JIHAD DALAM ISLAM
KONSEP DAN IMPLEMENTASI
Tela’ah Doktrinal
Sebagai Upaya Meluruskan
Kesalahpahaman
Ditulis Oleh :
ABDUL KHOLIQ EL-QUDSIY
[
Abituren PP MUS Sarang Rembang ]
Diskursus tentang Jihad sudah banyak kita jumpai
dalam berbagai bentuk informasi yang mengupasnya. Mulai dari tulisan-tulisan
semacam opini, esai, jurnal, tesis, disertasi dan lain-lain banyak sekali
bertebaran diberbagai perpustakaan dan toko buku. Bahkan generasi ulama salaf sendiri,
sedari dulu tidak lupa menyisipkan kajian jihad dalam literatur-literatur
klasik,seperti dalamkitab-kitab fiqih, tafsir, hadits, sejarah dll.,dengan
sangat rapi dan sistematis.Kendatipun demikian, diskursus jihad agaknya tak
pernah kering untuk didiskusikan, senantiasa aktualsepanjang anak cucu Nabi
Adam a.s masih mendiami pentas jagat ini.
Dewasa ini, di mana kita saksikan berbagai aksi terorisme
bertebaran di berbagai penjuru dunia, kita dapati kata jihad senantiasa
disebut-sebut seiring dengan peristiwa teror tersebut. Sebagai contoh dapat
kita sebutkan di sini, tragedi Bom Bursa Efek Jakarta (2000), serangan 11
September di World Trade Center (WTC) Amerika Serikat (2001), aksi Bom
Bali 12 Oktober (2002), dan yang paling up to date saat ini adalah
gerakan radikal keagamaan di Timur Tengah yang dikomandoi oleh Islamic State
of Iraq and Suriah (ISIS).
ISIS merupakan “negara” baru yang dideklarasikan pada
tanggal 9 April 2013 dengan menjadikan Abu Bakar Al-Bagdadi alias Ibrahim bin
Awwad bin Ibrahim Al-Quraisyi sebagai khalifah. Bahkan
sejak tanggal 29 Juni 2014, mereka tidak menamakan dirinya ISIS, tetapi Islamic
State (IS) atau Daulah Islamiyah dan menyatakan wilayah kekuasaan di
Irak dan Suriah sebagai baru. Sebuah proklamasi sepihak dikarenakan Pemerintah
Suriah dan Pemerintah Irak tidak merestuinya (AULA, Sep. 2014).
Fenomena yang demikian layak kita pertanyakan,
apakah benar aksi-aksi teror tersebut dan semisalnya sudah tepat sebagai
aplikasi ajaran jihad dalam agama Islam? Pertanyaan simpel yang membutuhkan
jawaban memadai dan tuntas, mengurainya merupakan bukti bahwa diskursus jihad
akan senantiasa up to date, dan aktualisasi darinya merupakan ibadah,
mengapa? Oleh karena upaya menampilkan bukti-bukti kebenaran agama (iqāmahal-hujaj
al-‘ilmiyyah) sebagai jawaban dan tanggapan terhadap kekaburan,
ketidakjelasan(syubhat), serta solusi berbagai problem keagamaan (halli
al-musykilāt fi ad-dīn) adalah kewajiban kolektif bagi umat Islam (fardh
al-kifāyah), sekaligus termasuk aplikasi dari ajaran jihad itu sendiri. (Mughni
al-Muhtāj,Juz: 4).
PENGERTIAN
JIHAD
Terjadinya serangkaian aksi teror saat ini telah
mempopulerkan istilah jihad dalam berbagai pemberitaan dan liputan, namun yang
memprihatinkan adalah istilah jihad telah disalah artikan dan diidentikkan
dengan ‘terorisme’, sehingga muncul opini publik yang membikin kesan ‘angker’
dan ‘seram’, pemahaman yang mengarah pada perjuangan fisik dan perlawanan
bersenjata, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif (sindiran, tuduhan) terhadap jihad.
Oleh karena itu, amat urgen bila kita telaah terlebih dulu substansi pemaknaan
jihad secara proporsional.
Dari sisi bahasa (etimologi) kata jihād terambil
dari kata juhdyang memiliki aneka makna, antara lain:upaya, kesungguhan,
keletihan, kesulitan, penyakit, kegelisahan, dan
lain-lain. Dalam al-Qur’an, ditemukan sekitar empat puluh kali kata jihād
dengan berbagai bentuknya. Maknanya bermuara kepada mencurahkan seluruh
kemampuan atau menanggung pengorbanan. (Tafsīr Al-Mishbāh. Vol: 8). Menurut
Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya, Mu’jam Al-Maqayīs fi Al-Lughah,
“semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti
kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya”.
Kata jihad terambil dari kata jahd yang
berarti “letih/sukar, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada
juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata “juhd”
yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus
dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “jahida
bir-rajul” yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian”. Terlihat bahwa
kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas sesorang. (Wawasan Al-Qur’an)
Mujahid
adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau
tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Jihad
adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujuan yang ingin
dicapai dan dengan modal yang tersedia, jihad tidak mengenal putus asa,
menyerah, bahkan kelesuan, tidak pula pamrih. (Tafsīr Al-Mishbāh. Vol:
8)
Sedangkan pengertian jihad dari sisi
terminologi―sebagaimana disampaikan oleh Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi,
M.A.dalam bukunya “Fiqh As-Shīrah”―adalah “mengerahkan segenap
kemampuan dalam rangka meninggikan kalimat Allah serta membangun masyarakat yang
islami”. Berpijak pada definisi ini, mengerahkan kemampuan dalam rangka
berperang melawan musuh merupakan sebagian dari cakupan pengertian jihad.
Pakar bahasa Al-Qur’an Imam Ar-Raghib Al-Asfahaniy (w. 508
H/1108 M) dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an menjelaskan bahwa jihad
adalah “mencurahkan seluruh kemampuan untuk melawan musuh, baik dengan
tangan maupun lisan. Menurut beliau pemaknaan jihad yang demikian mencakup
tiga bentuk perlawanan: pertama; jihad melawan musuh, kedua;
jihad melawan syaitan, dan ketiga; jihad melawan hawa nafsu. Tiga macam
jihad ini tercakup dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan
berjihadlah pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (QS.
Al-Hajj: 78). Firman Allah : “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kamu di
jalan Allah” (QS. At-Taubah: 41). Dan firman Allah : “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka
di jalan Allah” (QS. Al-Anfāl: 72).
MACAM
– MACAM JIHAD
Harus diakui bahwa terjadikesalahpahaman dalam memahami
istilah jihad. Pengertian jihad dipersempit (reduksi) hanya dipahami dalam
artian perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata, sungguh ironis sekali.
Kesalah pahaman ini, lebih kurangnya disebabkan oleh beberapa sebab.
Pertama,
faktor kesengajaan. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Muhammad Rasyid Ridho
dalam kitab tafsirnya yang terkenal “Al-Manār”, jihad dipahami oleh sebagian orientalis perancis serta
kroni-kroninya dengan peperangan yang dilakukan umat Islam terhadap setiap non
muslim, dengan tujuan memaksa mereka supaya masuk Islam kendatipun non muslim
tidak memusuhi umat Islam.
Kedua,
kesalahpahaman dalam memahami definisi jihad yang dipaparkan para pakar fiqih (fuqoha’).
Sejatinya―sebagaimana diungkap oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili―definisi jihad
yang dipaparkan para pakar fiqih (fuqoha’) tidak dimaksudkan membatasi
cakupan ruanglingkup jihad yang luas yang terdapat dalam teks-teks Al-Qur’an
hanya terfokus pada peperangan melawan non muslim. Ulama Hanafiyah mendefinisikan
jihad “ajakan pada agama yang benar, dan memerangi orang yang tidak
menerimanya dengan segenap harta dan nyawa”. Ulama Maliki mendefinisikan
jihad “memerangi orang-orang kafir yang tidak memiliki ikatan perjanjian
demi tegaknya kalimat Allah”. Dan ulama Syafi’iyyah memberi definisi jihad
“memerangi orang-orang kafir untuk membela Islam”. Jadi
definisi-definisi semacam ini lebih tepatnya baru sebatas memotret sebagian
dari makna jihad itu sendiri, belum keseluruhannya.
Ketiga,
kesalah pahaman dalam menterjemah Al-Qur’an. Menurut analisis Prof. Dr. M.
Quraish Shihab, M.A. hal ini terjadi pada terjemahan yang kurang tepat terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad dengan anfus dan harta
benda. Kata anfussering diterjemahkan sebagai jiwa. Padahal kata anfus
dalam Al-Qur’an memiliki banyak pengertian. Ada yang diartikan sebagai nyawa,
hati, jenis, dan totalitas manusia. Jadi,―menurut beliau―tidak salah jika kata anfus/nafs
dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas manusia, sehingga kata nafs
mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat
yang berkaitan dengannya. Analisis dari pakar tafsir yang kondang tersebut
mengantarkan sebuah kesimpulan, bahwa ruanglingkup jihad tidak sekedar
pengorbanan nyawa saja, tetapi jauh lebih luas.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Imam Ar-Raghib
Al-Asfahaniy (w. 508 H/1108 M) menjelaskan bahwa jihad dalam Al-Qur’an meliputi
tiga hal. pertama; jihad melawan musuh, kedua; jihad melawan
syaitan, dan ketiga; jihad melawan hawa nafsu. Senada dengan keterangan
ini, Imam Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam “Zād Al-Ma’ād” menjelaskan bahwa
ada empat tingkatan jihad, yaitu : jihad memerangi nafsu, jihad melawan
syaitan, jihad memerangi orang kafir, dan jihad melawan orang-orang
munafiq.
Dalam mahakarya berjudul “Fiqh Az-Zakāt” Dr. Yusuf
al-Qordhowi disela-sela mengkaji golongan penerima zakat “Sabilillah”
menuliskan, bahwa jihad adakalanya dalam
bentuk tulisan pena dan lisan, sebagaimana jihad dilakukan dengan mengangkat
senjata. Jihad juga dapat berbentuk pemikiran, pendidikan, kegiatan sosial,
ekonomi, dan politik sebagaimana halnya jihad dengan menyiapkan tentara perang.
Menarik juga penjelasan yang disampaikan oleh Prof. Dr. M.
Quraish Shihab, M.A.dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” sebagai penutup
uraian tafsir tematik tentang jihad, bahwa jihad beraneka ragam: memberantas
kebodohan, kemiskinan, dan penyakit adalah jihad yang tidak kurang pentingnya
daripada mengangkat senjata. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya,
karyawan bekerja dengan karya yang baik, guru dengan pendidikanya yang
sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, demikian
seterusnya.
JIHAD
DALAM ARTI PERANG FISIK
Sebagaimana dicatat oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam
bukunya “Ātsaru al-Harb fi al-Fiqh al-Islāmiy” bahwa konsensus para
pakar hukum Islam (fuqahā’) menetapkan jihad merupakan syari’at Islam
yang belum terhapus (naskh). Faktor pendorong pelaksanaan jihad
senantiasa eksis setiap waktu. Hanya saja umat Islam melaksanakan jihad tiada
lain atas dasar ketentuan syari’at. Bila jihad dilaksanakan dengan cara
mengangkat senjata itupun dilaksanakan berdasarkan syari’at, dan jika memang
dengan cara gencatan senjata juga atas pertimbangan syari’at.
Tetapi harus dipahami bahwa kewajiban berjihad dalam bentuk
perlawanan/perang fisik hanya sebatas sarana atau cara untuk mencapai tujuan,
tujuan utamanya adalah menyampaikan petunjuk agama (hidāyah), sehingga
bila tujuan ini dapat tercapai dengan menampilkan bukti-bukti kebenaran agama (iqāmah
ad-dalīl) adalah lebih utama daripada melakukan perlawanan/perang fisik
terhadap orang-orang kafir. (Mughni al-Muhtāj, Juz: 4).
Dalam konteks ini sangat urgen sekali klarifikasi atas
tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa Islam adalah agama
“pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya. Menurut analisis Prof. Dr. Alwi Shihab tuduhan
orientalis tersebut didasarkan atas dua argumentasi.Pertama, interaksi
Islam dengan kekuatan eksternal (non Islam), Islam telah berhasil menyebarkan
sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik
geografis kelahirannya. Bukti sejarah menunjukkan ekspansi teritorial Islam
yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai daratan Eropa di Barat dan
benua India di Timur. Kedua, hubungan internal umat Islam yang
berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah
ketiga Usman r.a. sampai sekarang selalu
diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini bagi sebagian orientalis adalah
konsekuensi logis atas penekanan konsep jihad dalam kehidupan politik Islam.
Asumsi sebagian orientalis tersebut timbul karena persepsi
keliru dalam memahami arti dan fungsi jihad dalam Islam. Adalah tidak benar
asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan aksi mengangkat senjata.
Jihad dalam pengertian etimologis―sebagaimana terbaca pada pembahasan
sebelumnya―adalah usaha sungguh-sungguh yang tak mengenal lelah, demikian
jawaban yang disampaikan oleh Prof. Dr. Alwi Shihab dalam bukunya “Islam
Inklusif”.
Lebih jauh beliau menjelaskan, bahwa ada dua kategori jihad
dalam peristilahan Al-Qur’an. Pertama, jihad fi sabilillāhyakni
kesungguhan di jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa.
Pengorbanan para pahlawan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
dengan aksi yang memungkinkan terjadinya konfrontasi fisik dan hilangnya nyawa
adalah salah satu contohnya. Kedua, jihad fillāh yakni usaha
sungguh-sungguh (menghampiri Allah) untuk memperdalam aspek spiritual (rohani)
sehingga terjalin hubungan erat antara seorang hamba dengan Allah. Hal ini
diwujudkan dengan menundukkan tendensi negatif (nafsu) yang bersarang di jiwa
tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.
Jihad dalam pengertian berdakwah, mengajak orang-orang
musyrik dan munafik kejalan yang benar sebenarnya telah disyari’atkan lebih
dulu semenjak periode Makkah. Adapun berjihad dalam pengertian
perlawanan/perang fisik baru disyari’atkan satu tahun setelah baginda Nabi
hijrah dan menetap di Madinah. Dikarenakan peradaban baru yang dibangun oleh
baginda Nabi bersama umat Islam di Madinah pada saat itu merupakan kesuksesan besar. Namun di sisi
lain, keberhasilan tersebut justru membangkitkan nafsu serakah komunitas
orang-orang kafir atau ancaman bagi mereka. Nah, dari sini lah muncul ancaman
dari non muslim yang ingin menguasai peradaban baru itu dengan melakukan serangkaian
agresi militer. Berawal dari kenyataan di atas, di syari’atkanlah jihad dalam
pengertian perlawanan/perang fisik.
Namun penting untuk dicatat, bahwa syari’at jihad ini
diperintahkan adalah dalam rangka membela dan mempertahankan peradaban baru yang
telah dianugerahkan oleh Allah tersebut, bukan dalam rangka ekspansi militer
besar-besaran untuk membangun dan menciptakan sebuah peradaban baru.
Berdasarkan kesimpulan ini, keberhasilan Islam―baik periode Rosulullah saw,
Khulafaurrasyidin, dan periode berikutnya―dalam melebarkan sayapnya dan
menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis
kelahirannya penting sekali dipahami. Ekspansi militer yang dilakukan oleh umat
Islam sama sekali bukan berawal dari motifasi keserakahan menduduki dan
menguasai daerah-daerah sekitarnya.
Jadi beliau Rasulullah saw. tidak melakukan peperangan
dalam rangka menciptakan Dār Islām, atau membangun sebuah emperium
Islam, atau memobilisasi umat Islam dalam rangka membangun sebuah emperium.
Akan tetapi perang dilaksanakan setelah Allah memberikan anugerah kesemuanya
itu, sebagai jalan pembelaan, menjaga dan mempertahankannya. Demikian lebih
kurang kesimpulan-kesimpulan yang dapat kami peroleh dari buku “Al-Jihād fi
Al-Islām” karya monumental Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi, M.A. yang
gugur sebagai seorang syahid, semoga Allah melimpahkan rahmatnya pada beliau,
amien.
JIHAD
AKBAR DAN JIHAD ASGHAR
Dalam pembahasan jihadsering kali disinggung pembicaraan
tentang jihad melawan hawa nafsu (jihadan-nafsi). Bahkan dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa jihad ini lebih berat tingkatannya dari pada jihad
dalam pengertian perlawanan/perang fisik mengangkat senjata. Kesimpulan itu
merujuk pada teks yang amat populer dan seringkali muncul dalam khazanah
turots, seperti kitab tafsir Mafātīh al-Ghaib, Rūh al-Bayān, al-Kassyāf,
Tafsir al-Khozin, juga kitab komentar hadits (syarh al-hadits)
sebagaimana kitab Dalīl al-Fālihīn, Faidh al-Qadīr, Syarh
Sunan Ibnu Mājah, Ihyā’ Ulūm ad-Dīn dll, turut berperan dari
beredarnya sabda baginda Nabi usai pertempuran Tabuk :
رَجَعْنَا
مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأكْبَرِ. [رواه البيهقى]
“Kita telah menyelesaikan jihad kecil menuju jihad yang lebih
besar”
Jihad al-asghar sebagaimana
ditafsirkan kitab-kitab turotsadalah peperangn melawan orang-orang
kafir, sedangkan jihad al-akbar adalah peperangan melawan hawa nafsu.
Dari riwayat di atas kami ingin menggaris bawahi, bahwa jihad tidak hanya
merujuk pada pengertian
perlawanan/perang fisik mengangkat senjata. Namun justru
ada yang lebih besar, yaitu jihad melawan musuh yang terdapat pada diri setiap
manusia, jihad melawan hawa nafsu (jihad an-nafsi). Selama seseorang
belum mampu menundukkan nafsunya terlebih dahulu, supaya patuh menjalankan
perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya, tentu dirinya tidak akan mampu
memerangi musuhnya. Bagaimana ia mampu berjihad melawan musuh serta
menundukkannya, padahal dirinya sendiri dikuasai dan dikalahkan oleh nafsunya?
Demikian komentar kritis disampaikan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Zād
Al-Ma’ād”.
KESIMPULAN
Terbaca dengan cukup jelas dari uraian-uraian sebelumnya,
bahwa jihad adalah bagian dari syari’at Islam. Ruanglingkup dari medan sasaran
jihad cukup luas, tidak hanya tertuju pada perjuangan fisik mengangkat senjata.
Berpijak dari luasnya medan jihad tersebut, masing-masing dari kita memiliki
peran, andil serta tanggungjawab melaksanakan perintah jihad sesuai dengan
kapasitasnya. Medan sasaran pelaksanaan ajaran jihad yang cukup luas itu dalam
bahasa agama meliputi kewajiban kolektif (fardhu kifayah), di samping
pula kewajiban individu (fardhu ‘ain).
Selanjutnya, kesalahpahaman bahwa Islam sama dengan
terorisme sebenarnya sudah berjalan lama sekali. Ini disebabkan sebagian oleh
perilaku kaum muslimin sendiri, sebagian oleh kurangnya pemahaman yang benar
tentang hakikat Islam. Jadi baik di luar kalangan kaum muslim sendiri maupun
pemahaman dari luar, Islam sering diartikan secara salah. Dari sinilah
sebenarnya terletak pentingnya kesediaan melaksanakan dialog antar budaya dan
antar agama, demikian Gus Dur―Presiden ke empat RI―menuturkan dalam salah satu
artikelnya. Semoga kita ke depannya, memperoleh bimbingan dari Allah dalam
memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam yang benar, amien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’ān al-Karīm.
2. Imam
Ar-Rāghib Al-Asfahaniy. 2008. Mu’jamAl-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an. Beirut.
Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
3.
Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. 2007. Zād
Al-Ma’ād. Beirut. Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
4. Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi,
M.A. 1997. Al-Jihād Fi Al-IslamKaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numārishu.
Damaskus. Dār Al-Fikr.
5.
Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi,
M.A. 1990. Fiqh As-Sīrah. Beirut. Dār Al-Fikr.
6.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, M.A. 1989.
Al-Fiqh Al-Islāmiy wa Adillatuhu. Damaskus. Dār Al-Fikr.
7. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, M.A. 1998.
Ātsaru Al-Harb fi Al-Fiqh
Al-Islāmiy. Damaskus. Dār Al-Fikr.
8.
Prof. Dr. Yusuf Al-Qordhōwi, M.A. 1991.
Fiqh Az-Zakāt. Beirut. Muassasah Ar-Risālah.
9. Dr. (HC). KH. Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku
Islam Anda Islam Kita. Jakarta. The Wahid Institute.
10. Dr. (HC).
KH. Abdurrahman Wahid. 2005. Gus Dur Bertutur. Jakarta. Harian Proaksi
dan Gus Dur Foundation.
11. Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. 2012. Tafsir Al-Mishbāh. Ciputat. Penerbit
Lentera Hati.
12. Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. 2013. Wawasan Al-Qur’ān. Bandung. PT Mizan
Pustaka.
13. Prof.
Dr. Alwi Shihab, M.A. 1999. Islam Inklusif. Bandung. PT Mizan Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar