Senin, 03 Agustus 2015

Kajian Islam

JIHAD DALAM ISLAM
KONSEP DAN IMPLEMENTASI

Tela’ah Doktrinal
Sebagai Upaya Meluruskan Kesalahpahaman
    
Ditulis Oleh :
ABDUL KHOLIQ EL-QUDSIY
[ Abituren PP MUS Sarang Rembang ]




Diskursus tentang Jihad sudah banyak kita jumpai dalam berbagai bentuk informasi yang mengupasnya. Mulai dari tulisan-tulisan semacam opini, esai, jurnal, tesis, disertasi dan lain-lain banyak sekali bertebaran diberbagai perpustakaan dan toko buku. Bahkan generasi ulama salaf sendiri, sedari dulu tidak lupa menyisipkan kajian jihad dalam literatur-literatur klasik,seperti dalamkitab-kitab fiqih, tafsir, hadits, sejarah dll.,dengan sangat rapi dan sistematis.Kendatipun demikian, diskursus jihad agaknya tak pernah kering untuk didiskusikan, senantiasa aktualsepanjang anak cucu Nabi Adam a.s masih mendiami pentas jagat ini.
Dewasa ini, di mana kita saksikan berbagai aksi terorisme bertebaran di berbagai penjuru dunia, kita dapati kata jihad senantiasa disebut-sebut seiring dengan peristiwa teror tersebut. Sebagai contoh dapat kita sebutkan di sini, tragedi Bom Bursa Efek Jakarta (2000), serangan 11 September di World Trade Center (WTC) Amerika Serikat (2001), aksi Bom Bali 12 Oktober (2002), dan yang paling up to date saat ini adalah gerakan radikal keagamaan di Timur Tengah yang dikomandoi oleh Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).
ISIS merupakan “negara” baru yang dideklarasikan pada tanggal 9 April 2013 dengan menjadikan Abu Bakar Al-Bagdadi alias Ibrahim bin Awwad bin Ibrahim Al-Quraisyi sebagai khalifah. Bahkan sejak tanggal 29 Juni 2014, mereka tidak menamakan dirinya ISIS, tetapi Islamic State (IS) atau Daulah Islamiyah dan menyatakan wilayah kekuasaan di Irak dan Suriah sebagai baru. Sebuah proklamasi sepihak dikarenakan Pemerintah Suriah dan Pemerintah Irak tidak merestuinya (AULA, Sep. 2014).             
Fenomena yang demikian layak kita pertanyakan, apakah benar aksi-aksi teror tersebut dan semisalnya sudah tepat sebagai aplikasi ajaran jihad dalam agama Islam? Pertanyaan simpel yang membutuhkan jawaban memadai dan tuntas, mengurainya merupakan bukti bahwa diskursus jihad akan senantiasa up to date, dan aktualisasi darinya merupakan ibadah, mengapa? Oleh karena upaya menampilkan bukti-bukti kebenaran agama (iqāmahal-hujaj al-‘ilmiyyah) sebagai jawaban dan tanggapan terhadap kekaburan, ketidakjelasan(syubhat), serta solusi berbagai problem keagamaan (halli al-musykilāt fi ad-dīn) adalah  kewajiban kolektif bagi umat Islam (fardh al-kifāyah), sekaligus termasuk aplikasi dari ajaran jihad itu sendiri. (Mughni al-Muhtāj,Juz: 4).
PENGERTIAN JIHAD
Terjadinya serangkaian aksi teror saat ini telah mempopulerkan istilah jihad dalam berbagai pemberitaan dan liputan, namun yang memprihatinkan adalah istilah jihad telah disalah artikan dan diidentikkan dengan ‘terorisme’, sehingga muncul opini publik yang membikin kesan ‘angker’ dan ‘seram’, pemahaman yang mengarah pada perjuangan fisik dan perlawanan bersenjata, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif (sindiran, tuduhan) terhadap jihad. Oleh karena itu, amat urgen bila kita telaah terlebih dulu substansi pemaknaan jihad secara proporsional.
Dari sisi bahasa (etimologi) kata jihād terambil dari kata juhdyang memiliki aneka makna, antara lain:upaya, kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, kegelisahan, dan lain-lain. Dalam al-Qur’an, ditemukan sekitar empat puluh kali kata jihād dengan berbagai bentuknya. Maknanya bermuara kepada mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan. (Tafsīr Al-Mishbāh. Vol: 8). Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya, Mu’jam Al-Maqayīs fi Al-Lughah, “semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya”.
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata “juhd” yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “jahida bir-rajul” yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian”. Terlihat bahwa kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas sesorang. (Wawasan Al-Qur’an)
Mujahid adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dengan modal yang tersedia, jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, tidak pula pamrih. (Tafsīr Al-Mishbāh. Vol: 8)
Sedangkan pengertian jihad dari sisi terminologi―sebagaimana disampaikan oleh Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi, M.A.dalam bukunya “Fiqh As-Shīrah”―adalah “mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka meninggikan kalimat Allah serta membangun masyarakat yang islami”. Berpijak pada definisi ini, mengerahkan kemampuan dalam rangka berperang melawan musuh merupakan sebagian dari cakupan pengertian jihad.
Pakar bahasa Al-Qur’an Imam Ar-Raghib Al-Asfahaniy (w. 508 H/1108 M) dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an menjelaskan bahwa jihad adalah “mencurahkan seluruh kemampuan untuk melawan musuh, baik dengan tangan maupun lisan. Menurut beliau pemaknaan jihad yang demikian mencakup tiga bentuk perlawanan: pertama; jihad melawan musuh, kedua; jihad melawan syaitan, dan ketiga; jihad melawan hawa nafsu. Tiga macam jihad ini tercakup dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan berjihadlah pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (QS. Al-Hajj: 78). Firman Allah : “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kamu di jalan Allah” (QS. At-Taubah: 41). Dan firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah” (QS. Al-Anfāl: 72).


MACAM – MACAM JIHAD
Harus diakui bahwa terjadikesalahpahaman dalam memahami istilah jihad. Pengertian jihad dipersempit (reduksi) hanya dipahami dalam artian perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata, sungguh ironis sekali. Kesalah pahaman ini, lebih kurangnya disebabkan oleh beberapa sebab.
Pertama, faktor kesengajaan. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Muhammad Rasyid Ridho dalam kitab tafsirnya yang terkenal “Al-Manār”, jihad dipahami oleh  sebagian orientalis perancis serta kroni-kroninya dengan peperangan yang dilakukan umat Islam terhadap setiap non muslim, dengan tujuan memaksa mereka supaya masuk Islam kendatipun non muslim tidak memusuhi umat Islam.
Kedua, kesalahpahaman dalam memahami definisi jihad yang dipaparkan para pakar fiqih (fuqoha’). Sejatinya―sebagaimana diungkap oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili―definisi jihad yang dipaparkan para pakar fiqih (fuqoha’) tidak dimaksudkan membatasi cakupan ruanglingkup jihad yang luas yang terdapat dalam teks-teks Al-Qur’an hanya terfokus pada peperangan melawan non muslim. Ulama Hanafiyah mendefinisikan jihad “ajakan pada agama yang benar, dan memerangi orang yang tidak menerimanya dengan segenap harta dan nyawa”. Ulama Maliki mendefinisikan jihad “memerangi orang-orang kafir yang tidak memiliki ikatan perjanjian demi tegaknya kalimat Allah”. Dan ulama Syafi’iyyah memberi definisi jihad “memerangi orang-orang kafir untuk membela Islam”. Jadi definisi-definisi semacam ini lebih tepatnya baru sebatas memotret sebagian dari makna jihad itu sendiri, belum keseluruhannya.  
Ketiga, kesalah pahaman dalam menterjemah Al-Qur’an. Menurut analisis Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. hal ini terjadi pada terjemahan yang kurang tepat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad dengan anfus dan harta benda. Kata anfussering diterjemahkan sebagai jiwa. Padahal kata anfus dalam Al-Qur’an memiliki banyak pengertian. Ada yang diartikan sebagai nyawa, hati, jenis, dan totalitas manusia. Jadi,―menurut beliau―tidak salah jika kata anfus/nafs dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas manusia, sehingga kata nafs mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat yang berkaitan dengannya. Analisis dari pakar tafsir yang kondang tersebut mengantarkan sebuah kesimpulan, bahwa ruanglingkup jihad tidak sekedar pengorbanan nyawa saja, tetapi jauh lebih luas.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Imam Ar-Raghib Al-Asfahaniy (w. 508 H/1108 M) menjelaskan bahwa jihad dalam Al-Qur’an meliputi tiga hal. pertama; jihad melawan musuh, kedua; jihad melawan syaitan, dan ketiga; jihad melawan hawa nafsu. Senada dengan keterangan ini, Imam Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam “Zād Al-Ma’ād” menjelaskan bahwa ada empat tingkatan jihad, yaitu : jihad memerangi nafsu, jihad melawan syaitan, jihad memerangi orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafiq. 
Dalam mahakarya berjudul “Fiqh Az-Zakāt” Dr. Yusuf al-Qordhowi disela-sela mengkaji golongan penerima zakat “Sabilillah” menuliskan, bahwa  jihad adakalanya dalam bentuk tulisan pena dan lisan, sebagaimana jihad dilakukan dengan mengangkat senjata. Jihad juga dapat berbentuk pemikiran, pendidikan, kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sebagaimana halnya jihad dengan menyiapkan tentara perang.
Menarik juga penjelasan yang disampaikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A.dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” sebagai penutup uraian tafsir tematik tentang jihad, bahwa jihad beraneka ragam: memberantas kebodohan, kemiskinan, dan penyakit adalah jihad yang tidak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan karya yang baik, guru dengan pendidikanya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, demikian seterusnya.
JIHAD DALAM ARTI PERANG FISIK
Sebagaimana dicatat oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya “Ātsaru al-Harb fi al-Fiqh al-Islāmiy” bahwa konsensus para pakar hukum Islam (fuqahā’) menetapkan jihad merupakan syari’at Islam yang belum terhapus (naskh). Faktor pendorong pelaksanaan jihad senantiasa eksis setiap waktu. Hanya saja umat Islam melaksanakan jihad tiada lain atas dasar ketentuan syari’at. Bila jihad dilaksanakan dengan cara mengangkat senjata itupun dilaksanakan berdasarkan syari’at, dan jika memang dengan cara gencatan senjata juga atas pertimbangan syari’at. 
Tetapi harus dipahami bahwa kewajiban berjihad dalam bentuk perlawanan/perang fisik hanya sebatas sarana atau cara untuk mencapai tujuan, tujuan utamanya adalah menyampaikan petunjuk agama (hidāyah), sehingga bila tujuan ini dapat tercapai dengan menampilkan bukti-bukti kebenaran agama (iqāmah ad-dalīl) adalah lebih utama daripada melakukan perlawanan/perang fisik terhadap orang-orang kafir. (Mughni al-Muhtāj, Juz: 4).
Dalam konteks ini sangat urgen sekali klarifikasi atas tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa Islam adalah agama “pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya. Menurut  analisis Prof. Dr. Alwi Shihab tuduhan orientalis tersebut didasarkan atas dua argumentasi.Pertama, interaksi Islam dengan kekuatan eksternal (non Islam), Islam telah berhasil menyebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis kelahirannya. Bukti sejarah menunjukkan ekspansi teritorial Islam yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai daratan Eropa di Barat dan benua India di Timur. Kedua, hubungan internal umat Islam yang berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah ketiga Usman r.a.  sampai sekarang selalu diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini bagi sebagian orientalis adalah konsekuensi logis atas penekanan konsep jihad dalam kehidupan politik Islam.
Asumsi sebagian orientalis tersebut timbul karena persepsi keliru dalam memahami arti dan fungsi jihad dalam Islam. Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan aksi mengangkat senjata. Jihad dalam pengertian etimologis―sebagaimana terbaca pada pembahasan sebelumnya―adalah usaha sungguh-sungguh yang tak mengenal lelah, demikian jawaban yang disampaikan oleh Prof. Dr. Alwi Shihab dalam bukunya “Islam Inklusif”.
Lebih jauh beliau menjelaskan, bahwa ada dua kategori jihad dalam peristilahan Al-Qur’an. Pertama, jihad fi sabilillāhyakni kesungguhan di jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa. Pengorbanan para pahlawan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan aksi yang memungkinkan terjadinya konfrontasi fisik dan hilangnya nyawa adalah salah satu contohnya. Kedua, jihad fillāh yakni usaha sungguh-sungguh (menghampiri Allah) untuk memperdalam aspek spiritual (rohani) sehingga terjalin hubungan erat antara seorang hamba dengan Allah. Hal ini diwujudkan dengan menundukkan tendensi negatif (nafsu) yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.
Jihad dalam pengertian berdakwah, mengajak orang-orang musyrik dan munafik kejalan yang benar sebenarnya telah disyari’atkan lebih dulu semenjak periode Makkah. Adapun berjihad dalam pengertian perlawanan/perang fisik baru disyari’atkan satu tahun setelah baginda Nabi hijrah dan menetap di Madinah. Dikarenakan peradaban baru yang dibangun oleh baginda Nabi bersama umat Islam di Madinah pada saat itu  merupakan kesuksesan besar. Namun di sisi lain, keberhasilan tersebut justru membangkitkan nafsu serakah komunitas orang-orang kafir atau ancaman bagi mereka. Nah, dari sini lah muncul ancaman dari non muslim yang ingin menguasai peradaban baru itu dengan melakukan serangkaian agresi militer. Berawal dari kenyataan di atas, di syari’atkanlah jihad dalam pengertian perlawanan/perang fisik.
Namun penting untuk dicatat, bahwa syari’at jihad ini diperintahkan adalah dalam rangka membela dan mempertahankan peradaban baru yang telah dianugerahkan oleh Allah tersebut, bukan dalam rangka ekspansi militer besar-besaran untuk membangun dan menciptakan sebuah peradaban baru. Berdasarkan kesimpulan ini, keberhasilan Islam―baik periode Rosulullah saw, Khulafaurrasyidin, dan periode berikutnya―dalam melebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis kelahirannya penting sekali dipahami. Ekspansi militer yang dilakukan oleh umat Islam sama sekali bukan berawal dari motifasi keserakahan menduduki dan menguasai daerah-daerah sekitarnya.
Jadi beliau Rasulullah saw. tidak melakukan peperangan dalam rangka menciptakan Dār Islām, atau membangun sebuah emperium Islam, atau memobilisasi umat Islam dalam rangka membangun sebuah emperium. Akan tetapi perang dilaksanakan setelah Allah memberikan anugerah kesemuanya itu, sebagai jalan pembelaan, menjaga dan mempertahankannya. Demikian lebih kurang kesimpulan-kesimpulan yang dapat kami peroleh dari buku “Al-Jihād fi Al-Islām” karya monumental Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi, M.A. yang gugur sebagai seorang syahid, semoga Allah melimpahkan rahmatnya pada beliau, amien.
JIHAD AKBAR DAN JIHAD ASGHAR
Dalam pembahasan jihadsering kali disinggung pembicaraan tentang jihad melawan hawa nafsu (jihadan-nafsi). Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa jihad ini lebih berat tingkatannya dari pada jihad dalam pengertian perlawanan/perang fisik mengangkat senjata. Kesimpulan itu merujuk pada teks yang amat populer dan seringkali muncul dalam khazanah turots, seperti kitab tafsir Mafātīh al-Ghaib, Rūh al-Bayān, al-Kassyāf, Tafsir al-Khozin, juga kitab komentar hadits (syarh al-hadits) sebagaimana kitab Dalīl al-Fālihīn, Faidh al-Qadīr, Syarh Sunan Ibnu Mājah, Ihyā’ Ulūm ad-Dīn dll, turut berperan dari beredarnya sabda baginda Nabi usai pertempuran Tabuk :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأكْبَرِ. [رواه البيهقى]
Kita telah menyelesaikan jihad kecil menuju jihad yang lebih besar
Jihad al-asghar sebagaimana ditafsirkan kitab-kitab turotsadalah peperangn melawan orang-orang kafir, sedangkan jihad al-akbar adalah peperangan melawan hawa nafsu. Dari riwayat di atas kami ingin menggaris bawahi, bahwa jihad tidak hanya merujuk pada pengertian perlawanan/perang fisik mengangkat senjata. Namun justru ada yang lebih besar, yaitu jihad melawan musuh yang terdapat pada diri setiap manusia, jihad melawan hawa nafsu (jihad an-nafsi). Selama seseorang belum mampu menundukkan nafsunya terlebih dahulu, supaya patuh menjalankan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya, tentu dirinya tidak akan mampu memerangi musuhnya. Bagaimana ia mampu berjihad melawan musuh serta menundukkannya, padahal dirinya sendiri dikuasai dan dikalahkan oleh nafsunya? Demikian komentar kritis disampaikan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Zād Al-Ma’ād”.
KESIMPULAN
Terbaca dengan cukup jelas dari uraian-uraian sebelumnya, bahwa jihad adalah bagian dari syari’at Islam. Ruanglingkup dari medan sasaran jihad cukup luas, tidak hanya tertuju pada perjuangan fisik mengangkat senjata. Berpijak dari luasnya medan jihad tersebut, masing-masing dari kita memiliki peran, andil serta tanggungjawab melaksanakan perintah jihad sesuai dengan kapasitasnya. Medan sasaran pelaksanaan ajaran jihad yang cukup luas itu dalam bahasa agama meliputi kewajiban kolektif (fardhu kifayah), di samping pula kewajiban individu (fardhu ‘ain).
Selanjutnya, kesalahpahaman bahwa Islam sama dengan terorisme sebenarnya sudah berjalan lama sekali. Ini disebabkan sebagian oleh perilaku kaum muslimin sendiri, sebagian oleh kurangnya pemahaman yang benar tentang hakikat Islam. Jadi baik di luar kalangan kaum muslim sendiri maupun pemahaman dari luar, Islam sering diartikan secara salah. Dari sinilah sebenarnya terletak pentingnya kesediaan melaksanakan dialog antar budaya dan antar agama, demikian Gus Dur―Presiden ke empat RI―menuturkan dalam salah satu artikelnya. Semoga kita ke depannya, memperoleh bimbingan dari Allah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam yang benar, amien.
          
 DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’ān al-Karīm.
2.    Imam Ar-Rāghib Al-Asfahaniy. 2008. Mu’jamAl-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an. Beirut. Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
3.      Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. 2007. Zād Al-Ma’ād. Beirut. Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
4.     Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi, M.A. 1997. Al-Jihād Fi Al-IslamKaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numārishu. Damaskus. Dār Al-Fikr.
5.      Dr. Muhammad Said Romadhan Al-Buthi, M.A. 1990. Fiqh As-Sīrah. Beirut. Dār Al-Fikr.
6.      Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, M.A. 1989. Al-Fiqh Al-Islāmiy wa Adillatuhu. Damaskus. Dār Al-Fikr.
7.     Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, M.A. 1998. Ātsaru Al-Harb fi Al-Fiqh Al-Islāmiy. Damaskus. Dār Al-Fikr.
8.      Prof. Dr. Yusuf Al-Qordhōwi, M.A. 1991. Fiqh Az-Zakāt. Beirut. Muassasah Ar-Risālah.
9.   Dr. (HC). KH. Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta. The  Wahid Institute.
10.  Dr. (HC). KH. Abdurrahman Wahid. 2005. Gus Dur Bertutur. Jakarta. Harian Proaksi dan Gus Dur Foundation.
11.  Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. 2012. Tafsir Al-Mishbāh. Ciputat. Penerbit Lentera Hati.
12.  Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. 2013. Wawasan Al-Qur’ān. Bandung. PT Mizan Pustaka.
13.  Prof. Dr. Alwi Shihab, M.A. 1999. Islam Inklusif. Bandung. PT Mizan Pustaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...