PACARAN
Pertanyaan
Apakah pacaran dibenarkan agama?
Jawab
Tidak mudah menjawab
pertanyaan ini, sebelum mendudukkan arti pacaran. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata pacar diartikan sebagai “teman lawan jenis yang
tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan atau
kekasih”. Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan.
Kalau demikian pengertiannya
maka pacaran hanya merupakan sikap batin, namun di kalangan sementara orang ―khususnya
remaja―
sikap batin ini disusul dengan tingkah laku, bedua-duaan, saling memegang, dan
seterusnya.
Makhluk, termasuk manusia,
remaja atau dewasa dianugrahi Tuhan rasa cinta kepada lawan jenisnya: Telah
dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diinginkan, yaitu wanita-wanita (dana lelaki), anak-anak lelaki (dan anak
perempuan) .... (baca selengkapnya QS. Ali Imran [3]: 14). Atas dasar itu,
agama tidak menghalangi pacaran dalam pengertian sebagaimana diartikan oleh KBBI
di atas. Agamanya hanya mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak
terjadi “kecelakaan”.
Agama menganjurkan kepada
pasangan calon suami-istri untuk terlebih dahulu saling mengenal, karena yang
demikian dapat menunjang kelanggengan hidup berumah tangga, dengan diliputi
oleh cinta kasih. Nabi menganjurkan calon suami melihat calon istrinya, “Lihatlah
calon istrimu, karena yang demikian itu lebih wajar mendukung kelanggengan
hubungan kalian berdua.”
Perintah Nabi tersebut diberikan
kepada al-Mughirah yang meminang tanpa melihat calon istrinya terlebih dulu
sebaggaiamana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ddan an-Nasa’i.
Dipahami dari tujuan yang
dijelaskan oleh hadits di atas bahwa calon istri pun hendaknya “melihat” calon
suaminya. Dahulu “melihat” diartikan sebagai melihat wajah dan telapak tangan.
Kini, sementara ulama memahaminya lebih dari itu yakni “mengenalnya lebih
dekat, kalau perlu dengan bercakap atau bertukar pikiran, selama ada pihak
terpercaya yang menemani mereka, untuk menghindar dari segala yang tidak
diinginkan agama”. Jika pada saat terjadi pertemuan dan percakapan itu terjalin
hubungan cinta kasih antara keduanya ―walaupun sebelum menikah― agama tidak
menghalanginya. Bukankah tujuan mereka untuk melangsungkan perkawinan?
Akan tetapi, kalau pacaran
diartikan sebagai pengertian sebagai pengertian remaja di atas, secara pasti
bahwa agama dan budaya kita tidak membenarkannya, baik mereka telah berjanji
setia untuk menikah maupun tidak.
[ M. Quraish Shihab menjawab ...? 1001 Soal Keislaman Yang
Patut Anda Ketahui, hal: 612-613 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar