Minggu, 13 Januari 2013

BERPACARAN (1)


BERPACARAN
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bagaimana berpacaran yang digariskan oleh ajaran Islam, dan bagaimana seharusnya kami memilih dan memilah untuk calon suami atau istri? Tolong Ustadz jelaskan ada/tidaknya Hadits tentang kebolehan memandang dan memegang tangan pada waktu berpacaran. Penjelasan bapak sangat kami harapkan.
Wassalam
Sebelum menjawab pertanyaan Anda berdua terlebih dulu kita perlu sepakat tentang apa yang dimaksud dengan pacaran. Kalau menunjuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap, yang mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Jika itu yang Anda maksud, maka perlu diketahui bahwa Islam tidak menghalangi lahirnya cinta kasih antar lawan jenis, karena itu adalah fitrah manusia bahkan fitrah semua makluk.
Bagi manusia ia adalah dorongan naluri sejak kecil dan kebutuhan setelah dewasa. Membendungnya akan sangat menyulitkan manusia. Tetapi melepasnya tanpa kendali juga dapat mengakibatkan bahaya yang tidak kecil. Karena itu agama memberi tuntunan. Jika ada yang ingin bercinta kasih dengan lawan jenisnya, maka hendaklah hal tersebut bertujuan untuk menjalin hidup rumah tangga. Tentu jika masing-masing benar-benar cinta, maka tidak akan terjadi pelanggaran agama dan moral yang akan merugikan kedua pihak khususnya wanita.
Agama menyerahkan kepada masing-masing untuk memilih siapa yang disenangi dari pasangan, selama ia bukan yang haram dinikahi. Tentu saja setiap orang dan setiap masa ada kriteria yang disukai. Agama menggaris bawahi perlunya memperhatikan faktor agama, akhlak, dan kesetaraan dalam status sosial dan pendidikan. Adapun kekayaan, keturunan dan kecantikan/ketampanan maka juga dapat menjadi pertimbangan tetapi jangan terlalu diandalkan karena perkawinan dimaksudkan untuk bersifat langgeng, padahal faktor-faktor tersebut kemungkinan besar bersifat sementara.
Ketika seseorang telah berencana untuk kawin, maka ia diperkenankan bahkan dianjurkan  untuk mengenal secara baik calon pasangannya. Seorang sahabat Nabi menyampaikan kepada beliau bahwa dia berencana kawin. Nabi bertanya: “Apakah engkau pernah melihatnya?” Dia menjawab belum, maka Nabi SAW. memerintahkannya pergi melihat sambil bersabda: “Itu dapat lebih menjadikan perkawinan kalian menjadi langgeng.”
Dahulu pada zaman Nabi SAW mereka merasa cukup dengan melihat. Sayyid Sabiq seorang ulama Mesir kenamaan menulis dalam bukunya “Fiqh As-Sunnah” bahwa mayoritas ulama hanya membenarkan pria melihat wajah dan telapak tangan wanita yang direncanakan untuk dinikahi. Tetapi Daud Adz-Dzahiri membolehkan lebih dari itu yakni banyak bagian dari badannya.
Memang hadits-hadits tidak menentukan bagian mana yang dapat dilihat, karena itu dapat dibenarkan untuk melihat sebatas yang mendukung tujuan yang dikehendaki agama. Ada riwayat yang menyatakan, Sayyidina Umar Ra. Membuka betis Ummu Kaltsum putri Sayyidina Ali Ra. Yang akan dinikahinya. Gadis remaja itu marah sambil berkata: “kalau engkau bukan Amirul Mukminin niscaya kutusuk matamu.” (HR. Abdurrazzak dan Sa’id bin Manshur)
Apa yang dibenarkan untuk pria terhadap calon yang akan dipinangnya, dibenarkan juga untuk wanita terhadap calonnya. Kita dapat berkata bahwa agama mentoleran si calon suami istri untuk bercakap-cakap atau berjalan bersama selama ditemani oleh keluarga atau orang terhormat, berjabat tangan dengan lawan jenispun dapat ditoleransi oleh sekian banyak ulama, tetapi bukan dalam arti bermesra-mesraan, atau pacaran dalam pengertian banyak muda-mudi dewasa ini. Agama sangat tegas melarang walaupun pinangan dan lamaran telah disampaikan.
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka jangan sekali-kali ia berduaan dengan wanita yang tidak ada bersama dia mahram (muhrim)nya. Karena kalau mereka berdua saja maka setan yang menggenapkan mereka bertiga.” (HR. Ahmad) Demikian wa Allah a’lam.

[ Kumpulan Tanya Jawab QURAISH SHIHAB Mistik, Seks, Dan Ibadah, hal: 22-25]

Si Doel El Qudsiy.blogspot.com

BERPACARAN (2)


PACARAN
Pertanyaan
Apakah pacaran dibenarkan agama?
Jawab
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, sebelum mendudukkan arti pacaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pacar diartikan sebagai “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan atau kekasih”. Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan.
Kalau demikian pengertiannya maka pacaran hanya merupakan sikap batin, namun di kalangan sementara orang khususnya remaja sikap batin ini disusul dengan tingkah laku, bedua-duaan, saling memegang, dan seterusnya.
Makhluk, termasuk manusia, remaja atau dewasa dianugrahi Tuhan rasa cinta kepada lawan jenisnya: Telah dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita (dana lelaki), anak-anak lelaki (dan anak perempuan) .... (baca selengkapnya QS. Ali Imran [3]: 14). Atas dasar itu, agama tidak menghalangi pacaran dalam pengertian sebagaimana diartikan oleh KBBI di atas. Agamanya hanya mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak terjadi “kecelakaan”.
Agama menganjurkan kepada pasangan calon suami-istri untuk terlebih dahulu saling mengenal, karena yang demikian dapat menunjang kelanggengan hidup berumah tangga, dengan diliputi oleh cinta kasih. Nabi menganjurkan calon suami melihat calon istrinya, “Lihatlah calon istrimu, karena yang demikian itu lebih wajar mendukung kelanggengan hubungan kalian berdua.
Perintah Nabi tersebut diberikan kepada al-Mughirah yang meminang tanpa melihat calon istrinya terlebih dulu sebaggaiamana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ddan an-Nasa’i.  
Dipahami dari tujuan yang dijelaskan oleh hadits di atas bahwa calon istri pun hendaknya “melihat” calon suaminya. Dahulu “melihat” diartikan sebagai melihat wajah dan telapak tangan. Kini, sementara ulama memahaminya lebih dari itu yakni “mengenalnya lebih dekat, kalau perlu dengan bercakap atau bertukar pikiran, selama ada pihak terpercaya yang menemani mereka, untuk menghindar dari segala yang tidak diinginkan agama”. Jika pada saat terjadi pertemuan dan percakapan itu terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya ―walaupun sebelum menikah― agama tidak menghalanginya. Bukankah tujuan mereka untuk melangsungkan perkawinan?
Akan tetapi, kalau pacaran diartikan sebagai pengertian sebagai pengertian remaja di atas, secara pasti bahwa agama dan budaya kita tidak membenarkannya, baik mereka telah berjanji setia untuk menikah maupun tidak.
[ M. Quraish Shihab menjawab ...? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, hal: 612-613 ]

BERPACARAN (3)


PACARAN YANG DIBENARKAN AGAMA
Pertanyaan
Bagaimana sebenarnya cinta kasih (pacaran) dan pergaulan muda-mudi, khususnya pelajar, yang dapat dibenarkan oleh agama.
Jawab
Terlebih dahulu perlu Anda ketahui bahwa cinta-kasih adalah amal kalbu. Sulit sekali kalau enggan berkata mustahil untuk menghindarinya. Nabi SAW. pernah berdo’a sehubungan dengan perbedaan rasa cintanya kepada istri-istri beliau, “Inilah yang mampu aku lakukan, maka jangan tuntut aku menyangkut apa yang bukan di tanganku.”
Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa agama tidak melarang seseorang walau masih belajar dan belum mampu kawin untuk mencintai lawan jenisnya. Yang dilarang agama adalah melahirkan rasa cinta itu dalam bentuk yang dapat mengantar pada perzinaan.
Al Qur’an surat al-Baqarah [2]: 235 menegaskan, Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu, (walaupun masih dalam keadaan berkabung/iddah karena kematian suaminya) atau kamu menyembunyikan keinginan (cintamu) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka ....
Di sisi lain, perlu diingatkan bahwa sekadar adanya cinta di dalam hati belum mengantar seseorang untuk dapat dinamai berpacaran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata pacaran sebagai “bercintaan, berkasih-kasihan antara teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan (calon suami/istri)”.
Agama tidak melarang seorang berkasih-kasihan dan bercinta, karena hal tersebut merupakan naluri makhluk. Hanya saja agama menghendaki kesucian dan ketulusan dalam hubungan itu, sehingga ditetapkannya pedoman yang harus diindahkan oleh setiap orang, sehingga mereka tidak terjerumus di dalam fahisyah (zina dan kekejian lainnya).
Agama, misalnya, tidak melarang seseorang yang bermaksud menikah untuk berkenalan, bahkan menyampaikan minat (cinta)-nya kepada calon pasangannya, selama itu disampaikan secara terhormat dan tulus. (lihat lebih jauh penjelasan saya di atas).
Pergaulan atau pertemuan muda-mudi, dalam batas-batas yang wajar sehingga terjamin tidak adanya pelanggaran agama dan moral, tidak dilarang agama. Bertemu dan bercakap dikelas, di hadapan teman-teman dan guru mereka, atau dipesta bersama ibu atau bapak atau keluarga mereka, pada dasarnya ―dengan syarat di atas― tidak dilarang agama.
Para ulama menyatakan bahwa larangan agama ada disebabkan oleh substansi yang dilarang, dan ini dinamakan haram lidzatih, seperti misalnya memakan babi  dan berzina, dan ada juga karena ia dapat mengantar pada substansi itu dan ini dinamai  haram lighairih. Yang lidzatih tidak boleh dilanggar kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa, dalam arti bila tidak dilanggar akan mengakibatkan kematian. Dan pelanggaran yang dibolehkan itu pun hanya sebatas menghindarkan kematian. Sedangkan yang lighairih, dibenarkan untuk dilanggar kalau ada hajat atau keperluan yang mendesak, dalam arti amat menyulitkan bila tidak dilakukan.
Berzina terlarang karena substansi zina, tetapi membuka aurat atau berdua-dua dengan lawan jenis, terlarang bukan karena zatnya tetapi karena dapat mengantar pada perzinaan. Itu sebabnya orang sakit dibenarkan membuka auratnya jika hal tersebut diperlukan untuk pengobatan, dan berbicara dengan lawan jenis pun dibenarkan ―jika ada keperluan― misalnya seperti untuk tujuan mengawininya.
Al Qur’an surah al-Isra’ [17]: 32 yang menyatakan, Janganlah mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji, mengandung larangan berzina yang bersifat substansial, karena dapat mengantar perzinaan. Dalam konteks inilah perintah menjaga pandangan (QS. Ar-Rum [30]: 31) jika tidak ada keperluan apa lagi jika diduga pandangan itu akan mengantar pada zina.
Nabi SAW. mengingatkan ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, “Wahai ‘Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua. Pada yang pertama Anda ditoleransi, dan pada yang kedua Anda melakukan yang tidak wajar/berdosaI.
Riwayat lain menginformasikan bahwa seorang pemuda bernama al-Fadhl bin ‘Abbas, ketika haji wada’ menunggang kuda bersama Nabi SAW. Ketika itu ada seorang wanita yang cantik, yang ditatap terus-menerus oleh al-Fadhl. Nabi SAW. pun memegang dagu al-Fadhl dan mengalihkan wajahnya agar tidak melihat wanita tersebut secara terus-menerus. Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara al-Fadhl sendiri, yaitu Ibnu ‘Abbas.
Agama juga melarang wanita (dan pria) melakukan tabarruj al-jahiliyyah, satu istilah yang digunakan al-Qur’an (QS. Al-Ahzab [33]: 33) yang maknanya mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain pasangan yang sah (suami/istri). Akan tetapi, al-Qur’an tidak melarang perempuan (dan lelaki) berjalan di hadapan lawan jenisnya selama cara jalannya tidak mengundang perhatian yang dapat menimbulkan hal-hal negatif dalam bahasa al-Qur’an, ......... dan janganlah mereka memukulkkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka “sembunyikan” (QS. An-Nur [24]: 31). Yakni jangan melakukan gerak-gerik yang dapat menimbulkkan rangsangan dan menarik perhatian lawan jenis.
Ini bukan berarti al-Qur’an melarang pembicaraan atau pertemuan antara lelaki dan perempuan. Tidak! Hal itu dibenarkan asal sikap dan isi pembicaraan tidak mengundang rangsangan dan godaan. Demikian maksud firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 32, ..... maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan negatif orang yang ada penyakit dalam jiwanya. Yang dimaksud “tunduk dalam berbicara” adalah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka”.
Begitu sedikit dari adab pergaulan yang diajarkan Islam. Demikian, wa Allah a’lam.

[ M. Quraish Shihab menjawab ...? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, hal: 612-613 ]

Tentang Pesantren

PESANTREN TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GENERASI MILENIAL Oleh : Abdul Kholiq * Prolog Tradisi Pesantren adalah sistem pendidika...