yang pakar di bidang tafsir ini menuturkan, Ibadah terdiri dari ibadah murni (maĥdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu maĥdhah). Ibadah maĥdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar, dan waktunya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Ibadah ghairu maĥdhahadalah segala aktifitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hubungan seks pun dapat dapat menjadi ibadah jika dilakukan sesuai tuntutan agama. Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar segala aktifitas manusia dilakukannya demi karena Allah, yakni sesuai dan sejalan dengan tuntunan-Nya.[5]
Di atas terbaca bahwa ibadah dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla. Jauh sebelum Prof. Dr. M. Quraish Shihab, ulama dari generasi terdahulu bernama Syekh ‘Izzuddīn bin Abdi As-Salām dalam kitab “Maqāsid al-‘Ibādāt” memaparkan bahwa kesemuanya ibadah adalah dimaksudkan dalam rangka mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah ‘Azzā wa Jalla. Kedekatan yang dikehendaki disini adalah kedekatan dari sifat Kemahamurahan (al-jūd) Allah serta sifat Ihsannya-Nya, yang mana kedua sifat ini dikhususkan bagi para hamba yang beriman. Juga agar supaya Allah menempatkan hamba-Nya yang berusaha mendekat itu ditempatkan pada posisi seorang hamba yang benar-benar mendekat sebab diliputi rasa patuh dan pengagungan, sikap tunduk serta sikap memuliakan-Nya. Bila kedekatan kepada Allah tidak diartikan semacam itu, maka mustahil seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dikarenakan sifat berdekatan dan berjauhan adalah merupakan sifat makhluq (al-ajsām), padahal mustahil bila Allah menyerupai makhluq­-Nya.[6]
Kedekatan Allah terhadap hamba-Nya memiliki dua makna :[7]
1.    Kedekatan dalam arti Allah Mahamengetahui, Mahamelihat serta cakupan kekuasaan Allah Yang Mahaluas terhadap makhluq-Nya, sebagaimana terbaca dalam firman Allah :
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا (المجادلة: 7)
tiadak ada sedikitpun pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempat mereka dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenam mereka. Dan tidak ada pembicaraan antara (jumlah) yang lebih kecil daripada itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (QS. Al-Mujādalah: 7)
2.    Kedekatan terhadap makhluq dengan sifat Kemahamurahan (al-jūd) serta sifat Ihsannya-Nya, sebagaimana terbaca dalam dalam beberapa ayat dibawah ini :
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (العلق: 19)
sujudlah dan dekatkanlah dirimu (secara sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (QS. Al-‘Alaq: 19)
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ (المطففين: 28)
(yaitu) mata air yang minum dari (sumber)-nya hanyalah hamba-hamba yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. Al-Muthaffifīn: 28)
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ.فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيم (الواقعة: 88، 89)
Adapun jika dia (yang mati itu) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla), maka (dia memperoleh) kenyamanan, dan rezeki serta surga kenikmatan .” (QS. Al-Wāqi’āh: 88-89)
Kedekatan dengan pemaknaan yang pertama itu mencakup seluruh makhluq dan alam semesta. Sedangkan kedekatan dengan pemaknaan yang kedua hanya tertentu bagi para hamba Allah yang beriman. Demikian lebih kurang pemaparan dari Syekh Izzuddīn bin Abdi As- Salām.
B. Rumusan Masalah                                 
Agar supaya pembahasan dalam makalah ini lebih fokus kepada substansi persoalan yang menjadi topiknya, maka pertanyaan-pertanyaan berikut ini diharapkan akan banyak membantu dalam mengurainya. Untuk itu kami rumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana konsep thoharoh dalam perspektif fiqih ibadah (normatif), dan juga aspek filosofisnya ?
2.    Bagaimana hikmah tasyri’ dari thoharoh ?
3.    Bagaimana pendapat para ulama madzhab tentang thoharoh ?



BAB II
THOHAROH
A. Definisi Thoharoh Aspek Normatif dan Filosofis
Dalam literatur-literatur (turots) fiqih, dapat kita saksikan para ulama fiqih (fuqohā’) mendahulukan topik kajian thoharoh. Penempatan itu bukan tanpa alasan, tetapi memang ada motif khusus yang melatarbelakanginya. Yakni sebuah riwayat  yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw. riwayat ini mejelaskan bahwa beliau bersabda: “kunci pembuka ibadah sholat adalah suci/bersih”. (HR. At-Turmūdzi dan Abi Dāwud).Di samping itu pula, thoharoh merupakan syarat sholat, maka dengan pertimbangan itulah kajian thoharoh seyogyanya bila dibahas lebih dulu dalam kitab-kitab fiqih.[8] Thoharoh dalam pengertian bahasa (etimologi) bermakna bersih (an-nadhōfah) serta lepas atau bebas dari berbagai macam kotoran, baik kotoran berupa materi yang dapat diindra  (hissiyyah) sebagaimana najisnya air kencing dll. ataupun kotoran-kotoran yang abstrak, tidak terlihat (maknawi) sebagaimana aib serta kemaksiyatan.[9]
Sedangkan dalam pengertian istilah syara’ (terminologi) ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi thoharoh :
1.     Madzhab Hanafi.[10]
اَلحْنَفِيّة قالُوا: الطَّهارَةُ شَرْعاً النظافَةُ عنْ حَدَثٍ أو خَبَثٍ.
Ulama Madzhab Hanafi berpendapat: thoharoh dalam terminologi syara’ adalah “kebersihan dari hadats atau kotoran (khobats)”. Kata “kebersihan/an-nadhōfah” mencakup kebersihan yang memang disengaja dilakukan oleh seseorang, atau menjadi bersih dengan sendirinya. Sebagaimana bila tempat yang terkena najis tiba-tiba terkena aliran air. Kata “dari hadats/’an hadats” mencakup hadats kecil, yakni hadats yang merusak wudhu, sebagaimana bila seseorang mengeluarkan kentut dll., juga mencakup hadats besar, yaitu hadats jinabat yang mewajib mandi.
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan al-hadats dengan pengertian sifat syar’i yang melekat pada sebagian anggota tubuh, atau seluruh tubuh yang menghilangkan status suci. Hadats juga dinamakan najis hukmiyyah, dengan pengertian syara’ menetapkan hukum bahwa hadats merupakan najis yang mencegah sahnya sholat, sebagaimana najis yang dapat diindra (najis hissiyyah) juga mencegah sahnya sholat. Adapun khobats dalam pengertian syara’ adalah benda yang menjijikkan yang diperintahkan oleh syara’ agar supaya disucikan.
2.     Madzhab Maliki.[11]
المالكية قالوا: الطَّهارَة صِفَةٌ حُكميَّةٌ توجِبُ لموصُوفِها اسْتِبَاحَةُ الصَّلاةِ بثَوبِه الَّذِي يَحمِلُه، وفِي المَكَان الَّذي يُصَلِّي فِيهِ.
Ulama Madzhab Maliki berpendapat: thoharoh adalah merupakan sifat hukmiyyah yang memberikan ketetapan bagi orang yang menyandang predikat sifat ini diperbolehkan baginya bila melaksanakan sholat bersamaan dengan pakaian yang ia kenakan, serta lokasi yang ia tempati.
Kata “sifat” memberi pengertian bahwa thoharoh merupakan sebuah penilaian atau sifat yang abstrak yang telah ditetapkan oleh syara’ sebagai syarat sahnya sholat dll. Sifat ini (yakni thoharoh) bila melekat pada sebuah tempat yang hendak dijadikan lokasi sholat, maka diperboleh sholat di tempat itu. Dan bila melekat pada sebuah pakaian yang dikenakan oleh seseorang, maka diperbolehkan bila ia kenakan sewaktu sholat. Betapapun, thoharoh merupakan perkara yang bersifat abstrak (maknawi), berupa penilaian atau perkiraan (taqdīriy), dan bukan berupa perkara yang dapat diindra atau disaksikan dengan matakepala.
3.     Madzhab Syafi’i.[12]
الشَّافعِيّة قَالوا: تُطْلَق الطَّهَارَةُ شَرْعًا عَلَى مَعْنَيَيْنِ: أَحَدَهُمَا فِعْلُ شَيءٍ تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلاةُ مِنْ وُضُوءٍ وَغُسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَة نَجَاسَةٍ، أَوْ فِعْلُ مَا فِي مَعْنَاهُمَا، وَعَلىَ صُوْرَتِهِمَا[13]، كالتَّيمُّمِ وَالأغْسَالِ الْمَسْنُونَة وَالْوُضُوءِ عَلَى الْوُضُوء، وَمَعْنَى هَذَا أَنَّ وَضْعَ الْمَاءِ عَلَى الْوَجْهِ وَسَائرِ الْأَعْضَاءِ بِنِيَّةِ الوُضُوء يُقالُ لَهُ: طَهَارَةٌ، فَالطَّهارَةُ اِسْمٌ لفِعْلِ الفَاعِلِ، -إلى ان قال- ثانيهما: أنها اِرْتِفَاعُ الْحَدَثِ، أَوْ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُمَا، وَعَلىَ صُوْرَتهِمَا، كَالتَّيمُّم وَالأَغْسَالِ الْمَسْنُونة الخ، فالطَّهارَةُ هيَ الْوَصْفُ الْمَعْنَوي اَلْمُتَرَتِّبُ عَلىَ الْفِعْلِ، فَالْحَدَثُ يَرْتَفِعُ بِالْوُضُوءِ أَوِ الْغُسْلِ إِنْ كَانَ أَكْبَر، وَالاِرْتِفَاعُ مَبْنِيٌّ عَلَى فِعْلِ الفَاعِلِ، وَهُوَ الْمُتوَضِّئُ أَوِ الْمُغْتَسِلُ، وَالنَّجاسَةُ تَزُولُ بِغَسْلِهَا.
Ulama Madzhab Syafi’i berpendapat: dalam teminologi syara’ thoharoh memiliki dua pengertian.
