WAHAI SANTRI PESANTREN
MENULISLAH
......!!!!
Ditulis
Oleh :
Abdul
Kholiq el-Qudsiy
Mengawali tulisan yang berjudul “Kitab
Kuning di Pesantren” dari kumpulan beberapa makalah yang tersaji dalam buku
“Nuansa Fiqih Sosial”, Dr. (HC) KH. MA. Sahal Mahfudh menguraikan
analisis bahwa sebagai lembaga tafaqquh fiddīn, pesantren yang tersebar luas di
Indonesia sejak munculnya hingga sekarang memang mempunyai daya tarik, baik
dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi
pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Lebih lanjut beliau menuturkan,
semua-sisi pesantren-menarik untuk dikaji. Tidak aneh
bila belakangan ini banyak ilmuwan dari kalangan Islam, baik dari dalam maupun
luar negeri, mengarahkan penelitiannya pada pesantren.
Analisa kiai yang kondang dengan
gagasan “Fiqih Sosial”-nya itu bukan lah tanpa dasar dan sekedar isapan jempol
belaka. Analisis tersebut diperkuat oleh bukti nyata, tidak sulit bagi kita
untuk menemukan dokumentasi dari penelitian-penelitian tersebut yang
menerbitkan berbagai karya ilmiah dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, tesis dan
disertasi. Untuk sekedar memberikan gambaran contoh penelitian dari kalangan
dalam negeri, adalah buku dengan judul “Laporan Penelitian dan Penulisan
Biografi KH. M. Arwani Amin” yang ditulis oleh dua orang peneliti, yaitu
Drs. Rosehan Anwar dan Drs. Muchlis. Buku “Tradisi Pesantren” yang di
tulis oleh Prof. Dr. Zamaksyari Dhofier, MA. Serta buku “Dari Haramain ke
Nusantara” yang di tulis Prof. Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D. Dua nama buku
yang terakhir tersebut adalah merupakan hasil proyek penelitian disertasi untuk
memperoleh gelar akademis doctoral (strata tiga) di kampus luar negeri, yaitu
kampus Australian National University (ANU) di Australia, dan kampus University
of California Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat.
Demikianlah,
pondok pesantren telah menjadi semacam magnet bagi orang-orang yang berada di
luar lingkungannya, yaitu orang-orang yang ingin mengetahui secara langsung dan
objektif pada pesantren. Pesantren menjadi destinasi dari berbagai penelitian
yang menghasilkan berbagai karya-karya ilmiah dalam bilangan yang tidak
sedikit. Bila ketertarikan pihak luar pada pesantren dapat menghasilkan
berbagai karya-karya ilmiah yang erat hubungannya dengan dunia jurnalistik,
lantas bagaimana sikap kalangan pondok pesantren sendiri terhadap dunia
tulis-menulis (jurnalistik). Adakah di antara komponen pesantren yang tertarik
dan aktif menggeluti dunia tulis-menulis ini ? Adakah figur kiai, ustadz,
ataupun santri yang dapat menjadi inspirator dalam menumbuh-kembangkan daya
tarik serta minat menekuni jurnalistik ?
Berawal
dari membaca
Dalam pengantar buku “Jalan Terjal Santri Menjadi
Penulis”, Bapak Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya (sekarang berubah
menjadi UIN) menulis: “Untuk menjadi penulis hanya dibutuhkan tiga syarat,
yaitu: suka membaca, bisa apa saja, ada inspirasi untuk menulis dan kemauan
untuk menulis. Ada banyak orang yang suka membaca, tetapi tidak menemukan
inspirasi untuk menulis. Ada banyak orang yang bisa menemukan inspirasi untuk
menulis, tetapi tidak mau menulis. Maka dengan ketiganya, kita akan bisa
menulis.” Memang, dengan ketekunan serta kegigihan mengasah dan mengasuh
minat menulis, didukung pula minat membaca yang tinggi, jiwa kepenulisan akan
tumbuh berkembang hingga menjadi bakat tersendiri dan menemukan momentumnya.
Kesimpulan ini sejalan dengan kalimat bijak dari seorang Charles Jones: “Perbedaan
antara siapa Anda hari ini dengan siapa Anda lima tahun lagi akan tampak dari
buku-buku yang Anda baca dan dengan siapa Anda bergaul serta dengan siapa Anda
melewatkan waktu itu.”
Sebagai contoh, adalah karya monumental (magnum opus)
yang berjudul “al-Mizān al-Kubrō”, kitab fiqih perbandingan madzhab
yang ditulis oleh goresan pena Syech Abdul Wahab As-Sya’rōni. Sebagaimana dipaparkan beliau,
proses penulisan kitab ini berlangsung setelah beliau menyelesaikan tiga
tahapan. Tahap pertama adalah proses menghapal berbagai kitab. Kitab al-Minhāj karya imam An-Nawāwi beliau hapalkan di luar kepala.
Berikutnya kitab al-Fiyah Ibnu Mālik, al-Fiyah al-Irāqiy, Jam’u al-Jawāmi’, dll. Tahap kedua adalah proses
mengkaji kitab pada guru (sorogan) secara intens. Dalam tahapan ini,
berpuluh-puluh kitab beliau bacakan pada para guru. Tahap ketiga adalah proses
membaca secara serius berpuluh-puluh kitab. Dalam tahap ketiga ini, nampak
sekali tradisi membaca beliau yang begitu kuat, sebagaimana yang beliau
tuturkan sendiri. Dari masing-masing kitab yang beliau baca, ada yang hanya
dihatamkan satu kali, dan bahkan ada yang beliau hatamkan berulang-ulang kali
hingga lima belas kali hataman, sebagaimana kitab Syarah Ar-Raudzh.
Hebatnya lagi, kitab-kitab tersebut volumenya tebal-tebal dan berjilid-jilid.
Dari
ketiga tahapan tersebut, akhirnya terciptalah buah karya yang menakjubkan yaitu
kitab “al-Mizān al-Kubrō”, kitab ini berisikan formulasi
fiqih dari beberapa madzhab (fiqih perbandingan madzhab). Dalam pandangan
beliau, fiqih dari beberapa madzhab mengerucut pada neraca dua tingkatan (martabatai
al-mizān), yakni antara pendapat yang
cenderung berat (tasydīd) dan pendapat yang cenderung ringan
(tahfīf). Kitab al-Mizān al-Kubrō termasuk dari beberapa kitab
referesensi utama para pengkaji fiqh perbandingan di samping kitab-kitab
semacam Rahmatul Ummah, Bidāyah al-Mujtahid, Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, dll.
Memang
benar, apa yang telah kita baca sedikit banyak akan mempengaruhi cara berpikir
kita, lalu memberi citarasa pada tulisan-tulisan kita. Tak ada kisahnya para
penulis besar malas membaca, semuanya adalah kutu buku ! Maka untuk membaca
adalah faktor paling penting untuk menjadi penulis, demikian kang Rijal
Mumazziq Zionis berbagi pengalamannya dalam buku “Jalan Terjal Santri
Menjadi Penulis”.
Anda
tidak harus juga menggunakan waktu yang banyak. Kalau Anda membiasakan diri
membaca, maka Anda dapat membaca sekitar 300 kata-bukan huruf-dalam semenit. Ini berarti dalam 15
menit Anda dapat membaca sekitar 4500 kata. Dalam sebulan yang hanya
menggunakan 15 menit itu, Anda dapat menyelesaikan 126.000 kata. Kalau
rata-rata satu buku saku memuat sekitar 6000 kata, maka itu berarti setiap
bulannya Anda dapat membaca dua buku. Ini baru dengan menggunakan waktu 15
menit. Demikian pesan Bapak Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. yang pakar di
bidang Tafsir Al-Qur’an dalam bukunya: “DIA Di Mana-Mana”. Beliau adalah
sosok ulama modern yang produktif di bidang penulisan buku dengan karya
monumental “Tafsīr Al-Mishbāh” yang berjumlah 15 jilid.
Produktifitas
ulama’ salaf dalam bidang tulis-menulis
Membincangkan
perihal produktifitas ulama salaf dalam mengukir prestasi di bidang
tulis-menulis adalah topik yang sangat menarik, di samping pula membutuhkan
ketelitian yang mendalam dengan merujuk aneka ragam kitab-kitab biografi yang
memaparkan riwayat hidup dan keilmiahan mereka, serta buah karya yang mereka
hasilkan. Tulisan kami ini tidak dimaksudkan menyebut satu persatu tokoh-tokoh
dari golongan ulama salaf yang produktif di bidang ini. Oleh karena membutuhkan
kajian mendalam dan panjang, di samping pula membutuhkan sumber rujukan dan
referensi yang tidak sedikit. Kami hanya menyinggung beberapa di antaranya yang
namanya sudah sangat familiar ditelinga kita. Kirannya dapat dijadikan sebagai
contoh teladan (uswah hasanah) dan motivator yang membangkitkan jiwa
kepenulisan bagi para santri pesantren.
1.
Imam Al-Ghazāli (450 – 505 H = 1058 – 1111 M)
Karya tulis beliau berjumlah lebih kurang 200 kitab, di
antaranya adalah: Ihyā’ Ulūm ad-Dien, Tahāfut al- Falāsifah, Ayyuha al-Walad, al-Iqtisād Fi al-I’tiqād, Mahakku an-Nadzar, Ma’ārij al-Quds fi Ahwāl an-Nafs, al-Munqidz Min al- Dhalāl, al-Farqu Baina as-Shōlih wa Ghairu as-Shōlih, Maqāsid al-Falāsifah, al-Ma’ārif al-Aqliyyah, Bidayah al- Hidāyah, Jawāhir al-Qur’ān, Minhāj al-Ābidīn, Iljām al-Awām ‘an ‘Ilmi al-Kalām, al-Basīth, al-Mustasfa, al- Manhūl min ‘Ilmi al-Ushūl, al-Wajīz, Syifā’ al-‘Alīl, Mizān al-‘Amāl, dll.
2.
Imam Jalāluddīn As-Suyūtiy (849 – 911 H = 1445 – 1505 M)
Az-Zarkaliy dalam kitabnya “al-A’lām” menuliskan bahwa Imam As-Suyūtiy diberi gelar “Ibnu al-Kutub”,
hal ini disebabkan beliau dilahirkan oleh sang ibu di antara tumpukan
kitab-kitab koleksi bapak beliau, saat mengabilkan kitab yang dipesan oleh sang
bapak. Kitab karya Imam Suyūtiy cukup banyak sekali, lebih
kurangnya berjumlah 600 kitab. Karya tulis beliau itu terdiri dari berbagai
bidang keilmuan. Dari berbagai bidang itu, di antaranya adalah di bidang
Tafsir: ad-Dhurru al-Mantsūr fi at-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, al-Itqān fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, Tafsīr al-Jalālain, at-Tahbīr fi ‘Ulūm at-Tafsīr, Lubāb an-Nuqūl fi Asbāb an-Nuzūl, Syarh as-Syātibiyyah. Di bidang Hadis:
ad-Durorul Muntashirah, al-Luma’ fi Asbāb Wurūd al-Hadīts, Lubāb al-Hadīts, at-Tahdzīb fi az-Zawāid ‘ala at-Taqrīb, Syarh Ibnu Mājah, Taudzīh al-Mudraq fi Tashīh al- Mustadraq. Di bidang Fiqh:
al-Asbāh wa an-Nadzāir, al-Kāfi Zawāid al-Muhaddzab ‘ala al-Wāfi, Syarh at- Tanbīh, al-Qinyah Muhtashor ar-Roudzah,
al-Khulashoh Nadzm ar-Raudzah, dll.
Masih
banyak lagi ulama-ulama salaf yang produktif di bidang tulis-menulis, seperti
Imam An-Nawāwi, Imam Khotīb As-Syirbiniy, Imam Jalāluddīn Al-Mahalliy, Imam Bukhōri, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu
Hajar Al-Asqalāniy dan Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Zakariya Al-Anshāry, Ibnu Jarīr At-Thabāri, Imam Al-Mawardi, dll.
Ulama
pondok pesantren dan kitab-kitab karya mereka
Kitab
salaf, populer juga dengan istilah kitab kuning, merupakan referensi utama bagi
para santri dalam mempelajari khazanah pengetahuan Islam (turots) dengan
berbagai corak ragam disiplin ilmu yang diwarisi dari generasi ulama salaf.
Pada tataran ini, kitab salaf lebih dari sekedar “manuskrip tertulis” melainkan
juga wujud konkrit mata rantai yang menyambungkan tradisi keilmuan Islam masa
lampau dengan masa kini. Pesantren dalam hal ini, menjadi media penghubung yang
urgen bagi transmisi keilmuan dan pewarisan nilai-nilai Islam dari generasi ke
generasi.
Di
era Menteri Agama dijabat oleh bapak Maftuh Basyuni, MA. Departemen Agama
(sekarang berganti Kementerian Agama) Republik Indonesia mengadakan kegiatan
yang sangat progresif serta positif dalam membangkitkan semangat jiwa menulis
bagi generasi muslim, kegiatan tersebut dinamai “Tahqiq Kitab Salaf”.
Dalam kegiatan ini kitab-kitab karya ulama pondok pesantren dijadikan sebagai
objek dari proyek prestisius tersebut. Ulama-ulama yang dimaksud adalah; Syech
Nawawi Al-Bantani, Syech Arsyad Al-Banjari, Syech Yasin Al-Fadani, Syech
Mahfudz Al-Termasi dan yang terakhir adalah Kiai Sholeh Darat Al-Samarani. Selanjutnya
kitab-kitab hasil tahqiq-an tersebut dicetak dan dibagikan secara gratis
ke berbagai pondok pesantren. Al-hamdulillah termasuk yang memperoleh
kiriman paketan ini adalah Pondok Pesantren Ma’hadul Ulum Asy-Syariyyah (PP.
MUS) Sarang, pondok pesantren tempat penulis belajar ilmu agama setelah
menyelesaikan jenjang MAK di Madrasah TBS Kudus tahun 2000 M. Paketan yang
dikirimkan terdiri dari lima judul kitab yang dibagikan secara gratis, yaitu:
Bugyah al-Adzkiyā’,
Manhaj Dzawi an-Nadzar, ‘Ināyah al-Muftaqir, al-Minhah
al-Khoiriyyah dan al-Kholi’ah al-Fikriyyah. Yang mengagumkan adalah, kelima
kitab tersebut merupakan hasil kreatifitas tulisan tangan beliau Syech Mahfudz
Al-Termasi, salah satu dari sekian ulama pondok pesantren yang mengharumkan
bumi pertiwi Nusantara.
Di
lingkungan kita sendiri kota Kudus, sebenarnya banyak sekali deretan ulama yang
dapat dijadikan sebagai contoh keteladanan dalam berkarya. Mereka
mendedikasikan dirinya dalam berdakwah menyebar luaskan ilmu agama (nasyrul
‘ilmi) kepada masyarakat dan para santri di lingkungan Kudus sendiri maupun
lingkungan sekitarnya. Pengabdian mulia itu mereka lengkapi dengan dokumentasi
ilmiah dalam bentuk mahakarya tulisan yang mengagumkan. Bila diperkenankan
menyebutkan di antara ulama itu, maka nama yang amat populer dan familiar
adalah KH. Raden Asnawi yang terkenal dengan kitab Fasholatan Jawan-nya.
KH. Abdul Jalil dengan karya tulis beliau di bidang Astronomi berjudul Fath
ar-Roūf al-Mannān. KH. Arwani Amin dengan karya
tulisnya di bidang Ilmu Qira’ah berjudul Faidh al-Barakāt. KH. Turaichan Adjhuri dengan
karya monumentalnya di bidang Astronomi
(falak) yaitu Almanak Kudus. Berikutnya adalah KH. Sya’roni Ahmadi
dengan karya tulis beliau yang sangat banyak sekali dan sangat membantu bagi
para santri dalam memahami pelajaran salaf di madrasah, di antaranya adalah
kitab Faidh al-Asāniy, al-Farāid as-Saniyyah, at-Tashrīh al-Yasīr, kitab tarjamah Arab pegon nadham al-Waraqāt dan as-Sullam al-Munawraq.
Bila
kita teliti sejarah masa lampau dengan seksama, akan kita jumpai lebih banyak
lagi jumlah ulama pondok pesantren–selain yang tersebut di atas–yang piawai dan
tekun dalam menorehkan tinta-tinta pena mereka. Kenyataan ini menjadi bukti
konkrit bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang sukses
dalam mengkader serta memberikan keteladanan dan motivasi para santrinya untuk
lebih giat dalam kegiatan tulis-menulis.
Menulis
adalah ibadah
Suatu
ketika KH. Ahmad Mustofa Bisri yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Mus bertutur
: “Harapan saya sangat tinggi, bahwa pesantren harus di depan, mempelopori
untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman pada masyarakat. Dan itu memerlukan
kemampuan-kemampuan lain di luar kemampuan yang dikuasai pesantren. Misalnya
kemampuan tentang jurnalisme.” Demikian kutipan motivasi yang disampaikan
oleh Gus Mus saat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar jurnalistik bagi para
santri pondok pesantren, yang diliput secara khusus oleh reporter buletin
Sidogiri. Beliau adalah sosok kiai sekaligus budayawan hasil tempaan pesantren
murni yang rajin menulis di beberapa media cetak terkenal baik yang berskala
lokal ataupun nasional. Di samping menulis artikel beliau juga rajin menulis
buku yang cukup banyak jumlahnya. Bagi beliau, pesantren sangat diharapkan
untuk berada di lini terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman, baik
dengan dakwah bil hal, bil lisan, maupun bil qalam. Untuk
dakwah bil qalam khususnya, tugas mulia ini sangat memerlukan
keterampilan mengasah ketajaman pena, karena dengan penguasaan seni
tulis-menulis ini, seseorang dapat menyampaikan materi keislaman dengan baik
dan benar sekaligus menampakkan nilai keilmiahannya.
Di samping itu, dakwah melalui tulisan
memiliki kekuatan yang dahsyat, melebihi dakwah dengan lisan yang hanya bisa
didengar sekali oleh satu, dua, atau tiga orang saja. Dan itu pun kalau masih
teringat dalam memori para audiens. Berbeda lewat tulisan, kekuatannya dapat
bertahan sampai berabad-abad. Maka dari itu Allah berfirman: “Nun, demi
kalam dan apa yang mereka tulis.”(Q.S. Al-Qalam; 01). Dengan ayat ini,
Allah bagaikan bersumpah dengan manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh dari
tulisan. Ini secara tidak langsung merupakan anjuran untuk membaca karena
dengan membaca seseorang dapat memperoleh manfaat yang banyak selama itu
dilakukan bismi rabbika, yakni demi karena Allah dan guna mencapai
ridha-Nya (Al-Mishbāh).
Namun,
dengan penuh kearifan harus diakui, bahwa referensi-referensi ilmiah warisan
para ulama terdahulu banyak dituturkan dengan bahasa Arab. Tentu, realitas ini
merupakan problem tersendiri bagi masyarakat yang tidak menguasai linguistik
Arab tersebut, sebagaimana kebanyakan dari kaum muslim di Indonesia. Maka dari
itu, diperlukan usaha-usaha jurnalistik berupa penerjemahan atau alih bahasa
terhadap warisan ilmiah tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat awam, dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan di
lapangan, dengan kata lain aktualisasi kitab salaf. Tentu saja metode dakwah
dalam bentuk penerjemahan ini dilakukan oleh mereka yang mampu memahami secara
langsung kitab salaf, dengan bekal penguasaan atas kaidah-kaidah tata bahasa
Arab, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak melenceng dari referensi
aslinya.
Dengan
demikian, usaha kreatif jurnalistik dalam bentuk penerjemahan karya intelektual
ulama salaf tidak perlu dinilai tabu. Sebab kebutuhan akan informasi keagamaan
dari masyarakat awam yang tidak mampu menguasai bahasa Arab dengan baik teramat
besar dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Kiranya dapat dikemukakan beberapa
pertanyan yang harus dijawab dengan jujur dan tulus, tegakah kita membiarkan
mereka dalam kubangan kebodohan akan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini?
Bukankah menyampaikan ilmu kepada para thālib al-ilmi adalah wajib? Tidakkah kualifikasi
hukum wajib ini sama dengan hukum wajib untuk mencari ilmu itu sendiri, yakni
sama-sama wajib dengan tanpa memandang wajib kifayah-kah apa wajib ‘ain? Tentu
hati nurani kita akan tersentuh bila dengan seksama memperhatikan kenyataan
seperti itu.
Berawal
dari sini, usaha-usaha dakwah jurnalistik berupa pengadaan bacaan-bacan Islami
baik berbentuk artikel, buku, majalah, tabloid, makalah, serta aneka ragam
media cetak lainnya adalah keniscayaan dan merupakan tugas mulia dalam
penyebaran ajaran agama Islam. Di samping itu, bacaan-bacan Islami tersebut
sangat bermanfaat sekali untuk membentengi akidah ummat Islam, yang saat ini
tengah menghadapi gelombang serangan orang-orang kafir serta para pengikut
mereka, dengan beragam upaya sistematis pendangkalan akidah ummat, serta
mempropagandakan perilaku-perilaku amoral yang merupakan sumber pemicu-disamping faktor-faktor lain-dari merebaknya gelombang arus
dekadensi moral di tengah kehidupan ummat Islam. Dengan bukti, banyak sekali
media-media cetak yang bertebaran atau bahkan media elektronik yang sangat
kontras dengan nilai-nilai Islami.
Penutup
Pada periode sekarang ini, geliat
santri untuk menggeluti dunia tulis-menulis mulai tumbuh signifikan. Jenis dan
kategori tulisan mereka pun bervariasi. Ada tulisan yang ringan-ringan dalam
bentuk puisi, cerpen, dan cerita humor santriana. Ada pula tulisan dengan
kategori sedang-sedang sebagaimana kumpulan-kumpulan bahtsul masail
disertai dengan penalarannya, opini, serta makalah-makalah ilmiah. Hingga jenis
tulisan berat kategori ilmiah akademik sekalipun sudah tidak asing lagi bagi
para santri. Hasil karya tulis yang telah mereka bukukan itu tidak hanya
beredar di lingkungan lokal mereka sendiri. Bahkan sebagian dari
tulisan-tulisan itu sudah merambah tingkat nasional dan sejajar dengan tulisan
para penulis kaliber nasional, baik dari sisi produktifitas maupun kualitasnya.
Memang saat ini tidak sedikit dijumpai para
penulis yang tadinya adalah para santri pondok pesantren. Sebagaimana para
santri yang meneruskan studinya di berbagai perguruan tinggi Islam (STAIN,
IAIN, UIN) atau yang sudah terjun langsung dan mengabdikan diri di tengah
masyarakat, atau bahkan yang masih berada dalam lingkungan pondok pesantren
sekalipun. Sebagaimana yang saat ini terlihat dinamis di pondok-pondok besar
Jawa Timur dan sekitarnya. Untuk sekedar menyebut contoh, adalah Pondok Lirboyo
dan Pondok Ploso di Kediri, Pondok Sidogiri di Pasuruan, Pondok Langitan di
Tuban, serta Pondok Sarang (MUS, MIS, Al-Anwar dll.) di Rembang.
Pada
mulanya para santri itu secara kolektif melakukan kegiatan menulis sebab
ditugaskan oleh kiai dan ustadznya sebagai syarat kelulusan tingkat Aliyah (MA)
atau pasca kelulusan tingkat Aliyah atau yang sederajat. Namun, sebagian dari
mereka jiwa kepenulisannya terasah sehingga setelah itu meneruskan bakat
jurnalistiknya secara mandiri, menulis secara personal individual. Karya-karya
yang dihasilkan di antaranya adalah menerjemah karya ilmiah ulama salaf dengan
desain model kekinian, buku-buku kumpulan hasil bahtsul masail disertai
penalarannya, buku-buku tanggapan atau studi kritik terhadap beberapa buku yang
sudah beredar yang ditengarai melenceng dari akidah Ahlussunnah wal Jama’ah,
dll. Al-hamdulillah bakat jurnalistik yang dimiliki para santri
pesantren salaf tersebut berkembang pesat. Saat ini, banyak kita jumpai karya
tulis yang mereka hasilkan di beberapa toko buku.
Budaya
jurnalistik sebenarnya sudah semenjak dulu diperkenalkan oleh para ulama salaf,
disusul berikutnya oleh para mahaguru pondok pesantren (masyayikh) melalui
karya-karya tulis mereka yang berbahasa Arab. Sekarang pun para mahaguru (masyayikh)
masih tetap aktif memberikan contoh teladan melaui karya ilmiah mereka, baik
yang tertuang dalam bahasa Arab, di samping berbahasa Indonesia dengan tulisan
latin serta tulisan Arab pegon, serta yang berbahasa Jawa dengan tulisan Arab
pegonnya. Dengan demikian, cukup jelas bahwa gerbong lokomotif jurnalistik
telah ditarik dan dikemudikan para mahaguru tersebut semenjak dulu, dan
mudah-mudahan para santri sebagai generasi penerus termotivasi oleh kreatifitas
mereka. Semoga tulisan sederhana ini mengandung berkah dan man’faat bagi yang
berkenan membacanya, amien. [ ]
[
Kudus, 27 Rajab 1437 H / 5 Mei 2016 M ]
REFERENSI
1. Tafsīr Al-Mishbāh. Karya Prof. Dr. M. QuraishShihab,
MA.
2. NuansaFiqihSosial. Karya Dr. (HC)
KH. MA. SahalMahfudh.
3. DIA Di Mana-Mana. Karya Prof. Dr. M.
QuraishShihab, MA.
4. Lentera Al-Qur’an. Karya Prof. Dr.
M. QuraishShihab, MA.
5. JalanTerjalSantriMenjadiPenulis.
KaryaTsanin A. Zuhairi, S.HI.,M.Si. dkk.
6. KamusBesarBahasa Indonesia (KBBI).
7. Fiqih Safar. Karya Si Doel
el-Qudsiy.
8. Setengah Isi SetengahKosong.
KaryaParlindunganMarpaung.