TOLERANSI
Terlebih dahulu kita dudukkan secara proporsional makna
dari toleransi itu sendiri. Toleransi―yang dimaknai dengan sifat atau sikap
toleran―seakar dengan kata toleran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
kata toleran diartikan dengan: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri. Demikian makna kata toleran kita peroleh, cukup terang dan tidak
ada yang perlu dipermasalahkan.
Selanjutnya
bila toleransi yang dikehendaki adalah toleransi antar umat beragama dalam
kerangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, maka perlu dipahami bahwa
agama Islam tidak melarangnya, al-Qur’an menyatakan: “Allah tidak melarang
kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik dan berlaku
adil kepada mereka”. (QS. al-Mumtahanah: 8). Terkait dengan ayat ini, Imam
al-Qurtubiy mencatat riwayat yang bersumber dari Asmā’ binti Abi Bakar
ash-Shiddīq beliau bercerita bahwa ibunya―bernama Qutailah yang ketika itu
masih dalam kondisi musyrik―berkunjung kepadanya, maka beliau pergi menemui
Nabi saw. seraya bertanya: “Bolehkah saya menjalin hubungan dengan ibu saya”.
Nabi saw. menjawab: “Ya, jalinlah hubungan baik dengannya”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Namun
perlu digaris bawahi, bahwa toleransi antar umat beragama tidak dimaksudkan
untuk membenarkan keyakinan dan ajaran semua agama, sehingga dengan demikian
toleransi telah jauh merusak, mengaburkan serta menjadikan kayakinan (aqidah)
sebagai korban. Dalam hal ini, al-Qur’an dengan tegas memperingatkan: “Bagi
kamu agama kamu dan bagiku agamaku”.
(QS. al-Kāfirūn: 6). Oleh karena itu, salah bahkan berdosa bila toleransi
dikorbankan atas nama agama, demikian pula sebaliknya salah dan berdosa bila
kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama toleransi.
Dalam
konteks ke-Indonesiaan, kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada realitas
yang memperlihatkan adanya kemajemukan (heterogenitas/pluralitas) yang tinggi
dalam bidang keyakinan dan agama yang dianut oleh warga negara di samping pula
bidang-bidang yang lain. Hal ini sudah semestinya menuntut adanya kearifan dan
toleransi antar umat beragama agar supaya keutuhan bangsa dan negara tetap
terjaga, Bhineka Tunggal Ika demikianlah diktum yang diwariskan oleh para
pendahulu sekaligus pendiri negeri ini. Bukankah dengan jelas dan tegas
al-Qur’an menyatakan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. al-Hujurāt: 13).
Perintah untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain dalam ayat ini,
tentu―pada saat terjadinya interaksi―menuntut adanya kerukunan dan toleransi
dengan batasan-batasannya.
Nah,
terkait dengan mengucapkan selamat dalam perayaan Natal pada setiap tanggal 25
Desember serta perayaan tahun baru Miladiyah/Masehi bila dikaitkan dengan sikap
toleran kita terhadap pemeluk agama lain, maka memang benar bila persoalan ini
termasuk dalam ranah kontroversi. Ada yang bersifat tegas melarang (baca:
mengharamkan) ucapan selamat itu, di samping pula ada juga yang berpendapat sebaliknya,
yakni membolehkan. Maklum, tidak dijumpainya teks baik dari ayat al-Qur’an
maupun hadits yang secara tegas (eksplisit) melarang atau membolehkan adalah
faktor utama dari timbulnya perbedaan pendapat atau kontroversi tersebut.
Larangan
ataupun vonis haram itu timbul dalam rangka upaya menjaga, memelihara kemurnian
akidah. Argumentasinya, natalan dirayakan oleh umat kristiani sebagai peringatan
upacara atas kelahiran Nabi Isa al-Masih as. kendatipun acara tersebut
berkaitan dengan sosok manusia agung lagi suci dan umat Islam memercayainya
sebagai rosul utusan Allah swt. namun umat kristiani terhadap beliau berbeda pandangan
dengan Islam, mereka memercainya sebagai anak tuhan, bahkan mempertuhankan beliau
(tuhan yesus). Nah, dengan mengucapkan “Selamat Natal” dapat menimbulkan
kesalahpahaman dan mengantar pada pengaburan akidah, bahkan terseret pada
pembenaran kepercayaan yang keliru itu, naudzu bi-Allah min dzālik.
Sedangkan
di antara argumentasi dari pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”
adalah dokumentasi al-Qur’an yang mengisahkan beliau Nabi Isa yang mencontohkan
ucapan selamat atas kelahiran beliau: “Keselamatan besar dan kesejahteraan (semoga
tercurah) atas (diri)-ku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat, dan
pada hari aku dibangkitkan (untuk) hidup (kembali).” (QS. Maryam: 33) di
samping pula argumentasi-argumentasi lainnya. Jadi, selama ucapan selamat natal
sejalan dengan yang dimaksud oleh al-Qur’an yang telah mengabadikannya, dan selama
pengucapnya arif bijaksana serta tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika
mengucapkan selamat natal merupakan tuntutan keharmonisan hubungan, maka tiada
salah untuk mengucapkannya.
Adapun
ucapan selamat tahun baru―terlepas dari unsur pesta pora, hura-hura dan
foya-foya yang lazim dan jamak terjadi dan pembenaran terhadapnya―dalam kitab al-Hāwiy
li al-Fatāwiy juz 1, Imam Jalaluddin as-Suyuti mencatat pendapat yang
menyatakan kebolehan (mubah) ucapan semacam pergantian tahun dan bulan, wa-Allah
A’lam bi as-Showwāb. [ ]
Refrensi
1. Al-Qur’an Al-Karim
2. Tafsir Al-Qurtubi
3. Tafsir Al-Mishbah
4. Al-Hawiy li Al-Fatawiy
5. Membumikan Al-Qur’an
6. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar