GEGER PENINJAUAN ULANG
ARAH KIBLAT
Telaah Fiqhiyah
Tentang Fenomena Pelurusan Arah Kiblat
Dan Upaya Memahami Hikmah Ditetapkannya Kiblat
Dalam Ibadah Umat Islam
Oleh
:
Abdul Kholiq Ibnu Thulabi el Qudsiy
[www.Si Doel El Qudsiy.Blogspot.com ]
Pendahuluan
Pada
waktu akhir-akhir ini, masyarakat kita cukup dibikin gempar dengan pemberitaan
media cetak ataupun elektronik. Pemberitaan tentang perlunya peninjauan ulang
atau pelurusan arah kiblat di sejumlah daerah di Negeri ini. Disamping itu, Tim
Khusus dari Kementerian Agama juga sudah ada yang turun di lapangan, dengan
mengadakan pengecekan ulang arah kiblat di beberapa masjid.
Pengecekan ulang arah kiblat
tersebut menjadi wacana sekaligus fenomena yang menghangat bagi umat Islam
belakangan ini, di tengah-tengah kesibukan mereka menjalankan aktifitas ibadah
pada sang Khaliq, dan juga di tengah-tengah kepadatan jadwal aktifitas
keseharian mereka. Dan spektrum dari fenomena ini bertambah luas dengan
turunnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI memfatwakan, bahwa arah kiblat di beberapa
masjid telah mengalami pergeseran. Dan pergeseran arah kiblat disinyalir oleh
sejumlah pakar dan kalangan masyarakat buah akibat pergeseran lempeng bumi
dampak akibat dari banyaknya bencana alam yang melanda di berbagai belahan
bumi. Gempa bumi, tsunami dan gunung meletus adalah beberapa kasus bencana yang
menjadi awal mula asumsi tersebut.
Bencana
gempa bumi yang kerap terjadi di negeri kita Indonesia, banyak sekali
meninggalkan dampak negatif, baik yang berupa kerugian material maupun yang
bersifat non material. Gempa di Samudra Hindia yang terjadi di akhir tahun 2004
dan menimbulkan gelombang tsunami di Aceh―sesuai dengan informasi yang
disampaikan oleh pakar geologi―muncul karena adanya pergeseran pada lapisan
kerak bumi. Sedangkan gempa bumi yang terjadi di Bantul, Jogjakarta pada tahun
2006 yang memakan korban ratusan rumah bahkan ribuan rumah yang luluh-lantak,
juga ditengarai buah akibat pergeseran yang terjadi di lapisan kerak bumi.
Dari fenomena-fenomena alam
tersebut, kabar yang beredar memberikan asumsi bahwa dampak dari gempa bumi ini
adalah menyebabkan bergesernya arah kiblat masjid dan mushalla di Indonesia
khususnya Pulau Jawa, yang jumlahnya tidak sedikit tentunya. Asumsi pergeseran
ini juga terjadi pada areal pemakaman atau kuburan. Adapun tingkatan pergeseran
tersebut, adalah bervariasi alias tidak sama, dimulai dari tingkat kisaran 20
derajat sampai 30 derajat dari arah kiblat.
Dan
apakah pergeseran arah kiblat memang benar-benar terjadi? Wallahu a’lam bi
as-showāb, hanya Allah lah yang Maha Mengetahui kejadian yang
sebenar-benarnya. Yang jelas, data-data informasi yang ditunjukkan oleh
alat-alat canggih modern membenarkan akan adanya pergeseran tersebut. Dan bila
memang demikian adanya, lantas bagaimana perspektif fiqih menanggapi fenomena
ini? Satu pertanyaan kritis yang tentunya membutuhkan adanya sebuah jawaban.
Untuk itu, makalah yang kami hidangkan ini adalah dimaksudkan untuk mengurai,
memberikan sedikit jawaban dan tanggapan sebagai respon balik dari pertanyan
itu.
Teknologi Modern
Dalam Perspektif Fiqih
Dewasa ini, teknologi modern
memiliki peran signifikan dalam membantu umat Islam dalam menjalankan ritual
ibadahnya. Dan di antara bentuk sumbangan tehnologi modern tersebut adalah alat
yang disebut dengan nama Theodolit dan juga GPS. Kedua alat canggih ini dapat
dipergunakan untuk menunjukkan arah kiblat. Bila semenjak dulu telah
diperkenalkan alat-alat tradisional yang dipergunakan sebagai alat bantu
penunjuk arah kiblat, semacam rubu’ mujayyab, tongkat istiwa, kompas
dll. Maka, kedua alat itu dapat memberikan informasi data dengan tingkat
akurasi yang lebih tinggi bila diperbandingkan dengan alat-alat konvensional
tersebut.
Di era kecanggihan teknologi
saat ini, teknologi internet juga memberikan layanan yang cukup membikin rasa
kagum kita. Dengan layanan Google-nya kita bisa berselancar mengelilingi dunia
hanya dengan menggerak-gerakkan jari-jemari kita. Maklum, Google saat ini
dinobatkan sebagai mesin pencari informasi terbesar di dunia.
1. Theodolit
Digital Theodolit
adalah sebuah alat ukur canggih menentukan suatu posisi dengan tata koordinat
horizon secara digital. Alat ukur semacam teropong ini, dilengkapi dengan
lensa, angka-angka yang menunjukkan arah (azimuth) dan ketinggian dalam derajat
dan water-pass. Bila yang diukur posisinya adalah sebuah bintang langit, maka
data yang diperlukan adalah tinggi dan azimuth.
2. GPS
GPS adalah singkatan
dari Global Posision System, sebuah alat canggih yang dapat memberikan
informasi yang akurat khususnya mengenai bujur (thulul balad) dan
lintang (ardhul balad) suatu tempat serta waktu. Di samping itu,
memberikan informasi tentang ketinggian tempat, bahkan juga peta jalan raya
dilengkapi dengan mata angin dari posisi pemegang GPS. Informasi yang muncul
dalam GPS adalah bersumber dari satelit. Lebih jelasnya, GPS adalah sebuah
peralatan elektronik yang bekerja dan berfungsi memantau sinyal dari satelit
untuk menentukan posisi tempat (koordinat geografis/lintang dan bujur tempat)
di bumi. Alat ini biasanya digunakan dalam navigasi di laut dan udara agar
setiap posisi kapal atau pesawat dapat diketahui oleh nahkoda atau pilot, yang
kemudian dilaporkan kepada menara pengawas di pelabuhan atau bandara terdekat.
3. Google Earth
Google Earth merupakan kombinasi pencitraan
satelit, peta dan kekuatan mesin pencari Google untuk menghasilkan informasi
yang berkaitan dengan informasi geografis dunia. Dilengkapi dengan aplikasi
gambar streaming yang sangat menarik untuk mengetahui semua daerah di planet
bumi. Dengan kecanggihannya kita bisa “mengunjungi” Ka’bah dan menarik garis
lurus ke daerah kita untuk mengetahui lurus tidaknya arah kiblat masjid kita.
Jadi, proses pencarian kiblat dewasa ini akan terasa lebih mudah seiring dengan
munculnya teknologi internet. Dulu, untuk mendeteksi arah kiblat terasa begitu
sulit. Maka dengan adanya perangkat Google Earth tersebut, penentuan arah
kiblat terasa lebih mudah dan praktis.
Google Earth dapat dioprasikan untuk memetakan
bumi dari gambar yang dikumpulkan oleh satelit. Proses layanan yang ditawarkan
ini menggunakan “peta hidup”, yang menurut sebagian orang hanya dapat di up
date setahun sekali. Di antara sebagian dari fungsinya―seperti sudah
disinggung sebelumnya―adalah untuk mengetahui posisi atau arah kiblat langsung
dari titik tengah Ka’bah, hingga rumah, masjid, gedung-gedung akan tampak pada
citra satelit dalam Google Earth. Di samping itu, selain dapat memunculkan
garis antara Makkah dan lokasi tempat keberadaan kita, ukuran derajatnya pun
juga dapat diketahui pula.
Tiga perangkat di atas adalah
sarana yang bisa dikatakan mutakhir untuk ukuran saat ini, dan merupakan
alternatif utama yang digunakan sebagai alat penunjuk arah kiblat, di samping
seperangkat alat-alat lainnya. Memang harus dimengerti bahwa penemu dan
pencipta kedua alat di atas adalah bukan orang Islam. Namun, tidak lantas kita
tidak diperbolehkan untuk menggunakannya sebagai alat bantu penunjuk arah
kiblat, yang mana menghadap kiblat sendiri merupakan syarat sahnya menjalankan
ibadah shalat bagi umat Islam.
Dulu pada saat Imam ar-Ramli
ditanyai tentang penggunaan kompas (bait al-ibrah) sebagai sarana
penunjuk masuk waktunya shalat dan arah kiblat, beliau menjawab bahwa
penggunaan untuk tujuan tersebut diperbolehkan. Dikarenakan, kompas (bait
al-ibrah) memberikan hasil kesimpulan yang sama nilainya dengan ijtihad,
yakni sama-sama menghasilkan kesimpulan dugaan (zhanni).[1]
Dengan demikian, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa alat-alat semacam
GPS, Theodolit, dan Google Earth dapat dijadikan sebagai sarana mencari kiblat.
Namun kiranya perlu dipertegas, bahwa alat-alat hasil penemuan kemajuan
teknologi modern tersebut merupakan sarana pembantu, sehingga posisinya tidak
bisa menggeser dalil-dalil syar’i seperti ayat-ayat al-Qur’an, Hadits, Ijma’
dan qiyas. Kendatipun validitas data-data yang ditunjukkan, serta tingkat
akurasinya lebih tinggi dari pada cara-cara tradisional yang seringkali
disinggung dalam kitab-kitab fiqih. Maklum, sudah menjadi kesimpulan umum bahwa
yang namanya penemuan ilmiah akan senantiasa mengalami perkembangan, jadi tidak
ada jaminan kepastian atas alat-alat hasil penemuan teknologi modern tersebut.[2]
Alat-alat canggih modern tiada
lain adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri, maka dapat diharapkan munculnya
alat-alat yang lebih canggih lagi di kemudian hari. Jadi jelaslah, bahwa ilmu
pengetahuan hanya melihat dan menilik, bukan menetapkan. Ia melukiskan
fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang
ilmuwan yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui.
Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang
benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan
mengandung arti yang sangat terbatas.[3]
Saat ini ada kecenderungan
menempatkan ilmu pengetahuan modern dalam tingkat kepastian (presisi, qoth’i),
sebagaimana sikap sebagian orang dalam mengapresiasi data-data yang ditunjukkan
oleh alat-alat semacam GPS, Theodolit, dan Google Earth. Sehingga dalam
pandangan ini, penentuan arah kiblat dengan sarana ilmu pengetahuan modern
sudah bisa mendekati presisi, bukan lagi ranah ijtihad yang memberikan
kesimpulan spekulatif. Kecenderungan ini menilai bahwa argumentasi dengan
pendapatnya para ulama mujtahid sebagaimana pendapatnya Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, Imam Maliki dll, sudah tidak relevan lagi alias ketinggalan zaman (out
of date). Sebab persoalan penentuan arah kiblat, saat ini sudah ada alat
yang didukung ilmu pengetahuan untuk memastikan arah kiblat yang benar.
Memang, sikap atau upaya
menghindarkan diri, acuh tak acuh dari teknologi modern dalam era kehidupan
globalisasi saat ini, dapat dinilai sebagai sikap bodoh, kolot, ataupun
kekonyolan, tidak seiring dengan realita kehidupan kekinian. Meskipun demikian,
tidak sepatutnya penerimaan produk-produk modern tersebut selanjutnya membikin
silau kita, hingga menjadikan kita beralih haluan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip keagamaan―dalil-dalil agama atau pendapat (aqwāl)
ulama―yang telah diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Alih-alih bermaksud ilmiah―sesuai dengan perkembangannya―di satu sisi, akan
tetapi sikap pengabaian tersebut justru dapat memutus mata rantai syari’at Nabi
Muhammad yang disampaikan oleh para pewaris sah syari’at beliau, yakni para
ulama.
Jika dicermati, tingkat
akurasi perangkat Google Earth sebenarnya setara dengan kompas (bait
al-ibrah) dalam aspek penentuan arah kiblat. Bahkan tingkat akurasinya bisa
dikatakan lebih tinggi. Kompas hanya dapat menentukan arah mata angin saja.
Sedangkan perangkat ini selain dapat menentukan garis ke arah Ka’bah, perangkat
ini juga dapat menunjukkan ukuran derajat dari titik lokasi yang dicarikan arah
kiblatnya. Mengingat akurasi dari perangkat ini cukup valid, maka pencarian
kiblat dengan teknologi ini dapat dinilai mu’tabar dan kedudukannya setara
dengan kompas (bait al-ibrah) dalam segi kevalidannya. Sedangkan dalam
menentukan tingkatannya (derajatnya, dalam urut-urutan mengetahui qiblat), para
ulama masih berbeda pendapat.[4]
Menurut Imam ar-Ramli, tahapan
bait al-ibrah termasuk kategori ijtihad sebab konsekuensinya hanya dapat
menghasilkan zhann. Menurut ‘Ali Sibrā al-Malisī, meskipun dapat
menghasilkan zhann, bait al-ibrah tidak lantas masuk dalam bagian
ijtihad. Sebab, jika memang masuk pada tingkatan ijtihad tentunya bagi seorang
yang mampu berijtihad sendiri tidak diperbolehkan memfungsikannya seperti
halnya tidak diperbolehkan mengambil informasi dari orang yang mengetahui arah
kiblat dari hasil ijtihad. Tingkatan bait al-ibrah menurutnya adalah
tingkatan di antara berita orang adil dan ijtihad (martabah bain al-mukhbir
‘an ‘ilm wa al-ijtihād), sehingga hukum menggunakannya adalah tidak wajib,
akan tetapi hanya sekedar jawāz (diperbolehkan). Menurut Imam al-Qolyūbi
dan Imam Ibnu Hajar. martabat bait al-ibrah setara dengan mihrab
mu’tamadah (yang bisa dijadikan pegangan). Sekalipun demikian tetap
diperbolehkan untuk berijtihad dalam menentukan sisi kemiringan arah kanan atau
arah kiri.[5]
Dalam ensiklopedi fiqih telah
dirumuskan, bahwa untuk mengetahui arah kiblat dibagi dalam empat kategori
tingkatan.[6]
1.
Mengerti
sendiri (al-‘ilm bi an-nafs).
Yang tercakup dalam tingkatan pertama ini di
antaranya adalah; melihat langsung Ka’bah, menyentuh Ka’bah secara langsung
bagi orang buta, melihat atau dengan menyentuh mihrab yang memang terbukti
secara mutawatir bahwa mihrab
tersebut pernah ditempati Rosulullah melaksanakan shalat sebagaimana ar-raudhah
yang berada di masjid Madinah, berita tentang arah kiblat yang disampaikan oleh
orang yang terjaga dari perbuatan dosa (ma’shum), dan dengan mengamati
bintang kutub (quthb) bagi orang yang ahli di bidang ini.
2.
Berita
dari orang yang terpercaya atau adil (ikhbār as-siqqah ‘an ‘ilm).
Sebagaimana dirinya memang menyaksikan Ka’bah
sendiri lalu ia kabarkan pada orang lain yang tidak menyaksikan langsung dll.
Dan temasuk dalam kategori tingkatan ke dua ini adalah kompas (bait al-ibrah)
dan menyaksikan mihrab-mihrab yang mu’tamad, yakni mihrab-mihrab masjid
yang berada di daerah yang luas (al-balad al-kabīr), atau di daerah
terpencil yang sering-kali dilewati oleh orang Islam. Dalam arti mihrab
tersebut seringkali dipergunakan sebagai tempat shalat, bisa jadi satu tahun
atau bahkan lebih, dan dalam rentang waktu itu tidak ada yang menilai keliru
arah mihrab tersebut.
3.
Berusaha
mencari arah kiblat dengan seperangkat dalil-dalil yang menunjukkannya (ijtihad).
Ijtihad ini dilakukan kalau memang yang
bersangkutan memiliki keahlian tentang seperangkat dalil-dalil yang menunjukkan
kiblat. Dan ijtihad baru boleh (sah) dilakukan kalau memang orang yang hendak
melakukan shalat tidak mendapati orang yang terpercaya atau adil (as-siqqah)
yang dapat dimintai arahan tentang arah kiblat, tidak menemukan seperangkat
sarana yang dapat dipergunakan sebagai penunjuk kiblat, atau tidak mendapati
mihrab masjid yang dapat dijadikan pedoman (mu’tamad).
4.
Mengikuti
arahan informasi dari orang yang mengetahui arah kiblat dari hasil ijtihad
(dengan pemaknaan ijtihad dalam urutan ke tiga di atas).[7]
Fenomena
Peninjauan Ulang Arah Kiblat
Koran harian Suara Merdeka
edisi 1 Juni 2003, melalui rubik “Kalang” menyuguhkan tulisan Ir. Totok
Roesmanto yang menyebutkan adanya perbedaan arah kiblat di sejumlah
masjid-masjid besar. Masjid Menara Kudus—sebagaimana yang ia tulis—memiliki
sumbu bangunan 25 derajat ke arah utara, masjid Kotagede yang menempati lahan
bekas Dalem Ki Ageng Pemanahan sumbu bangunannya 19 derajat, masjid Mantingan
Jepara sumbu bangunannya hampir 40 derajat, masjid Agung Jepara 15 derajat,
masjid Tembayat Klaten 26 derajat, dan masjid Agung Surakarta bergeser 10
derajat. Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil pengamatan Ditbanpera Islam
(Depag RI) yang menyimpulkan bahwa, selama ini arah kiblat masjid yang banyak
tersebar di tengah masyarakat satu dan yang lain masih ada perbedaan-perbedaan,
bahkan perbedaan mencapai lebih dari 20 derajat, adalah tidak keliru dan tidak
berlebihan.
Melihat fenomena demikian,
munculah wacana untuk meluruskan kiblat di sejumlah masjid yang ditengarai
telah melenceng dari arah yang semestinya. Dengan argumentasi agar dapat
memberikan keyakinan dalam beribadah secara ainul yaqin, atau paling
tidak mendekati atau bahkan sampai haqqul yaqin, bahwa kita benar-benar
menghadap kiblat (Ka’bah). Karena perbedaan per derajat saja sudah memberikan
perbedaan ke-melenceng-an arah seratusan kilometer. Lantas bagaimana kalau
perbedaan terjadi dalam puluhan derajat, bisa-bisa arah kiblatnya melenceng di
luar jauh Masjidil Haram, tidak hanya luar jauh dari Baitullah (Ka’bah) ……..
???
Berawal dari Fatwa
MUI
Majlis Ulama Indonesia (MUI)
dalam fatwa barunya No. 05 tahun 2010 telah memfatwakan bahwa arah kiblat saat
ini telah mengarah ke Barat Laut bukan ke Barat. Jadi, apabila seseorang
melakukan shalat di masjid atau mushalla dengan mengarah ke arah Barat, maka berarti
shalat yang ia kerjakan adalah menghadap ke arah Afrika Selatan. Sedangkan bila
dirinya menghadap ke Barat Laut, maka ia akan benar-benar menghadap ke Ka’bah
yang berada di Mekkah. Fatwa lama MUI di bulan Maret No. 03 tahun 2010
menegaskan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia adalah ke Barat, bukan Barat
Laut. Dengan demikian, Qoul qodim (fatwa lama) telah gugur dengan adanya
Qoul jadid (fatwa baru) yang dikeluarkan MUI. Konsekwensinya umat Islam
harus mengubah arah kiblat shalatnya ke Barat Laut.
Dalam fatwanya terdahulu,
yaitu maret 2010, MUI telah mengeluarkan fatwa No. 03 tahun 2010 tentang arah
Kiblat. Diktum fatwa lama MUI antara lain menyebutkan:
[8]
Pertama; tentang ketentuan hukum.
Dalam ketentuan hukum
tersebut disebutkan bahwa:
1)
Kiblat bagi orang shalat yang dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan
Ka’bah (ainu al-Ka’bah)[9].
2)
Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah
(jihah al-Ka’bah).
3)
Letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Makkah, maka
Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Kedua; rekomendasi.
MUI merekomendasikan
agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke
arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.
Perubahan fatwa lama MUI ke
fatwa barunya, menimbulkan efek domino bagi masyarakat. Masyarakat dihinggapi
kekhawatiran akan ibadah shalatnya. Masyarakat takut kalau sholatnya tidak sah
secara hukum. Umat Islam juga dihadapkan pada persoalan untuk mengubah arah
kiblat masjid dan musholla.
Dua problem akibat pelurusan
arah kiblat menegaskan akan konsistensi lembaga keagamaan di Indonesia untuk
lebih sensitif dan peka terhadap persoalan sosial keagamaan di Indonesia.
Jangan sampai adanya fatwa pelurusan arah kiblat menimbulkan efek domino adanya
ketidak percayaan masyarakat atas eksistensi dari lembaga keagamaan terutama
MUI, atau justru menimbulkan keresahan masyarakat, misalnya keharusan
pembongkaran masjid atau musholla, dan lain-lain.
Pengertian Tentang
Kiblat
Yang dikehendaki dengan kiblat
adalah arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah) atau bangunan Ka’bah (‘ainu
al-Ka’bah).[10]
Arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah)―sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid
Abdurrahman Ba’alawiy―adalah salah satu arah dari ke-empat arah―yakni barat,
timur, utara, dan selatan―yang menjadi lokasi keberadaan Ka’bah.[11]
Diktum ini bila diterapkan di Indonesia berarti adalah arah barat, sebab Ka’bah
yang berada di Makkah bila kita amati dari negeri kita Indonesia, maka akan
kita peroleh kesimpulan bahwa posisi geografisnya itu terletak di arah barat.
Sedangkan yang dimaksud dengan
bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) adalah bangunan fisik Ka’bah itu
sendiri (jirm), beserta hawa’-nya yang sejajar dengan Ka’bah dari
sisi atas menjulang ke angkasa sampai langit ke tujuh, dan dari sisi bawah
menuju tingkatan bumi yang ke tujuh. Menghadap hawa’-nya Ka’bah dianggap
mencukupi kalau memang orang yang shalat berada di luar Ka’bah. Adapun bila
dirinya berada di dalam Ka’bah atau di atasnya, maka sudah semestinya bila ia
diharuskan untuk menghadap bangunan fisik Ka’bah (jirm).[12]
Perspektif Fiqih
Tentang ‘Ainu al-Ka’bah dan Jihah al-Ka’bah
Masalah kiblat tiada lain
adalah masalah arah, yakni arah menuju kepada Ka’bah (Baitullah), yang
berada di kota Makkah. Arah ini dapat ditentukan dari setiap titik di permukaan
bumi. Cara untuk mendapatkannya dengan melakukan perhitungan dan pengukuran.
Perhitungan arah kiblat pada dasarnya untuk mengetahui, dan menetapkan suatu
arah ke Ka’bah yang berada di Makkah. Berkaitan dengan urgenitas arah kiblat
bagi umat Islam dalam menjalankan shalat, jumhur ulama bersepakat bahwa
menghadap ke kiblat merupakan syarat sahnya shalat.[13]
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة: 50]
“Dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya”. (QS. al-Baqarah:
150)
Bagi orang yang berada di
Makkah dan sekitarnya, hal tersebut tidak menjadi persoalan yang merisaukan,
karena mereka lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban itu. Bahkan yang menjadi
persoalan adalah bagi orang yang jauh dari Makkah, kewajiban seperti itu merupakan
hal yang berat. Karena mereka sulit sekali untuk bisa mengarah ke Ka’bah dengan
sebenar-benarnya, yakni untuk menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah).
Dalam kondisi letak geografis
yang berjauhan dari Makkah, para ulama berselisih pendapat apakah yang
diwajibkan adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah),
ataukah menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah). Sebab menghadap ke
Ka’bah yang merupakan syarat sahnya shalat adalah menghadap Ka’bah yang haqiqi
(sebenarnya). Maka oleh sebab itu, ulama sepakat bahwa bagi orang yang
menyaksikan secara langsung terhadap Ka’bah diwajibkan untuk menghadap bangunan
Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) dengan yakin. Sedangkan bagi orang yang tidak
melihat Ka’bah secara langsung—sesuai pendapat mayoritas ulama selain madzhab
syafi'i—adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).[14]
Dalam buku al-Qiblat ‘ala
Dhau’i al-Kitāb wa as-Sunnah[15]
dijelaskan, bahwa muara perbedaan ulama tentang kewajiban yang harus dilakukan
bagi orang yang berada di posisi geografis yang berjauhan dari Makkah, apakah
yang diwajibkan baginya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah),
ataukah menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).....? adalah
disebabkan adanya dua hadits yang kelihatannya kontradiksi antara satu dengan lainnya.
Dan kedua hadits tersebut adalah:
1.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا دَخَلَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ
كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ فِي قُبُلِ
الْبَيْتِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ (رواه مسلم عن حديث ابن عباس)
“Bahwasannya
Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam pada saat memasuki Ka’bah, beliau berdo’a di
setiap sisi-sisinya. Beliau tidak melakukan shalat di dalamnya, sehingga
keluar. Setelah berada di luar, beliau melakukan shalat dua raka’at di depan
Ka’bah, dan berkata: ini adalah kiblat”. (HR. Muslim dari haditsnya Ibnu
Abbas)
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmudzi dll.
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : الْمَغْرِبِ وَالْمَشْرِقِ قِبْلَةٌ
(رواه الترمذي عن حديث أبى هريرة)
“Bahwasannya Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: di antara arah barat dan timur terdapat kiblat”(HR. at-Tumudzi dari
haditsnya Abu Hurairah)
Hadits pertama menunjukkan bahwa
kiblat adalah bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah). Sedangkan hadits kedua
menunjukkan bahwa arah selatan adalah kiblatnya para penduduk yang berlokasi di
utaranya Ka’bah. Kesimpulan ini berdasarkan pada analisis ulama yang menilai
bahwa hadits kedua itu ditujukan kepada penduduk kota Madinah dan orang-orang
yang berdekatan dengan mereka.
Dalam disiplin Ilmu Hadits
disebutkan, bila terjadi pertentangan antara sebuah hadits dengan hadits yang
lainnya, dan masing-masing dari keduanya berstatus hadits shahih, maka hendaknya
dicarikan langkah kompromi di antara keduanya, yakni dengan jalan mendudukkan
masing-masing hadits pada situasi dan kondisi yang berbeda. Hadits
pertama―haditsnya Ibnu Abbas―ditujukan bagi orang yang menyaksikan Ka’bah
secara langsung. Sedangkan hadits kedua―haditsnya Abu Hurairah―ditujukan bagi
orang yang tidak menyaksikan Ka’bah secara langsung. Dengan demikian, dapat
diambil kesimpulan bahwa menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah)
diwajibkan bagi orang yang menyaksikan Ka’bah secara langsung. Dan bila tidak
dapat menyaksikan Ka’bah secara langsung, maka kewajibanya hanya cukup dengan
menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).[16]
Dalam madzhab Syafi'i,
kewajiban yang harus dilakukan bagi orang yang berada di dekat Ka’bah adalah
menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) secara yakin. Sedangkan
bila jaraknya jauh, maka cukup menghadap ke Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah)
dengan dugaan saja, alias tidak harus yakin.[17]
Dan Imam al-Ghazali—dari golongan madzhab Syafi'i—lebih cenderung kepada
pendapat yang mewajibkan menghadap arah Ka’bah (jihah al-Kabah) bila
lokasi antara Ka’bah dengan orang yang menjalankan shalat itu berjauhan.
Pendapat ini, beliau paparkan di dalam kitab Ihya dengan cukup jelas dan
terang, dengan disertai argumentasi yang begitu meyakinkan. Mulai dari dalil naql-nya,
meliputi al-Qur'an dan Sunnah Nabi, lalu dilengkapi dengan perbuatan para
sahabat Nabi serta Qiyas.
Pertama-tama beliau mengawali
kajian dengan mengkonfirmasikan terlebih dulu tentang adanya perbedaan pendapat
di antara pakar fiqih. Beliau pun melontarkan sebuah pertanyaan kritis, apakah
yang diwajibkan bagi orang shalat itu menghadap arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah),
ataukah bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah)? Oleh karena di balik dari
kewajiban ini timbul sebuah pertanyaan yang cukup serius. Kalau memang yang
diwajibkan itu adalah menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah),
lantas kapan hal ini dapat digambarkan (diilustrasikan) bila antara
kiblat/Ka’bah itu berjauhan dengan lokasi orang yang menjalankan shalat,
sebagaimana negeri kita Indonesia? Dan bila yang diwajibkan itu adalah
menghadap arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah), maka jika ada seseorang yang
shalat di masjid, lantas dirinya menghadap arah Ka’bah dan pada saat yang
bersamaan tubuhnya keluar dari bersejajar dengan Ka’bah (muwazah al-Ka’bah),
tentunya ketidak sah-an shalat yang dikerjakannya tidak diragukan lagi.[19]
Berawal dari realita tersebut,
Imam al-Ghazali memaparkan pendiriannya, bahwa yang tepat untuk difatwakan
adalah keharusan menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah), kalau
memang keberadaan Ka’bah dapat disaksikan secara langsung. Sedangkan jikalau
Ka’bah sulit disaksikan secara langsung, dan untuk mengetahui keberadaannya
dibutuhkan adanya bukti-bukti yang menunjukkannya (al-istidlal), maka
yang diwajibkan hanyalah menghadap arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).
Selanjutnya beliau memaparkan
dengan cukup rinci dalil pijakan atas kewajiban menghadap arah Ka’bah (jihah
al-Ka’bah) bila memang sulit menyaksikan posisi Ka’bah secara langsung.
Semisal negeri kita Indonesia, yang letak geografisnya memang benar-benar
berjauhan dari lokasi keberadaan Ka’bah. Berikut rincian dari dalil pijakan
tersebut :
1.
Kitab
suci al-Qur’an
وَحَيْثُ مَا
كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ (البقرة: 150)
“Dan
dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”(QS.
al-Baqarah: 150)
2.
As-Sunnah
مَا بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْمَشْرِقِ قِبْلَةٌ (رواه الترمذي والنسائ وابن ماجه)
“Di antara arah barat dan timur terdapat kiblat”(HR.
at-Turmudzi, an-Nasā’i, dan Ibnu Mājah)
Hadits
di atas disampaikan oleh baginda Nabi kepada penduduk kota Madinah. Maka dari
itu, bila berbicara tentang posisi geografis kota Madinah, maka arah barat
berada di sebelah kanan penduduk Madinah. Sedangkan arah timur berada di
sebelah kiri mereka. Dengan demikian, baginda Rosulullah Shallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjadikan segenap penjuru yang berada di antara barat dan timur
sebagai kiblat. Padahal ukuran sudut Ka’bah―lebih kecil―tidak seluas penjuru
yang berada di antara barat dan timur, jadi yang selaras dengan luasnya penjuru
antara barat dan timur tersebut adalah arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).
[20]
3.
Tindakan
para shahabat
Lebih detailnya, aspek ini dapat dijelaskan
dengan sebuah riwayat yang menerangkan bahwa sewaktu jama’ah masjid Quba’
tengah menjalankan shalat Subuh di Madinah, mereka semua menghadap ke Baitul
Maqdis dan membelakangi Ka’bah, oleh karena kota Madinah terletak di antara
keduanya. Di tengah menjalankan shalat itu, perintah menghadap kiblat yang
sebelumnya adalah menghadap ke Baitul Maqdis dialihkan dengan menghadap ke
Ka’bah. Maka, mereka pun berputar, berbalik arah untuk menghadap ke kiblat baru
di tengah-tengah shalat yang sedang mereka laksanakan. Peristiwa ini menjadikan
masjid mereka dijuluki dengan sebutan “dzal qiblatain” atau masjid yang
memiliki dua kiblat.
Logikanya, menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu
al-Ka’bah) dari Madinah ke Makkah tidak bisa diketahui terkecuali dengan
menggunakan bukti-bukti ilmu ukur (handasiyah), tentunya membutuhkan
pengkajian yang relativ lama. Pertanyaannya, bagaimana mungkin para jama’ah
masjid Quba’ secara tiba-tiba (spontan) mengetahui hal itu pada saat
menjalankan shalat, dan di dalam kegelapan malam pula?
Di samping itu, realita yang dilaksanakan oleh
para sahabat menunjukkan bahwa mereka membangun beberapa masjid di sekitar
Ka’bah dan negeri-negeri Islam lainnya. Namun, mereka sama sekali tidak
mendatangkan seorang insinyur pada saat membangun mihrab-mihrabnya. Padahal,
menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) tidak mungkin diperoleh
terkecuali dengan pengkajian yang detail dari disiplin ilmu ukur (handasiy).
[21]
4.
Qiyas
Analogi yang dimaksudkan di sini adalah,
menghadap kiblat dan membikin bangunan-bangunan masjid di segenap penjuru bumi
merupakan kebutuhan mendesak. Dan menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah)
dengan tepat, tidak bisa dilakukan terkecuali dengan bantuan disiplin ilmu ukur
(handasiyah) yang memadai. Padahal, syari’at sendiri tidak menjelaskan
tentang pengkajiannya. Bahkan bisa juga syari’at mencegah bila kajian ilmu
tersebut diperdalami. Bila memang demikian, bagaimana mungkin perintah syara’
didasarkan pada hal tersebut? Oleh karena itu, cukuplah dengan menghadap ke
arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah) karena kondisinya memang darurat.
[22]
Kedudukan Mihrab
Dalam Persoalan Menghadap Kiblat
Mihrab dalam pengertian bahasa
adalah bagian depan sebuah majlis (shadr al-majlis). Sedangkan mihrab
dalam pengertian istilah adalah tempatnya sang imam―sewaktu berjama’ah―di dalam
shalat. Demikian kurang lebih pengertian mihrab yang dipaparkan oleh Sayyid
Muhammad Abdullah al-Jardāni di dalam kitab Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursid
al-Anām.
Adapun mihrab yang berkembang
saat ini, yakni bagian menonjol/cekung yang terdapat di berbagai tempat-tempat
shalat―baik musholla maupun masjid―sebenarnya belum pernah dijumpai pada masa
Rosulullah, juga pada masa para sahabat. Model bentuk mihrab seperti itu baru
muncul belakangan. Adapun status hukum pembikinannya adalah diperbolehkan (lā
ba’tsa bihi), juga tidak dimakruhkan untuk dijadikan tempat shalat.
Kendatipun ada juga ulama yang cenderung menghukuminya makruh, sebagaimana Imam
as-Suyuti. [23]
1.
Mihrab
yang dahulu pernah di jadikan tempat Rosulullah menjalankan shalat (dan
mihrab-mihrab yang sejajar dengan mihrab Nabi tersebut hukumnya juga
disamakan). Hal ini bisa bisa diperoleh melalui informasi mutawatir, sebagaimana
mihrab Masjid Nabawi[25],
yang berada di kota Madinah. Mihrab tersebut memiliki status seperti melihat
Ka’bah secara langsung dalam berbagai ketentuan. Sebagaimana ketidak bolehan
untuk dijadikan obyek ijtihad secara mutlak, seperti ijtihad berbeda arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah),
atau ijtihad bergeser sedikit ke kanan atau ke kiri. Atau
ketidak bolehan dalam segi mendahulukan beritanya orang ‘ādil, bila
informasi yang disampaikannya berbeda arah dengan arah mihrab tersebut.
Mihrab yang pernah ditempati Rosulullah
melakukan shalat, yang diperoleh melalui informasi āhād, statusnya juga
sama dengan mihrab yang diperoleh melalui informasi mutawatir. Bedanya,
untuk mihrab yang diperoleh melalui informasi āhād ketentuannya tidak
sama persis dengan yang diperoleh melalui informasi mutawatir.
2.
Mihrab-mihrab
yang tidak pernah dijadikan tempat Rosulullah menjalankan shalat. Mihrab dengan
ketentuan seperti ini dibagi menjadi dua macam:
* Mihrab yang terletak di daerah perkembangan
umat Islam dari satu generasi ke-generasi berikutnya, atau terletak di lokasi
yang sering kali dilewati oleh umat umat Islam, sehingga bila terjadi
kekeliruan atas mihrab tersebut mereka tidak tinggal diam atau membiarkannya
begitu saja, dan dalam rentang waktu itu sama sekali tiada di antara mereka
yang menilai keliru atas mihrab itu. Mihrab dengan kriteria seperti ini, tidak
boleh di-ijtihadi dalam segi arah
Ka’bahnya (jihah al-Ka’bah), meskipun diperbolehkan ijtihad bergeser
sedikit ke kanan atau ke kiri.[26]
* Mihrab yang tidak memenuhi kriteria-kriteria
pada bagian di atas, sebagaimana mihrab yang berlokasi di daerah terpencil dan
tidak sering dilewati umat Islam. Mihrab dengan ketentuan seperti ini boleh di-ijtihadi
secara mutlak, dalam arti
diperbolehkan ijtihad berbeda arah
Ka’bah (jihah al-Ka’bah), atau ijtihad bergeser sedikit ke kanan atau ke
kiri.
Lebih ringkasnya, mihrab
dengan ketentuan nomor dua diatas dapat dijadikan pijakan (i’timad) dan
tidak boleh di-ijtihadi dalam segi arah Ka’bahnya (jihah al-Ka’bah)
jikalau memang memenuhi beberapa syarat:[27] Yaitu: mihrab
masjid berada di daerah yang luas (al-balad al-kabīr), atau di daerah
terpencil yang sering-kali dilewati oleh orang Islam. Dalam arti mihrab
tersebut seringkali dipergunakan sebagai tempat shalat, bisa jadi satu tahun
atau bahkan lebih, dan dalam rentang waktu itu tidak ada yang menilai keliru
arah mihrab tersebut.
Pernyataan yang dilaporkan
oleh satu orang yang menilai keliru dari arah sebuah mihrab, sudah dianggap
mencukupi. Hal ini kalau memang pernyataan tersebut bertendensikan pada sumber
yang valid, atau dirinya itu memang seorang pakar dalam bidang ini (ahl
al-‘ilm bi al-miqāt). Mihrab-mihrab yang tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, tidak boleh dijadikan sebagai pijakan (i’timad) dalam hal
menghadap kiblat sewaktu shalat. Dalam kondisi seperti itu, yang seharusnya
dilakukan adalah berusaha mencari arah kiblat yang benar (ijtihad),
bukanya berpedoman pada mihrab yang jelas-jelas keliru tersebut. Dan bila
seseorang tetap menjalankan shalat dengan berpedoman pada mihrab yang terbukti
tidak memenuhi standard di atas, maka shalatnya harus diulangi lagi (i’ādah)
sebab tidak sah.
Perspektif Fiqih
Mempertanyakan Keabsahan Peninjauan Ulang Arah Kiblat?
Menghadap Ka’bah—sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh—merupakan sarat syahnya ibadah shalat. Jadi
orang yang tidak menghadap kiblat di saat menjalankan shalat—bila tidak ada
udzur—terancam sholatnya tidak sah. Dengan begitu, adanya arah yang tepat
sangat berpengaruh terhadap masjid dan mushalla. Berawal dari sini, eksistensi
dan substansi penentuan arah kiblat sekaligus pelurusannya, merupakan bentuk
kepedulian terhadap persoalan ibadah umat Islam, dan merupakan tanggung jawab
pagi siapapun yang memiliki kemampuan untuk itu. Dikarenakan, sensitifitas dan
kepedulian ini, terkait dengan urgenitas arah kiblat bagi ibadah shalat umat
Islam.
Namun harus disadari dan
dimengerti, bahwa cakrawala fiqh teramat luas, banyak ijtihad-ijtihad fiqhiyyah
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Madzhab empat, yakni madzhab Hanafi,
madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali adalah sekian dari bukti
akan kemajemukan alias heterogenitas samudra fiqh itu. Berawal dari kemajemukan
itu sendiri, dan status daripada data-data yang diinformasikan oleh ketiga alat
di atas adalah bersifat dugaan (zhanni) hasil dari sebuah ijtihad, yang
tentunya sejajar dengan ijtihad-ijtihad ulama terdahulu dalam menentukan arah
kiblat dari mihrab masjid-masjid yang mereka bangun dan telah berumur puluhan
tahun bahkan ratusan tahun yang silam, maka men-generalisir atau pemukul rataan
keharusan merobah arah kiblat untuk semua masjid dan mushalla yang ada di
negeri ini, dengan berdalih adanya asumsi pergeseran lempeng bumi buah akibat adanya
bencana alam sebagaimana gempa bumi dll. adalah tidak sepenuhnya benar.
Dalam kaidah fiqih disebutkan
bahwa “sebuah ijtihad (yang lama) tidak bisa dirusak atau dianulir oleh
ijtihad (yang baru)”.[28]
Dengan demikian, keberadaan mihrab-mihrab masjid yang dibangun berpuluh-puluh
tahun yang lalu, dan sudah sering dipergunakan sebagai tempat shalat oleh umat
Islam dalam rentang waktu tersebut, dengan tanpa adanya sebuah laporan
pernyataan yang menilai keliru dari arah mihrab masjid-masjid itu, dalam penilaian
fiqih adalah merupakan sebuah produk ijtihad legal dari generasi terdahulu
dalam upaya menghadap kiblat yang menjadi syarat sahnya shalat. Dan sah pula
bila dijadikan sebagai pedoman menghadap kiblat dalam shalat. Dan bila saat
ini, dengan alat bantu teknologi modern sebagaimana GPS, Theodolit, dan Google
Earth, yang memberikan informasi data-data terbaru tentang arah kiblat, yang
tentunya data yang diinformasikan itu nilainya tidak sama dengan data-data dari
arah mihrab-mihrab masjid di atas, maka data-data terbaru dari alat-alat
tersebut dinilai sebagai sebuah ijtihad yang baru, yang tentunya tingkat
kedudukannya sama dengan ijtihad yang dilakukan oleh generasi terdahulu pada
saat akan menentukan arah kiblat dari mihrab-mihrab masjid di atas. Meskipun dalam
perspektif fiqih, melakukan ijtihad ulang terhadap arah (jihat) dari
mihrab-mihrab masjid dengan ketentuan di atas tidaklah dibenarkan.
Bila data-data yang dilaporkan
dari alat-alat semacam GPS, Theodolit, dan Google Earth dianggap pasti (presisi,
qath’i), maka konsekuensinya adalah mihrab-mihrab dari masjid yang dibangun
para ulama terdahulu harus dibenahi lagi, alias harus ditinjau ulang kembali,
oleh karena tidak tepat arahnya. Dan tidak hanya sekedar membenahi
mihrab-mihrab tersebut saja, bahkan shalat mereka pun terancam tidak sah, sebab
mihrab yang tadinya dijadikan sebagai pedoman itu adalah salah arah, tidak
tepat menghadap Ka’bah yang berada di Makkah, sehingga shalat yang telah mereka
kerjakan harus di ulang lagi. Dalam kaidah fiqih disebutkan “lā ‘ibrah bi
ad-zhann al-bayyin khatha’uhu”, tiada penilaian bagi dugaan yang
jelas-jelas keliru. Jadi, bila kita menganggap benar dan pasti―bukan lagi
bersifat dugaan atau zhanni―dari data-data yang dilaporkan oleh
alat-alat semacam GPS, Theodolit, dan Google Earth, maka membawa konsekuensi
bahawa mihrab-mihrab dari masjid yang dibangun para ulama terdahulu, mengingat
dahulunya itu dibuat atas dasar ijtihad adalah dinyatakan keliru dan tidak
boleh dijadikan pedoman menghadap kiblat lagi. Sungguh teramat tragis dan
naifnya pendapat tersebut.
Perlu diketahui bahwa
menghadap kiblat yang merupakan syarat sahnya shalat―sebagaimana di rumuskan
dalam kajian-kajian fiqih ulama mujtahid―dibagi menjadi dua kategori. Untuk
ketegori pertama adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah).
Ketentuan ini adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang dapat menyaksikan
Ka’bah secara langsung, sebagaimana orang yang berada di Makkah dan sekitarnya,
dan ketentuan tersebut tidak menjadi persoalan yang merisaukan, karena mereka
lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban itu. Sedangkan kategori kedua adalah
menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah). Ketentuan ini ditetapkan
bagi orang yang tidak dapat menyaksikan Ka’bah secara langsung, sebagaimana
kita yang berada di Indonesia. Menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah)
bagi orang yang jauh dari Makkah, dalah kewajiban yang berat. Karena mereka
sulit sekali untuk bisa mengarah ke Ka’bah dengan sebenar-benarnya, yakni untuk
menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah).
Jadi ulama telah sepakat bahwa
bagi orang yang menyaksikan secara langsung terhadap Ka’bah diwajibkan untuk
menghadap bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) dengan yakin. Sedangkan bagi
orang yang tidak melihat Ka’bah secara langsung—sesuai pendapat mayoritas ulama
selain madzhab syafi’i—adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).
Walaupun dalam madzhab syafi’is ketentuan menghadap kiblat bagi orang yang
berada di lokasi yang berjauhan dari Makkah adalah dengan menghadap ke bangunan
Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah), namun ketentuan tersebut hanya sebatas dugaan
(zhann), tidak sampai ke taraf
menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainu al-Ka’bah) dengan yaqin karena memang sulit. Dan sudah menjadi kaidah
umum bahwa dalam rangka menjalankan
ajaran agama, sama sekali tiada kesulitan ataupun kesempitan (QS. al-Hajj:78),
dan ketentuan syari’at yang ditetapkan opleh Allah tidaklah dimaksudkan untuk
mempersulit. Bahkan justru sebaliknya, ketentuan syari’at tersebut dimaksudkan
untuk mempermudah (QS. al-Baqarah: 185).
Fatwa yang sudah terlanjur
beredar dan berkonsekuensi agar umat Islam mengubah arah kiblat shalatnya,
menimbulkan efek yang meresahkan bagi masyarakat. Masyarakat dihinggapi
kekhawatiran akan ibadah shalatnya. Mereka takut kalau sholatnya tidak sah
secara hukum. Umat Islam juga dihadapkan pada persoalan untuk mengubah arah
kiblat masjid dan musholla. Dua problem akibat pelurusan arah kiblat menegaskan
akan konsistensi lembaga keagamaan di Indonesia untuk lebih sensitif dan peka
terhadap persoalan sosial keagamaan di Indonesia. Memang, di saat akan membuat
masjid dan mushalla, arah kiblatnya benar-benar harus serius diperhatikan. Dan
bila terjadi kekurang tepatan di saat menentukan arah mihrab sehingga melenceng
dari arah kiblat yang sebenarnya—dalam kondisi seperti ini—sudah seharusnya
diadakan pembetulan dan pelurusan.
Jadi, upaya meluruskan kiblat
setiap masjid yang telah ditetapkan para pendahulu yang berkompeten (ulama),
disamping tidak sejalan dengan heterogenitas dan keluasan samudra fiqh disatu
sisi, juga berdampak ketidak nyamanan dan keresahan akan sah tidaknya ibadah
shalat bagi masyarakat di sisi yang lain. Di dalam kitab Mughni al-Muhtāj
dijelaskan[29]
bahwa ijtihad terhadap mihrab umat Islam yang dulunya telah dibangun oleh para
ahli yang berkompeten adalah tidah dibenarkan, terkecuali ijtihad ke arah kiri
atau kanan dari mihrab tersebut. Disamping itu, ijtihad fiqh yang membenarkan
menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Kabah), masih bisa dijadikan
alternatif daripada harus ribut-ribut merubah arah mihrab masjid dan musholla
dengan asumsi adanya pergeseran lempeng bumi―sebuah asumsi yang tidak
sepenuhnya memiliki jaminan kebenaran―yang berkonsekuensi perobahan arah
kiblat, dan di sisi lain dapat berdampak pada keresahan masyarakat akan ibadah
yang mereka kerjakan.
Hikmah Tasyri’
Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat dan
menghadapkan wajah ke arah Masjidil Haram dalam beberapa ritual ibadah yang
kita jalankan, baik yang berstatus sebagai rukun atau kewajiban yang mengikat
dan tidak boleh ditinggalkan terkecuali kalau memang ada udzur, ataupun yang
hanya sebatas menjadi etika dalam sebuah ibadah, bila tidak dipahami aspek
substansialnya akan terasa kurang berarti dan tidak bermakna, dengan lain
perkataan cuma sebatas formalitas belaka.
Dan tinta pena pun akan menjadi
mulia bila mampu menggoreskan keagungan dari faidah-faidah yang yang
tersembunyi di balik tuntunan menghadap kiblat itu. Yang demikian ini,
disebabkan oleh karena pengetahuan yang kita miliki teramat sedikit, ibarat
setetes air dari samudra laut yang teramat luas lagi dalam. Dan kenyaataan
seperti itu, tidak lantas menjadi penghalang bagi kita untuk menuturkan
beberapa di antara hikmah agung dan faidah-faidah yang tersibak bagi kita.
1. Menghidupkan sunnah Nabi
Ibrahim dan putra beliau Nabi Ismail. Sebab, beliau berdualah yang pertama kali
membangun Ka’bah. Sehingga dengan demikian, ingatan umat Islam akan jasa baik
beliau berdua tersebut tidak akan terlupakan dalam lubuk hati sanubari mereka.
2. Seorang muslim dengan menghadap ke kiblat, mengarahkan seluruh
raganya ke satu arah dengan tanpa bergeser ke kanan atau ke kiri, dengan
demikian ia telah menanamkan benih ketenangan hati, rasa khusu’, dan kemantapan
iman. Dirinya pun tidak akan berpaling dari pintu rahmat kasih sayang Allah,
dan tidak terjerumus ke medan kekawatiran, kecemasan, rasa was-was dan
kesenangan hawa nafsu. Dan dengan penglihatan mata hati, ia akan melihat
sinaran cahaya yang berkilau dari arti firman Allah:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (الأنعام: 79)
Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan”. (QS. al-An-‘am: 79)
Sejalan dengan makna di atas, adalah isi
kandungan dari sebuah hadis yang berbunyi: “bila seorang hamba berdiri
menjalankan shalat, dimana kesenangan nafsunya, wajahnya (seluruh totalitas
raganya), beserta hatinya sepenuhnya ia hadapkan pada Allah Azza wa Jalla, maka
dirinya pun—suci dari dosa—bagaikan terlahir kembali”.
3.
Secara
umum, manusia memiliki karakter dasar berupa kecendrungan untuk menentukan
waktu dan tempat dalam melaksanakan aktifitas yang menjadi rutinitasnya. Dan
andaikan tidak ada penentuan waktu dan tempat tersebut, niscaya aktifitas yang
diagendakan sudah barang tentu menjadi berantakan. Yang pada gilirannya,
perjalanan hidupnya menjadi berantakan pula, disebabkan serangkaian aktifitas
yang dikerjakan penuh dengan kegoncangan dan ketidak konsistenan.
Demikian halnya bila manusia tidak memiliki
pijakan arah dalam menjalankan ibadah, sehingga dirinya menuruti kehendak hati
dengan berpindah-pindah dari satu arah ke arah yang lain. Tentu, ketulusan
dalam menjalankan sebuah ibadah akan sulit tercapai. Hingga pada akhirnya,
ibadah yang dikerjakan menjadi gersang, tidak berdampak positif bagi yang
bersangkutan dan tidak berbuah pahala sama sekali, dikarenakan pelaksanaannya
tidak sesuai dengan prosedur yang harus dipenuhi. Dan Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menetapkan sebuah kiblat bagi kita, agar supaya ibadah yang
kita laksanakan bisa diterima di sisi-Nya, yakni dengan mengikuti perintah
menghadap arah kiblat tersebut. Dengan adanya penetapan itu, kebingungan dalam
memilih sebuah arah bisa dihindari dan tidak akan terjadi, karena yang
menentukannya adalah Allah sendiri.
4. Pengarahan seluruh umat Islam dari segenap penjuru bumi, menuju satu
titik arah yang sama, benar-benar menjadi kebahagiaan tersendiri baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Sebab, penyatuan itu mengandung makna emosional dari
eksistensi sebuah ikatan persaudaaran di antara mereka. Hati mereka benar-benar
bersatu, dan tekad mereka pun telah padu pula. Dan arah yang mereka hadapi pun
juga sama, yakni Ka’bah yang dimuliakan Allah. Kendatipun tempat tinggal mereka
berjauhan dan terpisahkan oleh penjuru bumi yang berbeda-beda, namun Ka’bah
benar-benar menjadi titik pusat yang mempersatukan hati mereka dari segenap
penjuru negeri. Kesatuan dan kecintaan tersebut, merupakan nikmat agung dari
sekian kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Karena itulah,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا (آل عمران: 103)
“…….. dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”.
(QS. Ali ‘Imran: 103 )
5. Seorang manusia bila
berkeinginan untuk memperlihatkan keihlasan dalam penghambaannya, dengan sebuah
tanda khusus yang bisa diamati secara umum oleh orang lain, maka dirinya akan
menentukan sebuah tempat untuk melaksanakan loyalitas dan ketulusan itu.
Demikian halnya bila wajah dan segenap raganya—dengan penuh ketenangan—ia
hadapkan kearah kiblat, disertai dengan hati yang penuh konsentrasi, maka
seseorang benar-benar telah menjalankan tugas yang diperintahkan dan
memperlihatkan keihlasan di tempat yang ditentukan, sehingga tidak dijumpai
sebuah kebimbangan ataupun keragu-raguan dalam melaksanakan perintah tersebut.
6. Seseorang dengan menghadap ke kiblat, sewaktu muadzin
mengumandangkan lantunan adzan: “…… mari bersama-sama menjalankan ibadah
shalat, mari bersama-sama menggapai kebahagiaan……” maka ia benar-benar
memperlihatkan sikap taat pada baginda Rosul Shallahu 'alahi wa Sallama
yang sekaligus merupakan ketaatan pada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Disamping pula, Ka’bah yang mulia adalah terletak di negeri yang menjadi tempat
kelahiran Rosulillah dan tempat beliau menjalankan tugas da’wah. Dan sebagai
sikap pengagungan (ta’dzim) pada Ka’bah adalah menghadapkan pandangan
wajah umat Islam ke arahnya, dikarenakan Ka’bah adalah merupakan tempat yang
paling mulia di muka bumi.
7. Dengan menghadap ke arah
kiblat, berarti mengingatkan umat Islam akan kecintaan Allah terhadap rosul-Nya
yang mulia. Dikarenakan, sewaktu Rosulillah melihat bahwa menghadap ke kiblat
dan Ka’bah adalah lebih baik dari pada menghadap ke Baitul Maqdis, beliau pun
mengarahkan pandangannya ke langit, menunggu turunnya idzin dari Allah, hingga
pada akhirnya Allah berkenan mengabulkan permohonan Rosulillah, sebagaimana
yang terkandung dalam firman-Nya:
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ (البقرة: 144)
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…. ” (QS. al-Baqarah: 144)
Kesimpulan Dan
Penutup
Dari sekian ibadah dalam agama
Islam, shalat merupakan ibadah yang teramat fundamental. Hal ini disebabkan,
kelak di akhirat yang akan dimintai pertanggungjawaban untuk pertama kalinya
adalah shalat. Bila shalatnya bagus maka dapat dijadikan sebagai garansi, tolak
ukur kebaikan dari ibadah-ibadah yang lain. Demikian pula sebaliknya, bila
shalatnya buruk tentunya keburukan dari shalat ini dapat dijadikan sebagai
barometer atau cerminan bagi ibadah-ibadah lainnya. Untuk itu, dalam sebuah
hadits disebutkan:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
اَلصَّلاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ
فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ (رواه الطبرانى)
“Amal
perbuatan yang pertama kali diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalat
(fardlu). Bila shalatnya baik―dengan terpenuhinya syarat dan rukunnya―, maka
baik pula seluruh amal perbuatan. Dan jika shalatnya buruk, maka buruk pula
seluruh amal perbuatan.” (HR. at-Thobaroni)
Demikianlah di antara
keterangan yang dapat kita peroleh dari sebuah hadits, yang menjelaskan posisi
strategis daripada ibadah shalat. Kebaikan dari shalat yang dikehendaki dari
hadits di atas―sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Munawi dalam Faidz
al-Qadir―adalah dengan terpenuhinya syarat-syarat beserta rukun-rukunnya
sehingga memenuhi kualifikasi keterkabulan di sisi Allah. Oleh karena mengingat
begitu fundamentalnya posisi shalat―Imam al-Munawi melanjutkan―maka ulama
berkesimpulan bahwa hikmah di balik dari pensyari’atan shalat ar-rawātib yang dilaksanakan baik sebelum dan atau
sesudah shalat fardlu (qabliyah dan ba’diyah) adalah untuk
menyempurnakan shalat fardlu bila mengalami kekurang-sempurnaan (naqs).[31]
Bila demikian, menghadap ke kiblat yang merupakan syarat sahnya shalat juga
menjadi unsur terpenting dari kualitas kebaikan ibadah shalat.
Bertolak dari kesimpulan
tersebut, penentuan arah yang benar dalam menghadap kiblat―di samping
syarat-sarat dan rukun-rukun lainnya―perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
pelaksanaan ibadah shalat. Sebab kekeliruan dalam hal ini bisa berakibat fatal,
yakni terancamnya ibadah shalat yang dikerjakan menjadi tidak sah, alias
sia-sia belaka. Untuk itu, sarana dalam menentukan ketepatan dan kebenaran
dalam menghadap kiblat sudah semestinya diselaraskan dengan kaidah-kaidah agama
yang benar, sehingga legal dalam pandangan agama. Dalam bidang ini, para ulama
adalah―ahli waris Nabi yang sah, sebagai pembawa tongkat estafet dakwah
beliau―panutan terdepan.
Fenomena penentuan arah kiblat
dengan menggunakan kecanggihan alat-alat modern sebenarnya bukanlah hal yang
baru. Sebagai contoh, adalah sikap apresiatif dari keberadaan alat-alat modern
yang ditunjukkan oleh Imam ar-Ramli pada saat beliau ditanyai tentang
penggunaan kompas (bait al-ibrah)―yang pada eranya tentu dinilai canggih
dan modern―sebagai sarana penunjuk masuk waktunya shalat dan arah kiblat,
beliau menjawab bahwa penggunaan untuk tujuan tersebut diperbolehkan.
Dikarenakan, kompas (bait al-ibrah) memberikan hasil kesimpulan yang
sama nilainya dengan ijtihad, yakni sama-sama menghasilkan kesimpulan dugaan (zhanni).
Dari sikap apresiatif beliau tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa
alat-alat semacam GPS, Theodolit, dan Google Earth boleh dan sah bila dijadikan
sebagai sarana mencari kiblat.
Perlu dipertegas pula, bahwa
alat-alat hasil penemuan kemajuan teknologi modern tersebut merupakan sarana
pembantu, sehingga posisinya tidak bisa menggeser dalil-dalil syar’i seperti
ayat-ayat al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan qiyas. Kendatipun validitas data-data
yang ditunjukkan, serta tingkat akurasinya lebih tinggi dari pada cara-cara
tradisional yang seringkali disinggung dalam kitab-kitab fiqih. Maklum, sudah
menjadi kesimpulan umum bahwa yang namanya penemuan ilmiah akan senantiasa
mengalami perkembangan, seiring dan sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
itu sendiri. Jadi tidak ada jaminan kepastian atas alat-alat hasil penemuan
teknologi modern tersebut.
Kecenderungan menempatkan ilmu
pengetahuan modern dalam tingkat kepastian (presisi, qoth’i)―yang saat
ini tengah marak―sebagaimana sikap sebagian orang dalam mengapresiasi data-data
yang ditunjukkan oleh alat-alat semacam GPS, Theodolit, dan Google Earth, tidak
selayaknya mengorbankan identitas dan eksisitensi dalil-dalil syar’i seperti
ayat-ayat al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan qiyas. Kecenderungan tersebut juga dapat
dikategorikan sebagai sikap kepongahan dan ke-takabur-an, sebab telah
menilai bahwa argumentasi dengan pendapatnya para ulama mujtahid sebagaimana
pendapatnya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki dll, sudah tidak relevan
lagi alias ketinggalan zaman (out of date). Alih-alih bermaksud
ilmiah―sesuai dengan perkembangannya―di satu sisi, akan tetapi sikap pengabaian
tersebut justru dapat memutus mata rantai syari’at Nabi Muhammad yang
disampaikan oleh para pewaris sah syari’at beliau, yakni para ulama.
Betapapun, menjalankan ibadah adalah harus
dibekali dengan dasar ilmu yang cukup, tidak boleh asal-asalan saja, karena
ibadah dengan tanpa didasari dengan ilmu akan sia-sia. Dalam hal ini, kita
diingatkan oleh petuah bijak yang disampaikan oleh Ibnu Ruslan dalam kitab
Zubadnya:
اَعْـمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَتُقْبَلُ
|
*
|
وَكُلُّ مَنْ بغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ
|
“Setiap orang yang menjalankan ibadah
dengan tanpa didasari ilmu, maka amal ibadahnya tersebut tidak diterima oleh
Allah”.
Semoga makalah yang dapat kami suguhkan ini
dengan kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang ada sehingga kekeliruan pasti
ada, serta jerih payah dalam mengumpulkan data-data yang kami perlukan dalam
pembikinannya, mengandung banyak berkah dan manfaat serta menjadi amal sholih
yang diridloi dan diterima disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, amin. [ ]
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Al-Qur’an al-Karīm.
2.
Ihyā’ al-‘Ulūm ad-Dien.
3.
I’lām as-Sājid bi Ahkām al-Masājid.
4.
Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursyid al-Anām.
5.
Mughni al-Muhtāj.
6.
Bugyah al-Mustarsyidīn.
7.
Bidayah al-Mujtahīd.
8.
Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu.
9.
Al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzāb.
10. Hāsiyah
al-Baijūri.
11. Faidz al-Qadīr.
12. Fatāwa ar-Ramli.
13. Al-Ĥusūn
al-Ĥamidiyyah.
14. Al-Fiqh ‘ala
al-Madzāhib al-Arba’ah.
15. Al-Qiblat ‘ala
Dhau’i al-Kitāb wa as-Sunnah.
16. Al-Ĥawi li
al-Fatāwi.
17. Al-Asybāh wa
an-Nadzāir.
BIODATA PENULIS
Abdul Kholiq el-Qudsiy, lahir
di Kudus 15 April 1982. Jenjang
pendidikan yang ditempuh adalah MI Manafi' al-Ulum (1994), MTs al-Hidayah
(1997), Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) TBS Kudus (2000). Pendidikan berikutnya
dilanjutkan di Pondok MUS Sarang, yang diasuh oleh beliau KH. Abdurrohim Ahmad
(Alm) dan dibantu oleh KH. Ma'ruf Zubair (Alm) serta KH. Adib Abdurrohim. Yang
pada akhirnya, setelah KH. Abdurrohim Ahmad wafat tahun 2001 kepengasuhan
diteruskan oleh putra beliau yang bernama KH. Muhammad Said AR.
Kegiatan di pondok:
Mengkaji kitab salaf kepada para masayikh. Siswa Madrasah Ghozaliyyah
Syafi'iyyah (MGS) 2006. Study Dirasah al-Islamiyyah di Ma’had Aly
al-Ghozali (MAG) 2008. Diskusi pekanan setiap malam Kamis di Auditorium MGS
sewaktu masih aktif sebagai mahasantri Ma’had Aly al-Ghozali, yang dibimbing
langsung oleh beliau Ust. Najib Bukhori Lc. Forum diskusi Fiqhiyyah al-Fadl al-Jamil
dan Majlis Mubahatsah Masail as-Syar'iyyah (M3S). Aktif meramaikan
Mading PP. MUS “Ar-Rihlah” pada edisi perdana (2008 - 2010), sekaligus menjadi
pimred perdananya pula. Pada rentang waktu 2008-2012
menjalankan tugas sebagai pengajar di Madrasah Putri al-Ghozaliyyah (MPG). Saat
ini, terhitung mulai dari hari Rabo 5 Ramadhan 1433 H. bertepatan dengan 25
Juli 2012 M –sang santri yang akrab dengan panggilan Si Doel el Qudsiy–
melaksanakan tugas untuk mengabdi pada al-ilmu asy-syar’iy wa ‘ahlihi di almamater tercinta
Madrasatuna Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus, semoga tugas yang
dijalankan tersebut menjadi amal sholih yang diridloi oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala, amien.
Risalah ini “Geger Peninjauan Ulang Arah
Kiblat” adalah merupakan karya keempat penulis (2012). Risalah pertama
berjudul “Mut'ah” (2008), risalah kedua berjudul “Fiqih Safar”
(2010), dan risalah ketiga berjudul “Memotong rambut, kuku dll. bagi orang
yang berhadats besar” (2012), di samping juga ada beberapa artikel pendek
lainnya. Untuk itu, mohon dengan ikhlas dan tulus atas do’a restunya, semoga
cita-cita mulia yang diimpi-impikan sang penulis dalam rangka berdakwah, untuk
supaya bisa menjadi seorang penulis profesional yang berbakat sekaligus
produktif, dilapangkan dan diridlai oleh sang maha pencipta, Allah Subhanahu
wa Ta’ala. The dream to be come true demikian kata Ust. Najib
memberi motivasi pada penulis, Amien. [ ]
فتاوى الرملي - (ص 73)
( سئل ) هل يجوز الاعتماد على بيت الإبرة في دخول الوقت
والقبلة أم لا ؟ ( فأجاب ) بأن يجوز اعتمادها فيهما لإفادتها الظن بذلك كما يفيده
الاجتهاد.
فتح العلام بشرح
مرشد الأنام - (ج 2 / ص 162)
ويغنيه عن تعلم أدلة
القبلة استصحاب بيت الإبرة معه كما قال العلامة أبو حضير فى حاشيته على نهاية
الأمل.
الحصون الحميدية – (ص 163-164)
فمن هنا يظهر لك خطأ
بعض أهل العصر فى تقليد فلان الفلكى أو فلان الجغرافىّ أو فلان الجيولوجىّ
المشهورين فى فنونهم فى بعض مسائل، ربما تكون مخالفة لظواهر نصوص الشريعة التى
تعتمد فى الإعتقاد، فهذا الحال ربما يوقع هؤلاء المقلدين فى الخروج عن
الدين-والعياذ با لله تعالى-وهم لايشعرون. والذى يوقع ألئك المقلدين فى تقليد
فلاسفة هذا الزمان فى تلك المسائل هو أنهم نظروا لهم أدلة فى بعض مسائل فنونهم
يقينية قطعية كأدلتهم فى المسائل الحسابية والهندسية وبعض التجريبات الطبيعية
المحسوسة فاغترّوا بهم، وأوقعهم الوهم فى اعتقاد أن كل ما يقوله ألئك الفلاسفة
صواب يقيني الثبوت وأنهم لايعتمدون فى ادلتهم فى جميع فنونهم إلا على اليقين، ولم
يدروا أنه يوجد بين أدلة المسائل الحسابية وما ذكر معها وبين أدلة كثير من المسائل
الفلكية مثلا بأن تلك يقينية وهذه قد يوجد بينها كثير من الظنون والتخمينات وقياس
الغائب على الشاهد الذى قد يكون فى نفس الأمر قياسا فاسدا.
وإن قيل: إن بعض تلك المسائل الذى يقلد بها
المقلدون فلاسفة هذا الزمان تكون مجمعا عليها عندهم؟ قلنا: إن معشر المسلمين
لسنامأمورين فى شريعتنا بتقليد إجماع إلا إجماع هذه الأمة المحمدية، أى إجماع
علمائها الذين هم أهل الإجتهاد وفهم نصوص الشريعة حيث شهد لهم الرسول عليه السلام
بأنهم لايجتمعون على ضلالة، على أن إجماع هؤلاء الفلاسفة على بعض تلك المسائل قد
يكون مبنيا على دليل ظني فلا يفيد عصمة إجماعهم من الخطأ لاسيما فى المسائل التى
تكون بعيدة الموضوعات عنهم كما فى المسائل الفلكية والجوّيّة.
[5].
Ibid.
حاشية البيجورى – (ج 1 / ص 214)
فتلخص أن مراتب
القبلة اربعة: العلم بالنفس، وإخبار الثقة عن علم، والإجتهاد، وتقليد المجتهد.
الفقه على المذاهب
الأربعة – (ج 1 / ص 206)
الشافعية قالوا : مراتب القبلة أربعة
:[ المرتبة الأولى ] : أن يعلم بنفسه فمن أمكنه أن يعرف القبلة بنفسه فإنه يجب
عليه أن يعرفها بنفسه ولا يسأل عنها أحدا . فالأعمى الموجود في المسجد إذا كان
يمكنه مس حائط المسجد ليعرف القبلة فإنه يجب عليه أن يفعل ذلك ولا يسأل أحداص.[
المرتبة الثانية] : أن يسأل ثقة عالما بالقبلة بحيث يعرف أن الكعبة موجودة في هذه
الجهة وقد عرفت أن سؤال الثقة إنما يكون عندالعجز عن معرفتها بنفسه طبعا وإلا فلا
يصح له السؤال ويقوم مقام الثقة بيت الإبرة - البوصلة - ونحوها من الآلات التي
يمكن أن يعرف بها القبلة كنجم القطب والشمس والقمر والمحاريب الموجودة في بلد كبير
من بلاد المسلمين أو موجودة في بلد صغير لكن يصلي إليه كثير من الناس.
والحاصل أن المرتبة الثانية من مراتب
معرفة القبلة تشتمل على سؤال الثقة أو بيت الإبرة أو القطب أو المحاريب سواء كانت
محاريب المساجد القديمة التي وضعها الصحابة والتابعون أو غيرها من المحاريب التي
تكثر الصلاة إليها. أما المحاريب التي توجد في المصلى الصغير التي يستعملها بعض
الناس في الطرق والمزارع ونحوهما فإنها لا تعتبر المرتبة الثانية. [الاجتهاد ] :
والاجتهاد لا يصح الا إذا لم يجد ثقة يسأله أو لم يجد وسيلة من الوسائل التي يعرف
بها القبلة أو لم يجد محرابا في مسجد كبير أو في مسجد صغير مطروق من الناس فإذا
فقد كل ذلك فإنه يجتهد وما يؤديه إليه اجتهاده يكون قبلته . ولو اجتهد للظهر مثلا
ثم نسي الجهة التي اجتهد إليها في العصر فإنه يجدد الاجتهاد ثانيا. [المرتبة
الرابعة ] : تقليد المجتهد بمعنى أنه إذا لم يستطع أن يعرف القبلة بسؤال الثقة ولا
بمحراب ولا بغيره فإن له أن يقلد شخصا اجتهد في معرفة القبلة وصلى إلى جهتها . فهو
يصلي مثله، وبهذا تعلم أن الشافعية خالفوا المالكية والحنفية في المحاريب الموجودة
في المساجد التي بناها الصحابة والتابعون فإن المالكية جعلوا بعضها عمدة لا يجوز
أن تستعمل وسيلة أخرى مع وجوده والحنفية جعلوها كلها عمدة أما الشافعية فقد قالوا
: إن المحاريب كلها في مرتبة الوسائل الأخرى التي يمكن أن تعرف بها القبلة كبيت
الإبرة والقطب ونحو ذلك واتفقوا مع الحنفية في الترتيب فقالوا : إنه إذا جهل
القبلة فإنه يجب عليه أن يسأل فإذا لم يجد من يسأله فإنه يجب عليه أن يجتهد الا أن
الشافعية زادوا عن الحنفية مرتبة أخرى وهي تقليد المجتهد.
[8]. Geger Pelurusan
Arah Kiblat. Tulisan Juma Darmaputra dalam opini koran Harian Pelita, edisi 6
Agustus 2010 M/25 Sya’ban 1431 H.
[9]. Dengan
berdasarkan dari keterangan fatwa no. 03 tahun 2010 di atas, selanjutnya kami
jadikan sebagai standard pedoman alih bahasa dari kalimat ‘ainu al-Ka’bah
(bangunan Ka’bah) dan jihah al-Ka’bah (arah Ka’bah) dalam makalah kami
ini. Sebab, ada sebuah versi yang mengalih bahasakan ‘ainu al-Ka’bah dengan
bangunan fisik Ka’bah dan jihah al-Ka’bah diterjemahkan dengan arah mata
angin.
فتح العلام بشرح مرشد الأنام – (ج 02 / ص 154)
والمراد بعينها: جرمها وهوائها المحاذى لها من
الأعلى من الأعلى إلى السماء السابعة ومن الأسفل إلى الأرض السابعة. فلو كان يصلى
فوق مر تفع عنها كسطح، أو فى منخفض عنها كلغم، أو بئر صحت صلاته مع إستقباله
هوائهاالمحاذى لها. لكن محل الإكتفاء با ستقبال الهواء إن كان المصلى خارجها، أما
إذا كان فيها أو على سطحها فلا يكفي بل لا بد من جرمها.
الفقه الإسلامى وأدلته - (ج 1 / ص 649)
اتفق الفقهاء على أن استقبال القبلة شرط فى صحة
الصلاة لقوله تعالى : "وَمِنْ
حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا
كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ". [البقرة:
150] إلا فى حالتين: فى شدة الخوف وصلاة النافلة للمسافر على الراحلة.
بداية المجتهد - (ج 1 / ص 151)
اتفق المسلمون على
أن التوجه نحو البيت شرط من شروط صحة الصلاة لقوله تعالى: "وَمِنْ حَيْثُ
خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ" أما إذا أبصر
البيت فالفرض عندهم هو التوجه إلى عين البيت ولا خلاف في ذلك. أما إذا غابت الكعبة
عن الأبصار فاختلفوا من ذلك في موضعين: أحدهما هل الفرض هو العين أو الجهة؟
والثاني هل فرضه الإصابة أو الاجتهاد: أعني إصابة الجهة أو العين عند من أوجب
العين؟ فذهب قوم إلى أن الفرض هو العين وذهب آخرون إلى أنه الجهة.
والسبب في اختلافهم
هل في قوله تعالى: "فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ"
محذوف حتى يكون تقديره: ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام أم ليس هاهنا
محذوف أصلا وأن الكلام على حقيقته؟ فمن قدر هنالك محذوفا قال: الفرض الجهة ومن لم
يقدر هنالك محذوفا قال: الفرض العين والواجب حمل الكلام على الحقيقة حتى يدل
الدليل على حمله على المجاز وقد يقال إن الدليل على تقدير هذا المحذوف قوله عليه
الصلاة والسلام: "ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا توجه نحو البيت"
قالوا: واتفاق المسلمين على الصف الطويل خارج الكعبة يدل على أن الفرض ليس هو
العين أعني إذا لم تكن الكعبة مبصرة. والذي أقوله إنه لو كان واجبا قصد العين لكان
حرجا وقد قال تعالى: "وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ" فإن إصابة العين شيء لا يدرك إلا بتقريب وتسامح بطريق الهندسة
واستعمال الأرصاد في ذلك فكيف بغير ذلك من طرق الاجتهاد ونحن لم نكلف الاجتهاد فيه
بطريق الهندسة المبني على الأرصاد المستنبط منها طول البلاد وعرضها.
بغية المسترشدين - (ص 39)
(مسألة
: ك) : الراجح أنه لا بد من استقبال عين القبلة ، ولو لمن هو خارج مكة فلا بد من
انحراف يسير مع طول الصف ، بحيث يرى نفسه مسامتاً لها ظناً مع البعد ، والقول
الثاني يكفي استقبال الجهة ، أي إحدى الجهات الأربع التي فيها الكعبة لمن بعد عنها
وهو قويّ ، اختاره الغزالي وصححه الجرجاني وابن كج وابن أبي عصرون ، وجزم به
المحلي ، قال الأذرعي : وذكر بعض الأصحاب أنه الجديد وهو المختار لأن جرمها صغير
يستحيل أن يتوجه إليه أهل الدنيا فيكتفى بالجهة ، ولهذا صحت صلاة الصف الطويل إذا
بعدوا عن الكعبة ، ومعلوم أن بعضهم خارجون من محاذاة العين ، وهذا القول يوافق
المنقول عن أبي حنيفة وهو أن المشرق قبلة أهل المغرب وبالعكس ، والجنوب قبلة أهل
الشمال وبالعكس ، وعن مالك أن الكعبة قبلة أهل المسجد ، والمسجد قبلة أهل مكة ،
ومكة قبلة أهل الحرم ، والحرم قبلة أهل الدنيا ، هذا والتحقيق أنه لا فرق بين
القولين ، إذ التفصيل الواقع في القول بالجهة واقع في القول بالعين إلا في صورة
يبعد وقوعها ، وهي أنه لو ظهر الخطأ في التيامن والتياسر ، فإن كان ظهوره
بالاجتهاد لم يؤثر قطعاً ، سواء كان بعد الصلاة أو فيها ، بل ينحرف ويتمها أو
باليقين ، فكذلك أيضاً إن قلنا بالجهة لا إن قلنا بالعين ، بل تجب الإعادة أو
الاستئناف ، وتبين الخطأ إما بمشاهدة الكعبة ولا تتصوَّر إلا مع القرب ، أو إخبار
عدل ، وكذا رؤية المحاريب المعتمدة السالمة من الطعن قاله في التحفة ، ويحمل على
المحاريب التي ثبت أنه صلى إليها ومثلها محاذيها لا غيرهما.
[15]. al-Qiblat ‘ala
Dhau’i al-Kitāb wa as-Sunnah. Hal: 34-37. Karya Prof. Dr. KH. Ali Musthafa
Ya’kub MA.
حاشية البيجورى – (ج01 / ص 213)
(قوله:
استقبال القبلة) اى استقبال عينها لا جهتها على المعتمد فى مذهبنا، يقينا فى القرب
وظنا فى البعد.
إحياء علوم الدين - (2 / 264)
فإذا فهم معنى العين
والجهة فأقول: الذي يصح عندنا في الفتوى
أن المطلوب العين إن كانت الكعبة مما يمكن رؤيتها وإن كان يحتاج إلى الاستدلال
عليها لتعذر رؤيتها فيكفي استقبال الجهة.
فأما طلب العين عند المشاهدة فمجمع عليه. وأما الاكتفاء بالجهة عند تعذر
المعاينة فيدل عليه الكتاب والسنة وفعل الصحابة رضي الله عنهم والقياس.
أما الكتاب
:
فقوله تعالى "وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ" أي نحوه،
ومن قابل جهة الكعبة يقال قد ولى وجهه شطرها.
وأما السنة : فما روي
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال لأهل المدينة : "مَا بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْمَشْرِقِ قِبْلَةٌ" [حديث ما بين
المشرق والمغرب قبلة أخرجه الترمذي وصححه والنسائي وقال منكر وابن ماجه من حديث
أبي هريرةٍ] والمغرب يقع على يمين أهل المدينة والمشرق على يسارهم. فجعل رسول
الله صلى الله عليه و سلم جميع ما يقع بينهما قبلة ومساحة الكعبة لا تفي بما بين
المشرق والمغرب وإنما يفي بذلك جهتها، وروي هذا اللفظ أيضا عن عمر وابنه رضي الله
عنهما.
وأما فعل
الصحابة رضي الله عنهم : فما روي أن مسجد قباء كانوا في صلاة الصبح
بالمدينة مستقبلين لبيت المقدس مستدبرين الكعبة لأن المدينة بينهما فقيل لهم الآن
قد حولت القبلة إلى الكعبة. فاستداروا في أثناء الصلاة من غير طلب دلالة [حديث
إن أهل قباء كانوا في صلاة الصبح مستقبلين لبيت المقدس فقيل لهم ألا إن القبلة قد
حولت إلى الكعبة فاستداروا الحديث أخرجه مسلم من حديث أنس واتفقا عليه من حديث ابن
عمر مع اختلاف] ولم ينكر عليهم، وسمي مسجدهم ذا القبلتين ومقابلة العين من
المدينة إلى مكة لا تعرف إلا بأدلة هندسية يطول النظر فيها فكيف أدركوا ذلك على
البديهة في أثناء الصلاة وفي ظلمة الليل ويدل أيضا من فعلهم أنهم بنوا المساجد
حوالي مكة وفي سائر بلاد الإسلام ولم يحضروا قط مهندسا عند تسوية المحاريب ومقابلة
العين لا تدرك إلا بدقيق النظر الهندسي.
وأما
القياس
: فهو أن الحاجة تمس إلى الاستقبال وبناء المساجد في جميع أقطار الأرض ولا يمكن
مقابلة العين إلا بعلوم هندسية لم يرد الشرع بالنظر فيها بل ربما يزجر عن التعمق
في علمها فكيف ينبني أمر الشرع عليها فيجب الاكتفاء بالجهة للضرورة.
[23]. Fathu al-‘Allām bi Syarh Mursid al-Anām. Juz: 02, hal: 158.
فتح العلام بشرح مرشد الأنام - (ج 2/ ص 158)
والمحراب لغة : صدرالمجلس. واصطلاحا : مقام الإمام
فى الصلاة. وأما المحراب المعتاد الآن-وهو التجويف الذى يكون فى أماكن الصلاة-فلم
يكن موجودا فى زمان النبي صلى الله عليه وسلم، ولا في زمان الصحابة رضى الله تعالى
عنهم. بل هو حادث بعدهم، ولا تكره الصلاة به ولا بمن فيه، خلافا لقائل ذلك وهو
الجلال السيوطى كما فى قليوبى.
بغية المسترشدين -
(ص 40)
(مسألة : ك) : تنقسم المحاريب إلى ما ثبت أنه صلى فيه ،
إما بطريق التواتر كمحراب مسجده عليه الصلاة والسلام ، فله حكم رؤية الكعبة في
جميع ما ذكروه من عدم جواز الاجتهاد مطلقاً ، والأخذ بالإخبار عن علم إذا خالفه ،
وكذا بطريق الآحاد ، لكن ليس له حكم القطع من كل الوجوه ، ويمتنع الاجتهاد فيه
يمنة ويسرة أيضاً ، وألحق بمحرابه محاذيه ، وإلى ما لم يثبت أنه صلى فيه ، فإن كان
بمحل نشأ به قرون من المسلمين ، أو كثر به المارّون منهم ، بحيث لا يقرون على
الخطأ وسلم من الطعن ، لم يجز الاجتهاد جهة وجاز يمنة ويسرة ولم يجب على المعتمد ،
فإن انتفى شرط من ذلك وجب الاجتهاد مطلقاً ، والمراد باليمنة وضدها أن لا يخرج عن
الجهة التي فيها الكعبة كما مرّ.
المجموع شرح المهذب
- (ج 3 / ص 201)
(واعلم) ان
المحراب انما يعتمد بشرط ان يكون في بلد كبير أو في قرية صغيرة يكثر المارون بها
بحيث لا يقرونه على الخطأ فان كان في قرية صغيرة لا يكثر المارون بها لم يجز
اعتماده هكذا ذكر هذا التفصيل جماعة منهم صاحب الحاوى والشيخ أبو محمد الجويني في
كتابه التبصرة وصاحبا التهذيب والتتمة وآخرون وهو مقتضى كلام الباقين.
[25]. Imam ad-Dārimiy
dalam kitab al-Istidzkār―sebagaimana dikutip oleh Imam az-Zarkasiy dalam
kitab I’lām as-Sājid bi Ahkām al-Masājid―menyebutkan beberapa masjid
yang beliau samakan kedudukannya dengan Masjid Nabawi. Adapun nama-nama dari
masjid tersebut adalah: Masjid Kufah, Masjid Basrah, Masjid Quba’, Masjid Syam,
dan Masjid Bait al-Maqdis. Hal ini disebabkan, sebagian dari masjid-masjid itu
dulunya pernah dijadikan tempat shalat oleh Nabi, dan sebagian yang lain
dijadikan tempat shalat para sahabat. (lihat I’lām as-Sājid bi Ahkām al-Masājid:
hal: 179)
[26]. Yang dimaksud
dengan bergeser sedikit ke kanan atau ke kiri, adalah geser ke kanan atau ke
kiri yang masih satu arah (jihat) dari lokasi keberadaan Ka’bah. Lihat
Bugyah al-Mustarsyidin, hal: 40.
الحاوي للفتاوي ـ
للسيوطى - (ج 1 / ص 33-34)
باب استقبال القبلة
مسألة : في قول
الفقهاء في المحاريب التي يمتنع الاجتهاد معها في القبلة أن تكون في بلدة أو قرية
نشأ بها قرون وسلمت من الطعن ، هل قولهم قرون مجازاً أرادوا به أن تمضي عليها سنون
تغلب على الظن أو ذلك حقيقة ولا بد أن تمضي قرون ؟ والقرن مائه سنة وأقل الجمع
ثلاث فلا بد من ثلثمائة سنة وإلا لم يثبت لها هذا الحكم ، وقولهم وسلمت من الطعن
ما حقيقة الطعن الذي يخرجها عن هذا الاعتبار وما ضابطه ؟ هل يحصل بمجرد الطعن ولو
من واحد أم لا بد من أكثر ؟ ومن صلى إلى محراب ثم تبين أنه لم يمض عليه قرون أو
طعن فيه هل يلزمه إعادة ما صلاه إليه أم لا ؟ وهل يجب عليه قبل الإقدام أن يبحث
عنها هل مضى عليها قرون وسلمت من الطعن ولا يجوز له الاعتماد عليها قبل البحث ؟
وإذا صلى إليها قبله لم تنعقد صلاته أم يجوز الإقدام وتنعقد صلاته حملاً على أن
الأصل في وضع المحراب أن يحتاط له ويوضع بحق وإن كان ظناً حتى يتبين خلافه ، وإذا
نشأ جماعة ببلدة عمر كل واحد نحو خمسين سنة وهم يصلون إلى محراب زاوية كان على عهد
آبائهم ببلدهم وهم لا يعرفون أمضى عليه قرون أم لا ؟ ولا يعرفون هل طعن فيه أحد أم
لا ؟ ثم ورد عليهم شخص يعرف الميقات فقال لهم هذا فاسد وأحدث لهم محراباً غيره
منحرفاً عنه هل يلزمهم اتباع قوله وترك المحراب الأول أم لا ؟ وإذا لزمهم فهل يجب
عليهم إعادة ما صلوه إلى الأول أم لا ؟
الجواب : ليس المراد
بالقرون ثلثمائة سنة بلا شك ولا مائة سنة ولا نصفها ، وإنما المراد جماعات من
المسلمين صلوا إلى هذا المحراب ولم ينقل عن أحد منهم أنه طعن فيه ، فهذا هو الذي
لا يجتهد فيه في الجهة ويجتهد فيه في التيامن والتياسر ، وقد عبر في شرح المهذب
بقوله في بلد كبير أو في قرية صغيرة يكثر المارون بها حيث لا يقرونه على الخطأ فلم
يشترط قروناً وإنما شرط كثرة المارين وذلك مرجعه إلى العرف ، وقد يكتفي في مثل ذلك
بسنة ، وقد يحتاج إلى أكثر بحسب كثرة مرور الناس بها وقلته فالمرجع إلى كثرة الناس
لا إلى طول الزمان ، ويكفي الطعن من واحد إذا ذكر له مستنداً أو كان من أهل العلم
بالميقات فذلك يخرجه عن رتبة اليقين الذي لا يجتهد معه، ومن صلى إلى محراب ثم تبين
فقد شرطه المذكور لزمه الإعادة لأن واجبه حينئذ الاجتهاد ولا يجوز له الاعتماد
عليه كما صرح به في شرح المهذب ، ومن واجبه الاجتهاد إذا صلى بدونه أعاد ، ويجب على
الشخص قبل الإقدام البحث عن وجود الشرط المذكور ، وإذا صلى قبله بدون الاجتهاد لم
تنعقد صلاته ، ومحراب الزاوية المذكور إن كانت بلدته كبيرة أو صغيرة كثيرة المرور
بها ولم يسمع فيه طعن فالصلاة إليه صحيحة ، وإن كانت صغيرة ولم يكثر المرور بها لم
تصح الصلاة إلا باجتهاد ، ويتبع قول الميقاتي في تحريفه إن كان بارعاً في فنه
موثوقاً به وقليل ما هم ، ولا يلزم إعادة ما تقدم من الصلوات .
الأشباه والنظائر -
شافعي - (ج 1 / ص 241-242)
القاعدة الأولى:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
الأصل في ذلك إجماع
الصحابة رضي الله عنهم نقله ابن الصباغ و أن أبا بكر حكم في مسائل خالفه عمر فيها
و لم ينقض حكمه و حكم عمر في المشتركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة و قال ذلك على
ما قضينا و هذا على ما قضينا و قضى في الجد قضايا مختلفة و علته أنه ليس الاجتهاد
الثاني بأقوى منا لأول فإنه يؤدي إلى أنه لا يستقر حكم و في ذلك مشقة شديدة فإنه
إذا نقض هذا الحكم نقض ذلك النقض و هلم جرا. و من فروع ذلك : لو تغير اجتهاده في
القبلة عمل بالثاني و لا قضاء حتى صلى أربع ركعات لأربع جهات بالاجتهاد فلا قضاء.
[29].
Mughni al-Muhtāj. Juz: 01, hal: 145.
مغني المحتاج - (ج 1
/ ص 145)
ولا يجوز له
الاجتهاد في محاريب المسلمين ومحاريب معظم طريقهم وقراهم القديمة إن نشأ بها قرون
من المسلمين ، وإن صغرت وخربت إن سلمت من الطعن ؛ لأنها لم تنصب إلا بحضرة جمع من
أهل المعرفة بالأدلة فجرى ذلك مجرى الخبر عن علم إلا تيامنا وتياسرا فيجوز إذ لا
يبعد الخطأ فيهما بخلافه في الجهة ولا يجوز ذلك في محراب النبي صلى الله عليه وسلم
ومساجده التي صلى فيها إن علمت ؛ لأنه لا يقر صلى الله عليه وسلم على خطأ .