Pertama; melakukan suatu hal yang dapat memperbolehkan pelaksanaan sholat, berupa wudhu, mandi, tayammum, menghilangkan najis, atau melakukan suatu hal yang kedudukan dan bentuknya serupa dengan menghilangkan hadats atau najis, sebagaimana tayammum, mandi-mandi sunnah, dan mengulang wudlu. Definisi ini memberikan sebuah pengertian bahwa membasuhkan air ke wajah serta anggota tubuh lainnya dengan niyat wudhu merupakan wujud dari thoharoh. Bila demikian, maka thoharoh adalah nama bagi sebuah pelaksanaan/pekerjaan (fi’il) itu. Kata “au mā fi ma’nā humā/atau suatu hal yang kedudukannyaserupa dengan menghilangkan hadats atau najis” contohnya adalah memperbarui wudhu dan mandi-mandi sunnah. Maksudnya memperbarui wudhu dan mandi-mandi sunnah sudah tercakup dalam terminologi syar’iy thoharoh. Kendatipun demikian, keduanya tidak memiliki konsekuensi membolehkan pelaksanaan sholat. Sebab melaksanakan sholat sudah diperbolehkan dengan adanya wudhu yang pertama, tanpa harus melakukan mandi sunnah lebih dulu (ataupun mengulangi wudhu). Di samping pula, yang mencegah sahnya sholat adalah jinabat, dan mandi untuk menghilangkan hadats jinabat hukumnya adalah wajib, bukan malah mandi yang disunnahkan. Dari sudut pandang itulah, memperbarui wudhu dan mandi-mandi sunnah perlu diakomodir ke dalam definisi thoharoh, sehingga tidak teranulir dari cakupan definisinya hal-hal yang mestinya terakomodasi.
Kedua; thoharoh adalah terangkatnya hadats atau hilangnya najis, atau suatu hal yang kedudukan dan bentuknya serupa dengan terangkatnya hadats atau hilangnya najis, sebagaimana tayammum dan mandi-mandi yang disunnahkan. Berdasarkan pengertian yang kedua ini, thoharoh adalah sifat yang abstrak (maknawi) yang ditimbulkan oleh sebuah pelaksanaan/pekerjaan (fi’il). Jadi, hadats dapat terangkat/hilang denggan adanya wudhu, atau dengan adanya mandi bila hadatsnya besar. Dan terangkat/hilangnya hadats tersebut berdasarkan atas pekerjaan seorang pelaku (fā’il), yaitu orang yang melakukan wudhu (al-mutawaddhī’), atau orang yang mandi (al-mughtasil). Dan najis dapat dihilangkan dengan cara dibasuh.   
4.     Madzhab Hambali.[14]
الحنَابِلَة قَالُوا: الطَّهَارَةُ في الشَّرْعِ هِي ارْتِفَاعُ الْحَدَثِ وَمَا فِي مَعْنَاه، وَزَوَالُ النَّجَس، أَو ارْتِفَاعُ حُكْمِ ذَلِكَ.
Ulama Madzhab Hambali bependapat: thoharoh dalam terminologi syara’ adalah terangkatnya hadats atau suatu hal yang semakna dengan terangkatnya hadats, dan hilangnya najis, atau terangkatnya hukum kenajisan. Kata “irtifā’ al-hadats/terangkatnya hadats” maksudnya adalah hilangnya sifat yang mencegah sahnya  sholat dll., sebab hadats merupakan sifat yang abstrak (hukmiyyah) yang bersemayam pada seluruh tubuh, atau pada sebagian anggota tubuh. Jadi thoharoh dari hadats maksudnya adalah terangkatnya sifat yang abstrak itu.
Kata “au mā fī ma’nāhu” maksudnya adalah suatu hal yang semakna dengan terangkatnya hadats, sebagaimana terangkatnya hadats pada prosesi memandikan mayit, sebab memandikan mayit diwajibkan pada dasarnya bukan lantaran hadats kematian, tetapi merupakan bentuk penghambaan kepada Allah semata (ta’abbudiy). Jadi memandikan mayit tidak dimaksudkan untuk mengangkat hadatsnya. Sebagaimana lagi dalam praktik memperbaruhi wudhu dan mandi-mandi yang disunnahkan. Wudhu yang diperbaharui dan mandi sunnah, keduanya itu memunyai kedudukan yang sama dengan wudhu dan mandi yang dapat mengangkat hadats. Akan tetapi, wudhu yang diperbaharui dan mandi sunnah keduanya sama sekali tidak mengangkat hadats. Kata “zawāl an-najis” yakni hilangnya najis, baik hilangnya itu sebab disengaja oleh seseorang sebagaimana ada orang yang berinisiatif menyiram tempat yang terdapat najisnya. Atau najis tersebut hilang dengan sendirinya. Dan sebagaimana lagi khomer yang berubah menjadi air cuka. Kata “au irtifā’ hukmu dzālik” maksudnya adalah hilangnya hukum sebuah hadats atau yang suatu hal yang kedudukannya sama dengan hilangnya hukum sebuah hadats, hilangnya hukum kenajisan. Sebagaimana menggunakan debu tayammum, baik untuk menghilangkan hadats ataupun khobats. Dengan melaksanakan tayammum, hukumnya hadats dan khobats dapat dihilangkan. Adapun yang dimaksud dengan hukum tersebut adalah ketercegahan dari melaksanakan sholat.
Sebagaimana terbaca dalam pengertian istilah thoharoh yang didefinisikan oleh ulama madzhab syafi’i di atas, yaknis menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, atau aktifitas yang makna dan bentuk praktiknya serupa dengan menghilangkan hadats dan najis.[15] Definisi semacam ini dimaksudkan agar supaya cakupan thoharoh lebih luas, sehingga memasukkan tayammum, mandi-mandi sunnah, memperbarui wudhu’ (tajdīd al-wudhū’), basuhan kedua dan ketiga dalam proses menghilangkan hadats dan najis, mengusap telinga pada waktu wudhu’, berkumur, dan thoharohnya wanita yang sedang istihādhoh serta orang orang yang mengalami wasir kencing (tsalis al-baul).[16]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa thoharoh dimaksudkan untuk mengangkat/menghilangkan kotoran, baik kotoran dengan kategori ‘hissiyyah yaitu khobats, maupun kotoran yang berkategori maknawiyyah yakni hadats, yang meliputi macam-macamnya hadats.Khobast pada dasarnya adalah benda materi (‘ain) yang dinilai syara’ menjijikkan, sedangkan hadats dipandang dari makna etimologinya adalah sesuatu yang baru (as-syai’u al-hāditsu), seorang pemuda yang baru dalam proses pertumbuhan dinamakan “hadatsun”. Sedangkan makna terminologi atau istilah syara’nya adalah :[17]
a.    Beberapa penyebab dari berakhirnya kondisi suci seseorang. Sebagaimana keluarnya kotoran dari salah satu kemaluan, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, hilangnya akal, menyentuh kemaluan, tidur, mengeluarkan seperma baik sewaktu terjaga atau dalam kondisi tidur (ihtilām).
b.    Sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara‘ dapat mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara‘ (rukhshoh). Sebagaimana kemurahan bagi orang yang tidak mendapati air dan debu (fāqid at-thohūrain), walaupun dalam keadaan hadats ibadah yang ia kerjakan tetap dinilai sah oleh syara‘.
c.    Ketercegahan atau keharamanuntuk melakukan ibadahyang ditimbulkan oleh dua hal di atas, yakni oleh beberapa sebab yang terkelompokkan pada poin pertama, serta sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara‘ dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana yang dijelaskan pada poin kedua.
Thoharoh dalam agama Islam memiliki posisi yang amat penting, baik thoharoh yang bersifat haqiqiyah yakni mensucikan baju, tubuh, tempat sholat dari najis, ataupun thoharoh hukmiyah yakni mensucikan anggota wudhu’ dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari hadats jinabat.[18] Posisi penting itu disebabkan thoharoh merupakan syarat sahnya ibadah sholat yang dijalankan dalam sehari semalam secara berulang-ulang yakni lima kali. Di samping pula sholat adalah merupakan ibadah menghadap kepada Allah, melaksanakannya dengan kondisi suci (thoharoh) merupakan bentuk sikap pengagungan Allah. Hadats dan jinabat kendatipun bukan termasuk kategori najis yang dapat dilihat, keduanya adalah najis yang abstrak (maknawi) yang menyebabkan tempat bersemayamnya dinilai menjijikkan. Jadi keberadaannya dianggap merusak sikap pengagungan Allah, juga manafikan karakter bersih yang termanifestasikan dengan rutinitas mandi secara berulang-ulang. Dengan demikian, thoharoh merupakan sarana penyucian rohani dan jasmani sekaligus.[19]
Perhatian Islam dengan menata setiap individu muslim agar senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan dari dua sisinya, material (mādiyah) dan spiritual (maknawiyah), adalah merupakan bukti konkrit dan sempurna atas harapan kuat akan terwujudnya kesucian dan kebersihan, membentuk bangunan jasmani dalam fondasi yang kokoh, bentuk yang memesona, serta penyangga yang kuat. Juga sebagai bentuk protektif terhadap lingkungan dan masyarakat dari tersebarnya penyakit, kelemahan dan kekeroposan. Oleh karena membersihkan anggota tubuh yang terkena debu dan bakteri dengan cara mandi setiap hari, juga pada waktu-waktu tertentu secara berulang-ulang setiap kali mengalami jinabat, adalah merupakan jaminan perlindungan bagi setiap insan dari bebagai macam kontaminasi. Telah terbukti dalam dunia kedokteran bahwa langkah yang paling efektif sebagai perlindungan dari berbagai macam wabah penyakit adalah menjaga kebersihan. Sebuah adagium menyatakan “pencegahan (preventif) adalah lebih baik daripada pengobatan” (al-wiqāyah khoirun min al-‘ilāj).[20]
Dalam al-Qur’an disebutkan  :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri”. (QS. al-Baqarah: 222)
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة: 108)
Di dalamnya ada orang-orang yang senang menyucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang menyucikan diri”. (QS. at-Taubah: 108)
Dalam hadits-hadits Nabi disebutkan pula :
تَنَظَّفُوْا فَإِنَّ الإِسْلامَ نَظِيْفٌ (رواه ابن حبّان)
jagalah kebersihan sebab Islam adalah agama yang bersih”. (HR. Ibnu Hibbān)
مِفْتَاحُ الصَّلاةِ اَلطُّهُورُ (رواه الترمذي وأبي داود)
kunci pembuka ibadah sholat adalah suci/bersih”. (HR. At-Turmūdzi dan Abi Dāwud)
الَطُّهُورُ نِصْفُ الإِيْمَانِ (رواه الترمذي)
kebersihan adalah sebagian dari iman”. (HR. At-Turmūdzi)
Dalam memahami ayat-ayat dan juga hadits-hadits di atas, para ulama ahli makrifat (dzawu al-bashōir)sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazaliberkesimpulan, bahwa yang terpenting sebenarnya adalah membersihkan hati (tathhīr as-sarāir), karena amat jauh sekali (dari kebenaran) bila yang dikehendaki dari hadits Nabi “kebersihan adalah sebagian dari iman” hanyalah aktifitas lahiriyah belaka dengan cara membersihkan anggota tubuh dengan air, dan pada saat yang sama hatinya dibiarkan penuh dengan berbagai macam kotoran yang menjijikkan, bagaimana mungkin hal yang demikian ....!!![21]
Thoharoh dalam pandangan Imam al-Ghazali memunyai empat macam tinggkatan[22] :
1.    Tingkatan pertama, membersihkan anggota tubuh lahiriyah dari berbagai hadats dan kotoran-kotoran najis.
2.    Tingkatan kedua, membersihkan anggota tubuh dari berbagai macam dosa.
3.    Tingkatan ketiga, membersihkan hati dari akhlaq-akhlaq yang tercela, serta sifat-sifat yang tidak terpuji.
4.    Tingkatan keempat, membersihkan hati dari selain Allah. Thoharoh ini adalah tingkatannya para Nabi dan para kekasih Allah (as-siddīqīn).[23]
Ayat 108 dari surat at-Taubah di atas menyebutkan “Di dalamnya ada orang-orang yang senang menyucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang menyucikan diri”, diturunkan oleh Allah dalam rangka memuji jama’ah masjid Qubā’. Diriwayatkan oleh Abū Daūd bahwa Nabi saw. bertanya kepada mereka bahwa Allah memuji kalian menyangkut  thohāroh/penyucian. Apakah yang kalian lakukan? Mereka menjawab: “kami mencuci bekas buang air besar dan kecil dengan air.”
Mayoritas pakar tafsir memahami firman-Nya pada ayat ini “Dan Allah menyukai orang-orang menyucikan diri” dalam arti menyucikan diri dari segala kekotoran dan najis. Ar-Rāzisebagaimana dituturkan Prof. Dr. M. Quraish Shihabmemahaminya dalam arti kesucian dari dosa dan pelanggaran. Hal ini, menurutnya, karena hanya kebersihan diri dari dosa yang dapat mengantar menuju kedekatan diri kepada Allah swt. Di sisi lain, Allah mengecam pembangunan masjid Dhirār karena mereka bermaksud buruk terhadap umat Islam, berusaha memecah-belah mereka serta karena mereka menyandang kekufuran. Nah, tentu saja lawan dari sifat-sifat itulah yang disandang oleh pembangun masjid Qubā’. Lawan sifat-sifat itu adalah kesucian batin. Di samping itu, kebersihan lahiriah baru terpuji di sisi Allah jika ia disertai oleh kebersihan dan kesucian jiwa. Demikian lebih kurang ar-Rāzi.[24]
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menambahkan, sebaiknya kata “yang menyucikan diri” dipahami dalam kedua arti di atas, yakni kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir perlu ditekankan bukan saja karena sekian banyak riwayat yang mengaitkannya dengan ayat ini, tetapi juga karena perlunya meningkatkan perhatian kaum muslimin menyangkut kebersihan lahiriah, terutama di masjid-masjid dan bagi jamaahnya.
B. Syarat Wajib Thoharoh
Bila seseorang hendak malakukan sholat, sedangkan tubuh, pakaian, dan tempat yang akan dijadikan lokasi sholat terkena najis, maka harus disucikan terlebih dulu. Ketentuan ini berdasarkan atas firman Allah di dalam al-Qur’an :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (المدثر: 4)
Dan pakainmu, maka bersihkanlah”. (QS. al-Muddatstsir: 4)
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (البقرة: 125)
Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, dan yang i’tikaf, serta yang rukuk, serta yang sujud”. (QS. al-Baqarah: 125)
Kedua ayat di atas menjelaskan kewajiaban untuk mensucikan pakaian dan tempat, adapun kewajiban mensucikan tubuh adalah di qiyaskan pada kedua ketentuan itu, bahkan termasuk kategori qiyas aulawi, sebab dimanapun tempatnya serta kapanpun waktunya yang namanya tubuh senantiasa menyertai orang yang hendak melaksanakan sholat, karena memang tubuh tersebut adalah dirinya sendiri. Maka dari itu, tubuh wajib disucikan terlebih dulu bila hendak melakukan sholat. 
Pada bagian ini kita akan mengkaji tentang syarat-syarat thoharoh. syarat sendiri bila ditinjau dari segi bahasa memiliki makna tanda (‘alāmat). Sedangkan bila dipahami dari segi makna istilah, maka syarat bermakna suatu perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu ibadah dan bukan termasuk (berada di luar) dari hakikat ibadah itu sendiri. Bagi orang yang diwajibkan menjalankan sholat, maka wajib pula baginya untuk bersesuci (thoharoh). Ketentuan wajib ini menjadi ketetapan bila terpenuhi beberapa persyaratan yang berjumlah sepuluh macam[25] :
1.      Islam, pendapat lain mengatakan: “setelah sampainya dakwah Islam”. Bagi pendapat pertama, orang kafir tidak berkewajiban melakukan thoharoh. Sedang menurut pendapat kedua, orang kafir sama-sama terkena perintahsebagaimana orang-orang yang berimanuntuk melakukan thoharoh. Pangkal perbedaan ini berlatarbelakang dari kaidah ilmu ushul yang cukup populer, yaitu: “apakah orang-orang kafir terkena perintah menjalankan syari’at Islam?”. Menurut mayoritas ulama, orang-orang kafir terkena perintah menjalankan syari’at Islam. Dalam arti mereka akan disiksakelak diakhiratsebab meninggalkan kewajiban itu, di sampingpula mereka juga terkena siksaan sebab tidak beriman kepada Allah. Dengan demikian, mereka memperoleh dua siksaan sekaligus, siksa sebab tidak beriman kepada Allah dan siksa sebab tidak menjalankan syari’at Islam. Adapun bagi kalangan ulama madzhab hanafiyyah, orang-orang kafir tidak terkena perintah menjalankan syari’at Islam. Berdasarkan pendapat ini, mereka hanya akan menerima satu siksaan, yakni siksa sebab tidak beriman kepada Allah. Jadi, perbedan di antara ulama madzhab tersebut terletak pada siksaan yang akan diterima orang-orang kafir kelak di akhirat.
2.      Berakal. Orang gila dan orang pingsan tidak berkewajiban melakukan thoharoh, terkecuali bila keduanya sudah sadar kembali (kembali normal). Adapun bagi orang gila, thoharoh masih wajib baginya.
3.      Baligh.
4.      Terputusnya (berakhirnya) darah haidh dan nifas.
5.      Sudah masuk waktu.
6.      Tidak dalam kondisi tidur.
7.      Tidak dalam kondisi lupa.
8.      Tidak ada paksaan (orang yang ketiduran, dan orang dalam kondisi lupa, serta orang yang dalam kondisi dipaksa, maka wajib bagi mereka untuk mengqodlo’ sholat-sholat yang sempat tertinggal).
9.      Adanya air, atau debu yang suci. Bila tidak menjumpai keduanya, maka sholat dikerjakan untuk menghormati waktu (sholat li hurmah al-waqti), setelah itu wajib mengqodlo’.
10.   Mampu untuk melakukan thoharoh sesuai dengan kemampuan.
Demikian macam-macam syarat wajib thoharoh yang dapat kami uraikan dalam makalah ini. Keterangan ini kami kutip dari sumber ensiklopedi fiqih dengan judul “al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu” karya seorang pakar fiqih sekaligus tafsir dari negara Syiria yaitu Prof. Dr. Wahbah az-Zuhailiy.
C. Macam – Macam Bentuk Thoharoh
Dalam kitab “Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid” Imam Ibnu Rusyd menuliskan bahwa umat Islam telah mencapai kata sepakat bila thoharoh dalam syari’at Islam ada dua macam, yaitu thoharoh/bersesuci dari hadats dan thoharoh/bersesuci dari khobast. Mereka juga sepakat bahwa bersesuci untuk menghilangkan hadats ada tiga cara, yaitu dengan berwudhu, mandi, dan pengganti dari keduanya yakni tayammum. Ketentuan initulis beliau sebagaimana terkandung dalam penjelasan ayat al-Qur’ān yang  membahas wudhu.[26]
Pada dasarnya thoharoh itu tidak hanya dimaksudkan untuk mensucikan hadats saja, namun disamping mensucikan hadats juga mensucikan najis (khobats). Dengan demikian, macam-macam thoharoh ada empat macam. Yaitu, wudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis (izālah an-najs). Untuk itu, baiklah kita bahas secara berurutan satu-persatu secara garis besar (global) :
1.  Wudhu.[27]
Wudhu dalam pengertian bahasa adalah nama bagi sebuah pekerjaan, yakni  menggunakan air dalam anggota-anggota tertentu. Kata wudhu terambil dari kalimat “al-wadhā’ah” yang berarti bagus dan bersih. Adapun makna istilah dari wudhu adalah menggunakan air suci pada anggota tubuh yang berjumlah empat, yaitu wajah, kedua tangan, kedua kaki, dan sebagian   rambut kepala, dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh syara’. Untuk kalipertamanya, wudhu difardhukan di kota Madinah. Kewajiban wudhu dengan membasuh anggota empat itu mengandung hikmah yang agung, yakni keempat anggota tubuh itu seringkali terkena kotoran dan debu.[28]
Dalil yang mewajibkan wudhu ada tiga, yaitu; ayat al-Qur’ān, Sunnah, dan Ijma.
a)   Ayat al-Qur’ān
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة: 6)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. al-Māidah: 6)
b)  Sunnah
لايَقْبَلُ الله صَلاةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ، وَلاصَدَقةً مِنْ غُلُولٍ (رواه مسلم والترمذى وابن ماجه)
Allah tidak akan menerima sholat (yang dikerjakan) dengan tanpa suci juga tidak menerima shodaqoh dari hasil khianat.” (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
لايَقْبَلُ الله صَلاةَ مَنْ أحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّئَ (رواه البخاري)
Allah tidak akan menerima sholatnya orang yang hadats sehingga ia mengambil wudhu.” (HR. Bukhori)
c)   Ijma’
Adapun dalil Ijma’, sama sekali tidak diperoleh keterangan dari umat Islam yang menentang prihal diwajibkannya wudhu. Andaikan ada pendapat yang demikian, niscaya informasinya akan sampai pada kita. Sebab keberadaan wudhu bagi umat Islam bukanlah hal yang samar. Dan kenyataan memberikan jawaban, bahwa pertentangan pendapat diantara umat Islam dalam hal diwajibkannya berwudhu, sama sekali tidak ada.
2.  Mandi.
Pengertian Mandi
Mandi dalam bahasa Arab adalah al-ghuslu. Sedangkan al-ghuslu adalah kata benda (isim) dari al-ightisaal yang bermakana: mengalirnya air terhadap suatu perkara secara mutlak, baik pada tubuh atau lainnya, dan dengan disertai adanya niyat atau pun tidak. Disamping itu, juga berarti nama bagi air yang dipergunakan untuk mandi. Sedangkan al-ghuslu (mandi) dalam istilah syara‘ maknanya adalah: mengalirnya air keseluruh tubuh dengan disertai niyat.[29] Atau meratakan air ke seluruh tubuh disertai dengan niat tertentu.
Rukun - Rukun Mandi
Bila dipandang dari segi makna istilah, rukun atau fardlu bermakna suatu perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu ibadah dan termasuk dari hakikat ibadah itu sendiri. Adapun rukun atau fardlu-nya mandi ada dua:
1)   Pertama niyat di saat pertama kali membasuh anggota tubuh.
Dikarenakan seluruh anggota tubuh dalam urusan mandi besar dihukumi sebagai satu anggota (tidak seperti dalam bab wudlu), maka dalam mandi tidak diwajibkan untuk tertib dalam pembasuhan. Sehingga saat memulai pembasuhan, membasuh anggota tubuh manapun dan disertai dengan niyat adalah mencukupi. Niyat dalam tinjauan makna bahasa adalah bermaksud, atau menghendaki (al-qashdu). Sedang dalam pengertian istilah syara‘ adalah menghendaki sesuatu yang disertai dengan pelaksanaannya. Tempat niyat adalah dalam hati, dan tidak diwajibkan untuk dilafadz-kan, tetapi sunnah bila dilafadz-kan. Sedangkan contoh-contoh niyat adalah sebagai berikut. Bagi orang junub maka berniyat menghilangkan hadats jinabat. Bagi wanita haidl berniat menghilangkan hadats haidl, dan bagi wanita yang nifas adalah niyat menghilangkan hadats nifas, atau dengan semisal niyat menghilangkan hadats besar, niyat mandi fardlu (fard al-ghusl). Disamping itu, sah dengan niyat mandi menghilangkan hadats secara mutlak.
2)   Kedua adalah meratakan air keseluruh anggota tubuh.
Oleh karena itu, bagian tubuh yang agak tesembunyi dan dikawatirkan tidak terkena siraman air mandi harus benar-benar diperhatikan, sebagaimana ketiak, kerut-kerutan perut, kedua daun telinga, dan sisi-sisi tubuh yang berada di antara paha dan pantat.[30]
Syarat - Syarat Mandi
Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mandi besar adalah sama dengan syarat-syarat yang diberlakukan bagi wudlu‘. Syarat sendiri bila ditinjau dari segi bahasa memiliki makna tanda (‘alāmat). Sedangkan bila dipandang dari segi makna istilah, maka syarat bermakna suatu perkara yang menjadi faktor penunjang syahnya suatu ibadah dan bukan termasuk (berada di luar) dari hakikat ibadah itu sendiri. Jumlah syarat ini ada enam, berikut perinciannya:
1)   Islam.
Orang kafir tidak sah mandinya, dikarenakan mandi adalah ibadah bagi anggota tubuh (badaniyah), sedangkan orang kafir bukan termasuk ahli ibadah tersebut.
2)   Tamyiz.
3)   Air yang suci lagi mensucikan.
Tidak sah mandi dengan menggunakan selain air. Juga tidak sah mandi dengan menggunakan air yang tidak suci mensucikan, sebagaimana air najis, air musta‘mal, air yang berubah sifat-sifatnya sehingga menghilangkan karakter suci mensucikannya.
4)   Tidak adanya penghalang (ĥāil) yang menempel pada anggota tubuh.
Penghalang yang terdapat pada anggota tubuh menyebabkan tidak sahnya mandi, sebab telah menghalangi sampainya air mandi pada anggota tubuh yang terhalangi olehnya. Sebagaimana minyak yang mengeras dan menempel pada tubuh. Berbeda minyak yang cairmeskipun minyak yang cair menyebabkan air mandi tidak bisa menetap pada anggota tubuhsebab minyak yang cair tidak dinilai mencegah tersampaikannya air mandi pada anggota tubuh.
5)   Tidak adanya perkara yang menghalangi (munāfi) sahnya mandi, sebagaimana haid, dan nifas. Jika seseorang sedang dalam kondisi haid dan nifas, maka mandinya tidak sah. Lain halnya wanita yang sedang istihadhoh, darah yang keluar dari kemaluannya tidak dapat menjadi penghalang sahnya mandi.
6)   Mengetahui tatacara mandi. Yakni mengetahui tentang kriteria-kriterianya, dapat membedakan antara mandi wajib dan mandi sunnat.[31]

Dalil Disyari’atkannya Mandi .
1)   Ayat-ayat al-Qur‘an.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا  (المائدة: 6)
... dan jika kamu junub Maka mandilah .... (QS. al-Māidah: 6)
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا (النساء: 43)
... (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi .... (QS. an-Nisā‘: 43)
Ayat ke-6 dari surat al-Māidah di atas menggunakan redaksi perintah (amar), sedangkan perintah (amar) sendiri dalam disiplin Ushul Fiqh menunjukkan tuntutan yang mewajibkan. Jadi dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan hukum wajibnya mandi besar bagi orang junub (hadats besar). Sedangkan ayat ke-43 dari surat an-Nisā di atas menjelaskan larangan berdiam di masjid diri bagi orang yang junub sehingga dirinya mandi terlebih dulu.[32]
2)   Hadits Nabi.
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَها فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ». وفى رواية : «وَإنْ لَمْ يَنْزِلْ» وفى أخرى «ومس الخِتَانُ الخِتانَ» رواه الخمسة إلاّ الترمذي.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad, beliau bersabda: bila dia (suami) telah duduk diatas cabangnya istri yang berjumlah empat (yakni mensetubuhinya, jima’), lalu memberi tekanan padanya, maka telah wajib baginya mandi. Dalam riwayat lain disebutkan: meskipun tidak mengeluarkan air mani. Dan riwayat lain lagi menyatakan: antar khitan (kemaluan laki-laki) telah bertemu khitan (kemaluan perempuan). Diriwayatkan oleh lima perawi kecuali at-Turmudzi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «حَقٌّ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ، يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ».(رواه البخارى ومسلم)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulillah Shallahu alaihi wa Sallam bersabda: sudah menjadi haq (sepatutnya) bagi setiap muslim untuk melakukan mandi pada hari tertentu dalam setiap tujuh hari sekali (satu minggu),—yakni mandi—dengan membasuh kepala serta seluruh tubuhnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis di atas disebutkan kata حَقٌّ, yang dimaksud dengan kata tersebut adalah bahwa mandi merupakan perkara yang tidak sepantasnya ditinggalkan oleh orang yang beragama Islam. Dan para ulama menyimpulkan, bahwa mandi yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah mandi di hari jum'at, dan hukum mandi ini adalah sunnah. Dengan demikian, dapatlah kita peroleh kesimpulan bahwa mandi sebagai sebuah ibadah adalah bagian dari syari‘at Islam.
3)   Ijma’ Ulama (konsensus)
Konsensus ulama (baca: kesepakatan atau ijma) menyatakan, bahwa mandi diwajibkan agar supaya ibadah yang dikerjakan menjadi sah serta merupakan syarat menjalankan ibadah. Mandi juga disunahkan untuk kebersihan dan sebab-sebab yang lain. Berangkat dari konsep kebersihan adalah sebagian dari iman, maka mandi adalah merupakan ibadah yang diharapkan pahalanya. Dengan menjalankan mandi berarti telah melaksanakan perintah syara‘ sekaligus menerapkan ketetapan hukumnya. Nabi bersabda: kebersihan (at-thahūr) adalah sebagian dari iman. (HR. Muslim). Dan kebersihan ini meliputi wudlu‘ dan mandi. Mandi adalah sarana menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada tubuh, keringat, juga untuk membersihkan bau tak sedap pada tubuh.Oleh karena itu, agama menganjurkan pelaksanaan mandi dalam moment-moment tertentu, sebagaimana nampak dengan jelas dalam penjabaran mengenai macam-macam mandi yang disunnahkan.Seperti pada waktu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, hari jum‘at dll.Dan mandi dapat mengembalikan kekuatan tubuh, memberikan daya vitalitas yang sempat mengendur, lemah, letih dan lesu.[33]
Faktor – Faktor Yang Mewajibkan Mandi
Kurang lebihnya, ada enam perkara yang menyebabkan wajibnya mandi besar. Dan keenam perkara ini dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama; berlaku khusus untuk perempuan, yaitu haidl, nifas, dan melahirkan. Kedua; berlaku bagi laki-laki dan juga bagi perempuan, yaitu bersetubuh (jima’), keluarnya mani (sperma), dan kematian[34].
Adapun perinciannya sebagai berikuit:[35]
1)   Keluarnya sperma (air mani), baik dari laki-laki atau pun perempuan sewaktu dalam keadaan tidur (ihtilām). Atau Keluarnya sperma tadi sewaktu dalam kondisi terjaga, disebabkan masuknya ujungkepala (hasyafah) kemaluan lak-laki. Dan tidak ada perbedaan antara mani yang keluar tersebut, baik yang keluar itu sedikit atau banyak hukumnya adalah sama, bahkan walaupun air mani tersebut berwarna seperti darah, yang masih disertai dengan tanda-tanda keberadaannya sebagai air mani.
2)   Masuknya ujungkepala (hasyafah) kemaluan lak-laki kedalam kemaluan perempuan (farji, vagina).
3)   Haid, yakni darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang telah mencapai umur sembilan tahun, dengan perhitungan kalender bulan (hijriyyah). Dan darah tersebut keluarnya pada saat dalam kondisi sehat, bukan disebabkan faktor melahirkan.
4)   Nifas, yakni darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan sebelum lewat jarak limabelas hari.
5)   Melahirkan anak (wilādah). Dan termasuk kategori melahirkan adalah wanita yang mengeluarkan segumpal darah atau sepotong daging, yang dinilai oleh para dukun bayi atau seorang ahli di bidang kelahiran jabang bayi (al-qawābil) bahwa segumpal darah atau sepotong daging itu adalah merupakan cikal-bakal jabang bayi (asl ‘adamiy). Dan penting untuk ditegaskan disini, bahwa walaupun sewaktu melahirkan tidak sempat mengeluarkan cairan (air ketuban) tetap wajib mandi sete selesai.
Adapun ciri-ciri atau tanda dari air mani adalah:
Keluarnya dengan memancar (muncrat, jw)
Terasa nikmat
Bila masih basah beraroma seperti adonan roti atau manggar kurma. Dan bila sudah kering, maka aromanya seperti putih telur
6)   Meninggal dunia (mati), bagi seorang muslim yang tidak gugur di medan peperangan melawan orang kafir (syahīd).
3.  Tayammum.
Pengertian Tayammum
Menurut arti bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan menurut terminologi syara’ tayammum berarti menyengaja menyentuh debu yang suci untuk diusapkan ke wajah dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali sentuhan, disertai niat supaya diperbolehkan melakukan sesuatu yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadats, bagi orang yang tidak menemukan air atau takut adanya bahaya apabila menggunakannya.[36] Adapun dalil disyari’atkannya tayammum adalah firman Allah :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (النساء: 43)
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau salah seorang di anatara kamu kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); maka basuhlah wajah kamu dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisā’: 43)
Adapun hal-hal yang memperbolehkan (al-a’dzār) pelaksanaan tayammum yaitu :[37]
1)      Tidak adanya air yang mencukupi untuk berwudhu atau mandi.
2)      Tidak ada kemampuan untuk menggunakan air, sebagaimana orang yang dipenjara, atau takut terhadap binatang buas, orang yang terikat dll.
3)      Sedang sakit, dan bila tetap memaksa menggunakan air dapat menyebabkan kematian, bahaya terhadap anggota tubuh, atau sakit yang tidak kunjung sembuh.
4)      Kebutuhan terhadap air, baik sekarang ataupun yang akan datang, bagi diri sendiri atau hewan yang dimuliakan.
5)      Dugan kuat, atau betul-betul terancam terhadap keselamatan harta milik bila tetap mencari air, baik harta milik sendiri atau milik orang lain.
6)      Takut kedinginan air, yakni kawatir timbulnya bahaya bila tetap mempergunakan air yang dingin serta tidak menemukan alat yang dapat dipergunakan menghangatkan air.
4.  Menghilangkan Najis.
a)    Definisi Najis
Dalam tinjauan makna bahasa najis bermakna sesuatu yang menjijikkan. Sedangkan dalam pemaknaan istilah, yang dinamakan najis adalah setiap perkara yang menjijikkan yang mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara’ (rukhshoh).[38] Dengan demikian, benda-benda menjijikkan yang tidak mencegah sahnya shalat tidak termasuk katagori benda najis, sebagaimana air ludah dan ingus. Dan bila syara’ memberikan dispensasi atau kemurahan, maka perkara tersebut meskipun berupa benda najis tetap tidak dapat mencegah sahnya shalat. Sebagaimana darah yang sedikit, dan najis yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala.[39]
Bila dikelompokkan, najis terbagi menjadi dua bagian.Pertama najis haqiqiy atau najis ‘ainiy, yaitu setiap perkara yang menjijikkan yang dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana darah dan air kencing. Najis ini dengan cara apapun tidak bisa berubah menjadi suci. Kedua najis hukmi tau maknawi (hadats), yaitu sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara’ (rukhshoh), yaitu hal-hal yang membatalkan wudlu dan yang mewajibkan mandi.Najis (hadats) dengan kategori ini dapat disucikan dengan wudlu atau mandi.[40]
Benda-benda najis diantaranya adalah setiap perkara yang keluar dari salah satu saluran kemaluan dan anus (qubul dan dubur) yang berupa benda cair (mā’i’), baik berupa hal biasa seperti air kencing, kotoran-kotoran burung, ikan, belalang dll. atau berupa perkara yang langka (nādir) sebagaimana darah, nanah, madhi, wadhi, terkecuali sperma manusia karena hukumnya adalah suci.[41] Adapun sperma binatang, hukumnya sama dengan hukum binatang tersebut, bila binatangnya adalah najis sebagaimana anjing dan babi serta peranakan-perankannya walaupun hasil kawin silang dengan binatang yang suci sekalipun, maka spermanya adalah najis, sedangkan apabila binatangnya suci maka spermanya juga suci.[42]
b)  Macam-macam najis dan cara mensucikannya[43]
Bila dipandang dari sisi adanya wujud benda najis dan sifat-sifatnya, maka najis dikatagorikan menjadi dua bagian, yaitu :
1.     Najis ‘Ainiyyah.
Yaitu najis yang sifat-sifatnya (bau, rasa, dan warna) bisa deteksi oleh indra. Sebagaimana darah, kotoran manusia dll. Cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan wujud bendanya dan sifat-sifatnya.
2.    Najis Hukmiyyah.
Najis yang tidak ada wujudnya, sifat-sifatnya (bau, rasa, dan warna) tidak bisa ditemukan oleh indra. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada tempat yang terkena najis tersebut.
Catatan:
      Apabila sulit menghilangkan salah satu sifat-sifat najis, seperti sulit menghilangkan warnanya saja atau baunya saja maka tempatnya najis ini sudah dianggap suci.[44]
      Sedangkan bila sifat-sifat yang sulit dihilangkan adalah warna dan bau atau warna dan rasa, maka tempat yang terkena najis ini belum bisa dianggap suci. Karena berkumpulnya dua sifat najis seperti itu adalah menunjukkan masih adanya benda najis (‘ain najasah) tersebut.[45]
Sedangkan bila dipandang dari sisi asal mula wujud benda najis, serta katagori berat dan ringannya najis, maka najis itu dikatagorikan menjadi tiga bagian:[46]
1.     Najis ‘Mukhoffafah.
Adalah najis yang paling ringan. Yakni najis berupa air kencing dari anak laki-laki yang belum genap berumur dua tahun, dan hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI) saja. Cara mensucikan najis mukhoffafah adalah dengan mengguyurkan air kepermukaan tempat yang terkena air kencing anak laki-laki ini, dan tidak disyaratkan air guyuran tersebut mengalir, atau cukup dengan memercikkan air kepermukaan tempat yang terkena air kencing anak laki-laki tadi. 
2.    Najis Mutawasithoh.
Najis yang sedang, tidak ringan dan tidak pula berat. Sebagaimana air kencing bayi laki-laki yang sudah mengkonsumsi selain air susu ibu (ASI), air kencing bayi perempuan, air kencing seorang banci (khuntsa), berak dll. Cara mensucikannya adalah sebagaimana cara menghilangkan najis Ainiyyah, yakni dengan menghilangkan wujud bendanya dan sifat-sifatnya.
3.    Najis Mughaladzah.
Najis mughaladzah adalah najis yang berat, yaitu najisnya anjing dan babi serta peranakan-perankannya walaupun hasil kawin silang dengan binatang yang suci sekalipun. Cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan wujud benda najisnya terlebih dulu kalau memang ada, lalu dibasuh tujuh (7) kali yang salah satunya dicampuri dengan tanah. Ketentuan ini adalah sesuai dengan keterang sebuah hadits yang berbunyi:
طُهُورُ إِنَائِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَوَّلهُنَّ بِالتُّرَابِ (رواه مسلم)
mensucikan wadah/bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan tanah” (HR. Muslim)[47]
Sedangkan sebagai pengganti dari tanah, cukup dengan menggunakan air yang sudah keruh sebagaimana air sungai yang banjir.[48]
c)   Macam-macam najis yang diampuni (dima’fu)[49]
Menghilangkan najis dan menjauhinya adalah wajib, disamping juga merupakan syarat sahnya shalat. Jadi seseorang yang hendak menjalankan ibadah shalat, tubuh dan pakaiannya beserta tempatnya, harus suci dari najis. Akan tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, syara’ memberikan keringanan-keringanan ataupun dispensasi,sebab kesulitanuntuk menghilangkan ataupun menghindarinya.Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, sekaligus untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang ada.
Berikut ini adalah perincian dari macam-macamnya najis yang dima’fu:
1.    Najis yang dimaafkan (dima’fu) bila berada di air atau benda cair, dan tidak dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat. Sebagaimana bangkai semut, nyamuk dll.
2.    Najis yang dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat, dan tidak dimaafkan (dima’fu) bila jatuh di air atau benda cair. Sebagaimana darah yang sedikit dari luka.[50]
3.    Najis yang tidak dimaafkan (dima’fu) bila turut serta menempel dipakaian sewaktu shalat, dan tidak pula dimaafkan (dima’fu) bila jatuh di air atau benda cair. Sebagaimana kotoran cicak dll. 
Catatan:
      Apabila ada orang yang gusinya berdarah sewaktu shalat, maka shalatnya tidak batal selama ia tidak menelan darah tersebut.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya,  juga ada contoh-contoh lain dari najis yang diampuni (ma’fu) sebagaimana; percikan air kencing yang tidak bisa dilihat oleh indra penglihatan, nanah dan darah yang sedikit yang keluarnya tanpa ada kesengajaan, kotoran ikan yang tidak sampai merubah sifat-sifat air, dan mulut anak kecil (bayi) yang terkena najis muntahannya sewaktu menetek puting susu ibunya.
