MEMBUKA MATA HATI YANG TERTUTUP
Oleh : Abdul
Kholiq El-Qudsiy
Tema “Membuka
Mata Hati Yang Tertutup”yang diangkat olehbuletin el-Insyaetdalam
edisi kali ini (59) benar-benar menarik dan inspiratif, menarik oleh karena eksplorasi
dari kajian-kajian tema ini diharapkan menjadi energi positif, mensupport serta
memotivasi teman-teman santri di madrasah tercinta Tasywiquth-Thullab
Salafiyyah (TBS) Kudus khususnya, dan pada umumnya bagi para
santriwan-santriwati pembaca setia buletin ini di manapun berada,agar supaya
melakukan koreksi diri atau introspeksi, dan dalam skala jangka panjangdiharapkandapat
mengilhami mereka pada pembiasaan introspeksi dalam kehidupan nyata.Instrospeksi
teramat penting terlebih di era globalisasi yang cenderung mengarah pada
pergeseran nilai-nilai moral ketitik nadir atau lebih familiar dengan sebutan dekadensi
moral.
Di balik
gegap gempita dan kemeriahan perayaan pergantian tahun miladiyah (2015-2016) kemarin
misalnya, dapat kita saksikan-baik
secara langsung atau melalui berbagai liputan dan pemberitaan-seperti
apa perilaku remaja dan orang dewasa sekarang ini, mulai dari pergaulan bebas,
mabuk-mabukan, perkelahian yang berujung pada terenggutnya nyawa. Berbagai tragedi
pemerkosaan, kasus tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang seringkali terjadi.
Di samping itu, moral bejat juga disuguhkan sebagianpemangku jabatan tinggi dan
politikus di negeri ini dalam bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotismenya. Rentetan
peristiwa itu dan lainnya menambah daftar panjang yang membikin pilu dan
terharu bila kita renungkan dan saksikan suguhan kaleidoskop akhir tahun, yang dari
tahun-ketahun hingga kini belum kelihatan tanda-tanda berakhirnya. Selanjutnya bila
moral anak bangsa sudah seperti itu apa jadinya nasib bangsa ini di masa yang
akan datang ?na’ūdzu bi-Allah min dzālik.
Realitas
tersebuttidak boleh menjadi semacam sindromkeputus-asaan kita, optimisme harus
kita kedepankan daripara generasi santriwan-santriwati yang diharapkan menjadi
penerus estafet perjuangan menggapai kemuliaan negeri ini.Generasi
santriwan-santriwati ini dapat disemai di berbagai lembaga pendidikan,
lebih-lebih di lembaga pendidikan pesantren yang merupakan basis utamanya.
Dengan memberikan bekal ilmu-ilmu keagamaan yang mengakar kuat, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang memadai diiringi dengan keimanan dan
ketaqwaan (imtaq) yang tangguh, generasi terbaik tersebut diharapkan dapat
mengharumkan negeri ini.
Diskusi
kali ini membangkitkannalar kritis pada sebuah pertanyaan, dari manakah
perilaku buruk itu bermula, lalu langkah preventif seperti apakah yang dapat
diupayakan untuk menanggulanginya ?dari pertanyaan ini dan uraian jawaban yang
akan kami paparkan, dapat ditarik benang merah relevansi tulisan ini dengan
tema buletin.
Memori
kami mengajak untuk mengingat kembali materi hadis Nabi yang diajarkan di
madrasah tercinta yang dirangkum oleh Imam An-Nawawi dalam mahakaryanya
berjudul “al-Arba’īn an-Nawāwiyyah”. Diriwayatkan bahwa Nabi s.aw.
bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, bila ia
baik maka seluruh tubuh menjadi baik, dan bila rusak maka seluruh tubuh menjadi
rusak. Ketahuilah segumpal daging itu adalah kalbu (hati)”. [HR. Bukhori
& Muslim].Kalbu (hati) adalah bagaikan raja sedang anggota tubuh bagaikan
bawahannya, tiada keraguan bila faktor penentu antara baik dan buruknya bawahan
adalah disebabkan oleh perilaku pemimpinnya. Kalbu (hati)dapat pula diibaratkan
sebagai sumber mata air di mana kejernihan dan kekotorannya berpengaruh signifikan
(besar)terhadap tanaman yang menyerapnya. Di samping itu, kalbu (hati) dapat juga
diibaratkansebagaitanah sedang aneka ragam tanaman yang tumbuh di atasnya
ibarat aktivitas anggota tubuh manusia. Demikian penjelasan menarik disampaikan
oleh Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi al-Fasaniy melaui karyanya “al-Majālis
As-Saniyyah” dalam memahami hadis Nabi itu.
Dari
penjelasan tersebut dapat dipahami betapa vitalnya peran kalbu (hati) manusia,
dari sanalah berbagai macam motivasi dan aktifitas tubuh bermula, bila yang
muncul adalah motivasi baik maka aktifitas tubuhpun juga baik, sebaliknya bila
motivasinya buruk maka aktifitasnya juga buruk.Singkat kata,berbagai aktifitas
manusia yang terlahir kepermukaan merupakan cerminan dari isi relung hatinya
yang terdalam.Oleh karena itu, bila hembusan motivasi buruk yang ditopang oleh
nafsu begitu kuat, serta rayuan syetan turut serta mengambil peran mengajak
manusia melakukan pelanggaran terhadap norma-norma agama, maka dalam kondisi
seperti ini sabda Nabi Saw. mengingatkan: “Bertaqwalah kamu kepada Allah di
manapun kamu berada”. [HR. At-Tirmidzi].
Nilai ketaqwaan
seseorang benar-benar dalam status diuji manakala kehendak buruk menghinggapi
kalbu (hati)nya. Sanggupkah ia melawaan hembusan dorongan negatif dalam dirinya,
dengan tidak mewujudkannya dalam bentuk perbuatan nyata seperti kasus-kasus di
atas dan semisalnya, atau malah justru dirinya turut serta larut terbawa oleh
terpaan gelombang dorongan negatif tersebut? Memang-sepanjang
hayat masih dikandung badan-hati
seseorang merupakan medan pertarungan antara dua entitas berbeda yang saling memengaruhi,
antara motivasi positif (kebaikan) dan motivasi negatif (kejahatan).Gejolak di dalam kalbu berjalan terus dan cepat, tanpa
henti-hentinya, baik siang dan malam, pagi hari ataupun sore hari. Karena
itulah Baginda Nabi Saw. mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memanjatkan
do’a kepada Allah Swt. baik pada saat mengerjakan sholat ataupun tidak : “Wahai
Dzat yang membolak-balik kalbu (hati), teguhkanlah hatiku atas agama-Mu”.
[HR.At-Tirmidzi dan Ahmad melalui Anas bin Malik].
Sangat
penting untuk diketahui bahwa kedurhakaan dan dosa yang dikerjakan oleh seorang
mukmin menyebabkan tetesan titik hitam pada kalbu (hati)nya. Diriwayatkan bahwa
Nabi saw. bersabda: “Bahwa seorang mukmin bila berdosa maka menetes dalam
kalbunya titik hitam; bila ia bertaubat maka terhapuslah (titik hitam); dan
bila bertambah dosanya, bertambah pula titik hitamnya itu, sampai akhirnya
memenuhi hatinya, dan itulah rāna yang dimaksud oleh firman Allah”. [HR.
At-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Mājah melalui Abu Hurairah]. Hadis Nabi ini banyak
dikutip para ulama pakar tafsir tatkala menafsirkan ayat ke 14 surah
Al-Muthaffifīn.Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan buruk
mengakibatkan adanya pahatan atau gambar-gambar buram yang menempel di hati
pelakunya dan bahwa gambar-gambar itu menghalangi jiwa untuk memahami kebenaran
dan menjadi aral yang merintangi jiwa dengan kebenaran itu. Memang, kebejatan
moral sering kali bermula dari sesuatu yang dinilai kecil dan sepele. Karena
itu pula ia sering kali tidak dirasakan kecuali setelah parah. Ia bermula dari
satu titik saja, ibarat bola
salju yang terus menggelinding akan semakin cepat berputarnya dan semakin besar
pula bongkahannya, kobaran api yang membara yang melalap rumah-rumah warga desa
tadinya merupakan sepercik api kecil yang ditiup oleh angin.
