BERPACARAN
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Bagaimana berpacaran yang digariskan oleh
ajaran Islam, dan bagaimana seharusnya kami memilih dan memilah untuk calon
suami atau istri? Tolong Ustadz jelaskan ada/tidaknya Hadits tentang kebolehan
memandang dan memegang tangan pada waktu berpacaran. Penjelasan bapak sangat
kami harapkan.
Wassalam
Sebelum
menjawab pertanyaan Anda berdua terlebih dulu kita perlu sepakat tentang apa
yang dimaksud dengan pacaran. Kalau menunjuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap, yang mempunyai
hubungan berdasarkan cinta kasih. Jika itu yang Anda maksud, maka perlu
diketahui bahwa Islam tidak menghalangi lahirnya cinta kasih antar lawan jenis,
karena itu adalah fitrah manusia bahkan fitrah semua makluk.
Bagi
manusia ia adalah dorongan naluri sejak kecil dan kebutuhan setelah dewasa.
Membendungnya akan sangat menyulitkan manusia. Tetapi melepasnya tanpa kendali
juga dapat mengakibatkan bahaya yang tidak kecil. Karena itu agama memberi
tuntunan. Jika ada yang ingin bercinta kasih dengan lawan jenisnya, maka
hendaklah hal tersebut bertujuan untuk menjalin hidup rumah tangga. Tentu jika
masing-masing benar-benar cinta, maka tidak akan terjadi pelanggaran agama dan
moral yang akan merugikan kedua pihak khususnya wanita.
Agama
menyerahkan kepada masing-masing untuk memilih siapa yang disenangi dari
pasangan, selama ia bukan yang haram dinikahi. Tentu saja setiap orang dan
setiap masa ada kriteria yang disukai. Agama menggaris bawahi perlunya
memperhatikan faktor agama, akhlak, dan kesetaraan dalam status sosial dan
pendidikan. Adapun kekayaan, keturunan dan kecantikan/ketampanan maka juga
dapat menjadi pertimbangan tetapi jangan terlalu diandalkan karena perkawinan
dimaksudkan untuk bersifat langgeng, padahal faktor-faktor tersebut kemungkinan
besar bersifat sementara.
Ketika
seseorang telah berencana untuk kawin, maka ia diperkenankan bahkan
dianjurkan untuk mengenal secara baik
calon pasangannya. Seorang sahabat Nabi menyampaikan kepada beliau bahwa dia
berencana kawin. Nabi bertanya: “Apakah engkau pernah melihatnya?” Dia menjawab
belum, maka Nabi SAW. memerintahkannya pergi melihat sambil bersabda: “Itu
dapat lebih menjadikan perkawinan kalian menjadi langgeng.”
Dahulu
―pada
zaman Nabi SAW― mereka merasa cukup dengan melihat. Sayyid
Sabiq seorang ulama Mesir kenamaan menulis dalam bukunya “Fiqh As-Sunnah”
bahwa mayoritas ulama hanya membenarkan pria melihat wajah dan telapak tangan
wanita yang direncanakan untuk dinikahi. Tetapi Daud Adz-Dzahiri membolehkan
lebih dari itu yakni banyak bagian dari badannya.
Memang
hadits-hadits tidak menentukan bagian mana yang dapat dilihat, karena itu dapat
dibenarkan untuk melihat sebatas yang mendukung tujuan yang dikehendaki agama.
Ada riwayat yang menyatakan, Sayyidina Umar Ra. Membuka betis Ummu Kaltsum
putri Sayyidina Ali Ra. Yang akan dinikahinya. Gadis remaja itu marah sambil
berkata: “kalau engkau bukan Amirul Mukminin niscaya kutusuk matamu.” (HR. Abdurrazzak
dan Sa’id bin Manshur)
Apa
yang dibenarkan untuk pria terhadap calon yang akan dipinangnya, dibenarkan
juga untuk wanita terhadap calonnya. Kita dapat berkata bahwa agama mentoleran si
calon suami istri untuk bercakap-cakap atau berjalan bersama selama ditemani
oleh keluarga atau orang terhormat, berjabat tangan dengan lawan jenispun dapat
ditoleransi oleh sekian banyak ulama, tetapi bukan dalam arti bermesra-mesraan,
atau pacaran dalam pengertian banyak muda-mudi dewasa ini. Agama sangat tegas
melarang walaupun pinangan dan lamaran telah disampaikan.
“Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka jangan sekali-kali ia
berduaan dengan wanita yang tidak ada bersama dia mahram (muhrim)nya. Karena
kalau mereka berdua saja maka setan yang menggenapkan mereka bertiga.” (HR.
Ahmad) Demikian wa Allah a’lam.
[
Kumpulan Tanya Jawab QURAISH SHIHAB Mistik, Seks, Dan Ibadah, hal: 22-25]
Si Doel El Qudsiy.blogspot.com