d)  Hukum bangkai[51]
Semua bangkai hukumnya adalah najis terkecuali bangkainya manusia, ikan dan belalang. Bangkai manusia dihukumi suci sesuai dengan bunyi firman Allah Subhana wa ta’ala :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ (الإسراء: 70)
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam ...” (QS. Al-Isrā: 70)
Sedangkan bangkai ikan dan belalang dihukumi suci sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَدُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ (رواه أحمد وابن ما جه)
Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu (bangkai) belalang dan ikan, serta (darah) hati dan limpa” (HR. Ahmad dan Ibnu Mājah)
Catatan:
      Sebagian anggota tubuh binatang yang terpisah (putus) sewaktu masih hidup, hukumnya adalah sebagaimana bangkainnya. Bila bangkainya sucisebagaimana belalangmaka sebagian anggota tubuh binatang yang terpisah itu hukumnya adalah suci. Sebaliknya, jika bangkainya najissebagaimana kambingmaka sebagian anggota tubuh binatang yang terpisah itu hukumnya adalah najis. Sedangkan rambut atau bulu dari hewan yang halal dimakan dikecualikan dari hukum bangkai, jadi hukumnya adalah suci.[52]
      Benda cair yang terkena najis (mutanajis) tidak boleh dikonsumsi (dimanfaatkan), kecuali kalau pemanfatannya itu untuk semisal bahan bakar lampu. Contoh, minyak yang terkena najis lalu digunakan untuk menyalakan lampu. Meskipun pememanfaatan semisal minyak yang terkena najis ini adalah boleh, namun makruh. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi :“ketika Rasulullah ditanyai tentang tikus yang jatuh pada minyak samin (keju), beliau menjawab:“ambilah untuk bahan menyalakan lampu, atau boleh diambil kemanfataatnnya” (HR. Thohāwi)[53]
      Air yang kurang dari dua kulah (216 liter) bila kejatuhan najis, maka dihukumi najis (mutanajis). Dan bila airnya dua kulah atau lebih lalu berubah sifat-sifatnya, juga dihukumi najis (mutanajis). Sedangkan bila airnya dua kulah atau lebih tersebut tidak berubah sifat-sifatnya, maka masih tetap dihukumi suci. Lalu apabila airnya dua kulah atau lebih yang sifat-sifatnya telah berubah itu kembali jernih lagi, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan najis yang jatuh tersebut telah hilang, baik perubahan menjadi jernih ini terjadi dengan sendirinya atau sebab ditambahi air suci yang lain, maka hukumnya airnya dua kulah atau lebih tersebut menjadi suci lagi.[54]
      Bila benda padat semisal minyak samin (keju) kejatuhan najis sebagaimana bangkai tikus, maka bangkai tersebut hendaklah dibuang berserta bagian-bagian minyak yang terkena bangkai, selanjutnya yang tersisa hukumnya adalah suci.[55]
D. Hikmah Thoharoh Dalam Beribadah
Kita  semua tahu bahwa bila badan dan pakaian kotor, tentu kondisi seperti itu akan menimbulkan rasa jijik bagi orang yang melihatnya. Demikian pula halnya, bila seseorang ingin menghadap pada seorang raja atau menteri maupun orang-orang terkemuka, maka sudah seyogyanya bila berusaha semaksimal mungkin agar berpenampilan baik dengan pakaian yang bagus dan bersih serta berupaya membersihkan tubuhnya dari kotoran maupun bau yang tidak sedap, agar nantinya tidak menerima perlakuan yang kurang baik dari orang yang hendak ia jumpai. Bila yang demikian ini berlaku dalam hubungan antar sesama manusia, maka bagaimana pula jika seseorang hendak berdiri menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahamemiliki segala sesuatu di jagad raya ini?[56] Sudah barangtentu bila memerlukan sikap yang lebih pantas dan sopan dalam rangka menghadap Allah, sebagai bukti pengagungan kepada-Nya.
Di balik kewajiban wudhu dan mandi nampak sekali kebijaksanaan Allah Subhana wa Ta’ala. Sebab dengan demikian, manusia ketika melaksanakan ibadah senantiasa dalam keadaan bersih dari kotoran, serta dari hal-hal yang menjijikkan. Hikmah lain dari perintah ini adalah bahwa para malaikat membenci seorang hamba yang mendirikan sholat sementara ia berpakaian kotor dan berbau badan yang tidak enak. Juga ketika umat Islam berdiri di dalam shaf, kemudian ada di antara mereka yang berpakaian kumuh dan dekil, maka kondisi yang demikian akan merangsang timbulnya dampak negatif bagi mereka. Untuk itulah Allah mensunnahkan mandi di hari jum’at serta hari raya. Sebab pada kesempatan itu, seluruh umat Islam berkumpul menunaikan ibadah sholat. Bila pada saat-saat seperti itu seseorang tidak dalam kondisi bersih dan wangi, maka jelas akan menimbulkan rasa jijik dan mengganggu orang lain, sebuah kondisi yang tidak terpuji sekaligus tercela.
Dalam mandi setelah junub (al-jinābah) terdapat hikmah di syariatkannya mandi tersebut, yaitu bahwa manusia memiliki dua jiwa, jiwa binatang dan jiwa malaikat. Maksudnya, pada diri manusia terdapat jiwa yang cenderung dengan tabiat binatang dan jiwa yang cenderung dengan sifat-sifat malaikat. Ketika manusia selesai melakukan persenggamaan, maka pada saat itu jiwa malaikat yang ada pada dirinya merasa terganggu karena berada  dalam jasmani atau raga yang sedang dalam keadaan kotor dan najis. Pada saat ia mandi dan bersesuci dari hadats jinabatnya, maka jiwa malaikat pada dirinya akan kembali merasa tenteram dan damai, serta hilang pula hal-hal yang dapat menimbulkan kebencian orang-orang disekitarnya.
Ada hikmah lain yang terdapat pada wudhu dan mandi. Yaitu bila seseorang telah selesai membersihkan anggota tubuhnya dengan air, maka akan menimbulkan gairah dan semangat serta menghilangkan rasa malas. Sehingga, kewajiban-kewajiban ibadah fardhunya dapat dikerjakan dengan penuh gairah dan semangat. Dengan bekal gairah dan rasa semangat ini, maka dapat menciptakan rasa rileks dalam jiwa, dan pekerjaan pun dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun wanita yang haidl, kegiatan mandi yang dilakukannya juga dapat mendatangkan gairah dan semangat, serta memberikan kesiapan baginya untuk hamil, momen yang senantiasa ia harapkan dari waktu ke waktu bila memang dirinya memunyai seorang suami. Adapun bagi yang tidak bersuamisekurang-kurangnyamandi yang dilakukan dapat mengembalikan lagi semangatnya yang sempat mengendur, serta menghilangkan rasa malas yang dapat mengganggu aktifitasnya. Demikian pula wanita yang nifas, dengan mandi dapat menghilangkan berbagai macam kotoran serta menghilangkan bau busuk yang melekat pada tubuhnya.[57]
Sedangkan hikmah thoharoh bila kita telaah dari sisi logikanya, maka ada beberapa poin yang dapat kita simpulkan[58] :
1.   Sholat adalah pengabdian diri kepada Allah serta mengagungkan-Nya. Pengabdian diri dan pengagungan itudengan segala sarana yang bisa dilakukanhukumnya adalah wajib. Dapat dimaklumi bahwa berdiri di hadapan Allah swt. dengan tubuh yang suci, pakaian yang bersih, serta tempat yang suci pula adalah bentuk kongkret dari pengagungan dan pengabdian yang sempurna, bila dibandingkan dengan berdiri di hadapan-Nya dengan kondisi badan, pakaian, dan tempat yang najis.
Demikian halnya hadats dan jinabat, kendatipun keduanya bukan termasuk najis yang dapat dilihat, tetapi keduanya adalah najis maknawi yang menyebabkan kita merasa jijik pada tempat persemayamannya. Dulu pada masa Nabi Muhammad saw. pada saat beliau hendak menyalami Hudzaifah bin al-Yamāni, ia enggan untuk menjabat tangan Nabi, seraya berkata: “wahai Rosulullah, sesungguhnya saya dalam keadaan junub”. Dengan demikian, bersemayamnya hadats jinabat menyebabkan rusaknya sikap pengagungan kepada Allah. Meskipun pada anggota tubuh tidak ada sebercak najis sekalipunpada saat sedang junubnamun paling tidak terdapat kotoran-kotoran yang melekat, sehingga sudah seharusnya bila diwajibkan mandi agar supaya tercipta keindahan dan kebersihan, yang menjadikannya lebih dekat pada pengagungan Allah dan lebih sempurna dalam pengabdian.
Siapapun orangnya yang bermaksud menghadap kepada raja untuk melayani mereka secara langsung, maka dirinya dituntut untuk bersih, menghias diri, dan memakai pakaian yang paling baik dan bersih sebagai bentuk penghormatan kepada raja. Oleh karena itu, yang paling utama bagi orang yang akan menunaikan sholat hendaknya memakai pakaian terbaik yang ia miliki dan paling bersih, yang ia persiapkan untuk dikenakan saat berkunjung kepada para pembesar serta mendatangi acara-acara pesta. 
2.   Perintah untuk membersihkan anggota tubuh dari hadats dan jinabat adalah untuk mengingatkan manusia agar supaya membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela sebagaimana curang, iri, sombong, buruk sangka terhadap sesama muslim, serta sifat-sifat lain yang dapat menyebabkan timbulnya dosa. Adanya hadats yang bersemayam pada tubuh tidak lantas menghalangi beribadah dan pengabdian kepada Allah secara keseluruhan (total). Dengan bukti, diperbolehkan berpuasa, mengeluarkan zakat pada saat sedang hadats dan jinabat.
Contoh lebih mudah lagiditerimanya ibadah walau sedang dalam keadaan hadatsadalah iman kepada Allah swt. padahal iman merupakan pokok dari sekian ibadah. Hal ini disebabkan oleh karena hadats dan jinabat pada dasarnya bukanlah suatu perbuatan maksiyat dan bukan pula penyebab terjadinya dosa. Dan sebagaimana terbaca dalam uraian-uraian sebelumnya, yang menjelaskan tentang penyebab dosa-dosa yang bersifat maknawi yang bersemayam dalam hati, maka adanya perintah untuk membersihkan anggota tubuh lahiriah, pada dasarnya adalah indikator sekaligus peringatan untuk membersihkan hati dari segala sifat-sifat tercelayang bersifat maknawiitu. Jadi, membersihkan hati dari segala bentuk sifat tercela tersebut adalah wajib, baik dari sisi tuntunan agama (syara’) maupun akal. 
3.   Kewajiban menyucikan anggota-anggota tubuhsebagaimana dalam uraian-uraian sebelumnyamerupakan perwujudan dari ungkapan rasa syukur atas karunia nikmat dari sekian kenikmatan yang mewajibkan kita untuk melaksanakan sholat. Kenikmatan itu adalah anggota tubuh kita, yang merupakan sarana untuk merasakan/memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang besar. Bahkan, dengan anggota tubuh tersebut, sebagian besar kenikmatan Allah dapat kita rasakan. Misalnya, dengan tangan seseorang dapat mengambil dan menerima apa saja yang ia butuhkan. Dengan kaki, seseorang dapat berjalan menuju ke tempat tujuannya. Wajah dan kepala adalah tempat sekumpulan indra yang dapat digunakan untuk mengetahui kebesaran dari  berbagai kenikmatan Allah. Mata untuk melihat, hidung untuk mencium, mulut untuk mencicipi, dan telinga untuk mendengar. Dengan kesemuanya itu, seseorang dapat merasakan kenikmatan, kesenangan, serta meraih berbagai macam kenikmatan. Oleh sebab itu, perintah untuk mensucikan anggota-anggota tubuh tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas berbagai kenikmatan yang dapat diperoleh melalui anggota-anggota tubuh tersebut.
4.   Perintah untuk menyucikan anggota-anggota tubuhsebagaimana terbaca pada poin-poin sebelumnyaadalah untuk menghapus dosa-dosa kejahatan yang telah diperbuat olehnya. Sebab dengan anggota-anggota tubuh itulah seseorang melakukan sebagian besar dari dosa-dosanya. Sebagaimana mengambil perkara yang haram, berjalan ketempat yang haram, melihat sesuatu yang haram, memakan perkara haram, serta mendengarkan hal-hal yang diharamkan. Jadi, perintah untuk membersihkannya adalah untuk menghapus dosa-dosa yang telah diperbuat itu.[59]




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan         
Setelah memaparkan beragam pandangan di atas, ada baiknya bila kita membuat kesimpulan sebagai puncak kajian dari makalah ini:
1.    Agama Islam adalah agama yang universal, dalam arti ajaran-ajarannya mencakup berbagai sendi kehidupan. Tidak ada satu pun dari sendi-sendi kehidupan terlewatkan kecuali dijumpai tuntunan-tuntunannya, baik yang bersifat global ataupun yang terperinci. Karena itulah al-Qur’an menegaskan bahwa risalah Nabi muhammad merupakan risalah yang merupakan rahmat bagi semesta alam.
2.    Agama Islam berdiri atas beberapa ajaran dasar yang menyentuh sisi-sisi kehidupan meliputi keyakinan (al-i’tiqādāt), akhlaq (al-ādāb), ibadah (al-‘ibādāt), hubungan antara sesama manusia (al-mu’āmalāt), serta penegakan hukum (al-u’qūbāt). Kesemua ajaran itu tercakup dalam kerangka  al-fiqh al-akhbār. Bila selama ini kita terbiasa memakai istilah fiqih pada saat membahas ajaran-ajaran formal, maka fiqih dalam pengertian ini adalah al-fiqh al-ashghar sebab obyek bahasannya hanya dari satu sudut ajaran-ajaran formal saja.
3.    Thoharoh yang menjadi tema dari kajian makalah ini pada dasarnya adalah sebagian dari ajaran agama Islam yang universal itu. Dari ajaran thoharoh, kita dapat menarik kesimpulan betapa agama Islam sedemikian seriusnya memperhatikan aspek kebersihan dalam kehidupan para pemeluknya. Sekali lagi, hal ini memperlihatkan sedemikian rincinya sisi kehidupan yang terjangkau oleh kearifan ajarannya.
4.    Agama Islam menghendaki semua aktifitas yang dilakukan umatnya pada akhirnya berkesudahan menjadi ibadah, sebab beribadah kepada Allah adalah merupakan tujuan puncak dari berbagai aktifitas yang dicintai serta diridhoi-Ny. Memang manusia itu diciptakan oleh Allah agar beribadah kepada-Nya. Kesimpulan ini sebagaimana difirman oleh Allah dalam surat Adz-Dzāriyāt ayat 56, yang berbunyi : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”.
5.    Oleh karena ajaran agama Islam yang begitu luas cakupannya, maka memahami ibadah tidak selayaknya hanya dari sudut pandang bentuk formal belaka. Pandangan yang sedemikian sempit dapat berdampak negatif. Akibatnya, ibadah hanya berkekuatan formal belaka dan tidak dapat mewarnai aktifitas-aktifitas keseharian. Dari sini kita temukan relevansi serta urgensi dari upaya mengkaji ajaran-ajaran agama tidak hanya dari sudut pandang formal yang ansich belaka, tetapi disertakan pula kajian filosofisnya supaya dapat menghasilkan keterpaduan pemahaman, sehingga harapan ajaran formal itu dapat mewarnai rutinitas keseharian umatnya dapat terwujud, amien.      
B. Penutup dan Saran
Pernah kita dengar ungkapan yang mengatakan bahwa “negara kita Negara Republik Indonesia bukan negara agama tetapi negaranya orang yang beragama”. Terlepas dari benar dan tidaknya ungkapan yang bernada filosofis itu, yang jelas dapat kita saksikan bahwa di negara ini ada lima agama yang diakui oleh negara kita. Dari kelima agama itu, agama Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh warga negara kita.
Dari realitas tersebut dapat kita ajukan sebuah pertanyaan kritis, sudahkah ajaran-ajaran agama Islam terimplementasikan dalam kehidupan umat Islam Indonesia dalam arti yang luas, tidak hanya berwujud dalam rutinitas ajaran formal saja? Jawaban dari pertanyaan ini tentu ada dalam sanubari kita masing-masing sebagai warga muslim yang berkewargaan Indonesia. Pertanyaan itu tidak cukup dijawab dengan jawaban sudah atau belum. Tetapi harus dijawab dengan langkah kongkret dan perbuatan nyata.
Harapan kita tentu agar supaya negara ini berjiwa agamis dan islamis dalam perjalanannya, oleh karena mayoritas warganya adalah umat Islam. Namun sangat ironis sekali, kenyataan yang terjadi cukup memprihatinkan sekali. Banyak penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma ajaran agama yang terjadi di sekeliling kita. Bila sudah sedemikian kondisinya, ada apa dengan rutinitas ibadah formal yang kita jalankan sehari-hari, kenapa belum dapat mewarnai aktifitas-aktifitas keseharian. Patut memilukan bila sampai terucap “ibadah iya, tapi penyimpangan-penyimpangan serta maksiyat tetap jalan terus”, naudzu bi_Allah min dzālik. Disini nampak terjadi kesalahan dalam menjalankan ajaran agama.
Hakikat pembenaran agama bukannya ucapan dengan lidah, tetapi perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang hanya dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa, tidak berarti dan tidak dipandang-Nya.
Kesalahan kita dalam bidang ini adalah terlalu memperhatikan sisi formal dan melupakan substansi, bahkan yang lebih salah lagi adalah sebagian kita menjadikan hukum-hukum agama sebagai “Tuhan”sehingga mungkin tidak keliru jika ada yang menyatakan bahwa: “Kita telah mencipttakan berhala baru, dan menempatkannya sebagai Tuhan.” Berhala baru itu adalah hukum-hukum formal agama. Dan lebih buruk lagi adalah bahwa Tuhan itu tidak menyandang sifat kasih dan sangat otoriter. Atas nama-Nya; kita seenaknya menjatuhkan sanksi, padahal Tuhan yang berhak disembah memberi toleransi.[60]Bermula dari sini, semoga makalah kita yang mengkaji thoharoh perspektif normatif filosofis ke depannya dapat memotifasi kita dalam menjalankan ajaran-ajaran agama tidak hanya berwujud pada formalitas belaka, tetapi harapan kita semoga dapat mewarnai perjalanan kehidupan kita. Semoga makalah ini mengandung hikmah dan manfaat, amien. [ ]

Kudus, 12 Desember 2013





DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’ān al-Karīm.
2.   Muhammad Fuād Abdul Bāqi. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ān al-Karīm. Surabaya. Maktabah Dahlān.
3.      Hujjah al-Islām al-Imām al-Ghazāli. 1995. Ihya’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut. Dār al-Fikr.
4.      Asy-Syekh Izzuddīn bin ‘Abdi As-Salām. 1995. Maqāsid Al-‘Ibādāt. Hims. Al-Yamāmah.
5.      Asy-Syekh Sulaimān al Bujairamiy. Hāsiyah Bujairami ‘ala al-Khatib. 1995. Beirut. Dār al-Fikr.
6.      As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy. 1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Beirut. Dār al-Fikr.
7.   As-Syekh al-‘Allāmah Abi Bakr ibnu Sayyid Muhammad Syatho. 2005. Hāsiyah I’anah ath-Thalibin. Beirut. Dār al-Fikr.
8.    As-Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany. 1988. Fathu al-‘Allam bi Syarh Mursyid al-Anām. Kairo. Dār as-Salām.
9.      Asy-Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali Nawāwi al-Jāwi al-Banteni. Nihāh az-Zain fi Irsyād al-Mubtadi’īn. Bandung. Syirkah al-Ma’ārif.
10.    Asy-Syekh Saīd bin Muhammad Bā’isn. Buysrō al-Karīm bi Syarh masāil at-Ta’līm. Semarang. CV. Toha Putra.
11.  Asy-Syekh Zainuddīn bin Abdul Aziz al-Malibariy. Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurroh al-‘Ain. Semarang. Maktabah Usaha Keluarga.
12.    As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy. 1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Beirut. Dār al-Fikr.
13.  As-Syekh Abdurrahmān al-Jaziriy. al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Beirut. Dār Ihyā’ at-Turots al-‘Arabiy.
14.    As-Syekh al-Imām al-Qōdhi Abu al-Walīd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtubiy al-Andalusiy. 2003. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid. Beirut. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 
15.    As-Syekh Shihāb ad-Dīn Ahmad bin Ahmad bin Salāmah al-Qolyūbiy. 2010. Hāsiyah al-Qolyubi. Beirut. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
16.    As-Syekh ‘Ali Ahmad al-Jurjāwi. 1997. Hikmah at-Tasyrī’ wa Falsafatuhu. Beirut. Dār al-Fikr.
17.     As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin Sumaith. 2004. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Surabaya. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah.
18.     Prof. Dr. Wahbah az-Zuhailiy. 1997. al-Fqh al-Islāmiwa Adillatuhu. Beirut. Dār al-Fikr.
19.   Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2010. Al-Qur’ān dan Maknanya. Ciputat, Tangerang. Penerbit Lentera Hati.
20.    Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2012. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Ciputat, Tangerang. Penerbit Lentera Hati.
21.    Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2013. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung. Penerbit Mizan.
22.    Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 2010. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan. Ciputat, Tangerang. Penerbit Lentera Hati.
23.    Karya Tulis Ilmiah Santriwati III MTs Madrasah Putri Ghazaliyyah (MPG) 2012, Sarang Rembang Jawa Tengah. Editor & Pelengkap Catatan Refrensi Oleh Penulis Makalah.







[1].Bagi Imam Abu Hanifah Al-Fiqh Al-Akhbar merupakan istilah untuk ilmu kalam. Menurut persepsi beliau, hukum Islam yang terkenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh al-akhbar, di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan istilah keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabangnya. (baca: Ilmu Kalam, Prof. Dr. H. Abdul Razak, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag. Pustaka Setia Bandung )
[2]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 01, hal: 81-82.
[3]. Dalam buku yang berjudul “Wawasan Al-Qur’an” Prof. Dr. M. Quraish Shihab menuliskan sebuah pemaparan yang sangat menarik, sehingga sangat patut bila kami kutip dalam makalah ini. Beliau menuturkan bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk kepada firman Allah dalam surat Al-Dzāriyāt ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lām (li) pada li ya’budun dalam arti “agar” dalam bahasa Al-Qur’an, lām tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti “kesudahannya” atau “akibatnya”. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir’aun. “Maka dipungutlah dia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.
Kalau lām pada ayat di atas diterjemahkan “agar”, maka ayat tersebut akan berarti, “Maka dipungutlah dia (Musa) oleh keluarga Fir’aun ‘agar’ dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”kalimat ini jelas tidak logis, tetapi jika lām dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan di atas akan berbunyi, “Maka dipungutlah dia (Musa) oleh keluarga Fir’aun, dan kesudahannya adalah dia menjadi musuh bagi mereka”. [ baca: Wawasan Al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2013. Hal: 731-732, juga baca Tafsir Al-Misbah. Lentera Hati. Ciputat, Tangerang. 2012. Juz: 13, hal: 107-108 ]
[4]. Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.Pakar Tafsir ini meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur’ān di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada 1969. Pada 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’ān dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan Tingkat Pertama di universitas yang sama. Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) pada 1992-1998. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 1985-1998; anggota MPR-RI 1982-1987 dan 1987-2002; dan menjadi Menteri Agama RI 1998. Beliau adalah seorang penulis produktif, sudah banyak buku-buku yang dihasilkan buah tangannya dan yang paling fenomenal adalah Tafsir Al-Misbah sebanyak 15 volume tebal-tebal.Saat ini aktifitas utama beliau adalah Dosen (Guru Besar) Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’ān (PSQ) Jakarta.
[5]. Ibid.
[6]. Syekh Izzuddin bin ‘Abdi As-Salām. Maqāsid Al-‘Ibādāt.Al-Yamāmah.Hims.1995. Hal: 11.
[7]. Ibid. Hal: 12.
[8]. As-Syekh Sa’īd bin Muhammad Bā’isn. Busyro al-Karīm bi Syarh Masāil at-Ta’līm. Toha Putra. Semarang. Juz: 1, hal: 14.
[9]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 88.
[10]. As-Syekh Abdurrahman al-Jaziriy.al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Dār Al-Fikr. Beirut. 1986. Juz: 1, hal: 1.
[11]. Ibid. Juz: 1, hal: 3.
[12]. Ibid. Juz: 1, hal: 4.
[13].
(قوله: أوما فى معناهما أو على صورتهما) الذى فى معنى رفع الحدث التيمم ونحوه كوضوء صاحب الضرورة لكونه يبيح اباحة مخصوصة باالنسبة لفرض ونفل. والذي فى معنى إزالة النجس الإستنجاء بالحجر لكونه يبيح اباحة مخصوصة بالنسبة لصلاة فاعله. والذى على صورة رفع الحدث الأغسال المندوبة والوضوء المجدد والغسلة الثانية والثالثة فى طهارة الحدث. والذى على صورة إزالة النجس الغسلة الثانية والثالثة من غسلات النجاسة. (الأنوار السانية. ص: 52)
[14]. Ibid.
[15]. Definisi semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab karangan ulama Syafi’iyyah, semisal kitab Kifāyah al-Ahyār, Hāsiyah as-Syarqāwi, al-Majmū’, Hāsiyah al-Qolyubiy, al-Anwār as-Saniyyah, dll.Memang harus diakui bila terdapat beragam definisi tentang thoharoh dalam tinjauan terminologinya. Namun dari keragaman definisi tersebut pada intinya sama, perbedaan-perbedaan yang ada adalah disebabkan oleh keragaman sudut pandang, kurang lebihnya ada tiga macam. Pertama, thoharoh dipahami dari sudut pelaksanaannya atau pekerjaannya (al-fi’il).Kedua, thoharoh dipahami dari sudut sifat yang ditimbulkan oleh pelaksanaannya atau pekerjaannya tersebut.Ketiga, thoharoh dipahami dari kedua sudut pandang itu. (baca: Hāsiyah al-Baijūri. Dār Al-Fikr. Beirut. 1994. Juz: 1, hal: 35)
(قوله:ففيها تفاسير كثيرة) –الى ان قال– والتفاسير بمعنى التعاريف لكن بعضها باعتبار الفعل، وبعضها باعتبار الوصف المترتب على الفعل وهو المقصود أصالة، فإطلاق الطهارة عليه حقيقة. وأما إطلاقها على الفعل فهو مجاز من إطلاق اسم المسبب وهو الوصف المرتب على الفعل على السبب الذى هو الفعل. وبعضهم جعلها مشتركة بين الفعل وما ينشأ عنه فتكون حقيقة فيهما. (حاشية البيجورى. ج 1/ ص 35)  
[16]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 88.
[17]. Syekh al-Islām Zakariya al-Anshāri.Tahrir Tanqīh al-Lubāb hamisy Hāsiyah as-Syarqāwi. 1996. Hāsiyah as-Syarqāwiy. Dār al-Fikr. Beirut. Juz: 01, hal: 63 - 64.
[18]. Pada umumnya mayoritas ulama menjadikan hadats dalam dua pembagian, yaitu hadats kecil (asghar) dan hadats besar (akbar). Namun, sebagian ulama lain membagi hadats menjadi tiga bagian. Yaitu; pertama hadats asghar: yaitu setiap hadats yang mengharuskan wudlu‟. Hadats ini bersemayam pada anggota wudlu yang berjumlah empat yaitu wajah, kedua lengan tangan, rambut kepala, dan kedua kaki. Kedua hadats mutawassith: hadats sebab melahirkan (wiladah), dan hadats junub, baik dengan proses keluarnya air mani ataupun bersetubuh. Ketiga hadats akbar: yaitu hadats sebab haidl dan nifas. Untuk hadats yang kedua dan ketiga, kedua kategori hadats ini sama-sama bersemayam pada seluruh anggota tubuh.Dan ada juga sebagian ulama yang membagi hadats menjadi empat macam kategori.Pertama hadats asghar, hadats yang timbul sebab berakhirnya masa mengusap sepatu (al-khuf).Kedua hadats soghīr, yaitu hadats yang disebabkan oleh perkara-perkara yang membatalkan wudlu‟.Ketiga hadats kabīr, yaitu hadats yang ditimbulkan oleh jinabat. Dan keempat hadats akbar, yaitu hadats yang disebabkan oleh haidl dan nifas. [Fathu al-„Allām. Juz: 01, hal: 354, dan Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172]
[19]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 89.
[20]. Ibid.
[21]. Imam al-Ghazali.Ihya’ Ulūm ad-Dīn. Dār Al-Fikr. Beirut. 1995. Juz: 1, hal: 164.
[22]. Ibid. Juz: 1, hal: 162-163.
[23]. Empat macam tingkatan thoharoh sebagaimana yang dituturkan oleh oleh Imam al-Ghazali tersebut, juga dijelaskan oleh Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 2009. Juz: 1, hal: 62-63.
[24]. Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati. Ciputat, Tangerang. 2012. Juz: 5, hal: 251.
[25]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 90-92.
[26]. As-Syekh al-Imām al-Qōdhi Abu al-Walīd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtubiy al-Andalusiy. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid.Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. 2003. Juz: 1, hal: 5.
[27]. Ibid. Juz: 1, hal: 6.
[28]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 207.
[29]. Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1, hal: 330.
[30]. As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah. Surabaya. 2004. Hal: 118-119.
[31]. Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1, hal: 275-278.
[32]. Ibid. Juz: 1, hal: 330.
[33]. Prof. Dr. Muhammad az-Zuhayli.al-Muktamad fi al-Fiqh as-Syafi'i. Dār al-Qalam.Damaskus. 2007. Juz: 1, hal: 127-128.
[34]. As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah. Surabaya. 2004. Hal: 114.
[35]. Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardany.Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.Dār as-Salām.Kairo.1988. Juz: 1, hal: 330-336.
[36]. Prof. Dr. Abdul Azis Muhammad Azzam dan Prof Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Al-Wasīth fi Fiqh al-‘Ibādāt. (edisi terjemah). AMZAH. Jakarta. 2010. Hal: 99.
[37]. Dr. Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 1989. Juz: 1, hal: 416-421.
[38]. As-Syekh Zain bin Ibrāhīm bin Zain bin Sumaith. at-Taqrirāt as-Sadīdah. Dār al-‘Ulūm al-Islāmiyyah. Surabaya.2004. Hal: 172.
[39]. Ibid. Hal: 125
[40]. Prof. Dr. Muhammad az-Zuhayli.al-Muktamad fi al-Fiqh as-Syafi'i. Dār al-Qalam.Damaskus. 2007. Juz: 01, hal: 43.
[41]. As-Syekh Sulaiman al Bujairamiy. Hāsiyah Bujairami ‘ala al-Khatib. Dār al-Fikr.Beirut. 1995. Juz: 01, hal: 312.
[42]. As-Syekh Sulaiman al Bujairamiy. Hāsiyah Bujairami ala al-Khatib.Dār al-Fikr. Beirut. 1995.Juz: 01, hal: 316.
[43]. Ibid. Juz: 01, hal: 316.
[44]. Ibid. Juz: 01, hal: 316-317.
[45]. Syarah Sulam at-Taufīq. Hal: 27.
[46]. As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.Hāsiyah as-Syarqāwiy.Dār al-Fikr.Beirut. 1996. Juz: 01, hal: 131.
[47]. Ibid. Juz: 01, hal: 141.
[48]. Ibid. Juz: 01, hal: 142. 
[49]. As-Syekh Abi Bakr ibnu Sayyid Muhammad Syatho.Hāsiyah I‟anah ath-Thalibin.Dār al-Fikr.Beirut. 2005. Juz: 01, hal: 106.
[50]. Fathu al-Mu’īn. Hal: 13.
[51]. As-Syekh Abi Bakr ibnu Sayyid Muhammad Syatho.Hāsiyah I‟anah ath-Thalibin.Dār al-Fikr.Beirut. 2005.  Juz: 01, hal: 90.
[52]. As-Syekh Shihāb ad-Dīn Ahmad bin Ahmad bin Salāmah al-Qolyūbiy. Hāsiyah al-Qolyubi.Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah. Beirut. s2010. Juz: 01, hal: 81.
[53]. As-Syekh Abdullah as-Syarqāwiy.Hāsiyah as-Syarqāwiy.Dār al-Fikr as-Syarqāwi. Beirut. 1996. Juz: 01, hal: 132.
[54]. Ibid. Juz: 01, hal: 144. 
[55]. Asy-Syekh Zainuddīn bin Abdul Aziz al-Malibariy. Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurroh al-‘Ain. Maktabah Usaha Keluarga. Semarang. Semarang. Hal: 13.
[56]. Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi. Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dār Al-Fikr. Beirut. 2009. Juz: 1, hal: 59.
[57]. Ibid. Juz: 1, hal: 60.
[58]. Ibid. Juz: 1, hal: 61-62.
[59]. Ibid.
[60]. Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan. Lentera Hati. Ciputat, Tangerang. 2010. Hal: 63-64.

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...