Senin, 18 Januari 2016

Kajian Islami



MEMBUKA MATA HATI YANG TERTUTUP

Oleh : Abdul Kholiq El-Qudsiy

Tema “Membuka Mata Hati Yang Tertutup”yang diangkat olehbuletin el-Insyaetdalam edisi kali ini (59) benar-benar menarik dan inspiratif, menarik oleh karena eksplorasi dari kajian-kajian tema ini diharapkan menjadi energi positif, mensupport serta memotivasi teman-teman santri di madrasah tercinta Tasywiquth-Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus khususnya, dan pada umumnya bagi para santriwan-santriwati pembaca setia buletin ini di manapun berada,agar supaya melakukan koreksi diri atau introspeksi, dan dalam skala jangka panjangdiharapkandapat mengilhami mereka pada pembiasaan introspeksi dalam kehidupan nyata.Instrospeksi teramat penting terlebih di era globalisasi yang cenderung mengarah pada pergeseran nilai-nilai moral ketitik nadir atau lebih familiar dengan sebutan dekadensi moral.
Di balik gegap gempita dan kemeriahan perayaan pergantian tahun miladiyah (2015-2016) kemarin misalnya, dapat kita saksikan-baik secara langsung atau melalui berbagai liputan dan pemberitaan-seperti apa perilaku remaja dan orang dewasa sekarang ini, mulai dari pergaulan bebas, mabuk-mabukan, perkelahian yang berujung pada terenggutnya nyawa. Berbagai tragedi pemerkosaan, kasus tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang seringkali terjadi. Di samping itu, moral bejat juga disuguhkan sebagianpemangku jabatan tinggi dan politikus di negeri ini dalam bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotismenya. Rentetan peristiwa itu dan lainnya menambah daftar panjang yang membikin pilu dan terharu bila kita renungkan dan saksikan suguhan kaleidoskop akhir tahun, yang dari tahun-ketahun hingga kini belum kelihatan tanda-tanda berakhirnya. Selanjutnya bila moral anak bangsa sudah seperti itu apa jadinya nasib bangsa ini di masa yang akan datang ?­na’ūdzu bi-Allah min dzālik.
Realitas tersebuttidak boleh menjadi semacam sindromkeputus-asaan kita, optimisme harus kita kedepankan daripara generasi santriwan-santriwati yang diharapkan menjadi penerus estafet perjuangan menggapai kemuliaan negeri ini.Generasi santriwan-santriwati ini dapat disemai di berbagai lembaga pendidikan, lebih-lebih di lembaga pendidikan pesantren yang merupakan basis utamanya. Dengan memberikan bekal ilmu-ilmu keagamaan yang mengakar kuat, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang memadai diiringi dengan keimanan dan ketaqwaan (imtaq) yang tangguh, generasi terbaik tersebut diharapkan dapat mengharumkan negeri ini.
Diskusi kali ini membangkitkannalar kritis pada sebuah pertanyaan, dari manakah perilaku buruk itu bermula, lalu langkah preventif seperti apakah yang dapat diupayakan untuk menanggulanginya ?dari pertanyaan ini dan uraian jawaban yang akan kami paparkan, dapat ditarik benang merah relevansi tulisan ini dengan tema buletin.
Memori kami mengajak untuk mengingat kembali materi hadis Nabi yang diajarkan di madrasah tercinta yang dirangkum oleh Imam An-Nawawi dalam mahakaryanya berjudul “al-Arba’īn an-Nawāwiyyah”. Diriwayatkan bahwa Nabi s.aw. bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, bila ia baik maka seluruh tubuh menjadi baik, dan bila rusak maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah segumpal daging itu adalah kalbu (hati)”. [HR. Bukhori & Muslim].Kalbu (hati) adalah bagaikan raja sedang anggota tubuh bagaikan bawahannya, tiada keraguan bila faktor penentu antara baik dan buruknya bawahan adalah disebabkan oleh perilaku pemimpinnya. Kalbu (hati)dapat pula diibaratkan sebagai sumber mata air di mana kejernihan dan kekotorannya berpengaruh signifikan (besar)terhadap tanaman yang menyerapnya. Di samping itu, kalbu (hati) dapat juga diibaratkansebagaitanah sedang aneka ragam tanaman yang tumbuh di atasnya ibarat aktivitas anggota tubuh manusia. Demikian penjelasan menarik disampaikan oleh Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi al-Fasaniy melaui karyanya “al-Majālis As-Saniyyah” dalam memahami hadis Nabi itu.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami betapa vitalnya peran kalbu (hati) manusia, dari sanalah berbagai macam motivasi dan aktifitas tubuh bermula, bila yang muncul adalah motivasi baik maka aktifitas tubuhpun juga baik, sebaliknya bila motivasinya buruk maka aktifitasnya juga buruk.Singkat kata,berbagai aktifitas manusia yang terlahir kepermukaan merupakan cerminan dari isi relung hatinya yang terdalam.Oleh karena itu, bila hembusan motivasi buruk yang ditopang oleh nafsu begitu kuat, serta rayuan syetan turut serta mengambil peran mengajak manusia melakukan pelanggaran terhadap norma-norma agama, maka dalam kondisi seperti ini sabda Nabi Saw. mengingatkan: “Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada”. [HR. At-Tirmidzi].
Nilai ketaqwaan seseorang benar-benar dalam status diuji manakala kehendak buruk menghinggapi kalbu (hati)nya. Sanggupkah ia melawaan hembusan dorongan negatif dalam dirinya, dengan tidak mewujudkannya dalam bentuk perbuatan nyata seperti kasus-kasus di atas dan semisalnya, atau malah justru dirinya turut serta larut terbawa oleh terpaan gelombang dorongan negatif tersebut? Memang-sepanjang hayat masih dikandung badan-hati seseorang merupakan medan pertarungan antara dua entitas berbeda yang saling memengaruhi, antara motivasi positif (kebaikan) dan motivasi negatif (kejahatan).Gejolak di dalam kalbu berjalan terus dan cepat, tanpa henti-hentinya, baik siang dan malam, pagi hari ataupun sore hari. Karena itulah Baginda Nabi Saw. mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah Swt. baik pada saat mengerjakan sholat ataupun tidak : “Wahai Dzat yang membolak-balik kalbu (hati), teguhkanlah hatiku atas agama-Mu”. [HR.At-Tirmidzi dan Ahmad melalui Anas bin Malik].
Sangat penting untuk diketahui bahwa kedurhakaan dan dosa yang dikerjakan oleh seorang mukmin menyebabkan tetesan titik hitam pada kalbu (hati)nya. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Bahwa seorang mukmin bila berdosa maka menetes dalam kalbunya titik hitam; bila ia bertaubat maka terhapuslah (titik hitam); dan bila bertambah dosanya, bertambah pula titik hitamnya itu, sampai akhirnya memenuhi hatinya, dan itulah rāna yang dimaksud oleh firman Allah”. [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Mājah melalui Abu Hurairah]. Hadis Nabi ini banyak dikutip para ulama pakar tafsir tatkala menafsirkan ayat ke 14 surah Al-Muthaffifīn.Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan buruk mengakibatkan adanya pahatan atau gambar-gambar buram yang menempel di hati pelakunya dan bahwa gambar-gambar itu menghalangi jiwa untuk memahami kebenaran dan menjadi aral yang merintangi jiwa dengan kebenaran itu. Memang, kebejatan moral sering kali bermula dari sesuatu yang dinilai kecil dan sepele. Karena itu pula ia sering kali tidak dirasakan kecuali setelah parah. Ia bermula dari satu titik saja, ibarat bola salju yang terus menggelinding akan semakin cepat berputarnya dan semakin besar pula bongkahannya, kobaran api yang membara yang melalap rumah-rumah warga desa tadinya merupakan sepercik api kecil yang ditiup oleh angin.
Imam Mujāhid pakar tafsir kenamaan-sebagaimana dikutip Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya-berkata: “Hati seseorang bagaikan telapak tangan, setiap kali ia melakukan perbuatan dosa maka satu demi satu jari-jemarinya melipat hingga seluruhnya”. Berdasarkan keterangan ini dan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa perbuatan dosa yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan titik-titik noda di hatinya, bila ia mengulanginya terus-menerus, sedikit demi sedikittanpa ada pertaubatan kepada Allah, maka dapat menyebabkan hatinyatertutup oleh titik-titik noda dosanya itu, dan untuk membuka hatinya yang telah tertutup dibutuhkan kunci taubat.Memang, dalam kajian tashawwuf dijelaskan bahwa tangga pertama yang harus dilewati oleh seorang salik/muriddalam rangka menggapai ridho Allah adalah tangga pertaubatan. Tanpa melalui tangga pertaubatan terlebih dahulu, akan terasa berat baginya melewatitangga-tangga berikutnya. Dalam untaian bait-bait Hidāyah al-Adzkiyā’ Imam Zainuddin al-Malibariy mengatakan: “Taubat adalah kunci dari setiap bentuk penghambaan kepada Allah (ibadah),sekaligus asasutama dari semua perilaku terpuji”.
Berdasarkan penjelasan Imam Ghazali dalam magnum opus-nya berjudul “Minhāj al-‘Ābidīn”,beliau menyebutkan dua alasan kenapa harus bertaubat. Pertama; supaya memperoleh bimbingan pertolongan dari Allah (taufiq) untuk taat kepada-Nya,dikarenakan perbuatan dosa adalah faktor penghalang wujudnya pertolongan  itu, dan berimbas kehinaan di dunia. Belenggu perbuatan dosa menjadi hambatan seseorang melakukan ketaatan pada Allah,dan beban-beban dosanya menjadi penghambat vitalitas semangat dalam melakukan kebajikandan taat beribadah. Serta keterkungkungan (terus-menerus) dalam kondisi berdosa (isrōr) menjadikan hitam, kerasdan gelapnya hati.Kedua; supaya ibadah yang kita laksanakan dapat diterima Allah Swt.,argumentasinya, taubat adalah wajib, sedangkan pada umumnya ibadah-ibadah yang kita kerjakan adalah sunnah. Dengan demikian, bagaimana ibadah yang sunnah itu dapat diterima sedangkan yang wajib saja diabaikan.
Di samping taubat sebagai kunci utamanya,membuka hati yang tertutup harus didukung melalui upaya penyampaian materi-materi keagamaan berikut penerapannya, atau pembiasaan dalam perilaku keseharian secara intens, baik di rumah, madrasah, pesantren maupun lingkungan masyarakat. Saat ini,model pendidikan tersebut populer dengan istilah “Pendidikan Karakter” yakni upaya memengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian. Dalam hal ini, pendidikan karakter bukan hanya sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang baik dan buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Dengan demikian, ketauladanan yang baik (uswah khasanah), penyampaian serta pembiasaan aplikasi nilai-nilai luhur agama adalah keniscayaan yang mutlak diperlukan.
Sebagai penutup, kami sampaikan bahwa telaah dalam tulisan ini baru sebatas perspektif norma-norma keagamaan yang dapat kami pahami dari teks-teks turots warisan ulama salaf. Untuk lebih komprehensifnya, memang diperlukan perspektif-perspektif lain yang bersinggungan dengan kasus-kasus yang telah kami sebutkan di atas. Harus diakui bahwa terdapat sejumlah faktor yang berperan dan melatar-belakangi timbulnya kejadian tersebut. Kesimpulannya, kami tidak bermaksud menganggap sederhana dalam memahaminya,wa-Allah a’lam bi as-showwāb. [ ]
Kudus, 7 Januari 2016
Referensi :
1.      Tafsīr Al-Qurthūbi
2.      Tafsīr Al-Mishbāh
3.      Minhāj al-‘Ābidīn
4.      Al-Majālis As-Saniyyah
5.      Kifāyah Al-Atqiyā’
6.      Kapita Selekta Pendidikan Islam
7.      Kamus Besar Bahasa Indonesia

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...