Senin, 03 Agustus 2015

Kajian Islam

TOLERANSI
Terlebih dahulu kita dudukkan secara proporsional makna dari toleransi itu sendiri. Toleransi―yang dimaknai dengan sifat atau sikap toleran―seakar dengan kata toleran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata toleran diartikan dengan: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Demikian makna kata toleran kita peroleh, cukup terang dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Selanjutnya bila toleransi yang dikehendaki adalah toleransi antar umat beragama dalam kerangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, maka perlu dipahami bahwa agama Islam tidak melarangnya, al-Qur’an menyatakan: “Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka”. (QS. al-Mumtahanah: 8). Terkait dengan ayat ini, Imam al-Qurtubiy mencatat riwayat yang bersumber dari Asmā’ binti Abi Bakar ash-Shiddīq beliau bercerita bahwa ibunya―bernama Qutailah yang ketika itu masih dalam kondisi musyrik―berkunjung kepadanya, maka beliau pergi menemui Nabi saw. seraya bertanya: “Bolehkah saya menjalin hubungan dengan ibu saya”. Nabi saw. menjawab: “Ya, jalinlah hubungan baik dengannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun perlu digaris bawahi, bahwa toleransi antar umat beragama tidak dimaksudkan untuk membenarkan keyakinan dan ajaran semua agama, sehingga dengan demikian toleransi telah jauh merusak, mengaburkan serta menjadikan kayakinan (aqidah) sebagai korban. Dalam hal ini, al-Qur’an dengan tegas memperingatkan: “Bagi kamu agama kamu dan bagiku  agamaku”. (QS. al-Kāfirūn: 6). Oleh karena itu, salah bahkan berdosa bila toleransi dikorbankan atas nama agama, demikian pula sebaliknya salah dan berdosa bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama toleransi.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada realitas yang memperlihatkan adanya kemajemukan (heterogenitas/pluralitas) yang tinggi dalam bidang keyakinan dan agama yang dianut oleh warga negara di samping pula bidang-bidang yang lain. Hal ini sudah semestinya menuntut adanya kearifan dan toleransi antar umat beragama agar supaya keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga, Bhineka Tunggal Ika demikianlah diktum yang diwariskan oleh para pendahulu sekaligus pendiri negeri ini. Bukankah dengan jelas dan tegas al-Qur’an menyatakan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. al-Hujurāt: 13). Perintah untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain dalam ayat ini, tentu―pada saat terjadinya interaksi―menuntut adanya kerukunan dan toleransi dengan batasan-batasannya.
Nah, terkait dengan mengucapkan selamat dalam perayaan Natal pada setiap tanggal 25 Desember serta perayaan tahun baru Miladiyah/Masehi bila dikaitkan dengan sikap toleran kita terhadap pemeluk agama lain, maka memang benar bila persoalan ini termasuk dalam ranah kontroversi. Ada yang bersifat tegas melarang (baca: mengharamkan) ucapan selamat itu, di samping pula ada juga yang berpendapat sebaliknya, yakni membolehkan. Maklum, tidak dijumpainya teks baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits yang secara tegas (eksplisit) melarang atau membolehkan adalah faktor utama dari timbulnya perbedaan pendapat atau kontroversi tersebut.
Larangan ataupun vonis haram itu timbul dalam rangka upaya menjaga, memelihara kemurnian akidah. Argumentasinya, natalan dirayakan oleh umat kristiani sebagai peringatan upacara atas kelahiran Nabi Isa al-Masih as. kendatipun acara tersebut berkaitan dengan sosok manusia agung lagi suci dan umat Islam memercayainya sebagai rosul utusan Allah swt. namun umat kristiani terhadap beliau berbeda pandangan dengan Islam, mereka memercainya sebagai anak tuhan, bahkan mempertuhankan beliau (tuhan yesus). Nah, dengan mengucapkan “Selamat Natal” dapat menimbulkan kesalahpahaman dan mengantar pada pengaburan akidah, bahkan terseret pada pembenaran kepercayaan yang keliru itu, naudzu bi-Allah min dzālik.
Sedangkan di antara argumentasi dari pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal” adalah dokumentasi al-Qur’an yang mengisahkan beliau Nabi Isa yang mencontohkan ucapan selamat atas kelahiran beliau: “Keselamatan besar dan kesejahteraan (semoga tercurah) atas (diri)-ku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan (untuk) hidup (kembali).” (QS. Maryam: 33) di samping pula argumentasi-argumentasi lainnya. Jadi, selama ucapan selamat natal sejalan dengan yang dimaksud oleh al-Qur’an yang telah mengabadikannya, dan selama pengucapnya arif bijaksana serta tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika mengucapkan selamat natal merupakan tuntutan keharmonisan hubungan, maka tiada salah untuk mengucapkannya.
Adapun ucapan selamat tahun baru―terlepas dari unsur pesta pora, hura-hura dan foya-foya yang lazim dan jamak terjadi dan pembenaran terhadapnya―dalam kitab al-Hāwiy li al-Fatāwiy juz 1, Imam Jalaluddin as-Suyuti mencatat pendapat yang menyatakan kebolehan (mubah) ucapan semacam pergantian tahun dan bulan, wa-Allah A’lam bi as-Showwāb. [ ]
Refrensi
1.      Al-Qur’an Al-Karim
2.      Tafsir Al-Qurtubi
3.      Tafsir Al-Mishbah
4.      Al-Hawiy li Al-Fatawiy
5.      Membumikan Al-Qur’an
6.      Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...