Imam
Mujāhid pakar tafsir kenamaan-sebagaimana
dikutip Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya-berkata:
“Hati seseorang bagaikan telapak tangan, setiap kali ia melakukan perbuatan
dosa maka satu demi satu jari-jemarinya melipat hingga seluruhnya”.
Berdasarkan keterangan ini dan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa perbuatan
dosa yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan titik-titik noda di hatinya,
bila ia mengulanginya terus-menerus, sedikit demi sedikittanpa ada pertaubatan
kepada Allah, maka dapat menyebabkan hatinyatertutup oleh titik-titik noda
dosanya itu, dan untuk membuka hatinya yang telah tertutup dibutuhkan kunci taubat.Memang,
dalam kajian tashawwuf dijelaskan bahwa tangga pertama yang harus dilewati oleh
seorang salik/muriddalam rangka menggapai ridho Allah adalah
tangga pertaubatan. Tanpa melalui tangga pertaubatan terlebih dahulu, akan terasa
berat baginya melewatitangga-tangga berikutnya. Dalam untaian bait-bait Hidāyah
al-Adzkiyā’ Imam Zainuddin al-Malibariy mengatakan: “Taubat adalah kunci
dari setiap bentuk penghambaan kepada Allah (ibadah),sekaligus asasutama dari
semua perilaku terpuji”.
Berdasarkan
penjelasan Imam Ghazali dalam magnum opus-nya berjudul “Minhāj al-‘Ābidīn”,beliau
menyebutkan dua alasan kenapa harus bertaubat. Pertama; supaya
memperoleh bimbingan pertolongan dari Allah (taufiq) untuk taat
kepada-Nya,dikarenakan perbuatan dosa adalah faktor penghalang wujudnya
pertolongan itu, dan berimbas kehinaan
di dunia. Belenggu perbuatan dosa menjadi hambatan seseorang melakukan ketaatan
pada Allah,dan beban-beban dosanya menjadi penghambat vitalitas semangat dalam
melakukan kebajikandan taat beribadah. Serta keterkungkungan (terus-menerus)
dalam kondisi berdosa (isrōr) menjadikan hitam, kerasdan gelapnya hati.Kedua;
supaya ibadah yang kita laksanakan dapat diterima Allah Swt.,argumentasinya,
taubat adalah wajib, sedangkan pada umumnya ibadah-ibadah yang kita kerjakan
adalah sunnah. Dengan demikian, bagaimana ibadah yang sunnah itu dapat diterima
sedangkan yang wajib saja diabaikan.
Di
samping taubat sebagai kunci utamanya,membuka hati yang tertutup harus didukung
melalui upaya penyampaian materi-materi keagamaan berikut penerapannya, atau
pembiasaan dalam perilaku keseharian secara intens, baik di rumah, madrasah,
pesantren maupun lingkungan masyarakat. Saat ini,model pendidikan tersebut populer
dengan istilah “Pendidikan Karakter” yakni upaya memengaruhi segenap
pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi
pekerti, dan mempunyai kepribadian. Dalam hal ini, pendidikan karakter bukan
hanya sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang baik dan
buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan
batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Dengan
demikian, ketauladanan yang baik (uswah khasanah), penyampaian serta pembiasaan
aplikasi nilai-nilai luhur agama adalah keniscayaan yang mutlak diperlukan.
Sebagai
penutup, kami sampaikan bahwa telaah dalam tulisan ini baru sebatas perspektif
norma-norma keagamaan yang dapat kami pahami dari teks-teks turots
warisan ulama salaf. Untuk lebih komprehensifnya, memang diperlukan
perspektif-perspektif lain yang bersinggungan dengan kasus-kasus yang telah
kami sebutkan di atas. Harus diakui bahwa terdapat sejumlah faktor yang
berperan dan melatar-belakangi timbulnya kejadian tersebut. Kesimpulannya, kami
tidak bermaksud menganggap sederhana dalam memahaminya,wa-Allah a’lam bi as-showwāb.
[ ]
Kudus, 7 Januari 2016
Referensi :
1.
Tafsīr
Al-Qurthūbi
2.
Tafsīr
Al-Mishbāh
3.
Minhāj
al-‘Ābidīn
4.
Al-Majālis
As-Saniyyah
5.
Kifāyah
Al-Atqiyā’
6.
Kapita
Selekta Pendidikan Islam
7.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia